Demikianlah luapan emosi yang terkadang terungkap dari mulut sebagian
wanita yang tidak kuasa menghadapi problematika dan pernik-pernik
kehidupan rumah tangga.
Sebelum seorang wanita meminta untuk dicerai maka hendaknya ia merenungkan hal-hal berikut ini:
Pertama : Sesungguhnya pernikahan merupakan ibadah yang dicintai Allah dan mendatangkan begitu banyak faedah.
Kedua : Syari'at berusaha menjauhkan pasangan suami istri dari perceraian sejauh mungkin
Oleh karenanya :
Pertama : Allah telah mensifati pernikahan dengan perjanjian yang kuat, Allah berfirman
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah
bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka
(isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat. (QS
An-Nisaa :21)
Hal ini tentunya mendorong kita agar memuliakan perjanjian tersebut dan berusaha untuk tidak melepaskan perjanjian tersebut.
Kedua : Syariat menjadikan perceraian dalam beberapa tingkatan agar
menjadi perenungan bagi sang suami, dan syari'at tidak langsung
menjadikan perceraian sebagai bentuk perpisahan abadi antara suami dan
istri.
Karenanya suami yang menjathuhkan talak satu (menceraikan istrinya
sekali) maka ia berhak untuk kembali lagi kepada istrinya selama
istrinya masih dalam masa iddah. Demikian juga jika ia menjatuhkan talak
kedua. Sehingga sang suami dan istri -setelah terjadi talak satu
ataupun talak dua- akan lebih berpikir ke depan memandang kemaslahatan
yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangganya. Karena betapa banyak
suami yang menyesal setelah menjatuhkan talak kepada istrinya. Dan
betapa banyak pula istri yang tadinya membangkang dan berakhlak buruk
kepada suami akhirnya bisa berubah dan membaik setelah dicerai.
Adapun jika telah jatuh talak yang ketiga maka sang lelaki tidak boleh
kembali kepada sang wanita kecuali jika sang wanita telah menikah dengan
lelaki yang lain. Allah berfirman
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا
غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا
إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ
يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka
perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami
yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak
ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin
kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau)
mengetahui. (QS Al-Baqoroh 229-230
Ketiga : Syari'at menganjurkan agar seorang suami tidak menceraikan
istrinya dan bersabar dengan kondisi istrinya yang ia benci. Allah
berfirman
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak
menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS
An-Nisaa : 19)
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
"Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang wanita mukminah
(istrinya), jika ia membenci sebuah perangai dari istrinya maka
hendaknya ia ridho dengan perangai yang lain dari istrinya" (HR Muslim
no 1469)
Keempat : Allah memerintahkan agar suami bisa menahan diri dan tidak tergesa-gesa dalam mendidik istrinya. Allah berfirman
وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي
الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا
عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Dan wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya (yaitu tidak
melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri-pen), maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha besar. (QS An-Nisaa :34)
Kelima : Jika ternyata pasangan suami istri tidak bisa mengatasi
permasalahan rumah tangga mereka sendiri maka syari'at menganjurkan
untuk menjadikan pihak ketiga menjadi penengah dalam menyelesaikan
permasalahan pasutri tersebut. Allah berfirman
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ
وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ
بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka
kirimlah seorang hakam (juru damai-pen) dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu
bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
(QS An-Nisaa : 35)
Keenam : Suami yang menceraikan istrinya dalam keadaan dipaksa atau
dalam keadaan tidak sadar atau gila maka talaknya tersebut tidak sah.
Ketujuh : Talak yang hanya terbetik dalam hati dan tidak terlafalkan
(tidak terucapkan) maka tidak sah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لأُمَّتِى عَمَّا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسُهَا مَا لَمْ تَتَكَلَّمْ أَوْ تَعْمَلْ بِهِ
"Sesungguhnya Allah memaafkan kepada umatku apa yang terbetik dalam jiwa
mereka selama belum diucapkan atau diamalkan" (HR Al-Bukhari no 6664
dan Muslim no 127)
Kedelapan : Haram bagi seorang wanita meminta kepada suaminya untuk
menceraikan madunya. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
ولا تسأل المرأة طلاق أختها لتكفأ ما في إنائها
"Jangalah seorang wanita meminta (kepada suaminya) untuk menceraikan
madunya agar ia bisa menumpahkan apa yang ada di bejana madunya
tersebut" (HR Al-Bukhari no 2140 dan Muslim no 1408)
Kesembilan : Syariat menjadikan perceraian (talak) di tangan suami,
karena suamilah yang telah membayar mahar dan yang menanggung nafkah
keluarga, dan suami lebih bisa menjaga emosinya dan lebih memandang ke
depan.
Kendati perceraian merupakan perkara yang buruk akan tetapi terkadang kondisi memang mengharuskan terjadinya perceraian.
Ibnu Taimiyyah berkata:
الأَصْلُ فِي الطَّلاَقِ الْحَظْرُ وَإِنَّمَا أُبِيْحَ مِنْهُ قَدْرُ الْحَاجَةِ
"Hukum asal talak adalah terlarang, dan hanyalah diperbolehkan sesuai kebutuhan"(Majmuu' Al-Fataawaa 33/81)
Dan tindakan ini –perceraian- hendaknya tidaklah ditempuh kecuali jika
memang dalam kondisi terpaksa. Karenanya perceraian tidaklah ditempuh
kecuali :
1. Jika setelah menjalani pernikahan ternyata tujuan dari
pernikahan –seperti kasih sayang diantara pasutri, menjaga kehormatan,
memperoleh keturunan- tidak bisa diraih.
2. Sudah menempuh berbagai jalan untuk memperbaiki kondisi rumah
tangga yang buruk, seperti masuknya pihak ketiga agar memperbaiki
kondisi, akan tetapi tidak menghasilkan buah yang baik
3. Usaha memperbaiki problematika rumah tangga hendaknya dilakukan berulang-ulang.
4. Ingat bahwa perceraian merupakan jalan keluar yang terakhir…!!!
Ketiga : Sebaliknya perceraian merupakan perkara yang sangat dicintai oleh Iblis.
Para prajurit Iblis dari kalangan para syaitan selalu berlomba-lomba
untuk bisa memisahkan dan menghancurkan rumah tangga pasangan suami
istri. Iblis raja para syaitan sangat berbangga dengan prajuritnya yang
berhasil menceraikan pasangan suami istri.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ إِبْلِيْسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الماءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ
فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً، يَجِيْءُ
أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ : فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا، فَيَقُوْلُ : مَا
صَنَعْتَ شَيْئًا قال ثُمَّ يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ مَا تَرَكْتُهُ
حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ قَالَ : فَيُدْنِيْهِ
مِنْهُ وَيَقُوْلُ : نعم أنت
"Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air (laut),
kemudian ia mengutus para prajuritnya. Maka prajurit yang paling dekat
dengan Iblis adalah yang paling besar fitnahnya (penyesatannya). Maka
datanglah salah satu prajuritnya dan melapor : "Aku telah melakukan ini
dan itu", maka Iblis berkata, "Engkau belum melakukan apa-apa", kemudian
datanglah prajurit yang lain dan melapor, "Aku telah menggodanya hingga
akhirnya aku menceraikannya dengan istrinya". Maka Iblispun mendekatkan
prajurit syaitan ini di sisinya lalu berkata, "Engkau prajurit terbaik"
(HR Muslim no 2813)
Hadits yang agung ini menunjukan bahwa prajurit Iblis berlomba-lomba
mendekatkan diri mereka kepada Iblis, dan yang paling dekat dengan Iblis
dan mendapatkan kedudukan tinggi di sisi Iblis adalah yang paling
banyak menimbulkan kerusakan kepada manusia. Ternyata prajurit syaitan
kesayangan Iblis adalah syaitan yang berhasil menceraikan pasangan suami
istri. Iblis tahu bahwasanya dengan bercerainya dua pasangan suami
istri maka akan menimbulkan banyak kerusakan. Diantaranya kedua-duanya
bisa jadi terjerumus dalam berbagai model kemaksiatan hingga akhirnya
bisa menjerumuskan mereka berdua dalam perzinahan…, hancurnya masa depan
anak-anak mereka…, dendam dan kesedihan yang berkepanjangan… dan
dampak-dampak buruk yang lain yang merupakan akibat negatif dari
perceraian.
Karenanya diantara perkara yang dilakukan oleh para penyihir adalah
memisahkan dan menceraikan pasangan suami istri. Allah berfirman :
فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ
Maka mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu apa yang dengan sihir
itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya.
(QS Al-Baqoroh : 102)
Karenanya janganlah sampai salah seorang dari pasangan suami istri
–disadari atau tanpa disadari- ikut membantu mewujudkan cita-cita dan
angan-angan Iblis yaitu menceraikan pasangan suami istri.
Keempat: Wanita yang meminta cerai tanpa ada alasan syar'i yang kuat merupakan perbuatan dosa
Seorang wanita yang meminta cerai dari suaminya tanpa adanya sebab yang
syar'i maka terancam ancaman yang keras. Nabi shallallahu 'alaiahi wa
sallam bersabda:
أيُّما امرأةٍ سألت زوجَها طلاقاً فِي غَْيِر مَا بَأْسٍ؛ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ
"Wanita mana saja yang meminta kepada suaminya untuk dicerai tanpa
kondisi mendesak maka haram baginya bau surga" (HR Abu Dawud no 1928,
At-Thirmidzi dan Ibnu Maajah, dan dihahihkan oleh Syaikh Albani)
Hadits ini menunjukan ancaman yang sangat keras bagi seorang wanita yang
meminta perceraian tanpa ada sebab yang syar'i yang kuat yang
membolehkannya untuk meminta cerai. Berkata Abu At-Toyyib Al'Adziim
Aabaadi, "Yaitu tanpa ada kondisi mendesak memaksanya untuk meminta
cerai…((Maka haram baginya bau surga)) yaitu ia terhalang dari mencium
harumnya surga, dan ini merupakan bentuk ancaman dan bahkan bentuk
mubaalaghoh (berlebih-lebihan) dalam ancaman, atau terjadinya hal
tersebut pada satu kondisi tertentu yaitu artinya ia tidak mencium
wanginya surga tatkala tercium oleh orang-orang yang bertakwa yang
pertama kali mencium wanginya surga, atau memang sama sekali ia tidak
mencium wanginya surga. dan ini merupakan bentuk berlebih-lebihan dalam
ancaman" ('Aunul Ma'buud 6/308)
Akan tetapi wanita boleh saja meminta cerai jika memang kondisinya memaksa demikian.
Talak Mu'allaq
Berikut ini postingan seputar hukum talak, agar kita sebagai muslim
dapat mengetahui perkataan-perkataan apa saja yang dapat membuat jatuh
talak terhadap Istri. Sebab talak adalah perkara yang dapat membuat
status seorang suami tidak lagi berhak (halal) atas istrinya, demikian
juga sebaliknya. Oleh sebab itu baik yang sudah menikah maupun yang
belum menikah wajib mengetahui perkara ini. agar saat suami mengatakan
perkataan yang mengandung makna talak, istri dapat memberi peringatan
bahwa hal itu bukanlah main-main di mata Allah, demikian pula suami
tidak dengan mudahnya mengatakan hal-hal yang dapat bermakna jatuh talak
terhadap istri (meskipun dilakukan dalam gurauan).
Sebab masalah tersebut sangat berbahaya yang bisa merusak akad nikah,
sedangkan akad nikah termasuk akad yang sangat sakral. Tidak ada akad
yang paling mendapat perhatian besar dari syariat Islam kecuali akad
nikah, karena akad nikah mempunyai konsekwensi hukum yang sangat banyak
seperti warisan, nasab, berbesan dan masalah-masalah kemasyrakatan besar
lainnya. Sehingga seseorang dianggap tidak berakal sehat apabilah harus
menjatuhkan talak kepada istrinya hanya dikarenakan masalah kecil.
Berapa banyak orang yang mentalak istrinya setelah itu berkeliling
mendatangi para ulama meminta pendapat untuk mencari jalan keluar dan
akhirnya menyesal. Nasehat saya kepada setiap kaum laki-laki agar tidak
tergesa-gesa menjatuhkan talak.
Talak atau cerai adalah suatu permasalahan rumah tangga yang saat ini
banyak menimpa suami istri. Kadang karena ketidak tahuan akan talak yang
menyebabkan dengan sendirinya talak itu jatuh. Ada ucapan yang secara
tegas walau tanpa disertai niat, membuat talak itu sah. Ada pula talak
berupa kata kiasan yang butuh akan niat.
Adapun talak mu’allaq, yaitu seorang suami menjadikan jatuhnya talak
bergantung pada syarat. Misalnya, ia berkata kepada isterinya: Jika
engkau pergi ke tempat, maka engkau ditalak.
Hukum talak mu’allaq ini apabila dia bermaksud hendak menjatuhkan talak
ketika terpenuhinya syarat. Maka jatuh talaknya sebagaimana yang
diinginkannya.
Adapun manakala yang dimaksud oleh sang suami dengan talak mu’allaq,
adalah untuk menganjurkan (agar sang isteri) melakukan sesuatu atau
meninggalkan sesuatu atau yang semisalnya, maka ucapan itu adalah
sumpah. Jika apa yang dijadikan bahan sumpah itu tidak terjadi, maka
sang suami tidak terkena kewajiban apa-apa, dan jika terjadi, maka ia
wajib membayar kafarah sumpah.
Talak tersebut telah jatuh, sehingga jatuhlah talak yang ketiga yang
berkonsekuensi tidak halalnya istri kembali kepada suami sampai istri
menikah lagi dengan pria lain dengan pernikahan wajar (bukan
pura-pura/sandiwara/perkomplotan), kemudian diceraikan.
Menjatuhkan talak dengan cara mengaitkan dengan terjadinya hal lain
disebut para Fuqoha’ dengan istilah الطَّلاَقُ الْمُعَلَّقُ (Suspended
Divorce/ Talak Tergantung). Kasus talak yang ditanyakan penanya termasuk
jenis ini, karena mengancam jatuhnya talak kepada istri, jika istri
tidak melakukan perbuatan yang diperintahkan suami. Ketentuan Fikih
dalam hal ini, talak dihukumi jatuh jika syarat yang disebutkan pada
ancaman talak tersebut terealisasi. Maka, seandainya seorang suami
berkata kepada istrinya; “Jika matahari telah tenggelam hari ini, maka
jatuhlah talakku kepadamu” atau “jika engkau menerima tamu tanpa
seizinku, maka jatuhlah talakku kepadamu”, atau “jika engkau berhutang
lagi tanpa sepengetahuanku, maka jatuhlah talakku kepadamu”, kemudian
tiba waktu tenggelamnya matahari, atau istri menerima tamu tanpa seizin
suami, atau istri berhutang tanpa sepengetahuan suami, dalam kondisi ini
semuanya dihukumi jatuh talak tanpa bisa diralat lagi. Pada kasus yang
ditanyakan penanya, suami mengancam istri jika tidak ikut hadir pada
acara di ibu kandung maka jatuh talak. Ternyata istri tidak ikut hadir
bersama suami. Dengan demikian syarat jatuhnya Tholaq Mu’allaq telah
terealisasi sehingga hukum talak tiga telah jatuh dan berlaku
konsekuensi-konsekuensi talak tiga dalam Syariat. Hukum jatuhnya talak
ini tidak membedakan apakah ancaman talak bersyarat itu benar-benar
dimaksudkan mentalak atau sekedar “mengancam/menakut-nakuti/mendorong
melakukan suatu perbuatan” dan semisalnya. Niat apapun dari suami yang
mengucapkan ancaman talak tidak diperhatikan, dan ketentuan jatuhnya
talak tetap berlaku.
Dalil yang menunjukkan Tholaq Mu’allaq dihukumi jatuh talak jika syarat
yang diancamkan telah terealisasi adalah sejumlah nash berikut;
Pertama; membuat syarat yang tidak bertentangan dengan hukum Syara’
hukumnya Mubah, dan kaum Muslimin terikat oleh syarat yang dibuatnya.
Ad-Daruquthni meriwayatkan;
سنن الدارقطنى – مكنز (7/ 194، بترقيم الشاملة آليا)
عَنْ كَثِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِىِّ
عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «
الْمُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ
أَحَلَّ حَرَامًا ».
“Dari Katsir bin Abdillah bin ‘Amr bin ‘Auf Al-Muzany dari ayahnya dari
kakeknya dai Nabi SAW, beliau bersabda ” Kaum Muslimin terikat
syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram” (H.R.Ad-Daruquthni)
Membuat syarat jatuhnya talak termasuk keumuman bolehnya membuat syarat
dalam Hadis ini. Oleh karena itu, hukum jatuhnya talak berlaku ketika
syarat tersebut terealisasi sebagaimana talak dijatuhkan tanpa ada
syarat.
Kedua; Talak dihukumi tetap jatuh baik diucapkan dengan serius maupun bercanda. Abu dawud meriwayatkan;
سنن أبى داود – م (2/ 225)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «
ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ
وَالرَّجْعَةُ ».
“Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Tiga perkara, seriusnyadihukumi serius dan candanya (tetap)
dihukumiserius, yaitu; nikah, perceraian, dan Rujuk (H.R.Abu Dawud).”
Tholaq Mu’allaq jelas menyebut lafadz talak sebagai ancaman, karena itu
apapun motivasi mengucapkan ancaman tersebut, entah serius, main-main,
atau sekedar menakut-nakuti termasuk cakupan makna Hadis ini. Karena
itu, talak dihukumi jatuh ketika syarat ancaman talak tersebut telah
terealisasi.
Ketiga; Ibnu Umar berfatwa jatuhnya talak pada kasus Tholaq Mu’allaq. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (16/ 315)
قَالَ نَافِعٌ طَلَّقَ رَجُلٌ امْرَأَتَهُ الْبَتَّةَ إِنْ خَرَجَتْ
فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ إِنْ خَرَجَتْ فَقَدْ بُتَّتْ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ
تَخْرُجْ فَلَيْسَ بِشَيْءٍ
“Nafi’ berkata: Seorang lelaki mentalak istrinya dengan talak Battah
(talak tiga/Bainunah Kubro) jika sang istri keluar (dari rumah
suaminya). Maka Ibnu Umar berkomentar; Jika wanita itu keluar, maka dia
tertalak oleh lelaki itu. Jika dia tidak keluar maka tidak ada
konsekuensi apapun” (H.R.Bukhari)
Adanya fatwa dari Ibnu Umar ini menunjukkan bahwa ketentuan jatuhnya
talak pada kasus Tholaq Mu’allaq sudah diketahui semenjak zaman
Shahabat. Fatwa Ibnu Umar ini dikuatkan oleh riwayat fatwa senada dari
Ibnu Mas’ud. Al-Baihaqi meriwayatkan;
السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي (7/ 356)
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ فِى رَجُلٍ قَالَ
لاِمْرَأَتِهِ : إِنْ فَعَلَتْ كَذَا وَكَذَا فَهِىَ طَالِقٌ فَتَفْعَلُهُ
قَالَ : هِىَ وَاحِدَةٌ وَهُوَ أَحَقُّ بِهَا.
“Dari Abdullah bin Mas’ud, tentang seorang lelaki yang berkata kepada
istrinya; Jika dia (sang istri) melakukan ini dan itu maka dia
tertalak. (ternyata) wanita itu melakukannya. Maka Ibnu Mas’ud
berkomentar; itu (sudah jatuh talak) satu, dan dia (lelaki itu) lebih
berhak kepadanya -untuk Rujuk kembali- (H.R.Al-Baihaqi)
Adapula riwayat yang menunjukkan bahwa para Fuqoha’ Madinah berfatwa dengan fatwa ini. Al-Baihaqi meriwayatkan;
السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي (7/ 356)
عن ابْنِ أَبِى الزِّنَادِ عَنْ أَبِيهِ عَنِ الْفُقَهَاءِ مِنْ أَهْلِ
الْمَدِينَةِ كَانُوا يَقُولُونَ : أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لاِمْرَأَتِهِ
أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ خَرَجْتِ حَتَّى اللَّيْلِ فَخَرَجَتِ امْرَأَتُهُ
أَوْ قَالَ ذَلِكَ فِى غُلاَمِهِ فَخَرَجَ غُلاَمُهُ قَبْلَ اللَّيْلِ
بِغَيْرِ عِلْمِهِ طَلَقَتِ امْرَأَتُهُ وَعَتَقَ غُلاَمُهُ لأَنَّهُ
تَرَكَ أَنْ يَسْتَثْنِىَ لَوْ شَاءَ قَالَ بِإِذْنِى وَلَكِنَّهُ فَرَّطَ
فِى الاِسْتِثْنَاءِ فَإِنَّمَا يُجْعَلُ تَفْرِيطُهُ عَلَيْهِ.
“Dari Ibnu Abi Az-Zinad dari ayahnya dari para Fuqoha’ penduduk Madinah,
mereka memfatwakan; lelaki manapun yang berkata kepada istrinya:
“Engkau tertalak jika engkau keluar hingga malam hari, kemudian ternyata
istrinya keluar, atau dia mengatakan ucapan itu kepada budaknya, lalu
budaknya keluar sebelum malam tiba tanpa sepengetahuannya, maka istrinya
tertalak dan budaknya menjadi bebas. Hal itu dikarenakan dia tidak
melakukan Istitsna’ (pengecualian). Kalau dia mau, dia bisa mengatakan
“dengan izinku”, tetapi dia melalaikan Istitsna’, sehingga beban
kealaian itu ditimpakan kepadanya (H.R.Al-Baihaqi)
Tidak bisa mengatakan bahwa riwayat fatwa Ibnu Umar adalah riwayat yang
lemah. Klaim ini tertolak karena Hadis tersebut diriwayatkan Bukhari
dalam Shahihnya. Meskipun Bukhari meriwayatkannya secara Mu’allaq, namun
beliau menyebutkannya dengan Sighat Jazm (tegas) sehingga riwayatnya
terhitung Shahih. Lagipula Ibnu hajar telah menyebutkan sanad lengkapnya
dalam kitab Taghliqu At-Ta’liq. Justru riwayat fatwa shahabat yang
bertentangan dengan riwayat fatwa Ibnu Umarlah yang lebih layak
dipertanyakan keshahihannya, sekaligus diperiksa ulang redaksinya karena
riwayat-riwayat yang ada seringkali difahami tidak tepat sebagai Tholaq
Mu’allaq padahal sebenarnya adalah terkait sumpah.
Tidak bisa pula memahami bahwa riwayat fatwa Ibnu Umar itu adalah dalam
kondisi suami memang berniat talak sehingga dihukumi talak. Tidak bisa
diklaim demikian, karena tidak ada perincian apapun dalam lafadz riwayat
yang memberi isyarat niat suami. Karena itu, lafadz riwayat tersebut
harus difahami umum dan mutlak yang mencakup niat talak maupun hanya
niat menakut-nakuti. Lagipula Ibnu Umar dalam berfatwa sama sekali tidak
menyinggung niat suami dalam membangun fatwa.
Keempat; Suami dalam kondisi memegang hak talak dan mentalak berdasarkan pilihannya tanpa dipaksa. At-Tirmidzi meriwayatkan;
سنن الترمذى (4/ 421)
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَذْرَ
لِابْنِ آدَمَ فِيمَا لَا يَمْلِكُ وَلَا عِتْقَ لَهُ فِيمَا لَا يَمْلِكُ
وَلَا طَلَاقَ لَهُ فِيمَا لَا يَمْلِكُ
“Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ia berkata; Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada nadzar bagi anak Adam
terhadap sesuatu yang tidak dimilikinya, tidak ada (hak) memerdekakan
pada sesuatu yang tidak dimilikinya dan tidak ada (hak) talaq pada
sesuatu yang tidak dimilikinya (H.R.At-Tirmidzi).”
Hadis diatas menerangkan bahwa tidak ada talak bagi orang yang tidak
memiliki hak talak. Artinya, orang yang tidak memiliki hak talak jika
menjatuhkan talak maka talaknya tidak jatuh. Mafhumnya; orang yang
memiliki hak talak, dan mentalak berdasarkan pilihannya tanpa dipaksa
berarti talaknya jatuh. Suami yang mentalak dengan cara Tholaq Mu’allaq
termasuk keumuman Mafhum Hadis ini, oleh karena itu Tholaq Mu’allaq juga
jatuh berdasarkan Hadis ini.
Itulah dalil-dalil utama yang menunjukkan jatuhnya Tholaq Mu’allaq.
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa Tholaq Mu’allaq dihukumi
berdasarkan niatnya; jika berniat talak maka jatuh talak, jika berniat
hanya menakut-nakuti maka tidak dianggap talak tetapi hanya dianggap
sumpah yang cukup ditebus dengan Kaffaroh dalam kondisi terealisasi
syarat, yang mana pendapat ini mendasarkan hujjahnya pada Hadis Nabi
yang berbunyi;
صحيح البخاري (1/ 3)
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Amal-amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya (H.R.Bukhari)
Maka argumen ini tidak bisa diterima. Alasannya; Perlakuan dan
konsekuensi hukum Syara’ memperhatikan yang Dhohir bukan niat pelaku.
Niat pelaku adalah urusan hamba dengan Allah, bukan hamba dengan sesama
hamba. Seorang munafik yang bersyahadat, meskipun tidak ada niat masuk
Islam sama sekali, tetapi karena Dhohirnya dia telah bersyahadat maka
diterapkan hukum-hukum sebagai seorang Muslim. Urusan batin dan niat dia
bukan wilayah tanggungjawab manusia. Allahlah yang akan menghisab dia
pada hari pembalasan terkait niat jahatnya. Umar pernah berpidato
menegaskan kaidah ini. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (9/ 118)
عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
عَوْفٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُتْبَةَ قَالَ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ
الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ
إِنَّ أُنَاسًا كَانُوا يُؤْخَذُونَ بِالْوَحْيِ فِي عَهْدِ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّ الْوَحْيَ قَدْ
انْقَطَعَ وَإِنَّمَا نَأْخُذُكُمْ الْآنَ بِمَا ظَهَرَ لَنَا مِنْ
أَعْمَالِكُمْ فَمَنْ أَظْهَرَ لَنَا خَيْرًا أَمِنَّاهُ وَقَرَّبْنَاهُ
وَلَيْسَ إِلَيْنَا مِنْ سَرِيرَتِهِ شَيْءٌ اللَّهُ يُحَاسِبُهُ فِي
سَرِيرَتِهِ وَمَنْ أَظْهَرَ لَنَا سُوءًا لَمْ نَأْمَنْهُ وَلَمْ
نُصَدِّقْهُ وَإِنْ قَالَ إِنَّ سَرِيرَتَهُ حَسَنَةٌ
“Dari Az Zuhriy berkata, telah menceritakan kepadaku Humaid bin
‘Abdurrahman bin ‘Auf bahwa ‘Abdullah bin ‘Utbah berkata, aku mendengar
‘Umar bin Al Khaththob radliallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnyasejumlah
orang dihukum berdasarakan (pemberitahuan) wahyu pada masa hidup
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan hari ini wahyu sudah
terputus. Dan hari ini kita menilai kalian berdasarkan amal amal yang
nampak (zhahir). Maka siapa yang secara zhahir menampakkan perbuatan
baik kepada kita, kita percaya kepadanya dan kita dekat dengannya dan
bukan urusan kita apa yang tersembunyi darinya karena hal itu sesuatu
yang menjadi urusan Allah dan Dia yang akan menghitungnya. Dan siapa
yang menampakkan perbuatan yang jelek kepada kita, maka kita tidak
percaya kepadanya dan tidak membenarkannya sekalipun batinnya baik
(H.R.Bukhari)” .
Syariat Li’an juga menunjukkan bahwa konsekuensi hukum itu hanya melihat
Dhohirnya, bukan maksud dan niat pelaku Li’an. Allah berfirman;
{وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ
إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ
إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ (6) وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ
عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ (7) وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ
أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ
الْكَاذِبِينَ (8) وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ
كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ } [النور: 6 – 9]
6. dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka
tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka
persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah,
Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.
7. dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta.
8. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas
nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk orang-orang
yang dusta.
9. dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar. (An-Nur; 6-9)
Dalam kasus Li’an, pasti ada salah satu yang berdusta. Namun jika dua
pihak yang berli’an semuanya berani bersumpah sebanyak lima kali untuk
mendustakan lawannya, maka kedua-duanya selamat dari konsekuensi hukum
(cambuk atau rajam) karena Dhohirnya mereka memang tidak bersalah. Namun
diakhirat, kedustaan salah satu diantara mereka pasti terbukti dan akan
dibalas. Dan ini berada diwilayah wewenang Allah karena terkait dengan
maksud dan niat batin manusia yang tidak ada yang tahu kecuali Allah.
Hadis;
صحيح البخاري (1/ 3)
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Amal-amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya (H.R.Bukhari)
juga tidak tepat dipakai disini, karena topik Hadis tersebut adalah
membahas keikhlasan amal seorang hamba. Bukan konsekuensi hukum syara
yang diterapkan kepada orang yang berniat. Orang yang berhijrah karena
menikahi wanita, tetap dihukumi Muhajirin secara dhohir, namun dari
aspek keikhlasan tercela karena tidak murni berhijrah karena Allah.
Lagipula, Hadis riwayat Abu Dawud menegaskan bahwa talak itu termasuk
perkara yang dihukumi jatuh, baik dilakukan dengan serius maupun canda.
Hal ini menunjukkan bahwa niat suami yang mentalak sama sekali tidak
diperhatikan. Hikmahnya; orang tidak akan bisa beralasan bercanda ketika
mentalak demi menganulir ucapan talak yang telah diucapkannya.
Anulir-anulir talak dengan alasan canda secara otomatis akan membuat
syariat talak menjadi sia-sia, karena orang akan selalu bisa beralasan
canda untuk mengingkari pernah mentalak. Dengan adanya ketentuan
jatuhnya talak yang diucapkan serius maupun canda, maka orang akan lebih
berhati-hati mengucapkan kata-kata talak.
Adapun alasan bahwa Tholaq Mu’allaq dianggap tidak berlaku dengan
mengqiyaskan tidak bolehnya ada Zawaj Mu’allaq (pernikahan digantung),
maka alasan ini tidak bisa diterima. Karena talak berbeda dengan akad
Nikah. Akad nikah adalah akad antara dua pihak, semnatara talak hanya
menjadi hak suami dan tidak perlu ridha istri. Oleh karena dua hal ini
berbeda, maka keduanya tidak bisa diqiyaskan/dianalogikan.
Adapun argumen bahwa Nabi pernah mengharamkan minum madu zainab lalu
ditegur Allah dengan turunnya surat At-Tahrim dan diperintahkan
membatalkan sumpahnya, kemudian hal ini difahami bahwa sumpah tidak
selalu memakai lafadz sumpah sehingga boleh saja Tholaq Mu’allaq
difahami sumpah (yang konsekuensinya hanya wajib ditebus dengan
Kaffaroh), bukan difahami jatuhnya talak, maka argumentasi ini tidak
dapat diterima karena dua alasan. Pertama; ucapan Nabi saat bertekad
tidak mau minum madu Zainab itu sama sekali tidak mengandung unsur
Ta’liq (mengaitkan) dengan terealisasinya sesuatu sebagaimana dalam
Tholaq Mu’allaq. Kedua; riwayat Bukhari jelas sekali menunjukkan bahwa
Nabi memakai lafadz “Halafa” (bersumpah) sebelum bertekad tidak minum
madu. Hal ini menunjukkan sumpah yang diperintahkan Allah untuk
dibatalkan itu adalah sumpah yang memang diucapkan nabi, bukan tekad
untuk tidak minum madu yang difahami sebagai sumpah. Bukhari
meriwayatkan;
صحيح البخاري (20/ 391)
عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ زَعَمَ عَطَاءٌ أَنَّهُ سَمِعَ عُبَيْدَ بْنَ عُمَيْرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ عَائِشَةَ تَزْعُمُ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَمْكُثُ عِنْدَ
زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ وَيَشْرَبُ عِنْدَهَا عَسَلًا فَتَوَاصَيْتُ أَنَا
وَحَفْصَةُ أَنَّ أَيَّتَنَا دَخَلَ عَلَيْهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلْتَقُلْ إِنِّي أَجِدُ مِنْكَ رِيحَ مَغَافِيرَ
أَكَلْتَ مَغَافِيرَ فَدَخَلَ عَلَى إِحْدَاهُمَا فَقَالَتْ ذَلِكَ لَهُ
فَقَالَ لَا بَلْ شَرِبْتُ عَسَلًا عِنْدَ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ وَلَنْ
أَعُودَ لَهُ فَنَزَلَتْ
{ يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ }
{ إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ }
لِعَائِشَةَ وَحَفْصَةَ
{ وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا }
لِقَوْلِهِ بَلْ شَرِبْتُ عَسَلًا
و قَالَ لِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى عَنْ هِشَامٍ وَلَنْ أَعُودَ لَهُ وَقَدْ حَلَفْتُ فَلَا تُخْبِرِي بِذَلِكِ أَحَدًا
“Dari Ibnu Juraij menuturkan; ‘Atha` mengataka bahwa dirinya pernah
mendengar Ubaid bin Umair mengatakan; aku pernah mendengar ‘Aisyah
menuturkan; bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di rumah
Zainab binti Jahsy dan meminum madu dirumahnya, maka aku dan Hafshah
salingberpesan bahwa siapa saja diantara kami berdua yang didatangi Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam,hendaknya kami mengatakan; ‘Aku mencium
bau pohon mighfar dimulutmu, apakah engkau telah makan buah mighfar? ‘
Nabi kemudian menemui salah satu dari keduanya dan dia mengatakan ucapan
yang telah disepakati keduanya, namun Nabi justeru menjawab: “Tidak,
tetapi aku minum madu di tempat Zainab binti Jahsy, dan sekali-kali aku
tidak akan mengulanginya.” Maka turunlah ayat yang menegur Nabi; “Wahai
Nabi, mengapa kamu mengharamkan sesuatu yang telah Allah halalkan
kepadamu’ dan ayat, ‘jika kalian berdua bertaubat kepada Allah, ‘
ditujukan kepada Aisyah dan Hafshah. Dan firman-Nya; ‘Ingatlah ketika
Nabi merahasiakan sebuah pembicaraan kepada sebagian isterinya, ‘
petikan ayat ini untuk ucapan Nabi yang mengatakan: ‘Namun aku minum
madu.’ Ibrahim bin Musa berkata kepadaku; dari Hisyam dengan tambahan
redaksi: “Saya sekali-kali tak akan mengulanginya selama-lamanya, saya
telah bersumpah, maka janganlah kalian kabarkan kepada seorang
pun.”(H.R.Bukhari)
Adapun ketentuan syariat bahwa sumpah Laghwun (sumpah main-main) tidak
dihukum, dan hanya sumpah serius saja yang dihukum (ada konsekuensi
syariat), berdasarkan ayat;
{لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ } [المائدة: 89]
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpah yang kamu sengaja (Al-Maidah; 89)
maka ketentuan ini tidak bisa menjadi dalil bahwa niat diperhatikan
dalam kasus Tholaq Mu’allaq. Alasannya; Tholaq Mu’allaq tidak bisa
dihukumi sebagai sumpah dan belum bisa disamakan dengan sumpah. Lagipula
hukum sumpah berbeda dengan hukum talak dan tidak bisa diqiyaskan.
Sumpah main-main memang tidak dihukumi jatuh, tetapi talak main-main
dihukumi jatuh berdasarakan nash.
Kisah Maulat (majikan wanita) Abu Rofi’ juga tidak bisa dijadikan dasar
bahwa Thalaq Mu’allaq dihukumi sumpah. Dengan meneliti redaksinya kita
akan bisa memahami bahwa riwayat tersebut sama sekali tidak menunjukkan
bahwa Tholaq Mu’allaq dihukumi sebagai sumpah.
سنن الدارقطنى – مكنز (10/ 167، بترقيم الشاملة آليا)
عَنْ أَبِى رَافِعٍ قَالَ قَالَتْ مَوْلاَتِى لأُفَرِّقَنَّ بَيْنَكَ
وَبَيْنَ امْرَأَتِكَ وَكُلُّ مَالٍ لَهَا فِى رِتَاجِ الْكَعْبَةِ وَهِىَ
يَوْمًا يَهُودِيَّةٌ وَيَوْمًا نَصْرَانِيَّةٌ وَيَوْمًا مَجُوسِيَّةٌ
إِنْ لَمْ تُفَرِّقْ بَيْنَكَ وَبَيْنَ امْرَأَتِكَ قَالَ فَانْطَلَقْتُ
إِلَى أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أُمِّ سَلَمَةَ فَقُلْتُ إِنَّ مَوْلاَتِى
تُرِيدُ أَنْ تُفَرِّقَ بَيْنِى وَبَيْنَ امْرَأَتِى فَقَالَتِ انْطَلِقْ
إِلَى مَوْلاَتِكَ فَقُلْ لَهَا إِنَّ هَذَا لاَ يَحِلُّ لَكِ. فَرَجَعْتُ
إِلَيْهَا – قَالَ – ثُمَّ أَتَيْتُ ابْنَ عُمَرَ فَأَخْبَرْتُهُ فَجَاءَ
حَتَّى انْتَهَى إِلَى الْبَابِ فَقَالَ هَا هُنَا هَارُوتُ وَمَارُوتُ
فَقَالَتْ إِنِّى جَعَلْتُ كُلَّ مَالٍ لِى فِى رِتَاجِ الْكَعْبَةِ قَالَ
فَمَا تَأْكُلِينَ قَالَتْ وَقُلْتُ وَأَنَا يَوْمًا يَهُودِيَّةٌ
وَيَوْمًا نَصْرَانِيَّةٌ وَيَوْمًا مَجُوسِيَّةٌ. فَقَالَ إِنْ
تَهَوَّدْتِ قُتِلْتِ وَإِنْ تَنَصَّرْتِ قُتِلْتِ وَإِنْ تَمَجَّسْتِ
قُتِلْتِ . فَقَالَتْ فَمَا تَأْمُرُنِى قَالَ تُكَفِّرِينَ يَمِينَكِ
وَتَجْمَعِينَ بَيْنَ فَتَاكِ وَفَتَاتِكِ .
“Dari Abu Rofi’ beliau berkata; Maulat (tuan wanita)ku berkata: “Aku
benar-benar akan memisahkanmu (menceraikanmu) dengan istrimu (dan dia
bersumpah) semua hartanya (dishodaqohkan) digerbang pintu Ka’bah, dan
dia akan sehari menjadi Yahudi, sehari menjadi Nasrani, dan sehari
menjadi Majusi “jika kamu tidak berpisah dengan istrimu” (ancamnya).
Maka aku pergi menuju Ummul Mukminin Ummu Salamah dan aku berkata :
“Sesungguhnya Maulatku ingin memisahkan aku dengan istriku”. Ummu
Salamah berkata; “Pergilah kepada Maulatmu dan katakan bahwa hal ini
tidak halal baginya”. Maka aku kembali kepadanya. Lalu aku mendatangi
Ibnu Umar, lalu aku memberitahunya. Maka Ibnu Umar datang, hingga ketika
sampai di pintu beliau berkata; “Di sini ada Harut dan Marut”. Maulatku
berkata: “Sesungguhnya aku telah menjadikan semua hartaku
(dishodaqohkan) digerbang Ka’bah”. Ibnu Umar bertanya; “lalu apa yang
kamu makan”? dia melanjutkan: “Dan aku berkata; Aku akan sehari menjadi
Yahudi, sehari menjadi Nasrani, dan sehari menjadi Majusi”. Ibnu Umar
berkomentar; “Jika engkau menjadi Yahudi maka engkau akan dibunuh, jika
engkau menjadai Nasrani maka engkau akan dibunuh, dan jika engkau
menjadi Majusi maka engkau akan dibunuh. Dia berkata; “Kalau begitu apa
yang kau perintahkan kepadaku”?Ibnu Umar menjawab: “Tebuslah sumpahmu
dan kumpulkan antara pemuda dan pemudimu –jangan berusaha menceraikan-” (H.R.Ad-Daruquthni)
Jelas sekali bahwa yang melakukan Ta’liq adalah Maulat Abu Rofi’ bukan
Abu Rofi’ sendiri. Tentu saja yang punya hak talak yang berkonsekuensi
jatuh talak hanya Abu Rofi’ bukan Maulatnya. Maulat Abu Rofi’ adalah
pihak luar, bukan suami dan bukan pula istri. Karena itu Ta’liq yang ia
ucapkan sebagai Ta’kid keinginannya bisa difahami secara Urfi sebagai
sumpah, sehingga dia diperintahkan menebus sumpahnya dengan Kaffaroh.
Dengan demikian, berdasarkan uraian dalil-dalil di atas, serta bantahan
terhadap sejumlah kebaratan bisa difahami bahwa Tholaq Mu’allaq dihukumi
jatuh talak ketika syaratnya yang disebutkan dalam ancaman terealisasi.
Pendapat ini adalah pendapat seluruh Imam empat madzhab; Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam As-Syafi’I, dan Imam Ahmad. Bahkan disebut
telah menjadi Ijma’ oleh Imam Mujtahid Abu Ubaid, Abu Tsaur, At-Thobary,
Abu Bakr bin Al-Mundzir, Muhammad bin Nashr Al-Marwazy, Ibnu Abdil
Barr, Ibnu Rusyd, dan Al-Baji.
Ralat dalam Tholaq Mu’alaq tidak berguna, karena Talak bersifat Luzum
(mengikat), begitu diucapkan maka jatuhlah konsekuensi sebagaimana
lafadz Ijab Qobul dalam akad nikah yang tidak membedakan serius ataupun
main-main.
Konsekuensi jatuhnya talak yang ketiga adalah tidak halalnya menikah
lagi sampai istri menikah lagi dengan lelaki lain kemudian diceraikan.
Allah berfirman;
{فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ } [البقرة: 230]
kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka
perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami
yang lain(Al-Baqoroh; 230)
Konsekuensi hukum ini meskipun pahit tetap harus dijelaskan dan dijalankan sebagai realisasi ketakwaan kepad Allah SWT.
Memang benar, saran dari ulama kerabat penanya, bahwa dalam mengucapkan
talak hendaknya tidak diobral. Seyogyanya para lelaki berhati-hati
sekali dalam mengucapkan lafadz talak, karena konsekuensinya berat dan
tidak bisa dibatalkan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah
memarahi seorang lelaki yang mentalak istrinya tiga kali sekaligus
karena dianggap mempermainkan Kitabullah. An-Nasa’I meriwayatkan;
سنن النسائي (11/ 79)
مَحْمُودَ بْنَ لَبِيدٍ قَالَ
أُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَجُلٍ
طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلَاثَ تَطْلِيقَاتٍ جَمِيعًا فَقَامَ غَضْبَانًا
ثُمَّ قَالَ أَيُلْعَبُ بِكِتَابِ اللَّهِ وَأَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ
حَتَّى قَامَ رَجُلٌ وَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا أَقْتُلُهُ
“Mahmud bin Labid berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
diberi kabar mengenai seseorang yang menceraikan istrinya dengan tiga
kali cerai sekaligus. Maka beliau berdiri dalam keadaan marah, kemudian
bersabda: “Apakah ia mempermainkan Kitab Allah sedangkan aku berada
diantara kalian, ” hingga seseorang berdiri dan berkata; ya Rasulullah
bolehkan aku membunuhnya?” (H.R.An-Nasai)
Diriwayatkan pula bahwa Allah sendiri memubahkan Talak, tetapi talak
adalah perkara mubah yang paling dibenciNya. Abu Dawud meriwayatkan;
سنن أبى داود (6/ 91)
عَنْ ابْنِ عُمَرَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ
Dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
“Perkara halal yang paling Allah benci adalah perceraian.”(H.R.Abu
Dawud)
Jika dalam rumah tangga terjadi persoalan, seyogyanya jangan langsung
mengancam dengan talak, tetapi mengikuti cara yang diajarkan dalam
Al-Quran. Cara tersebut bisa difahami dari ayat berikut ini;
{وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ} [النساء: 34]
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz(pembangkangan)nya, Maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka (An-Nisa:34)
Dari ayat di atas bisa difahami bahwa solusi awal terhadap istri yang
bermasalah adalah dinasehati. Nasehat ini jika tidak mempan dari suami
bisa meminta tolong kepada ulama atau orang yang disegani istri. Jika
nasehat masih tidak mempan, bisa membuat aksi pisah ranjang sebagai
hukuman mental yang bisa disertai tidak mengajak berbicara sebagaimana
pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada
istri-istrinya selama satu bulan. Jika pisah ranjang masih tidak mempan
maka suami boleh memukul, namun pukulan yang mendidik, bukan pukulan
yang menyakitkan. Saat istri membangkang (Nusyuz) maka dia kehilangan
hak nafkah. Jadi, jika suami tidak menafkahi istri karena istri yang
membangkang, maka suami tidak berdosa.
Jika dipukul belum juga berubah, berarti persoalannya lebih dalam lagi
sehingga perlu keterlibatan pihak luar. Dalam kondisi ini, untuk mencari
penyelesaian, pihak lelaki mengutus salah satu keluarganya yang
dipercaya dan pihak wanita juga mengutus salah satu keluarganya yang
dipercaya. Kedua utusan ini bertemu untuk membahas dan mencari solusi
bersama. Allah menjamin, jika semua memang berniat baik maka Dia akan
memberikan taufiq kebaikan. Allah berfirman;
{وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ
وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ
بَيْنَهُمَا} [النساء: 35]
dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri
itu.(An-Nisa: 35)
Jika pelibatan dua keluarga ternyata masih juga belum memberikan solusi
dan titik terang, berarti persoalan rumah tangga keduanya sudah mencapai
puncaknya, sehingga dalam hal ini talaklah yang menjadi solusi
terakhir.
Atas dasar ini, bisa disimpulkan kembali bahwa kasus talak yang dibawa
penanya adalah termasuk Tholaq Mu’allaq yang dihukumi jatuh talak jika
syarat yang diancamkan terealisasi. Oleh karena syarat yang diancamkan,
yaitu pembangkangan istri untuk pergi bersama suami telah terealisasi,
maka jatuhlah talak tersebut dan berlaku konsekuensi-konsekuensi
jatuhnya talak tiga.
Menjadi pelajaran pula bagi para Muslim-Muslimah yang hendak
melangsungkan pernikahan, bahwa dalam menikah hendaknya bukan hanya
pembahasan romantisme pernikahan saja yang dikedepankan. Namun yang
lebih penting dari itu adalah mengkaji hukum-hukum Fikih baik terkait
Fikih lelaki maupun Fikih wanita (seperti topik Tholaq Mu’allaq ini)
agar tidak terjatuh pada pelanggaran-pelanggaran syariat yang
berkonsekuensi berat. Wallahua’alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar