Seseorang yang telah meninggal dunia masih dapat memperoleh tambahan
pahala dalam buku catatan amal kebajikannya, walaupun ia sendiri sudah
tidak bisa beramal lagi. Hal ini dapat terjadi karena beberapa hal,
diantaranya adalah karena sedekah jariyah yang ia lakukan semasa hidup,
ilmu yang pernah ia ajarkan kepada sesorang atau doa yang selalu
dipanjatkan oleh anaknya yang saleh.
Para ulama berbeda pendapat terkait dengan menghadiahkan pahala kepada
orang yang sudah mati, apakah sampai pahalanya? Ada dua pendapat,
Pendapat pertama, bahwa semua amal saleh yang dihadiahkan kepada mayat
akan sampai kepadanya, di antaranya bacaan Al-Qur’an, puasa, shalat dan
ibadah-ibadah lainnya.
Pendapat kedua, bahwa tidak akan sampai amal saleh apapun kepada mayat
kecuali ada dalil bahwa amal itu sampai ke mayat. Dan ini adalah
pendapat yang kuat. Dalilnya adalah firman-Nya:
وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلا مَا سَعَى (سورة النجم: 39)
“Dan tidak ada (pahala) bagi manusia kecuali apa yang diusahakannya,” (QS. An-Najm: 39)
Dari ayat ini, sebagian ulama mengatakan bahwa usaha orang lain tidak
akan bermanfaat bagi si mayit. Namun pendapat ini adalah pendapat yang
kurang tepat. Syaikh As Sa’di mengatakan bahwa ayat ini hanya
menunjukkan bahwa manusia tidaklah mendapatkan manfaat kecuali apa yang
telah ia usahakan untuk dirinya sendiri. Ini benar dan tidak ada
perselisihan di dalamnya. Namun ayat ini tidak menunjukkan bahwa amalan
orang lain tidak bermanfaat untuk dirinya yaitu ketika orang melakukan
amalan untuknya. Sebagaimana pula seseorang memiliki harta yang ia
kuasai saat ini. Hal ini tidak melazimkan bahwa dia tidak bisa
mendapatkan harta dari orang lain melalui hadiah yang nanti akan jadi
miliknya.
Jadi sebenarnya, amalan orang lain tetap bermanfaat bagi orang yang
sudah meninggal sebagaimana ditunjukkan pada dalil-dalil yang akan kami
bawakan, seperti amalan puasa dan pelunasan utang.
Namun perlu diperhatikan di sini, amalan yang bisa bermanfaat bagi si
mayit itu juga harus ditunjukkan dengan dalil dan tidak bisa
dikarang-karang sendiri. Jadi tidak boleh seseorang mengatakan bahwa
amalan A atau amalan B bisa bermanfaat bagi si mayit, kecuali jika jelas
ada dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan hal tersebut.
Amalan-amalan yang bisa bermanfaat bagi si mayit adalah sebagai berikut.
Pertama: Do’a kaum muslimin bagi si mayit
Setiap do’a kaum muslimin bagi setiap muslim akan bermanfaat bagi si mayit. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا
وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي
قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar),
mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara
kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau
membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman;
Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang“.” (QS. Al Hasyr: 10) Ayat ini menunjukkan bahwa di antara
bentuk kemanfaatan yang dapat diberikan oleh orang yang masih hidup
kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah do’a karena ayat ini
mencakup umum, yaitu orang yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal
dunia.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan, “Do’a dalam ayat ini
mencakup semua kaum mukminin, baik para sahabat yang terdahulu dan
orang-orang sesudah mereka. Inilah yang menunjukkan keutamaan iman,
yaitu setiap mukmin diharapkan dapat memberi manfaat satu dan lainnya
dan dapat saling mendoakan.”
Begitu pula sebagai dalil dalam hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ
عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ
الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak
mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang
yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas
mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan,
malaikat tersebut akan berkata: “Amin. Engkau akan mendapatkan semisal
dengan saudaramu tadi”.” Do’a kepada saudara kita yang sudah meninggal
dunia adalah di antara do’a kepada orang yang di kala ia tidak
mengetahuinya.
Banyak yang mengaplikasikan dengan cara Mujahadah Berjamaah seperti
Tahlilan dll... Serta dengan mengadakan Kumpulan untuk mendoakan yang
telah wafat secara Berjamaah.
Kedua: Siapa saja yang melunasi utang si mayit
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan
seorang mayit yang masih memiliki utang, kemudian beliau bertanya,
“Apakah orang ini memiliki uang untuk melunasi hutangnya?” Jika
diberitahu bahwa dia bisa melunasinya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam akan menyolatkannya. Namun jika tidak, maka beliau pun
memerintahkan, “Kalian shalatkan aja orang ini.”
Tatkala Allah memenangkan bagi beliau beberapa peperangan, beliau bersabda.
أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّىَ
وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَىَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَهُوَ
لِوَرَثَتِهِ
“Aku lebih pantas bagi orang-orang beriman dari diri mereka sendiri.
Barangsiapa yang mati, namun masih meninggalkan utang, maka aku lah yang
akan melunasinya. Sedangkan barangsiapa yang mati dan meninggalkan
harta, maka itu untuk ahli warisnya.”
Hadits ini menunjukkan bahwa pelunasan utang si mayit dapat bermanfaat bagi dirinya.
Sedangkan apakah pelunasan utang si mayit di sini wajib ataukah tidak,
di sini ada dua pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah. Sebagian ulama
mengatakan bahwa wajib dilunasi dari baitul maal. Sebagian lagi
mengatakan tidak wajib.
Ketiga: Menunaikan qodho’ puasa si mayit
Pembahasan ini telah kami jelaskan pada tulisan kami yang berjudul
“Permasalahan Qodho’ Ramadhan”. Pendapat yang mengatakan bahwa qodho’
puasa bermanfaat bagi si mayit dipilih oleh Abu Tsaur, Imam Ahmad, Imam
Asy Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh An Nawawi, pendapat pakar hadits
dan pendapat Ibnu Hazm.
Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa,
maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya. ” Yang dimaksud
“waliyyuhu” adalah ahli waris.
Masalah Qodho puasa sudah di bahas di artikel Sebelumnya (Hukum Fidyah Bagi Yang Telah Meninggal)
Keempat: Menunaikan qodho’ nadzar baik berupa puasa atau amalan lainnya
Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah meminta nasehat pada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, dia mengatakan,
إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ
“Sesungguhnya ibuku telah meninggalkan dunia namun dia memiliki nadzar
(yang belum ditunaikan).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas
mengatakan,
اقْضِهِ عَنْهَا
“Tunaikanlah nadzar ibumu.”
Kelima: Segala amalan sholih yang dilakukan oleh anak yang sholih akan bermanfaat bagi orang tuanya yang sudah meninggal dunia
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya.” (QS. An Najm: 39). Di antara yang diusahakan oleh
manusia adalah anak yang sholih.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ
“Sesungguhnya yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih
payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua.” Ini
berarti amalan dari anaknya yang sholih masih tetap bermanfaat bagi
orang tuanya walaupun sudah berada di liang lahat karena anak adalah
hasil jerih payah orang tua yang pantas mereka nikmati.
Namun sayang, orang tua saat ini melupakan modal yang satu ini. Mereka
lebih ingin anaknya menjadi seorang penyanyi atau musisi –sehingga dari
kecil sudah dididik les macam-macam-, dibanding anaknya menjadi seorang
da’i atau orang yang dapat memberikan manfaat pada umat dalam masalah
agama. Sehingga orang tua pun lupa dan lalai mendidik anaknya untuk
mempelajari Iqro’ dan Al Qur’an. Memerintahkan untuk mencari ilmu
pengetahuan tentang Agama.
Sungguh amat merugi jika orang tua menyia-nyiakan anaknya padahal anak
sholih adalah modal utama untuk mendapatkan aliran pahala walaupun sudah
di liang lahat.
Keenam: Bekas-bekas amalan sholih (seperti ilmu yang bermanfaat) dan sedekah jariyah yang ditinggalkan oleh si mayit
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ
إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ
صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia itu mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga
perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang diambil manfaatnya, [3] anak
sholih yang mendo’akan orang tuanya.”
Dan pada riwayat Ibnu Majah dari Abu Qatadah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ مَا يُخَلِّفُ الرَّجُلُ مِنْ بَعْدِهِ ثَلاَثٌ : وَلَدٌ صَالِحٌ
يَدْعُو لَهُ وَصَدَقَةٌ تَجْرِي يَبْلُغُهُ أَجْرُهَا وَعِلْمٌ يُعْمَلُ
بِهِ مِنْ بَعْدِهِ
"Sebaik-baik apa yang ditinggalkan oleh seseorang setelah kematiannya
adalah tiga perkara: anak shalih yang mendo’akannya, shadaqah mengalir
yang pahalanya sampai kepadanya, dan ilmu yang diamalkan orang setelah
(kematian) nya".
Dan disebutkan pada hadits yang lain riwayat Ibnu Majah dan Baihaqi dari
Abi Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata : Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ
مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ
وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لاِبْنِ
السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ
مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ
"Sesungguhnya di antara amalan dan kebaikan seorang mukmin yang akan
menemuinya setelah kematiannya adalah: ilmu yang diajarkan dan
disebarkannya, anak shalih yang ditinggalkannya, mush-haf yang
diwariskannya, masjid yang dibangunnya, rumah untuk ibnu sabil yang
dibangunnya, sungai (air) yang dialirkannya untuk umum, atau shadaqah
yang dikeluarkannya dari hartanya diwaktu sehat dan semasa hidupnya,
semua ini akan menemuinya setelah dia meninggal dunia".
1- Shodaqoh Jariyah
Perngertian shadaqah jariyyah menurut Madzhab Empat ialah: Suatu
pemberian untuk mencari pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ada pula
yang mengatakan: Memberikan shadaqah yang tidak wajib, dengan cara
menguasakan barang dengan tanpa ganti (gratis). Ada pula yang
mengatakan: Harta yang diberikan dengan mengharap pahala dari Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Ada pula yang mengatakan: Harta “wakaf”, sedangkan
pengertian wakaf itu sendiri yaitu: Apa-apa yang ditahan di jalan Allah
Subhanahu wa Ta'ala .
Dari pengertian-pengertian di atas jelas bahwa shadaqah jariyyah adalah
suatu ketaatan yang dilakukan oleh seseorang untuk mencari wajah Allah,
sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, agar
orang-orang umum bisa memanfaatkannya sepanjang waktu tertentu, sehingga
pahalanya mengalir baginya sepanjang barang yang dishadaqahkan itu
masih ada.
Di antara contoh shadaqah jariyyah yang telah dilakukan di zaman Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah : Kebun kurma yang dishadaqahkan
oleh Abu Thalhah (seorang sahabat Nabi) ketika turun firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala.
لَن تّنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
"Dan tidaklah kamu bisa mendapatkan kebaikan sehingga kamu menginfakkan
(shadaqahkan) sebagian apa-apa yang kamu sukai". [Ali-Imran: 92]
Kebun yang dishadaqahkan oleh Bani An-Najjar kepada Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam dalam rangka untuk pembangunan masjid di waktu Nabi
datang di kota Madinah.
Sumur “ruumah” yang dibeli oleh sahabat Utsman Radhiyallahu 'anhu dan
beliau shadaqahkan pada waktu kaum muslimin kekurangan air.
Tanah/kebun yang dishadaqahkan oleh sahabat Umar Radhiyallahu 'anhu,
yang merupakan harta yang berharga baginya (yang dinamakan tsamgh),
beliau menshadaqahkan tanah tersebut, dengan syarat tidak boleh dijual,
diberikan atau diwariskan, akan tetapi buahnya (kebun/tanah itu),
dishadaqahkan untuk budak, orang-orang miskin, tamu, ibnu sabil (musafir
yang kehabisan bekal) serta karib kerabat Rasulullah.
Di antara hadits-hadits yang menyebutkan shadaqah jariyyah, adalah
hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Utsman bin ‘Affan
Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Sesungguhnya aku telah mendangar
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ بَنَى مَسْجِدًا يَبْتَغِي بِهِ وَجْهَ الهِّ بَنَى الهُب لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ
“Barangsiapa yang membangun masjid untuk mencari wajah Allah Subhanahu
wa Ta'ala, niscaya Allah Subhanahu wa Ta'ala membangunkan untuknya
sebuah rumah di dalam surga".
Di dalam riwayat Imam Tirmidzi dari Anas bin Malik: (Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda):
مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا صَغِيرًا كَانَ أَوْ كَبِيرًا بَنَى الهُل لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ
"Barangsiapa yang membangun masjid, kecil maupun besar, niscaya Allah
Subhanahu wa Ta'ala membangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga".
Pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Jabir (Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda):
مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا وَلَوْ كَمَفْحَصِ قَطَاةٍ أَوْ أَصْغَرَ, بَنَى الهُْ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ
"Barangsiapa yang membangun masjid karena Allah Subhanahu wa Ta'ala
walaupun sebesar sarang burung atau lebih kecil darinya, niscaya Allah
akan membangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga".
2. Ilmu Bermanfaat
Sesungguhnya di antara yang bisa memberikan manfaat bagi maytit setelah
kematiannya adalah ilmu yang ia tinggalkan, untuk diamalkan atau
dimanfaatkan. Sama saja, apakah dia mengajarkan ilmu tersebut kepada
seseorang atau dia tinggalkan berupa buku yang orang-orang
mempelajarinya setelah kematiannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dari hadits Abu Hurairah:
إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ
"Sesungguhnya di antara amalan dan kebaikan seorang mukmin yang akan
menyusulnya setelah kematiannya adalah ilmu yang dia ajarkan dan
sebarkan".
Ibnu Majah meriwayatkan dari Muadz bin Anas dari ayahnya, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا فَلَهُ أَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهِ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الْعَامِلِ
"Barangsiapa mengajarkan suatu ilmu, maka dia mendapatkan pahala orang
yang mengamalkannya, tidak mengurangi dari pahala orang yang
mengamalkannya sedikitpun".
Al-Bazzar meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha dia berkata : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مُعَلِّمُ الْخَيْرِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ كُلُّ شَيْءٍ حَتَّى الْحِيْتَانُ فِي الْبَحْرِ
"Orang yang mengajarkan kebajikan dimintakan ampunan oleh segala sesuatu, sampai ikan-ikan yang ada di dalam lautan".
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ
تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى
ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ
يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
"Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk (kebajikan), maka dia
mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya,
hal itu tidak mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan
barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa seperti
dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa-dosa
mereka sedikitpun".
3. Anak Shaleh Yang Mendoakan Orang Tuanya.
Anak itu termasuk usaha orang-tua, sehingga amalan-amalan sholeh yang
diamalkan si anak, juga akan menjadikan orang-tua mendapatkan pahala
amalan tersebut, tanpa mengurangi pahala anak tersebut sedikitpun.
Imam Turmudzi, Imam Nasai dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Aisyah
Radhiyallahu 'anha bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda :
ِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ وَإِنَّ أَوْلاَدَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ
"Sesungguhnya sebaik-baik yang kamu makan adalah yang (kamu dapatkan)
dari usaha kamu, dan sesungguhnya anak-anakmu itu termasuk usaha kamu".
Hadits (di atas) mengkhususkan anak shaleh dan sudah ma’lum kedekatan
anak shaleh dari pada yang lainnya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala,
oleh karena itulah Nabi menyebutnya pada hadits itu. Di mana anak shaleh
itu selalu berdzikir dan selalu menjaga hubungan baik kepada kepada
Allah. Dan ia pun tidak lupa memanjatkan do’a untuk kedua orang tuanya
setelah mereka tiada. Selain itu bahwa anak shaleh yang membiasakan diri
di dalam mengerjakan amalan-amalan shaleh sewaktu kedua orang tuanya
hidup, yang dia mempelajari amalan-amalan shaleh itu dari keduanya, maka
kedua orang tuanya mendapatkan pahala dari amalan-amalan anaknya, tanpa
mengurangi pahala si anak tersebut.
Seorang bapak membutuhkan waktu yang panjang untuk membentuk anak yang
shaleh. Dia memulainya dengan memilih istri yang shalehah, supaya
menjadi ibu bagi anak shaleh tersebut. Kemudian mendidiknya dengan
pendidikan yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan syari’at. Dengan
ini dia menjadi anak yang shaleh, walaupun kedua orang tuanya sudah
wafat.
Perlu diketahui juga bahwa keshalihan oran-tua, bisa menjadi sarana
kebaikan anak, walaupun mereka telah meninggal dunia. Sebagaimana firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala.
وَكَانَ أَبُوْهُمَا صَالِحًا
"Dan dahulu kedua orang tuanya adalah orang yang shaleh". [Al-Kahfi: 82]
Umar bin Abdul Aziz, khalifah yang ke lima, pernah berkata:
مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يَمُوْتُ إلاَّ حَفِظَهُ اللهُ فِي عُقْبِهِ وَعُقْبِ عُقْبِهِ
"Tidaklah seorang mukmin meninggal dunia kecuali Allah akan menjaga anaknya dan cucunya”.
Ibnul Munkadir berkata:
إِنَّ اللهَ لَيَحْفَظُ بِالرَّجُلِ الصَّالِحِ وَلَدَهُ وَوَلَدَ وَلَدِهِ
"Sesungguhnya Allah akan menjaga anak dan cucu seorang yang shalih”.
Ketujuh: Sedekah atas nama si mayit
Sedekah untuk mayit akan bermanfaat baginya berdasarkan kesepakatan
(ijma’) kaum muslimin. Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى الله عنه – تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ
غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ
وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ
عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى
الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا
“Sesungguhnya Ibu dari Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal
dunia, sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di sampingnya.
Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah
meninggal, sedangkan aku pada saat itu tidak berada di sampingnya.
Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya?’ Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Iya, bermanfaat.’ Kemudian
Sa’ad mengatakan pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kalau
begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang siap berbuah ini aku
sedekahkan untuknya’"
Shodaqoh bisa berbentuk uang ataupun yang lainnya. Namun ada dawuh Rosululloh SAW
تصدقت لهما باطعم الطعام
Bersedekah lah untuk kedua orang tua dengan memberikan makanan.
Cara pelaksanaan sedekah itu beragam... ada yg langsung diberikan pada
orang lain atau pun pada hal lain nya yang berupa uang untuk pembangunan
masjid dll.
Ada pula yang dengan mengadakan acara Haul dengan berbagai rangkaian
acara yang kesemuanya sebagai aplikasi pelaksanaan Dawuh tentang birul
walidain (Shodaqoh. Berdoa bersama. Bersilaturrohmi dengan kerabat
almarhum dll)
Hukum Menghadiahkan Pahala Bacaan Al Qur’an untuk Si Mayit
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanyakan, “Bagaimana dengan orang
yang membaca Al Qur’an Al ‘Azhim atau sebagian Al Qur’an, apakah lebih
utama dia menghadiahkan pahala bacaan kepada kedua orang tuanya dan kaum
muslimin yang sudah mati, ataukah lebih baik pahala tersebut untuk
dirinya sendiri?”
Beliau rahimahullah menjawab:
Sebaik-baik ibadah adalah ibadah yang mencocoki petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan dalam khutbahnya,
خَيْرُ الْكَلَامِ كَلَامُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ
وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
”Sebaik-baik perkataan adalah kalamullah dan sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Sejelek-jelek
perkara adalah perkara yang diada-adakan. Setiap bid’ah adalah sesat.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
خَيْرُ الْقُرُونِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka.”
Ibnu Mas’ud mengatakan,
مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ ؛ فَإِنَّ
الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ أُولَئِكَ أَصْحَابُ
مُحَمَّدٍ
“Siapa saja di antara kalian yang ingin mengikuti petunjuk, maka
ambillah petunjuk dari orang-orang yang sudah mati. Karena orang yang
masih hidup tidaklah aman dari fitnah. Mereka yang harus diikuti adalah
para sahabat Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”
Jika kita sudah mengenal beberapa landasan di atas, maka perkara yang
telah ma’ruf di tengah-tengah kaum muslimin generasi utama umat ini
(yaitu di masa para sahabat dan tabi’in, pen) bahwasanya mereka
beribadah kepada Allah hanya dengan ibadah yang disyari’atkan, baik
dalam ibadah yang wajib maupun sunnah; baik amalan shalat, puasa, atau
membaca Al Qur’an, berdzikir dan amalan lainnya.
Mereka pun selalu mendoakan mukminin dan mukminat yang masih hidup atau
yang telah mati dalam shalat jenazah, ziarah kubur dan yang lainnya
sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Allah. Telah diriwayatkan pula
dari sekelompok ulama salaf mengenai setiap penutup sesuatu ada do’a
yang mustajab. Apabila seseorang di setiap ujung penutup mendoakan
dirinya, kedua orang tuanya, guru-gurunya, dan kaum mukminin-mukminat
yang lainnya, ini adalah ajaran yang disyari’atkan. Begitu pula doa
mereka ketika shalat malam dan tempat-tempat mustajab lainnya.
Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sedekah pada mayit
dan memerintahkan pula untuk menunaikan utang puasa si mayit. Jadi,
sedekah untuk mayit merupakan amal sholeh. Begitu pula terdapat ajaran
dalam agama ini untuk menunaikan utang puasa si mayit.
Oleh karena itu, sebagian ulama membolehkan mengirimkan pahala ibadah
maliyah (yang terdapat pengorbanan harta, semacam sedekah) dan ibadah
badaniyah kepada kaum muslimin yang sudah mati. Sebagaimana hal ini
adalah pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah
dan Syafi’iyah. Jika mereka menghadiahkan pahala puasa, shalat atau
pahala bacaan Qur’an maka ini diperbolehkan menurut mereka. Namun,
mayoritas ulama Malikiyah dan Syafi’iyah mengatakan bahwa yang
disyari’atkan dalam masalah ini hanyalah untuk ibadah maliyah saja.
Oleh karena itu, tidak kita temui pada kebiasaan para ulama salaf, jika
mereka melakukan shalat, puasa, haji, atau membaca Al Qur’an; mereka
menghadiahkan pahala amalan mereka kepada kaum muslimin yang sudah mati
atau kepada orang-orang yang istimewa dari kaum muslimin. Bahkan
kebiasaan dari salaf adalah melakukan amalan yang disyari’atkan yang
telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, setiap orang tidak boleh
melampaui jalan hidup para salaf karena mereka tentu lebih utama dan
lebih sempurna dalam beramal. Wallahu a’lam.” –Demikian penjelasan
Syaikhull Islam Ibnu Taimiyah
Apakah Mayit Mendengarkan Bacaan Al Qur’an?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Jika ada yang mengatakan bahwa
bermanfaat bagi si mayit ketika dia diperdengarkan Al Qur’an dan dia
akan mendapatkan pahala jika mendengarnya, maka pemahaman seperti ini
sungguh keliru. Karena Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah
bersabda,
إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ
جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia itu mati, amalannya akan terputus kecuali melalui tiga
perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang dimanfaatkan, atau [3] anak
sholeh yang mendo’akan dirinya. ”
Oleh karena itu, setelah kematian si mayit tidak akan mendapatkan pahala
melalui bacaan Al Qur’an yang dia dengar dan amalan lainnya. Walaupun
memang si mayit mendengar suara sandal orang lain dan juga mendengar
salam orang yang mengucapkan salam padanya dan mendengar suara
selainnya. Namun ingat, amalan orang lain (seperti amalan membaca Al
Qur’an,) tidak akan berpengaruh padanya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar