Sesungguhnya Alloh Ta’ala menjelaskan berbagai hukumNya baik dalam
ibadah maupun mu’amalah. Terkandung di dalamnya kemaslahatan dan
kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Alloh telah mengatur manusia
dengan aturan baku, penuh hikmah dan tidak ada kezhaliman yang timbul
darinya. Sehingga terciptalah kerukunan, kedamaian dan terselesaikanlah
pertikaian dan perselisihan sesama manusia ketika memperebutkan hak
masing-masing. Di antara aturan tersebut, Alloh mengatur bagaimana
manusia tukar menukar barang yang saling mereka butuhkan dan tidak
membiarkan manusia memenuhi kebutuhannya menurut hawa nafsunya – yang
memang diantara tabiat manusia ialah suka berbuat zhalim terhadap sesama
kecuali mereka yang dirahmati Alloh Ta’ala.
Alloh menjelaskan jalan-jalan menuju keridhaanNya dan menutup segala
jalan menuju kemurkaanNya. Sebagai satu bukti, ketika seseorang tidak
mempunyai harta/uang – sedangkan dia sangat membutuhkannya – maka dia
boleh meminjam harta/uang kepada orang lain baik dengan jaminan atau
tanpa jaminan, demi terpenuhi kebutuhan yang diinginkannya. Adapun
barang yang dijadikan jaminan itu disebut barang gadai.
Islam sebagai agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan
kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik
dalam ibadah dan juga mu'amalah (hubungan antar makhluk). Begitu pula
saat seseorang membutuhkan untuk saling menutupi kebutuhan dan saling
tolong menolong diantara mereka., maka Islam telah memberikan
kaidah-kaidahnya. Salah-satunya, yaitu dalam hutang piutang. Islam
memberikan perlindungan secara adil atas diri yang berhutang dan yang
memberi pinjaman. Yaitu adanya pemberlakukan barang gadai sebagai
jaminan.
Munculnya banyak lembaga peminjaman (atau perseorangan) dengan jaminan,
baik yang dikelola pemerintah atau swasta, menjadi bukti adanya
transaksi gadai di tengah masyarakat. Perkara ini bukanlah perkara baru
dalam kehidupan manusia, tetapi sudah lama berlangsung. Yang kadang tak
bisa dihindari, yaitu akibat yang ditimbulkan dari transaksi gadai ini,
yakni adanya perbuatan zhalim dan saling memakan harta dengan cara
batil.
Bagaimana syari’at Islam memandang transaksi gadai ini? Berikut adalah
pembahasan mengenai hal tersebut, atau yang disebut Ar-Rahn? Semoga
menambah pengertian kita, sehingga dapat menghindarkan diri dari
praktek-praktek yang merugikan, baik terhadap diri sendiri ataupun orang
lain.
Gadai adalah suatu hal yang biasa di tengah-tengah kita di saat kita
membutuhkan pinjaman. Gadai di sini sebagai jaminan agar si pemberi
utang percaya pada kita sebagai peminjam. Namun beberapa transaksi gadai
melanggar ketentuan Islam. Terutama dalam hal memanfaatkan barang
gadai, semisal sawah yang digadai digunakan untuk bercocok tanam oleh si
pemberi utang.
Definisi Gadai
Dalam bahasa Arab, gadai disebut rahn (رَهْن), yang secara bahasa
berarti sesuatu yang tetap atau tertahan. Hal ini seperti dalam firman
AllahSubhanahu wata’ala :
كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (ath-Thur : 21)
Adapun dalam ilmu fikih, rahn adalah istilah bagi “pemberian harta
sebagai jaminan atas suatu utang.” Barang atau harta yang dijadikan
gadai juga disebut rahn. (Fathul Bari 5/140, al-Mughni 6/443)
Gadai dalam bahasa Arab disebut dengan ar rahn, arti secara bahasa
adalah ats tsubut wad dawaam, yang bermakna tetap dan langgeng. Rahn
juga secara bahasa bisa bermakna al habs (tertahan). Sedangkan menurut
istilah syar’i yang akan kita uraikan saat ini, ar rahn bermakna menjadi
harta sebagai jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan
sebagian atau seharga harta tersebut ketika gagal melunasi utang tadi.
Dalil yang Menunjukkan Bolehnya Gadai
Hukum gadai adalah jaiz atau boleh, berdasarkan al-Qur’an, al-Hadits, ijma’, dan qiyas.
Firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ
مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي
اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا تَكْتُمُوا
الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آَثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian” (QS. Al Baqarah: 283).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِىٍّ إِلَى أَجَلٍ ، وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membeli makanan dari orang
Yahudi secara tidak tunai (utang), lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberikan gadaian berupa baju besi” (HR. Bukhari no. 2068 dan
Muslim no. 1603).
Demikian juga para ulama telah bersepakat bolehnya Ar-Rahn dalam keadaan
safar (perjalanan), akan tetapi masih berselisih tentang bolehnya jika
dalam keadaan tidak safar.
Imam Al Qurthubi mengatakan : “Tidak ada seorangpun yang melarang Ar-
Rahn pada keadaan tidak safar, kecuali Mujahid, Al Dhahak dan Dawud (Ad
Dzohiri). Demikian juga Ibnu Hazm.
Adapun Ibnu Qudamah, beliau mengatakan : Diperbolehkan Ar-rahn dalam
keadaan tidak safar (menetap) sebagaimana diperbolehkan dalam keadaan
safar (bepergian).
Sedangkan Ibnul Mundzir mengatakan : Kami tidak mengetahui seorangpun
yang menyelisihi hal ini kecuali Mujahid. Menurutnya, Ar-Rahn tidak ada
kecuali dalam keadaan safar, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).
Namun yang benar dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama dengan
adanya perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sabda
beliau:
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ
يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ
وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Ar-Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan.
Dan susu hewan menyusui diminum, dengan sebab nafkah apabila
digadaikan. Dan wajib bagi yang menungganginya dan meminumnya (memberi)
nafkah” [HR Al Bukhori no. 2512] Wallahu A'lam.
Pendapat ini dirojihkan Ibnu Qudamah, Al Hafidz Ibnu Hajar dan Muhammad Al Amien Al Singqithi.
Setelah jelas pensyariatan Ar-Rahn dalam keadaan safar (perjalanan),
apakah hukumnya wajib dalam safar dan mukim, atau tidak wajib pada
keseluruhannya atau wajib dalam keadaan safar saja?
Dalam keadaan demikian, para ulama berselisih dalam dua pendapat.
Pendapat Pertama : Tidak wajib baik dalam perjalanan atau mukim. Inilah
pendapat Madzhab imam empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan
Hambaliyah).
Ibnu Qudamah: berkata Ar-rahn tidaklah wajib. Kami tidak mengetahui
orang yang menyelisihinya. Karena ia (Ar-Rahn) adalah jaminan atas
hutang sehingga tidak wajib seperti Dhimaan (jaminan pertanggung
jawaban)”.
Dalil pendapat ini adalah dalil-dalil ang menunjukkan pensyariatan
Ar-Rahn dalam keadaan mukim sebagaimana disebutkan diatas yang tidak
menunjukkan adanya perintah sehingga menunjukkan tidak wajiba. Demikian
juga karena Ar-Rahn adalah jaminan hutang sehingga tidak wajib seperti
halnya Adh-Dhimaan (Jaminan oertanggung jawaban) dan Al Kitabah
(penulisan perjanjian hutang). Disamping itu, juga karena ini adanya
kesulitan ketika harus melakukan penulisan perjanjian hutang. Bila
Al-Kitaabah tidak wajib maka demikian juga penggantinya.
Pendapat Kedua : Wajib dalam keadaan safar. Demikian pendapat Ibnu Hazm
dan yang menyepakatinya. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah:
وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”
Menurut mereka, kalimat “(maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang)” adalah berita yang rmaknanya perintah.
Juga dengan sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Semua syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, maka ia bathil walaupun seratus syarat.” [HR Al Bukhari]
Mereka mengatakan: Pensyaratan Ar-Rahn dalam keadaan safar ada dalam
Al-Qur'an dan diperintahkan, sehingga wajib mengamalkannya dan tidak ada
pensyaratannya dalam keadaan mukim, sehingga ia tertolak.
Pendapat ini dibantah, bahwa perintah dalam ayat tersebut bermaksud
bimbingan bukan kewajiban. Ini jelas ditunjukkan dalam firman Allah
setelahnya:
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”
[Al-Baqarah ; 283].
Demikian juga pada asalnya dalam transaksi mu'amalah adalah boleh
(mubah) hingga ada larangan, dan disini tidak terdapat adanya
larangannya.
Yang rajih adalah pendapat pertama, Wallahu A'lam.
HIKMAH PENYSYARIATAN AR-RAHN
Setiap orang berbeda-beda keadaannya, ada yang kaya dan ada yang miskin,
sedangkan harta sangat dicintai setiap jiwa. Lalu terkadang pada waktu
tertentu seserang sangat membutuhkan uang untuk menutupi
kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak. Dan pada saat itu tidak
mendapatkan orang yang bersedekah kepadanya atau yang meminjamkan uang
kapadanya. Begitu juga tidak ada penjamin yang menjaminnya, sehingga ia
mendatangi orang lain membeli barang yang dibutuhkannya dengan cara
berhutang, atau meminjam dengan kesepakatan tertentu, yaitu memberikan
jaminan gadai yang disimpan pada pihak pemberi hutang hingga ia melunasi
hutangnya.
Oleh karena itu Allah mensyariatkan Ar-Rahn (gadai) untuk kemaslahatan
orang yang menggadaikan (Rahin), pemberi hutang (Murtahin) dan
masyarakat.
Untuk yang menggadaikan (Rahin), ia mendapatkan keuntungan sehingga
dapat menutupi kebutuhannya. Sehingga dia bisa menyelamatkan dirinya
dari krisis yang menimpanya, dan menghilangkan kegundahan di hatinya.
Bahkan kadang ia bisa berdagang bermodal hutang tersebut, lalu menjadi
sebab ia menjadi kaya.
Sedangkan pihak pemberi hutang (Murtahin), ia menjadi tenang dan merasa
aman atas haknya dan mendapatkan keuntungan syar'I dan bila ia berniat
baik maka mendapatkan pahala dari Allah.
Adapun kemaslahatan yang kembali kepada masyarakat, yaitu memperluas
interaksi perdagangan dan saling memberikan kecintaandan dam kasih
sayang diantara manusia, karena peminjaman dengan Ar-Rahn ini termasuk
kategori tolong meniolong dalam kebaikan dan takwa. Disana terdapat
manfaat yang menjadi solusi dalam krisis, memperkecil permusuhan dan
melapangkan penguasa.
RUKUN DAN SYARAT AR-RAHN
Mayoritas ulama memandang rukun Ar-Rahn (gadai) ada empat, yaitu :
a. Ar-Rahn atau Al Marhuun (barang yang digadaikan)
b. Al Marhun bihi (hutang)
c. Shighah
d. Dua pihak yang bertransaksi yaitu Rahin (orang yang menggadaikan) dan Murtahin (pemberi hutang)
Sedangkan madzhab Hanafiyah memandang Ar-Rahn (gadai) hanya memiliki
satu rukun yaitu shighah, karena ia pada hakekatnya adalah transaksi.
Gadai Tidak Wajib
Penulis Al Mughni berkata, “Tidak diketahui adanya khilaf dalam masalah
ini bahwa gadai sebagai jaminan dari utang tidaklah wajib”.
Sedangkan perintah yang disebutkan dalam ayat, bukanlah perintah wajib,
namun hanya perintah irsyad (petunjuk). Dan dikuatkan dengan lanjutan
ayat,
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”. Gadai
sendiri adalah perintah ketika ada uzur menulis utang. Penulisan sendiri
tidaklah wajib, maka sama halnya dengan gadai sebagai gantinya.
Gadai Dibolehkan dalam Keadaan Tidak Bersafar
Jika kita melihat dalam ayat yang disebutkan di atas, gadai ada ketika
safar. Namun hal itu bukan menunjukkan selain safar tidak boleh. Dalil
yang menyatakan bahwa boleh ketika seseorang itu mukim dan melakukan
gadai adalah hadits,
تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَدِرْعُهُ مَرْهُونَةٌ عِنْدَ يَهُودِىٍّ بِثَلاَثِينَ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, baju besi beliau
tergadaikan pada orang Yahudi sebagai jaminan untuk 30 sho’ gandum
(yang beliau beli secara tidak tunai)” (HR. Bukhari no. 2916).
Ketentuan Umum dalam Pegadan Syari’ah
Ada beberapa ketentuan umum dalam muamalah gadai setelah terjadinya serah terima barang gadai. Di antaranya:
1. Barang yang Dapat Digadaikan
Barang yang dapat digadaikan adalah barang yang memiliki nilai ekonomi,
agar dapat menjadi jaminan bagi pemilik uang. Dengan demikian, barang
yang tidak dapat diperjual-belikan, dikarenakan tidak ada harganya, atau
haram untuk diperjual-belikan, adalah tergolong barang yang tidak dapat
digadaikan. Yang demikian itu dikarenakan, tujuan utama disyariatkannya
pegadaian tidak dapat dicapai dengan barang yang haram atau tidak dapat
diperjual-belikan.
Barang yang digadaikan dapat berupa tanah, sawah, rumah, perhiasan,
kendaraan, alat-alat elektronik, surat saham, dan lain-lain. Sehingga
dengan demikian, bila ada orang yang hendak menggadaikan seekor anjing,
maka pegadaian ini tidak sah, karena anjing tidak halal untuk
diperjual-belikan.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِىِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hasil penjualan
anjing, penghasilan pelacur dan upah perdukunan” (HR. Bukhari no. 2237
dan Muslim no. 1567).
2. Barang Gadai Adalah Amanah
Status barang gadai selama berada di tangan pemberi utang adalah sebagai
amanah yang harus ia jaga sebaik-baiknya. Sebagai salah satu
konsekuensi amanah adalah, bila terjadi kerusakan yang tidak disengaja
dan tanpa ada kesalahan prosedur dalam perawatan, maka pemilik uang
tidak berkewajiban untuk mengganti kerugian. Bahkan, seandainya orang
yang menggadaikan barang itu mensyaratkan agar pemberi utang memberi
ganti rugi bila terjadi kerusakan walau tanpa disengaja, maka
persyaratan ini tidak sah dan tidak wajib dipenuhi.
3. Barang Gadai Dipegang Pemberi utang
Barang gadai tersebut berada di tangan pemberi utang selama masa
perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah (yang artinya),
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah: 283).
4. Pemanfaatan Barang Gadai
Pihak pemberi utang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian.
Sebab, sebelum dan setelah digadaikan, barang gadai adalah milik orang
yang berutang, sehingga pemanfaatannya menjadi milik pihak orang yang
berutang, sepenuhnya. Adapun pemberi utang, maka ia hanya berhak untuk
menahan barang tersebut, sebagai jaminan atas uangnya yang dipinjam
sebagai utang oleh pemilik barang.
Dengan demikian, pemberi utang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan
barang gadaian, baik dengan izin pemilik barang atau tanpa seizin
darinya. Bila ia memanfaatkan tanpa izin, maka itu nyata-nyata haram,
dan bila ia memanfaatkan dengan izin pemilik barang, maka itu adalah
riba. Karena setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat maka itu adalah
riba. Demikianlah hukum asal pegadaian yang menganut kaedah sama dengan
utang piutang.
Namun ada gadaian yang boleh dimanfaatkan jika dikhawatirkan begitu saja
ia akan rusak atau binasa. Seperti hewan yang memiliki susu dan hewan
tunggangan bisa dimanfaatkan sesuai pengeluaran yang diberikan si
pemberi utang dan tidak boleh lebih dari itu. Dari Abu Hurairah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا ، وَلَبَنُ
الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا ، وَعَلَى الَّذِى
يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Barang gadaian berupa hewan tunggangan boleh ditunggangi sesuai nafkah
yang diberikan. Susu yang diperas dari barang gadaian berupa hewan
susuan boleh diminum sesuai nafkah yang diberikan. Namun, orang yang
menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan” (HR.
Bukhari no. 2512).
5. Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai.
Apabila pelunasan utang telah jatuh tempo, maka orang yang berutang
berkewajiban melunasi utangnya sesuai dengan waktu yang telah
disepakati dengan pemberi utang. Bila telah lunas maka barang gadaian
dikembalikan kepada pemiliknya. Namun, bila orang yang berutang tidak
mampu melunasi utangnya, maka pemberi utang berhak menjual barang
gadaian itu untuk membayar pelunasan utang tersebut. Apabila ternyata
ada sisanya maka sisa tersebut menjadi hak pemilik barang gadai
tersebut. Sebaliknya, bila harga barang tersebut belum dapat melunasi
utangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa
utangnya.
KAPAN SERAH TERIMA AR-RAHN DIANGGAP SAH?
Barang gadai adakalanya berupa barang yang tidak dapat dipindahkan
seperti rumah dan tanah, Maka disepakati serah terimanya dengan
mengosongkannya untuk murtahin tanpa ada penghalangnya.
Ada kalanya berupa barang yang dapat dipindahkan. Bila berupa barang
yang ditakar maka disepakati serah terimanya dengan ditakar pada
takaran, bila barang timbangan maka disepakati serah terimanya dengan
ditimbang pada takaran. Bila barang timbangan, maka serah terimanya
dengan ditimbang dan dihitung, bila barangnya dapat dihitung. Serta
dilakukan pengukuran, bila barangnya berupa barang yang diukur.
Namun bila barang gadai tersebut berupa tumpukan bahan makanan yang
dijual secara tumpukan, dalam hal ini perselisihan pendapat tantang cara
serah terimanya. Ada yang berpendapat dengan cara memindahkannya dari
tempat semula, dan ada yang menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak
yang menggadaikannya, sedangkan murtahin dapat mengambilnya.
HUKUM-HUKUM SETELAH SERAH TERIMA.
Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah terima yang
berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai
dan pemanfaatan serta jaminan pertanggung jawaban bila rusak atau
hilang.
1. Pemegang Barang Gadai
Barang gadai tersebut berada ditangan Murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah:
وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).[Al-Baqarah : 283]
Dan sabda beliau.
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ
إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan. Dan susu (dari hewan)
diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan
yang minum, (untuk) memberi nafkahnya. [Hadits Shohih riwayat Al
Tirmidzi]
2. Pembiayaan, Pemeliharaan, Pemanfaatan Barang Gadai
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang
digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (Rahin). Adapun
Murtahin, ia tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut,
kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil
air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia
memberikan nafkah (dalam arti pemeliharaan barang tersebut).
Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah
yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan sabda
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ
إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan)
diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan
yang minum, (untuk) memberi nafkahnya. [Hadits Shahih riwayat
At-Tirmidzi]
Menurut Syaikh Al Basaam, ulama sepakat bahwa biaya pemeliharaan barang
gadai dibebankan kepada pemiliknya. Demikian juga pertumbuhan dan
keuntungan barang tersebut juga menjadi miliknya, kecuali pada dua hal,
yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas oleh yang
menerima gadai.
Penulis kitab Al-Fiqhul Muyassarah mengatakan, manfaat dan pertumbuhan
barang gadai menjadi hak pihak penggadai, karena barang itu meupakan
miliknya. Ornang lain tidak boleh mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia
mengizinkan Murtahin (pemberi hutang) untuk mengambil manfaat barang
gadainya tanpa imbalan, dan hutang gadainya dihasilkan dari peminjaman
maka tidak boleh, karena itu berarti peminjaman hutang yang menghasilkan
manfaat. Akan tetapi, bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan
yang memiliki susu perah, maka Murtahin mengendarainya dan memeras
susunya, sesuai besarnya nafkah tanpa izin dari penggadai karena sabda
Rasulullah.
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ
يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ
وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Ar-Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan
dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah, apabila digadaikan.
Dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya (untuk) memberinafkah” [HR
Al Bukhori no. 2512]
Demikian madzhab Hanabilah. Adapun mayotitas ulama fiqih dari Hanafiyah,
Malikiyah dan Syafi'iyah mereka memandang Murtahin tidak boleh
mengambil manfaat barang gadai. Pemanfaatan hanyalah hak penggadai
dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غَرَمُهُ
“Ia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya biaya pemeliharaannya” [HR Al daraquthni dan Al Hakim]
Mereka tidak mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan dan hewan perah
sesuai nafkahnya, kecuali Ahmad dan inilah yang rajih Insya Allah karena
hadits shohih tersebut.
Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan komentar terhadap hadits
pemanfaatan kendaraan gadai, bahwa hadits ini dan kaidah dan ushul
syari'at menunjukkan, hewan gadai dihormati karena hak Allah. Pemiliknya
memiliki hak kepemilikan, dan Murtahin (yang memberikan hutang)
memiliki atasnya sebagai hak jaminan. Bila barang gadai tersebut
ditangannya, lalu tidak dinaiki dan tidak diperas susunya, tentu
kemanfaatannya akan hilang secara sia-sia. Sehingga tuntutan keadilan,
analogi (qiyas) dan kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai
(Murtahin) dan hewan tersebut, ialah Murtahin mengambil manfaat
mengendarai dan memeras susunya, dan menggantikannya dengan menafkahi
(hewan tersebut). Bila Murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan
menggantinya dengan nafkah, maka dalam hal ini terdapat kompromi dua
kemaslahatan dan dua hak.
3. Pertumbuhan Barang Gadai
Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah digadaikan adakalanya
bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung seperti, (bertambah)
gemuk, maka ia masuk dalam barang gadai dengan kesepakatan ulama.
Sedangkan jika terpisah, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat
di kalangan ulama. Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan yang menyepakatinya
memandang pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah
barang gadai ditangan Murtahin, maka ikut kepada barang gadai tersebut.
Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm dan yang menyepatinya memandang,
pertambahan atau pertumbuhan bukan ikut barang gadai, tetapi menjadi
milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja Ibnu Hazm berbeda dengan
Syafi’i menyangkut barang gadai yang berupa kendaraan dan hewan
menyusui. Ibnu Hazm berpendapat, dalam kendaraan dan hewan yang
menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) milik yang menafkahinya.
4. Perpindahan Kepemilikan Dan Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai
Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada Murtahin apabila
telah selesai masa perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang
menggadaikannya (Rahin), dan rahin tidak mampu melunasinya
Pada zaman jahiliyah dahulu apabila telah jatuh tempo pembayaran hutang
dan orang yang menggadaikan belum melunasi hutangnya kepada pihak yang
berpiutang, maka pihak yang berpiutang menyita barang gadai tersebut
secara langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya. Lalu Islam
membatalkan cara yang dzalim ini dan menjelaskan bahwa barang gadai
tersebut adalah amanat pemiliknya ditangan pihak yang berpiutang, tidak
boleh memaksa orang yang menggadaikannya menjualnya kecuali dalam
keadaan tidak mampu melunasi hutangnya tesebut. Bila tidak mampu
melunasi saat jatuh tempo, maka barang gadai tersebut dijual untuk
membayar pelunasan hutang tersebut. Apa bila ternyata ada sisanya maka
sisa tersebut menjadi hak pemilik barang gadai tersebut (orang yang
menggadaikan barang tersebut). Sebaliknya, bila harga barang tersebut
belum dapat melunasi hutangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut
masih menanggung sisa hutangnya.
Kesimpulannya, barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya.
Namun bila telah jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada Murtahin
untuk menyelesaikan permasalah hutangnya, dikarenakan hutangnya yang
sudah jatuh tempo, harus dilunasi seperti hutang tanpa gadai. Bila Rahin
dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian)
barang gadainya, maka Murtahin harus melepas barang tersebut. Adapun
bila Rahin tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya, maka wajib
bagi orang yang menggadaikan (Ar-Rahin) menjual sendiri barang gadainya
atau melalui wakilnya, dengan izin dari Murtahin, dan dalam pembayaran
hutnganya didahulukan Murtahin atas pemilik piutang lainnya. Apabila
penggadai tersebut enggan melunasi hutangnya dan tidak mau menjual
barang gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara, agar
ia menjual barang gadainya tersebut. Apabila tidak juga menjualnya maka
pemerintah menjual barang gadai tersebut dan melunasi hutang tersebut
dari nilai hasil jualnya.
Demikianlah pendapat madzhab Syafi'iyah dan Hambaliyah. Adapun
Malikiyah, mereka memandang pemerintah boleh menjual barang gadainya
tanpa memenjarakannya dan melunasi hutang tersebut dengan hasil
penjualannya. Sedangkan Hanafiyah memandang, Murtahin boleh menagih
pelunasan hutang kepada penggadai dan meminta pemerintah untuk
memenjarakannya, bila tampak pada Ar-Rahin tidak mau melunasinya.
Pemerintah (pengadilan) tidak boleh menjual barang gadainya, namun
memenjarakannya saja, sampai ia menjualnya dalam rangka menolak
kedzoliman.
Yang rajih, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi hutangnya
dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan sang penggadai
tersebut, karena tujuannya adalah membayar hutang, dan tujuan itu
terwujud dengan menjual barang gadai tersebut. Juga untuk mencegah
adanya dampak negative di masyarakat dan lainnya, jika diberlakukan
penjara. Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh hutangnya,
maka selesailah hutang tersebut. Namun bila tidak dapat menutupinya,
maka penggadai tersebut tetap memiliki hutang sisa, antara nila barang
gadai denan hutangnya dan ia wajib melunasinya.
Demikianlah keindahan Islam dalam permasalah gadai. Penyelesaian dan
pelunasan hutang dilakukan secara adil. Tidak seperti yang dilakukan di
tengah masyarakat kebanyakan. Yakni terjadinya tindak kezhaliman yang
dilakukan pemilik piutang, dengan cara menyita barang gadai, walau
nilainya lebih besar dari hutangnya, bahkan mungkin berlipat-lipat.
Perbuatan semacam ini, sangat jelas merupakan perbuatan Jahiliyah dan
perbuatan zhalim yang harus dihilangkan. Semoga kita terhindar dari
perbuatan ini.
Wallahul Muwaffiq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar