Swike atau Swikee adalah Masakan Tionghoa Indonesia yang terbuat dari
paha kodok. Hidangan ini dapat ditemukan dalam bentuk sup, digoreng
kering, atau ditumis. Aslinya hidangan ini berasal dari pengaruh masakan
Tionghoa yang masuk ke Indonesia. Istilah "swikee" berasal dari dialek
Hokkian, (Tionghoa) sui (air) dan ke(ayam), yang merupakan slang atau
penghalusan untuk menyebut kodok sebagai "ayam air". Makanan ini
biasanya dikaitkan dengan kota Purwodadi, Jawa Tengah. Bahan utama
hidangan ini adalah kaki kodok (umumnya dari "kodok hijau" atau "kodok
ijo" (Jw.)) dengan bumbu bawang putih, jahe, dan tauco, garam dan lada.
Dihidangkan dengan taburan bawang putih goreng dan daun seledri di
atasnya, swike biasanya disajikan dengan nasi putih.
PERMASALAHAN DAN PANDANGAN DARI BERBAGAI MAZHAB
Terdapat dua masalah utama mengenai konsumsi kodok di Indonesia; yaitu
masalah agama dan lingkungan. Dalam aturan panganIslam, mayoritas mahzab
dalam hukum syariahmenganggap daging kodok bersifat haram (non-halal).
Masuknya daging kodok dalam kategori haram didasari dua pendapat;
makanan yang boleh dikonsumsi tidak boleh menjijikkan, dan adanya
larangan untuk membunuh kodok serta binatang lain seperti semut, lebah,
dan burung laut bagi umat Muslim.
Sesungguhnya dalam aturan pangan Islam terdapat perbedaan dalam
memandang masalah halal atau haramnya daging kodok. Kebanyakan mazhab
utama dalam Islam seperti mazhab Syafi'i,Hanafi, dan Hambali secara
jelas melarang konsumsi daging kodok, akan tetapi mazhab Maliki
memperbolehkan umat Islam untuk mengkonsumsi kodok tetapi hanya untuk
jenis tertentu; yaitu hanya kodok hijau yang biasanya hidup di sawah,
sementara kodok-kodok jenis lainnya yang berkulit bintil-bintil seperti
kodok budug tidak boleh dikonsumsi karena beracun dan menjijikkan..
Pendapat yang kuat, katak terlarang untuk dimakan. Hal ini berdasarkan hadis dari Abdurrahman bin Utsman radhiallallahu ‘anhu,
ذكر طبيب عند رسول اللّه صلى اللّه عليه وآله وسلم دواء وذكر الضفدع يجعل
فيه فنهى رسول اللّه صلى اللّه عليه وآله وسلم عن قتل الضفدع
Ada seorang dokter yang menjelaskan tentang suatu penyakit di dekat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dokter itu menjelaskan bahwa katak bisa
dijadikan obat untuk penyakit itu. Ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang membunuh katak. (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasa’i, dan
sanadnya dinyatakan shahih oleh Syu’aib Al-Arnauth)
Dalam riwayat yang lain, dari Sahl bin Sa’d As-Sa’idi,
أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن خمسة: “النملة، والنحلة، والضفدع والصرد والهدهد
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuh 5 hal: Semut,
lebah, katak, burung suradi, dan burung hudhud. (HR. Baihaqi)
Sebagian ulama menetapkan kaidah: “Setiap binatang yang dilarang untuk
dibunuh maka haram untuk dikonsumsi.” Karena tidak ada cara yang sesuai
syariat untuk memakan binatang kecuali dengan menyembelihnya. Sementara
kita tidak mungkin menyembelih yang dilarang untuk dibunuh.
Ketika menjelaskan hadis dari Abdurrahman bin Utsman, As-Syaukani menyatakan,
فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى تَحْرِيمِ أَكْلِهَا بَعْدَ تَسْلِيمٍ، أَنَّ النَّهْيَ عَنْ الْقَتْلِ يَسْتَلْزِمُ تَحْرِيمَ الْأَكْلِ
Hadis ini dalil haramnya memakan katak, setelah kita menerima kaidah,
bahwa larang membunuh berkonsekuensi haram untuk dimakan. (NailulAuthar,
8:143)
Setelah kita menyimpulkan katak hukumnya haram, konsekuensi selanjutnya
adalah haram untuk diperjual-belikan, sebagaimana dinyatakan dalam
hadis:
إنَّ الله إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيءٍ حَرَّمَ عَلَيهِمْ ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya jika Allah mengharamkan suatu kaum untuk memakan sesuatu,
maka Dia akan mengharamkan hasil penjualan barang itu.” (HR. Ahmad dan
Abu Dawud)
Allahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar