Apalagi yang paling ditunggu-tunggu pasangan suami istri yang telah
menikah selain kehadiran si buah hati. Dengan hadirnya anak
ditengah-tengah keluarga, tentu akan membuat hubungan pernikahan terasa
lebih sempurna. Tetapi ketika usia perkawinan menginjak tahun pertama,
kedua hingga ketiga, rasa cemas akan muncul saat tidak kunjung hamil
juga. Ini saya alami sendiri, di usia pernikahan yang menginjak 3 tahun,
saya belum dikaruniai keturunan. Pada dasarnya setiap pasangan suami
istri butuh waktu yang berbeda-beda. Ada yang segera setelah satu tahun
pertama menikah, ada yang 2 tahun, 3 tahun dan adapula yang sudah
bertahun-tahun menikah belum atau baru dikarunia keturunan. Jika sudah
bertahun-tahun tak kunjung hamil, ada tekanan yang tinggi yang dirasakan
seorang istri atau pasangan menikah. Saat baru menikah banyak dicecar
‘harus punya anak’, hal tersebut justru akan memicu stress yang dapat
mengganggu ovulasi sehingga berpengaruh pula mengapa anda tak kunjung
hamil. Banyak yang bertanya "gimana udah punya momongan belum?", "Kapan
punya anaknya?" dan bla.. bla... bla... mungkin itu tidak terlalu
menyakitkan, akan tetapi kalau pertanyaan dari mereka di tambah dengan
ucapan yang kurang enak didengar seperti, mungkin kamu mandul, atau
kurang subur dan lain-lain, itu akan membuat dada menjadi sesak.
Kadang pasangan yang tidak segera memiliki buah hati, berkeinginan untuk
mengadopsi anak dengan tujuan untuk memancing supaya sang istri cepat
hamil. Adopsi sendiri artinya pengangkatan anak orang lain sebagai anak
sendiri, dalam bahasa Arab disebut At-tabanni. Mengadopsi anak sebagai
pancingan agar cepat hamil, sudah banyak diyakini oleh sebagain besar
masyarakat di Indonesia. Namun tepatkah solusi seperti itu? Jika anda
kekeh ingin mengadopsi anak. coba pertimbangkan, sudah siapkah kita dari
segi mental?. Alangkah baiknya persiapkan mental anda terlebih dahulu
sebelum memutuskan tindakan tersebut. Anda perlu mempersiapkan diri
bahwa anak yang hendak anda diadopsi mungkin tidak akan seperti yang
anda harapkan, baik itu dari fisik sampai sifatnya, kecerdasan, perilaku
maupun kesehatan. Ubah pola pikir anda bahwa tujuan anda mengadoposi
anak bukanlah semata-mata memancing kehamilan agar lebih cepat namun
tegakan niat baik yang meletarbelakangi proses adopsi tersebut, yaitu
ingin menolong dan menyayangi anak-anak yang kurang beruntung. Hal
tersebut penting agar ikatan batin anda dengan si anak tak akan
mengalami pasang surut, apalagi dikemudian hari jika anak kandung anda
lahir kedunia. Sebaiknya mulai bicarakan dan berikan pengertian pada
sang anak agar hubungan keluarga anda tetap terjalin secara harmonis.
Dengan persiapan mental yang kuat, kasih sayang anda akan terbagi sama
rata jika dikemudian hari anak kandung anda lahir kedunia.
Yang paling penting juga adalah kita harus paham betul hukum mengadopsi.
Islam sangat berusaha keras untuk menjaga harga diri dan keturunan dari
kerancuan. Diantara aturan yang ditetapkan oleh syari'at Islam dalam hal
ini ialah larangan mengadopsi.
Anak angkat dalam pemahaman jahiliyah pemahaman jahiliyah itu dapat
menerima warisan dan menghalangi keluarga dekat asli yang mestinya
berhak menerimanya. Oleh karena itu, tidak sedikit keluarga yang
sebenarnya merasa dengki terhadap orang baru yang bukan dari kalangan
mereka ini, yang merampas hak milik mereka dan menghalangi warisan yang
telah menjadi harapannya.
Tradisi mengadopsi anak telah terjadi dari zaman jahiliyah di mana
seseorang dibolehkan memungut anak orang lain untuk dijadikan sebagai
anak kandung sendiri, dan berhak dibangsakan namanya kepada orang tua
angkatnya, dan berikut berlaku hukum saling mewarisi antara anak angkat
dan orang tua angkat. Inilah yang diharamkan.dalam Islam.
Islam mengharamkan mengadopsi anak karena mengadopsi anak bermakna
mengambil (mengangkat) anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri,
sementara penisbatan Nasab kepada orang yang tidak ada hubungan Nasab
dicela keras dalam Islam. Dalam kamus besar bahasa Indonesia
dinyatakan;
adop·si n 1 pengangkatan anak orang lain sbg anak sendiri; 2 Huk
penerimaan suatu usul atau laporan (msl dl proses legislatif); 3
pemungutan;
meng·a·dop·si v 1 mengambil (mengangkat) anak orang lain secara sah
menjadi anak sendiri; 2memungut: bahasa Indonesia banyak ~ kata asing;
peng·a·dop·si n orang yg mengadopsi;
peng·a·dop·si·an n proses, cara, perbuatan mengadopsi
Pengertian Adopsi
Mengadopsi atau mengangkat anak banyak dilakukan oleh masyarakat yang
tidak memiliki keturunan. Satu sisi, praktik adopsi anak merupakan
tindakan yang mulia karena tidak jarang anak yang diangkat adalah anak
yatim piatu yang membutuhkan perawatan, namun di sisi lain, jika salah
dalam mengambil sikap, justru akan berakibat pada perbuatan dosa. Ada
dua pengertian adopsi atau pengangkatan anak yang berkembang di
masyarakat:
1- Mengambil anak orang lain untuk diasuh seperti anaknya sendiri tanpa memberi status anak kandung kepada anak tersebut.
2- Mengambil anak orang lain untuk diasuh seperti anak sendiri sampai
melekatkan nasab anak tersebut kepada orang tua angkat tersebut sehingga
membuat hak-hak keperdataan seperti saling mewarisi, menjadi wali nikah
(jika anak tersebut perempuan) dan hak orang tua kandung lainnya.
Dengan definisi adopsi sebagaimana dinyatakan diatas, jelaslah bahwa
aktifitas adopsi adalah aktifitas mengangkat anak orang lain sebagai
anak sendiri. Artinya, anak orang lain yang tidak ada hubungan Nasab
dengan pihak yang mengadopsi diangkat secara sah dan dilindungi hukum
untuk menjadi anaknya untuk memperoleh konsekuensi-konsekuensi hukum
sebagaimana anak sendiri.
Adopsi dengan makna seperti ini jelas diharamkan Islam karena bermakna
menyambungkan Nasab (garis keturunan) kepada orang yang tidak ada
hubungan Nasab, padahal Islam sangat menjaga kejelasan Nasab dan
melarang pencampuradukan Nasab. Allah berfirman;
وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ
بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ}
[الأحزاب: 4]
Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu
(sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan
Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)
(Al-Ahzab;4).
Allah menegaskan dalam ayat ini bahwa anak-anak angkat/adopsi tidak akan
pernah menjadi anak kandung selamanya. Itu semua hanya klaim mulut saja
yang tidak ada nilainya sama sekali di sisi Allah dan tidak bisa
mengubah konsekuensi-konsekuensi hukum.
Asbabun Nuzul ayat ini sebenarnya terkait dengan adopsi anak yang
dilakukan Rasulullah SAW. Sebelum turun ayat ini Rasulullah SAW pernah
mengadopsi anak yang bernama Zaid bin Haritsah. Zaid sendiri asalnya
adalah seorang budak milik Khadijah, istri Rasulullah SAW. Ketika
Khadijah melihat Rasulullah SAW menyukainya, maka Khadijah menghadiahkan
Zaid kepada beliau. Setelah Zaid jadi miliknya, Rasulullah SAW
membebaskannya dari status budak kemudian mengangkatnya menjadi anak.
Dengan pengadopsian itu maka Zaid bukan lagi dipanggil Zaid bin Haritsah
tetapi menjadi Zaid bin Muhammad. Setelah dewasa Zaid dinikahkan dengan
wanita yang masih terhitung kerabat Rasulullah SAW sendiri yaitu Zainab
binti Jahsy.
Namun ternyata Allah tidak ridha dengan sistem adopsi ini, maka diturunkanlah ayat;
وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ
بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ}
[الأحزاب: 4]
Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu
(sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan
Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)
(Al-Ahzab;4).
Kemudian Allah memerintahkan agar anak-anak adopsi/angkat itu dipanggil
dengan Nasab yang disambungkan pada ayah asli/sejati mereka. Allah
berfirman;
{ ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ
تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ}
[الأحزاب: 5]
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika
kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka
sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu (Al-Ahzab;5)
Zaid, setelah turunnya ayat ini, jika sebelumnya dipanggil Zaid bin
Muhammad maka setelah itu dipanggil dengan dinisbatkan kepada ayahnya
yang asli yaitu Haritsah. Sehingga panggilannya kembali lagi menjadi
Zaid bin Haritsah.
Allah juga menegaskan bahwa Muhammad Rasulullah SAW tidak pernah menjadi ayah bagi salah seorang lelakipun.
{مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ} [الأحزاب: 40]
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara
kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah
Allah Maha mengetahui segala sesuatu.(Al-Ahzab;40)
Memang benar Rasulullah SAW pernah memiliki sejumlah anak lelaki seperti
Al-Qosim, Abdullah dan Ibrahim. Namun semua putra Rasulullah SAW ini
wafat dalam usia kecil, sehingga tidak ada satupun anak kandung –yang
masih hidup-yang secara syar’i boleh bernasab kepada Rasulullah SAW.
Bahkan, untuk menegaskan aturan syariat tentang adopsi ini Allah
berkehendak menikahkan Zainab binti Jahsy (istri Zaid bin Haritsah)
dengan Rasulullah SAW setelah Zaid menceraikannya. Menikahi istri anak
angkat hukumnya mubah, karena istri anak angkat bukan menantu yang
terkategori Mahram. Anak angkat tetaplah orang lain, sehingga
istrinyapun juga orang lain yang halal dinikahi.
{فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا
يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا
قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا} [الأحزاب:
37]
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya
(menceraikannya), Aku kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada
keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak
angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan
keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti
terjadi. (Al-Ahzab;37)
Menabrak adat istiadat, tradisi dan kebiasaan umum adopsi memang cukup
berat. Karena itu Allah mengingatkan Rasulullah SAW agar tidak menuruti
adat istiadat, tradisi dan kebiasaan umum yang dijaga kaum kafir dan
munafiq itu. Allah mengingatkan agar Rasulullah SAW hanya berpegang
teguh kepada wahyu saja tanpa memperhatikan pertimbangan-pertimbangan
yang lain.
{يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ اتَّقِ اللَّهَ وَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ
وَالْمُنَافِقِينَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (1) وَاتَّبِعْ
مَا يُوحَى إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ
خَبِيرًا (2) وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلًا }
[الأحزاب: 1 – 3]
1. Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti
(keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhnya
Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana,
2. dan ikutilah apa yang diwahyukan Tuhan kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
3. dan bertawakkallah kepada Allah. dan cukuplah Allah sebagai Pemelihara.(Al-Ahzab;1-3)
Nabi sendiri setelah itu, dengan tuntunan wahyu menegaskan larangan
penisbatan Nasab kepada orang yang tidak ada hubungan Nasab dengan
sabdanya;
صحيح البخاري (21/ 12)
عَنْ سَعْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ
ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ
فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ
“Dari Sa’d beliau berkata; Aku mendengar Nabi SAW bersabda; Barangsiapa
mengaku-ngaku bernasab kepada selain ayahnya sementara dia tahu dia
bukan ayahnya, maka Surga haram baginya” (H.R.Bukhari)
Oleh karena itu, berdasarkan nash-nash di atas jelaslah bahwa Islam
mengharamkan adopsi anak dengan pengertian menjadikan anak orang lain
sebagai anak sendiri yang diperlakukan sebagai anak sendiri dan
dinisbatkan Nasabnya kepada Nasabnya sendiri.
Adapun mengadopsi anak dengan pengertian mengurus dan membiayai
kebutuhan anak sampai mandiri, tanpa adanya penisbatan Nasab maka hal
ini diperbolehkan bahkan dipuji karena aktifitas ini termasuk pengertian
Kafalah (pengasuhan) bukan Tabanni (adopsi). Rasulullah SAW memuji
orang yang bersukarela mengasuh anak yatim, yaitu mengurus dan membiayai
kebutuhannya sampai dia mandiri.
صحيح البخاري (18/ 417)
عن سَهْل بْن سَعْدٍ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَنَا وَكَافِلُ
الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا وَقَالَ بِإِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ
وَالْوُسْطَى
“Dari Sahl bin Sa’d dari Nabi SAW beliau bersabda; Aku dan pengasuh anak
yatim disurga seperti ini –beliau menunjukkan dua jarinya; telunjuk dan
jari tengah- (untuk menunjukkan kedekatan)” (H.R.Bukhari)
Mengurus dan membiayai kebutuhan anak untuk meringankan beban orang lain
juga termasuk keumuman perintah berbuat Ihsan (kebaikan) yang
dinyatakan Allah dalam firmanNya;
{وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ
ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ
السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ } [النساء: 36]
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa,
karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat
dan tetangga yang jauh dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba
sahayamu(An-Nisa; 36)
Atas dasar ini bisa disimpulan bahwa mengadopsi anak dengan makna
mengambil (mengangkat) anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri
hukumnya haram sementara mengurus dan membiayai kebutuhan anak tanpa
adanya penisbatan Nasab (Nasabnya tetap ke ayahnya yang asli) hukumnya
sunnah. Perbedaan fakta adopsi ini perlu diperhatikan oleh seorang
muslim jika ingin mengasuh seorang anak.
Patut diperhatikan pula, bahwa ketaatan terhadap syariat Islam secara
ideal, pasti –tanpa diragukan lagi- akan menyelesaikan masalah dan
memblokir semua potensi masalah. Sebaliknya pelanggaran terhadap
ketentuan Islam akan berakibat lahirnya masalah dan ruwetnya persoalan.
Mengangkat anak hukumnya Haram apabila, nasabnya dinisbatkan kepada
orang tua yang mengangkatnya. Sedangkan mengangkat anak, apalagi anak
yatim, yang tujuannya adalah untuk diasuh dan dididik tanpa menasabkan
pada dirinya, maka cara tersebut sangat dipuji oleh Allah SWT. Hal ini
sebagaimana dikatakan sendiri oleh Rasulullah SAW. dalam hadits riwayat
Bukhari, Abu Daud dan Turmudzi: ‘Saya akan bersama orang yang menanggung
anak yatim, seperti ini, sambil beliau menunjuk jari telunjuk dari jari
tengah dan ia renggangkan antara keduanya.’
Laqith atau anak yang dipungut di jalanan, sama dengan anak yatim, namun
Yusuf Qardhawi menyatakan, bahwa anak seperti ini lebih patut dinamakan
Ibnu Sabil, yang dalam Islam dianjurkan untuk memeliharanya.
Asy-Syarbashi mengatakan bahwa para fuqaha menetapkan, biaya hidup untuk
anak pungut diambil dari baitul-mal muslimin. Hal ini sebagaimana
dikatakan Umar bin Khattab r.a. ketika ada seorang laki-laki yang
memungut anak, ‘pengurusannya berada di tanganmu, sedangkan kewajiban
menafkahinya ada pada kami.’
Ummat Islam wajib mendirikan lembaga dan sarana yang menanggung
pendidikan dan pengurusan anak yatim. Dalam kitab Ahkam al-Awlad fil
Islam disebutkan bahwa Syari’at Islam memuliakan anak pungut dan
menghitungnya sebagai anak muslim, kecuali di negara non-muslim. Oleh
karena itu, agar mereka sebagai generasi penerus Islam, keberadaan
institusi yang mengkhususkan diri mengasuh dan mendidik anak pungut
merupakan fardhu kifayah.
Karena bila pengasuhan mereka jatuh kepada non-muslim, maka jalan menuju
murtadin lebih besar dan ummat Islam yang tidak mempedulikan mereka,
sudah pasti akan dimintai pertanggungjawaban Allah SWT. Karena anak
angkat atau anak pungut tidak dapat saling mewarisi dengan orang tua
angkatnya, apabila orang tua angkat tidak mempunyai keluarga, maka yang
dapat dilakukan bila ia berkeinginan memberikan harta kepada anak angkat
adalah, dapat disalurkan dengan cara hibah ketika dia masih hidup, atau
dengan jalan wasiat dalam batas sepertiga pusaka sebelum yang
bersangkutan meninggal dunia.
Imam Al-Qurthubi menyatakan bahwa kisah di atas sebagai latar belakang
turunnya ayat tersebut. Berdasarkan analisis di atas, apabila kita
mengadopsi anak orang lain untuk dicintai, diasuh, dididik, dibesarkan
sebagaimana membesarkan anak sendiri, dan tidak memutuskan silaturahmi
dengan orang tua kandungnya, serta tetap diberi status sebagai anak
angkat, hukumnya mubah (boleh) bahkan bernilai ibadah kalau dilakukan
dengan ikhlas lillahi ta’ala.
Namun, jika kita mengadopsinya dengan memberi status sebagai anak
kandung yang bisa saling mewarisi, bahkan memutuskan silaturahmi dengan
orang tua kandungnya (dirahasiakan siapa orang tua kandungnya), hukumnya
haram. Persoalan sensitif yang sering terjadi dalam kasus adopsi adalah
masalah warisan. Menurut hukum Islam, antara anak angkat dan orang tua
tidak bisa saling mewarisi.
Alasannya, menurut para ahli hukum Islam ada tiga sebab seseorang bisa
saling mewarisi. Pertama, al-qarabah (seketurunan/hubungan darah),
kedua, al-mushaharah (karena hasil perkawinan yang sah), dan ketiga
al-‘itqu (hubungan perwalian antara hamba sahaya dan wali yang
memerdekakannya).
Status anak angkat tidak masuk pada salah satu dari tiga sebab ini, maka
disimpulkan bahwa anak angkat tidak bisa saling mewarisi dengan orang
tua angkatnya. Anak angkat bisa menerima harta dari orang tua angkatnya
melalui dua cara.
Pertama, melalui hibah, yaitu pemberian mutlak dari orang tua angkat
kepada anak angkat sehingga harta yang dihibahkan menjadi milik mutlak
anak angkatnya. Jumlah hibah tidak dibatasi, berapapun bisa dihibahkan
asal tidak menimbulkan kecemburuan dari keluarga lainnya, artinya harus
bersikap adil.
Kedua, melalui wasiat, yaitu pesan penyerahan/pemberian harta secara
sukarela dari seseorang kepada pihak lain (dalam konteks ini orang tua
angkat kepada anak angkatnya) yang berlaku setelah orang itu wafat.
Jadi, wasiat itu baru berlaku kalau orang yang berwasiatnya sudah
wafat.
Adapun jumlah wasiat, Para ulama sepakat berdasarkan hadits Nabi saw.
bahwa batas maksimal harta yang boleh diwasiatkan adalah sepertiganya.
Persoalan berikutnya menyangkut nama nasab dalam akte kelahiran atau
ijazah. Banyak kasus, orang tua angkat menggantikan nama orang tua
kandung anak angkatnya. Misalnya, kita punya anak angkat bernama Yayan,
nama orang tua kandungnya Hidayat, sedangkan orang tua angkatnya bernama
Kusnadi.
Seharusnya di akte kalahiran Yayan bin Hidayat, karena Hidayat ayah
kandungnya. Namun kenyataannya, namanya menjadi Yayan bin Kusnadi. Nah,
cara seperti ini dilarang dalam Islam seperti diterangkan pada ayat di
atas. Bagaimana kalau sudah telanjur? Bertaubat saja kepada
Allah.Bukankah Allah swt. itu Maha Pengampun dan Penerima taubat? Bila
anak angkat sudah dewasa, kita sebagai orang tua angkat harus berani
menjelaskan duduk persoalannya kepadanya agar terhindar dari murka
Allah.
Lalu, bagaimana kalau tidak diketahui ayah kandungnya padahal nama ayah
harus tercantum di akte kelahiran atau ijazahnya? Kalau kasusnya seperti
ini, nggak masalah nama ayah angkatnya tercantum dalam akte. Namun
tetap, suatu saat kalau anak itu sudah dewasa harus dijelaskan bahwa dia
adalah anak angkat. Memang akan menyakitkan bagi anak dan orang tua
angkat, namun inilah ketentuan Allah swt. yang harus kita laksanakan.
KESIMPULAN DAN HIKMAH
Dari uraian di atas, jelaslah bagi kita keharaman melakukan penisbatan
nasab bukan kepada orang tuanya. Begitu pula dalam hal adopsi. Kita
harus mengimani bahwa setiap larangan Allah pasti terdapat keburukan di
dalamnya yang hendak dijauhkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dari diri
kita. Dan sebaliknya, yang diperbolehkan pasti terdapat hikmah kebaikan
di dalamnya yang hendak dianugerahkan, atau bahkan ditambahkan, walaupun
tanpa kita ketahui.
Mungkin saja, ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menganugerahkan
seorang anak kepada pasangan suami isteri, Allah Subhanahu wa Ta'ala
hendak menghindarkan pasangan tersebut dari kekufuran, sebagaimana Allah
memerintahkan nabi al-Khadhir untuk membunuh seorang anak yang apabila
besar akan menjadi kafir dan menyeret kedua orang tuanya kepada
kekufuran, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَأَمَّا الْغُلاَمُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَآ أَن يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا
"Dan adapun anak kecil itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang
mukmin, dan kami khawatir dia akan mendorong kedua orang tuanya
kesesatan dan kekafiran" [al-Kahfi/18:80]
Dalam kenyataan hidup, kita sering menjumpai suatu pasangan yang tidak
dikaruniai keturunan, kemudian berusaha sekuat tenaga untuk
mendapatkannya. Di antaranya dengan mengadopsi anak angkat. Akan tetapi,
ternyata hidup mereka berubah, yang semula tenang dan tenteram,
berbalik penuh bencana karena kedurhakaan sang anak angkat. Hingga
akhirnya harta yang berlimpah milik pasangan tersebut benar-benar habis
dan ludes. Ironisnya, ketika kedua orang tua angkat ini sudah tua renta,
kemudian ditinggalkan begitu saja oleh sang anak angkat tersebut.
Di sinilah letak ujian bagi keimanan kita kepada taqdir Allah dan
kebijaksanaan-Nya, serta betapa penting kita berbaik sangka terhadap
Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Adil.
Kesimpulannya, kita diperbolehkan mengadopsi anak untuk ikut mencintai,
mendidik, dan membesarkannya dengan tidak memutuskan hubungan
silaturrahmi dengan orang tua kandungnya, serta tetap menempatkannya
sebagai anak angkat dalam hak waris, nasab, dll., dan haram mengadopsi
anak dengan memberikan hak-hak anak kandung kepadanya.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar