Melafalkan niat untuk melakukan ibadah hukumnya mubah bukan haram, wajib
atau sunnah/ mandub/ mustahabb. Kemubahan ini tidak membedakan apakah
ibadah tersebut ibadah Mahdhoh seperti shalat, puasa Wudhu, Mandi
Junub, Tayamum, Zakat, Haji, Umroh, berkurban, Kaffaroh,I’tikaf dll
ataukah Ghoiru Mahdhoh seperti berbakti kepada orangtua, shilaturrahim,
membezuk orang sakit dll, juga tidak membedakan apakah ibadah tersebut
manfaatnya juga dirasakan hamba yang lain seperti menghajikan orang lain
ataukah tidak, juga tidak membedakan apakah ibadah tersebut dilakukan
langsung setelah pelafalan ataukah ada jarak waktu. Semuanya mubah
selama lafadz niatnya tidak bertentangan dengan syara’, baik untuk
kepentingan mengajari, menguatkan niat, menghilangkan was-was,
menegaskan maksud, dan semua kepentingan yang syar’i. Namun kemubahan
ini adalah mubah dari segi pelafalan itu sendiri, bukan menjadi syarat
sah, sifat wajib, apalagi rukun niat. Jika niat dilafalkan, hendaknya
tidak dilakukan terus menerus, dan mengucapkannya juga harus pelan jika
dimungkinkan mengganggu ibadah orang lain. Jika pelafalan niat itu untuk
selain ibadah seperti jual beli, ijaroh, wakalah, syirkah, nikah,
talak, rujuk, sumpah, nadzar dan yang semisal, maka lebih jelas lagi
kemubahannya.
Niat adalah القَصْدُ (hal menyengaja/penyengajaan) yaitu;
عَزْمُ الْقَلْبِ عَلى فِعْلِ الشَّيْءِ
tekad hati untuk melakukan sesuatu
Niat adalah jenis dari اْلإِرَادَةُ (kehendak), namun bukan kehendak
biasa, karena kehendak yang dimaksud adalah kehendak yang kuat
(اْلعَزْمُ) yang diistilahkan dengan azam/kehendak yang kuat. Kehendak
yang kuat tersebut diarahkan untuk melakukan perbuatan tertentu yang
terkait dengan Mukallaf, bukan terkait dengan perbuatan orang lain.
Karena itulah niat dideskripsikan sebagai; عَزْمُ الْقَلْبِ عَلى فِعْلِ
الشَّيْءِ (tekad hati untuk melakukan sesuatu).
Jika seorang mukallaf telah menyengaja suatu perbuatan yaitu bertekad
kuat untuk melakukan suatu perbuatan, maka dia dikatakan telah berniat
yang shahih meskipun tanpa mengucapkan niat. Berpuasa misalnya, jika
orang yang hendak berpuasa telah menyengaja untuk berpuasa yaitu
bertekad kuat untuk melakukan perbuatan puasa, maka pada saat itu dia
telah merealisasikan niat yang shahih, dan niatnya sah meskipun tidak
mengucapkan dalam hati dengan lisan.
Niat tersebut, ketika didorong oleh mafhum bahwa puasa adalah perintah
Allah semata-mata untuk meraih ridhanya, maka niat tersebut sudah ikhlas
karena Allah meskipun dia tidak menggumamkan/mengucapkan dalam hati
“Lillahi Ta’ala” (karena Allah Ta’ala).
Hanya saja, hal ini tidak bermakna bahwa mengucapkan dengan lisan
diharamkan. Menggumamkan dalam hati maupun mengucapkan dengan lisan
hukumnya mubah dengan makna; Boleh dilakukan tanpa ada keutamaan, yakni
jika dilakukan tidak ada janji pahala, dan jika ditinggalkan juga tdk
ada ancaman siksa. Dalil yang menunjukkan mubahnya melafalkan niat
adalah argumentasi-argumentasi berikut ini;
Pertama;
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Melafalkan Niat Pada Saat Haji
Riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melafalkan niat pada saat haji adalah hadis berikut;
صحيح مسلم (6/ 317)
عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي إِسْحَقَ وَعَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ
وَحُمَيْدٍ أَنَّهُمْ سَمِعُوا أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَهَلَّ
بِهِمَا جَمِيعًا لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا
dari Yahya bin Abu Ishaq dan Abdul Aziz bin Shuhaib dan Humaid bahwa
mereka mendengar Anas radliallahu ‘anhu berkata; Saya mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ihram untuk haji dan umrah
sekaligus: “LABBAIKA UMRATAN WA HAJJAN LABBAIKA UMRATAN WA HAJJAN (Ya
Allah, aku penuhi panggilan-Mu, untuk umrah dan haji. Ya Allah, aku
penuhi panggilan-Mu, untuk umrah dan haji).” (H.R.Muslim)
Abu Al-Baqo’ Al-Ukbary menjelaskan hadis di atas dalam kitabnya I’robu
Ma Yusy-kilu Min Al-Fadzi Al-Hadits An-Nabawy sebagai berikut;
إعراب ما يشكل من ألفاظ الحديث النبوي (ص: 11) (الإمام محب الدين أبو البقاء عبد الله بن الحسين العكبري الحنبلي)
النصب بفعل محذوف تقديره أريد عمرة أو نويت عمرة
I’rob Nashob pada lafadz ‘Umroh dan Hajj adalah disebabkan Fi’il (kata
kerja) yang dibuang. Perkiraan struktur kalimatnya adalah : Uriidu
‘Umrotan atau Nawaitu ‘Umrotan –aku ingin berumroh atau aku berniat
umroh- (I’robu Ma Yusy-kil Min Al-Fadzi Al-Hadits An-Nabawy, hlm 11)
Berdasarkan penjelasan di atas bisa difahami bahwa sabda Nabi yang berbunyi;
لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا
Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu, untuk umrah dan haji. Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu, untuk umrah dan haji
Ucapan tersebut bermakna bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ bertalbiyah dengan berniat untuk berumroh dan berniat untuk
berhaji. Artinya, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah
melafalkan niatnya untuk berhaji, sehingga hadis ini menjadi dalil tidak
terlarangnya melafalkan niat dalam ibadah seperti haji dan umroh. Jika
melafalkan niat hukumnya haram, maka tidak mungkin nabi melakukannya,
meski hanya sekali dalam hidupnya, karena seluruh nabi terjaga dari dosa
(ma’shum). Menghukumi pelafalan niat dengan hukum haram bisa berakibat
menisbatkan dosa kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang
telah melafalkan niat haji dalam hadis ini dan itu tidak boleh.
Ibnu ‘Allan Ash-Siddiqy dalam kitabnya Al-Futuhat Ar-Robbaniyyah ‘Ala
Al-Adzkar An-Nawawiyyah malah menyimpulkan lebih jauh berdasarkan hadis
ini, yakni melafalkan niat hukumnya sunnah, dengan argumentasi bahwa
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak mungkin melakukan
sesuatu kecuali yang paling sempurna dan paling utama untuk diteladani
umatnya. Ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mencontohkan
pelafalan niat, maka hal ini difahami bahwa melafalkan niat hukumnya
sunnah dalam ibadah haji termasuk ibadah-ibadah yang lain. Beliau
berkata;
قال ابن علان الصديقي الشافعي في الفتوحات الربانية على الأذكار النووية
نعم يسن النطق بها ليساعد اللسان القلب، ولأنه صلى الله عليه وآله وسلم نطق بها في الحج فقسنا عليه سائر العبادات،
Ya, melafalkan niat disunnahkan, agar lisan membantu hati. Karena
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengucapkan niat pada saat
haji, dan kita menqiyaskannya pada ibadah-ibadah sisanya (Ibnu ‘Allan
Ash-Siddiqy dalam Al-Futuhat Ar-Robbaniyyah ‘Ala Al-Adzkar
An-Nawawiyyah)
Imam As-Syafi’i, sebagaimana dinukil oleh An-Nawawy dalam Al-Majmu’ juga
bisa difahami termasuk ulama yang tidak mempermasalahkan pelafalan niat
berdasarkan hadis ini. An-Nawawy berkata;
المجموع شرح المهذب (3/ 277)
الشافعي رحمه الله قال في الحج إذا نوى حجا أو عمرة أجزأ وان لم يتلفظوليس كالصلاة لا تصح الا بالنطق
As-Syafi’i rahimahullah berkata dalam perkara haji: “Jika ia (orang yang
hendak berhaji) berniat untuk haji atau umrah, maka hal itu sudah cukup
meskipun tidak melafadzkan niat, berbeda dengan sholat yang tidak sah
kecuali dengan pelafalan -Takbirotul Ihrom-. (Al-Majmu’ Syarhu
Al-Muhadzdzab, vol. 3 hlm 277)
Statemen yang berbunyi:
إذا نوى حجا أو عمرة أجزأ وان لم يتلفظ
jika ia (orang yang hendak berhaji) berniat untuk haji atau umrah, maka
hal itu sudah sah/ cukup meskipun tidak melafadzkan niat,
statemen tersebut mafhumnya bermakna: melafalkan niat tidak masalah,
atau bahkan lebih baik, sebagaimana ucapan: “Wudhu anda sah meskipun
tidak berkumur-kumur” atau “shalat anda sah meskipun tidak memakai
kopyah” yang bermakna; berkumur-kumur dan memakai kopyah tidak mengapa
dilakukan atau justru lebih baik.
Yang jelas, statemen As-Syafi’i yang dikutip an-Nawawy tersebut bisa
ditegaskan beliau tidak menjadikan pelafalan niat sebagai syarat sah
niat dalam niat Haji atau Umroh. Maksimal, yang bisa difahami dari
statemen tersebut adalah beliau menjadikan pelafalan niat sebagai hal
yang baik atau mubah sebagai penguat niat maupun kepentingan-kepentingan
syar’i lainnya.
Tidak bisa dikatakan bahwa ucapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ bukan pelafalan niat tetapi hanya lafadz yang semakna dengan
takbirotul ihrom. Tidak bisa dikatakan demikian karena ucapan
talbiyah haji/umroh jelas menunjukkan pelafalan niat sebagaimana
keterangan Al-‘Ukbary, yakni apakah niat haji ataukan umroh ataukah haji
yang dibarengkan dengan umroh. Takbirotul ihrom tidak bermakna niat,
karena tidak membedakan apakah untuk melakukan shalat wajib ataukah
sunnah, juga tidak membedakan antara dhuhur, ashar, maghrib, isya,
ataukah subuh. Pelafalan niat haji/umroh tidak mempengaruhi keabsahan
ibadah sementara pelafalan takbirotul ihrom mempengaruhi keabsahan. Jadi
dua hal ini tidak bisa disamakan.
Memahami bahwa ucapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ di
atas bukan pelafalan niat, tetapi hanya salah satu nusuk (tatacara
ibadah) diantara nusuk-nusuk haji atau sekedar I’lan (pengumuman)
talbiyah, pemahaman ini tertolak, karena faqih besar seperti
asy-syafi’i memasukkan pembahasan tersebut ke dalam pembahasan niat dan
pelafalannya. Hal ini menunjukkan ahli fikih besar yang sudah diketahui
kredibilitasnya dalam bahasa arab dan ushul fikih telah memahami bahwa
ucapan nabi tersebut ekspresi niat yang berupa pelafalan, bukan
sekedarnusuk atau I’lan. An-Nawawi dan ulama’-ulama madzhab Syafi’I
sangat tegas memahami bahwa ucapan nabi tersebut adalah dalil
sunnahnya pelafalan niat. Reputasi keilmuan ulama yang memahami bahwa
ucapan Nabi dalam hadis tersebut bermakna pelafalan niat, lebih tinggi,
lebih kredibel dan lebih terpercaya. Tambahan lagi, orang yang berniat
bersamaan dengan talbiyahnya maka haji atau umrohnya sah, jadi tidak
menjadi keharusan berniat dilakukan di negeri asal. An-Nawawy berkata;
المجموع شرح المهذب (7/ 224)
قال أصحابنا ينبغي لمريد الاحرام أن ينويه بقلبه ويتلفظ بذلك بلسانه
ويلبى فيقول بقلبه ولسانه نويت الحج وأحرمت به لله تعالى لبيك اللهم لبيك إلى آخر التلبية فهذا أكمل ما ينبغى له
Ulama-ulama yang semadzhab dengan kami mengatakan; orang yang hendak
berihrom seyogyanya meniatkan berniat dengan hati dan melafalkan niatnya
itu dengan lisannya dan bertalbiyah. Dia mengucapkan dengan hati dan
lisannya: nawaitu Al-Hajja wa ahromtu bihi lillahi ta’ala. Labbaik
Allahumma labbaik dst sampai akhir talbiyah. Ini adalah yang paling
sempurna dari apa yang seyogyanya baginya (Al-Majmu’ Syarah
Al-Muhadz-dzab, vol 7, hlm 224)
Syarofuddin Musa Al-Hajjawy dalam kitabnya Zadu Al-Mustanqo’ termasuk
yang merekomendasikan pelafalan niat haji. Beliau berkata;
زاد المستقنع (ص: 87)
ويستحب قوله2: اللهم إني أريد نسك كذا فيسره لي وإن حبسني حابس فمحلي حيث حبستني.
Dianjurkan untuk mengucapkan; ya Allah sesungguhnya aku ingin
melakukan nusuk ini.. maka mudahkanlah untukku. Jika ada yang
menghalangiku maka tempatku adalah di mana engkau menahanku (Zadu
Al-Mustanqo’, hlm 87)
Pelafalan niat yang dilakukan Nabi dalam hadis ini tidak bisa difahami
sebagai kekhususan ibadah haji, sehingga melafalkan niat untuk selain
haji tidak boleh. Tidak bisa difahami demikian karena tidak ada dalil
yang menunjukkan kekhususan tersebut, apalagi Nash-Nash yang ada
menunjukkan bahwa pelafalan niat yang dilakukan nabi bukan hanya dalam
ibadah haji dan umroh. Justru ketika tidak ada riwayat nabi
melakukannya terus menerus dan hanya pada kondisi ibadah-ibadah
tertentu ketika melakukannya, hal itu menunjukkan hukum mubah, bukan
kekhususan, bukan sunnah apalagi haram.
Memahami pembolehan pelafalan niat hanya untuk kepentingan mengajari
berdasarkan hadis ini juga kurang kuat, karena tidak ada qorinah jelas
yang menunjukkan bahwa pelafalan itu hanya dibatasi untuk mengajari saja
dari segi kebolehannya. Kasus pelafalan saudara Syubrumah yang
didiamkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (sebagaimana nanti
akan dijelaskan pada argumen berikutnya) malah menunjukkan bahwa
pelafalan niat itu tidak untuk kepentingan mengajari, karena saudara
Syubrumah tidak pernah mengajari siapapun.
Kedua;
Malaikat Memerintahkan Nabi Melafalkan Niat Haji Sekaligus Umroh
Dalil yang menunjukkan bahwa malaikat memerintahkan nabi melafalkan niat haji sekaligus umroh adalah hadis berikut ini;
صحيح البخاري (8/ 147)
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللَّيْلَةَ
أَتَانِي آتٍ مِنْ رَبِّي وَهُوَ بِالْعَقِيقِ أَنْ صَلِّ فِي هَذَا
الْوَادِي الْمُبَارَكِ وَقُلْ عُمْرَةٌ فِي حَجَّةٍ
dari Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Malam ini
Malaikat yang diutus oleh Rabbku datang kepadaku”. Saat itu Beliau
sedang berada di lembah Al ‘Aqiq dan Malaikat itu berkata; “Shalatlah di
lembah yang penuh barakah ini dan katakanlah: “Aku berniat melaksanakan
‘umrah dalam ‘ibadah hajji ini”. (H.R.Bukhari)
lafadz;
وَقُلْ عُمْرَةٌ فِي حَجَّةٍ
dan katakanlah: “Aku berniat melaksanakan ‘umrah dalam ‘ibadah haji ini
cukup jelas menunjukkan bahwa malaikat memerintahkan Rasulullah صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ untuk mengucapkan niat. Jika pelafalan niat
adalah sesuatu yang haram, tidak mungkin malaikat memerintahkan yang
haram.
Tidak bisa dikatakan bahwa perintah malaikat kepada Nabi untuk
mengucapkan عُمْرَةٌ فِي حَجَّةٍ difahami “sekedar” ” menyebut nusuk
(tatacara ibadah) dalam talbiyah. Tidak bisa dikatakan demikian, karena
maksud ibadah umroh adalah Ta’yin Niyyah (menentukan niat yang
membedakan dengan ibadah yang lain), sebagai mana haji juga Ta’yin
Niyyah. Umroh fi’ hajji juga Ta’yin Niyyah yang masing-masing
konsekuensinya terkait tatacara dan ketentuan-ketentuannya berbeda.
Pelabelan ” Hanya menyebut nusuk dalam talbiyah” membuat ucapan
tersebut menjadi seakan-akan tidak ada maknanya, yakni tidak memberi
penjelasan niat haji yang disertakan dengan umroh. Oleh karena itu,
lebih sesuai dengan maksud Nash jika ucapan Rasulullah صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tersebut tidak dilepaskan dari maksud niat ibadahnya,
sehingga lebih dekat difahami sebagai pelafalan niat.
Tambahan lagi, mengatakan bahwa hal itu hanyalah sekedar penyebutan
nusuk dalam talbiyah sesungguhnya hal tersebut adalah sifat yang sama
yang juga bisa diberlakukan pada ibadah-ibadah yang lain. Artinya,
jika sesuatu yang disebut “penyebutan nusuk” pada haji itu tidak
dipermasalahkan, seharusnya kita bisa mengatakan bahwa pelafalan niat
pada shalat, puasa, haji dll “hanyalah” penyebutan yang semisal dengan
penyebutan nusuk dalam memasuki ibadah haji.
Ketiga;
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Tidak Mengingkari Pelafalan
Niat Haji yang dilakukan Seorang Lelaki Untuk Saudaranya yang bernama
Syubrumah
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah mendengar seorang
lelaki melafalkan niat berhaji untuk saudaranya yang bernama Syubrumah.
Beliau tidak mengingkari pelafalan niat tersebut, namun hanya mengoreksi
terkait syarat dalam menghajikan orang lain. Abu Dawud meriwayatkan;
سنن أبى داود (5/ 145)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ قَالَ مَنْ شُبْرُمَةُ
قَالَ أَخٌ لِي أَوْ قَرِيبٌ لِي قَالَ حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ قَالَ لَا
قَالَ حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ
Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shalla Allahu ‘alaihi wa sallam mendengar
seseorang mengucapkan; LABBAIKA ‘AN SYUBRUMAH (ya Allah, aku memenuhi
seruanmu untuk Syubrumah), beliau bertanya: “Siapakah Syubrumah
tersebut?” Dia menjawab; saudaraku! Atau kerabatku! Beliau bertanya:
“Apakah engkau telah melaksanakan Haji untuk dirimu sendiri?” Dia
menjawab; belum! Beliau berkata: “Laksanakan Haji untuk dirimu, kemudian
berhajilah untuk Syubrumah.” (H.R.Abu Dawud)
As-Shon’any dalam kitabnya Subul As-Salam menjelaskan hadis ini sebagai berikut;
سبل السلام (2/ 184)
والحديث دليل على أنه لا يصح أن يحج عن غيره من لم يحج نفسه لأنه صَلّى
الله عَلَيْهِ وَسَلّم أمره أن يجعله عن نفسه بعد أن لبى عن شبرمة فدل على
أنها لم تنعقد النية عن غيره وإلا لأوجب عليه المضي فيه.
Hadis ini menunjukkan bahwa tidak sah orang yang berhaji menghajikan
orang lain selama dia belum berhaji untuk dirinya sendiri. Karena
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan kepadanya untuk
menjadikan haji tersebut bagi dirinya, setelah dia bertalbiyah untuk
Syubrumah. Jadi hal tersebut menunjukkan bahwa niat untuk orang lain
tidak sah. Andai tidak demikian, niscaya beliau akan mengharuskan lelaki
tersebut untuk meneruskan hajinya (Subul As-Salam, vol.2, hlm 184)
Statemen As-Shon’any yang berbunyi;
فدل على أنها لم تنعقد النية عن غيره
Jadi hal tersebut menunjukkan bahwa niat untuk orang lain tidak sah
Statemen tersebut menunjukkan bahwa As-Shon’any memahami ucapan saudara
Syubrumah adalah terkait dengan niatnya menghajikan Syubrumah. Artinya,
ucapan saudaranya Syubrumah bisa difahami sebagai ekspresi lisan atas
niat tersebut. Dengan kata lain, saudara Syubrumah melafalkan niatnya
berhaji untuk saudaranya dan pelafalan tersebut didengar oleh Rasulullah
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Tidak adanya pengingkaran Rasulullah
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ terhadap pelafalan tersebut, menunjukkan
melafalkan niat hukumnya mubah, karena tidak mungkin Rasulullah صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mendiamkan sesuatu yang terkategori
kemungkaran.
Keempat;
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Merekomendasikan Pelafalan Niat Haji Yang Disertai Istitsna’ kepada Dhuba’ah
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah merekomendasikan
pelafalan niat yang disertai Isytiroth (memberi syarat) kepada Dhuba’ah
binti Az-Zubair yang ingin berhaji namun dalam kondisi sakit. Bukhari
meriwayatkan;
صحيح البخاري (16/ 32)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَلَى ضُبَاعَةَ بِنْتِ الزُّبَيْرِ فَقَالَ لَهَا لَعَلَّكِ
أَرَدْتِ الْحَجَّ قَالَتْ وَاللَّهِ لَا أَجِدُنِي إِلَّا وَجِعَةً
فَقَالَ لَهَا حُجِّي وَاشْتَرِطِي وَقُولِي اللَّهُمَّ مَحِلِّي حَيْثُ
حَبَسْتَنِي وَكَانَتْ تَحْتَ الْمِقْدَادِ بْنِ الْأَسْوَدِ
dari Aisyah ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menemui
Dhuba’ah binti Az Zubair, maka beliau bersabda: “Sepertinya kamu ingin
menunaikan ibadah haji.” Ia pun berkata, “Demi Allah, tidak ada yang
menghalangiku kecuali sakit.” Beliau pun bersabda: “Tunaikanlah haji,
dan berilah syarat. ucapkan: ‘ALLAHUMMA MAHILLII HAITSU HABASTANII (Ya
Allah, tempatku adalah di tempat Engkau menahanku).'” Saat itu, ia
adalah isteri daripada Miqdad bin Al Aswad. (H.R.Bukhari)
Ubaidullah Al-Mubarokfury menjelaskan hadis ini dalam kitabnya Mirqot Al-Mafatih Syarh Misykat Al-Mashobih sebagai berikut;
مرعاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح (9/ 445)
وذكر فيه ابن قدامة احتمالين : أحدهما هذا ، قال : ويدل عليه ظاهر قوله –
صلى الله عليه وسلم – في حديث ابن عباس (( قولي : محلي من الأرض حيث تحبسني
)) قلت : وكذا في حديث عائشة في الصحيحين (( وقولي : اللهم محلي حيث
حبستني )) والثاني أنه تكفي فيه النية
Ibnu Qudamah menyebut dua kemungkinan makna. Pertama; adalah makna ini
(yakni melafalkan Isytiroth saat berniat haji). Beliau berkata: yang
menunjukkannya adalah dhohirnya sabda Nabi pada hadis Ibnu Abbas;
Ucapkanlah; tempatku di bumi adalah di mana Engkau menahanku. Saya
berkata; demikian pula dalam hadis Aisyah dalam shahihain: katakanlah Ya
Allah, tempatku adalah di mana engkau menahanku. Kedua; Cukup niat saja
–tanpa pelafalan- (Mirqot Al-Mafatih Syarh Misykat Al-Mashobih,
vol.9,hlm 445)
Pemaknaan Ibnu Qudamah yang dinukil Ubaidullah Al-Mubarokfury terhadap
hadis Dhuba’ah ini menunjukkan bahwa rekomendasi ucapan Rasulullah
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ kepadanya adalah terkait niat. Hanya
saja, dalam pembahasan fikih ada dua kemungkinan makna yang bisa digali:
Isytiroth haji itu harus diucapkan ataukah cukup niat dalam hati saja.
Dua kemungkinan makna ini semuanya mungkin dalam ijtihad, meski dhohir
hadis menunjukkan harus dilafalkan. Yang jelas, makna apapun yang
mungkin digali dari hadis tersebut, semuanya tidak terlepas dari makna
niat haji yang hendak dilakukan oleh Dhuba’ah. Artinya, rekomendasi
pelafalan yang dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
bukan sekedar pelafalan tanpa makna, tetapi pelafalan niat haji oleh
Dhuba’ah yang disertai dengan Isytiroth. Karena itu hadis ini juag bisa
menjadi dalil bolehnya melafalkan niat.
Hadis Dhuba’ah ini tidak bisa difahami hanya sebagai nadzar atau yang
semakna dengan nadzar, karena haji Dhuba’ah jelas bukan nadzar tetapi
rencana melakukan haji yang memang diwajibkan kepada mukallaf muslim
secara ibtida-an (orsinil sejak awal tanpa sebab yang lain). Hanya saja
kondisi Dhuba’ah adalah sakit sehingga saat melafalkan niat haji,
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyarankan disertai dengan
isytiroth untuk meringankannya.
Tidak bisa juga memahami bahwa hadis Dhuba’ah ini hanyalah dalil
bolehnya isytiroth semata. Tidak bisa dikatakan demikian, karena
meskipun benar bahwa hadis tersebut adalah dalil bolehnya isytiroth,
namun pada saat yang sama nabi memerintahkan mengucapkan isytiroth niat
tersebut, sehingga hadis tersebut juga menjadi dalil mubahnya pelafalan
niat.
Imam As-Syafi’i meriwayatkan bahwa Aisyah merekomendasikan pelafalan
niat sekaligus isytiroth dalam kondisi diduga akan terjadi hal-hal yang
menghalangi pelaksanaan haji. Dalam Musnad As-Syafi’i dinyatakan;
مسند الشافعي ترتيب السندي (ص: 1048)
( أخبرنا ) : سُفْيانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عن هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عن أبيه قال :
– قالتْ لي عائشةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْها : هَلْ تَثْتَثْنِي إذَا
حَجَجْتَ ؟ قال : فقُلْتُ لها مَاذَا أقُولُ ؟ فقالتْ قُلْ اللَّهُمَّ
الحَجَّ أرَدْتُ ولهُ عَمَدْتُ فَإنْ يَسَّرْتَهُ فَهُو الحَجُّ وإنْ
حَبَسَني حَابِسٌ فَهِيَ عُمْرَةٌ
Sufyan bin ‘Uyainah memberitahu kami dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya
beliau berkata. Aisyah Ra. berkata; Apakah engkau mengucapkan
perkecualian jika berhaji? Urwah bertanya; Apa yang aku katakan?Aisyah
menjawab; Katakan Ya Allah, aku ingin berhaji, dan untuknya aku
menyengaja. Jika engkau memudahkanku maka itu adalah haji. Jika ada yang
menghalangiku, maka itu adalah umroh (H.R.As-Syafi’i)
Aisyah adalah perawi hadis Dhuba’ah. Tentu shahabat yang meriwayatkan
hadis lebih faham maksud hadis yang diriwayatkannya. Dalam riwayat
As-Syafi’y, ternyata Aisyah merekomendasikan pelafalan niat sekaligus
isytiroth, bukan hanya merekomendasikan pelafalan isytiroth. Oleh karena
itu, hadis Dhuba’ah menunjukkan mubahnya pelafalan niat, bukan sekedar
mubahnya pelafalan isytiroth.
Al-Hajjawy dalam Zadu Al-Mustanqo’ juga memahami hadis Dhuba’ah sebagai pelafalan niat. Beliau berkata;
زاد المستقنع (ص: 87)
ويستحب قوله2: اللهم إني أريد نسك كذا فيسره لي وإن حبسني حابس فمحلي حيث حبستني.
Dianjurkan untuk mengucapkan; ya Allah sesungguhnya aku ingin
melakukan nusuk ini.. maka mudahkanlah untukku. Jika ada yang
menghalangiku maka tempatku adalah di mana engkau menahanku (Zadu
Al-Mustanqo’, hlm 87)
Kelima;
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Melafalkan Niat Ketika hendak Berkurban
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
melafalkan niatnya ketika hendak menyembelih kurbannya. Hadisnya adalah
sebagai berikut;
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا
قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ وَأَتَى بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ وَقَالَ
بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ
مِنْ أُمَّتِيِِِِ (مسند أحمد (23/ 172)
dari Jabir bin Abdullah berkata; saya menyaksikan penyembelihan bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di sebuah tempat shalat. Tatkala
beliau selesai khutbahnya, beliau turun dari mimbarnya dan membawa
kambing lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyembelih dengan
tangan beliau dan berkata; BISMILLAH WA ALLOHU AKBAR, ini adalah dariku
dan dari orang yang belum berkurban dari kalangan umatku. (H.R.Ahmad)
‘Alauddin Al-Kasany dalam kitabnya Bada-I’ As-Shona-I’ ketika berbicara
niat dalam berkurban mengatakan bahwa pelafalan adalah bukti/dalil yang
menunjukkan/mengekspresikan niat yang ada dalam hati. Beliau berkata;
بدائع الصنائع (10/ 281)
وَيَكْفِيهِ أَنْ يَنْوِيَ بِقَلْبِهِ وَلَا يُشْتَرَطُ أَنْ يَقُولَ
بِلِسَانِهِ مَا نَوَى بِقَلْبِهِ كَمَا فِي الصَّلَاةِ ؛ لِأَنَّ
النِّيَّةَ عَمَلُ الْقَلْبِ ، وَالذِّكْرُ بِاللِّسَانِ دَلِيلٌ عَلَيْهَا
(في موضوع الأضحية)
cukup baginya berniat dengan hatinya dan tidak disyaratkan melafalkan
dengan lisan apa yang diniatkan oleh hatinya sebagaimana dalam shalat.
Niat adalah amal hati, dan penyebutan dengan lisan menjadi penunjuk niat
tersebut (Bada-I’ As-Shona-I’,vol.10, hlm 281)
Penyebutan pelafalan niat oleh Al-Kasany pada saat berkurban dengan cara
penyebutan yang positif menunjukkan bahwa beliau termasuk yang tidak
mempermasalahkan pelafalan niat dalm berkurban, sekaligus menunjukkan
bahwa hadis nabi di atas memang bermakna pelafalan niat oleh nabi.
Abdul Hayyi Yusuf juga membolehkan pelafalan niat saat berkurban. Beliau berkata;
فلا مانع من أن يقول المضحي عند ذبح أضحيته: “اللهم هذه عن فلان وآل فلان”؛
اقتداء بالنبي الأكرم صلى الله عليه وسلم، وإلا فالنية في الأصل محلها
القلب، والله أعلم.
Tidak masalah orang yang berkurban saat menyembelih kurbannya
mengucapkan : Ya Allah, ini adalah kurban untuk fulan dan keluarga
fulan (Fatwa Abdul Hayyi Yusuf)
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni malah memandangnya termasuk hal yang baik
karena dicontohkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Beliau
berkata;
المغني (21/ 497)
وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ يَقُولَ عِنْدَ الذَّبْحِ عَمَّنْ لِأَنَّ
النِّيَّةَ تُجْزِئُ لَا أَعْلَمُ خِلَافًا فِي أَنَّ النِّيَّةَ تُجْزِئُ ،
وَإِنْ ذَكَرَ مَنْ يُضَحِّي عَنْهُ فَحَسَنٌ ؛ لِمَا رَوَيْنَا مِنْ
الْحَدِيثِ
Tidak menjadi keharusan bagi orang yang berkurban pada saat menyembelih
mengucapkan; Ini kurban untuk…dst karena niat saja sudah sah/cukup. Saya
tidak mengetahui ada perselisihan bahwa niat saja sudah sah. Jika orang
yang berkurban menyebut (dalam niatnya) kurbannya untuk siapa, maka hal
tersebut adalah baik berdasarkan hadis yang telah kami riwayatkan
(Al-Mughni, vol. 21, hlm 497)
Markazul Fatwa dibawah supervisi Abdullah Al-Faqih juga memberikan fatwa senada. Redaksi fatwanya adalah sebagai berikut;
فتاوى الشبكة الإسلامية (6/ 2746)
أما بخصوص التلفظ بالنية أثناء الذبح فإن قصدت به قول المضحي أو نائبه:
اللهم هذا منك ولك، أو اللهم تقبل مني أو من فلان، فهذا لا حرج فيه؛ بل عده
ابن قدامة من الأمور الحسنة عند كثير من العلماء. والله أعلم.
المفتي: مركز الفتوى بإشراف د.عبدالله الفقيه
Terkait pelafalan niat saat menyembelih, jika yang dimaksud adalah
ucapan orang yang berkurban/wakilnya: “ya Allah ini dariMu dan untukMu”
atau “Ya Allah terimalah dariku” atau “dari fulan”, maka ini tidak ada
keberatan. Bahkan Ibnu Qudamah memandangnya termasuk perkara-perkara
yang baik bagi mayoritas ulama. Wallahua’lam. Mufti: Markazul Fatwa
dibawah supervisi Abdullah Al-Faqih (Fatawa As-Syabakah Al-Islamiyyah,
vol.6, hlm 2746)
Semua komentar, penjelasan dan fatwa ulama di atas menunjukkan bahwa
mereka secara eksplisit atau implisit mengakui bahwa hadis berkurban
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah pelafalan niat
berkurban, sehingga dari situ biasa ditarik kesimpulan yang lebih umum
yakni melafalkan niat dalam ibadah hukumnya mubah sebagaimana pelafalan
niat dalam haji dan umroh.
Ucapan nabi yang berbunyi;
هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِيِِِِ
ini adalah dariku dan dari orang yang belum berkurban dari kalangan umatku
ucapan ini tidak bisa difahami sebagai doa, karena doa adalah permintaan
hamba kepada Robbnya, sementara lafadz yang diucapkan Nabi bukanlah
permintaan. Lafadz tersebut adalah ekspresi maksud dari melakukan ibadah
berkurban, sehingga lebih tepat disebut sebagai pelafalan niat, bukan
doa. Lafadz yang lebih layak difahami sebagai doa adalah lafadz semisal
“Allahumma taqobbal minni..” (ya Allah terimalah dariku) dan yang
semakna dengannya.
Keenam;
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Melafalkan Niat Puasa Sunnah Saat tidak Ada Makanan
Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melafalkan niat puasa sunnah ketika tidak ada makanan:
صحيح مسلم (6/ 26)
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ هَلْ عِنْدَكُمْ
شَيْءٌ فَقُلْنَا لَا قَالَ فَإِنِّي إِذَنْ صَائِمٌ
dari Aisyah Ummul Mukminin, ia berkata; Pada suatu, Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai
makanan?” kami menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda: “Kalau begitu, saya
akan berpuasa.” (H.R.Muslim)
An-Nawawy berkata ketika mensyarahi hadis ini;
شرح النووي على مسلم (8/ 35)
وفيه دليل لمذهب الجمهور أن صوم النافلة يجوز بنية في النهار قبل زوال الشمس
Dalam hadis ini terdapat dalil bagi madzhab Jumhur, yakni bahwa puasa
nafilah boleh niatnya di siang hari sebelum matahari tergelincir (Syarah
An-Nawawy ‘Ala Muslim, vol.8, hlm 35)
An-Nawawy dengan tegas menjelaskan bahwa hadis tersebut menjadi dalil
bagi jumhur ulama yang membolehkan niat puasa sunnah di siang hari.
Maknanya Jumhur termasuk An-Nawawy memahami bahwa ucapan Rasulullah
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang berbunyi;
فَإِنِّي إِذَنْ صَائِمٌ
“Kalau begitu, saya akan berpuasa.”
Ucapan ini adalah niat berpuasa setelah tidak mendapati makanan yang
bisa dimakan. Jadi, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
melafalkan niatnya, sehingga hadis ini bisa menjadi dalil kemubahan
pelafalan niat, karena Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah
melafalkan niat puasa.
Pemaknaan yang sama dengan an-Nawawy diberikan oleh ‘Athiyyah Muhammad Salim. Beliau berkata;
شرح بلوغ المرام للشيخ عطية محمد سالم (145/ 2، بترقيم الشاملة آليا)
وإذا ثبتت لفظة (إذاً) فهي تدل على إنشاء النية نهاراً
Jika lafadz Idzan sudah diakui memang ada, maka hal tersebut menunjukkan
pemunculan niat dilakukan di siang hari (Syarah Bulughu Al-Marom
Lisy-Syaikh ‘Athiyyah Muhammad Salim, vol.2, hlm 145)
Demikian pula Ubaidullah Al-Mubarokfury dalamMirqot Al-Mafatih Syarah Misykat Al-Mashobih. Beliau berkata;
مرقاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح (6/ 406)
فإني إذن أصوم يدل على جواز نية النفل في النهار وبه قال الأكثرون
Lafadz “kalau begitu aku berpuasa” menunjukkan bolehnya berniat puasa
nafilah pada siang hari. Ini adalah pendapat mayoritas (Mirqot
Al-Mafatih Syarah Misykat Al-Mashobih, vol.6, hlm 406)
Termasuk Ibnu ‘Utsaimin. Yang menarik, meskipun Ibnu ‘Utsaimin termasuk
ulama yang mengharamkan pelafalan niat, namun ketika mensyarah hadis ini
beliau tidak mengingkari bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ َ berniat puasa saat mengucapkan tersebut. Artinya bisa
difahami bahwa Ibnu ‘Utsaimin juga mengakui bahwa hadis tersebut adalah
pelafalan niat puasa oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Beliau berkata;
الشرح المختصر على بلوغ المرام (6/ 5) محمد بن صالح بن عثيمين
يعني في الحال فنوى الصيام في الحال
Yakni saat itu juga. Jadi, beliau (Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ) berniat puasa saat itu juga (Asy-Syarh Al-Mukhtashor ‘Ala
Bulugh Al-Marom, vol.5 hlm 6)
Ucapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Kalau begitu, saya
akan berpuasa” tidak bisa disebut Ikhbar (pemberian informasi), karena
pemberian informasi hanya bisa dilakukan jika sesuatu sudah terjadi.
Sebelum ucapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tersebut
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ belum berpuasa, sehingga
mustahil Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memberitahu sesuatu
yang belum terjadi dan belum ada. Jadi ucapan Rasulullah صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ lebih tepat dan sesuai konteks hadis jika difahami
pelafalan niat, bukan yang lain.
Memberi takwil bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sudah
berniat puasa sejak malam adalah takalluf (memaksa-maksa) yang
berlebihan. Hal itu dikarenakan klaim ini sama sekali tidak didukung
oleh Nash apapun, dan bertentangan dengan redaksi riwayat yang
menunjukkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mencari makanan
di pagi hari. Ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mencari
makanan maka hal itu adalah bukti yang jelas bahwa beliau tidak sedang
berpuasa. Lagi pula niat harus jazim (pasti) dan tidak boleh ragu-ragu.
Niat membatalkan maka bermakna batal seterusnya tanpa bisa dikoreksi.
Seandainya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memang sudah
berniat puasa di malam hari, dengan upaya mencari makanan itu berarti
beliau telah membatalkan puasanya. Niat membatalkan puasa tidak bisa
digagalkan dengan niat baru. Lagipula seandainya beliau sudah berniat
puasa di malam hari seharusnya beliau mengatakan: “kalau begitu saya
meneruskan puasa”, bukan “kalau begitu saya akan berpuasa”.
Ketujuh;
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Melafalkan Niat Puasa Tasu’a
Hadis menunjukkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
pernah melafalkan niat puasa Tasu’a’, yaitu puasa tanggal 9 Muharram.
Imam Muslim meriwayatkan;
صحيح مسلم (5/ 480)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى
قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ
dari Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma, ia berkata; Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Seandainya tahun depan aku masih hidup,
niscaya saya benar-benar akan berpuasa pada hari ke sembilan
–Muharram-.” (H.R.Muslim)
An-Nawawy menjelaskan dalam Syarahnya, bahwa berpuasa tanggal 9 Muharram
hukumnya sunnah karena Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
berniat puasa Tasu’a, meskipun secara riil beliau belum pernah puasa
dihari itu karena didahului wafat. An-Nawawy berkata;
شرح النووي على مسلم (8/ 12)
قال الشافعي وأصحابه وأحمد واسحاق وآخرون يستحب صوم التاسع والعاشر جميعا لأن النبي صلى الله عليه و سلم صام العاشر ونوى صيام التاسع
As-Syafi’i dan murid-muridnya, Ahmad, Ishaq dan yang lainnya
menganjurkan puasa tanggal 9 dan 10 Muharrom karena nabi berpuasa
tanggal 10 danberniat puasa tanggal 9 (Syarh An-Nawawy ‘Ala Muslim,
vol.8, hlm 12)
Penjelasan An-Nawawy terkait ucapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang berbunyi;
لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ
“Seandainya tahun depan aku masih hidup, niscaya saya benar-benar akan berpuasa pada hari ke sembilan –Muharram-.”
Yang mana ucapan tersebut ditafsiri sebagai niat berpuasa tanggal 9
Muharram, menunjukkan An-Nawawy mengakui bahwa ucapan tersebut adalah
ucapan niat. Hal ini bermakna Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
melafalkan niatnya untuk berpuasa Tasu’a, sehingga hadis ini juga
menjadi dalil mubahnya melafalkan niat.
Kedelapan;
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengisahkan cerita seorang lelaki yang melafalkan niatnya untuk bershodaqoh.
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah menceritakan sebuah
kisah kepada shahabat tentang cerita seorang lelaki yang bershodaqoh,
namun tidak tepat sasaran. Pesan dalam cerita tersebut adalah hendaknya
setiap muslim tidak merasa rugi ketika bershodaqoh, meski orang yang
dishodaqohi tidak seperti yang diinginkan. Tidak perlu merasa rugi
karena niat yang baik sudah dibalas oleh Allah. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (5/ 238)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ رَجُلٌ لَأَتَصَدَّقَنَّ
بِصَدَقَةٍ فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدِ سَارِقٍ
فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُونَ تُصُدِّقَ عَلَى سَارِقٍ فَقَالَ اللَّهُمَّ
لَكَ الْحَمْدُ لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ
فَوَضَعَهَا فِي يَدَيْ زَانِيَةٍ فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُونَ تُصُدِّقَ
اللَّيْلَةَ عَلَى زَانِيَةٍ فَقَالَ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ عَلَى
زَانِيَةٍ لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا
فِي يَدَيْ غَنِيٍّ فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُونَ تُصُدِّقَ عَلَى غَنِيٍّ
فَقَالَ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ عَلَى سَارِقٍ وَعَلَى زَانِيَةٍ
وَعَلَى غَنِيٍّ فَأُتِيَ فَقِيلَ لَهُ أَمَّا صَدَقَتُكَ عَلَى سَارِقٍ
فَلَعَلَّهُ أَنْ يَسْتَعِفَّ عَنْ سَرِقَتِهِ وَأَمَّا الزَّانِيَةُ
فَلَعَلَّهَا أَنْ تَسْتَعِفَّ عَنْ زِنَاهَا وَأَمَّا الْغَنِيُّ
فَلَعَلَّهُ يَعْتَبِرُ فَيُنْفِقُ مِمَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ
dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu; Rasulullah
Shallallahu’alaihiwasallam berkata,: “Ada seorang laki-laki berkata,:
Aku benar-benar akan bershadaqah. Lalu dia keluar dengan membawa
shadaqahnya dan ternyata jatuh ke tangan seorang pencuri. Keesokan
paginya orang-orang ramai membicarakan bahwa dia telah memberikan
shadaqahnya kepada seorang pencuri. Mendengar hal itu orang itu
berkata,: “Ya Allah segala puji bagiMu, Aku benar-benar akan bershadaqah
lagi”. Kemudian dia keluar dengan membawa shadaqahnya lalu ternyata
jatuh ke tangan seorang pezina. Keesokan paginya orang-orang ramai
membicarakan bahwa dia tadi malam memberikan shadaqahnya kepada seorang
pezina. Maka orang itu berkata, lagi: Ya Allah segala puji bagiMu,
(ternyata shadaqahku jatuh) kepada seorang pezina, Aku benar-benar akan
bershadaqah lagi. Kemudian dia keluar lagi dengan membawa shadaqahnya
lalu ternyata jatuh ke tangan seorang yang kaya. Keesokan paginya
orang-orang kembali ramai membicarakan bahwa dia memberikan shadaqahnya
kepada seorang yang kaya. Maka orang itu berkata,: Ya Allah segala puji
bagiMu, (ternyata shadaqahku jatuh) kepada seorang pencuri, pezina, dan
orang kaya. Setelah itu orang tadi bermimpi dan dikatakan padanya:
“Adapun shadaqah kamu kepada pencuri, mudah-mudahan dapat mencegah si
pencuri dari perbuatannya, sedangkan shadaqah kamu kepada pezina,
mudah-mudahan dapat mencegahnya berbuat zina kembali dan shadaqah kamu
kepada orang yang kaya mudah-mudahan dapat memberikan pelajaran baginya
agar menginfaqkan harta yang diberikan Allah kepadanya”. (H.R.Bukhari)
Faishol Al-Mubarok dalam kitabnya Tath-riz Riyadh As-Sholihin
menjelaskan berdasarkan hadis ini bahwa niat baik sudah cukup untuk
membuat shodaqoh seseorang diterima, meski shodaqoh tersebut tidak tepat
sasaran, seperti diterima oleh orang kaya, pelacur, pencuri dll. Beliau
berkata;
تطريز رياض الصالحين (ص: 1057)
وفيه: أن نية المتصدق إذا كانت صالحة، قبلت صدقته ولو لم تقع الموقع
Diantara makna hadis ini: Niat orang yang bershodaqoh jika baik maka
shodaqohnya diterima meskipun shodaqoh tersebut tidak tepat sasaran
(Tath-riz Riyadh As-Sholihin, hlm 1057)
Penafsiran beliau terkait niat dan ketepatan sasaran shodaqoh dalam
hadis ini menunjukkan pengakuan beliau bahwa ucapan lelaki dalam hadis
di atas yang berbunyi;
لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ
Aku benar-benar akan bershadaqah
Ucapan tersebut maknanya adalah pelafalan niat shodaqoh. Karena itu
hadis ini juga menjadi dalil kebolehan melafalkan niat ibadah, karena
shodaqoh termasuk ibadah sebagaimana haji, puasa, dan berkurban.
Diamnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ terhadap pelafalan
lelaki yang berniat bershodaqoh tanpa pengingkaran menjadi taqrir beliau
bahwa pelafalan niat itu mubah dan tidak termasuk kemunkaran.
Tidak bisa dikatakan bahwa kisah lelaki yang mengucapkan niat shodaqoh
itu adalah syariat umat sebelum umat Islam, sehingga berlaku pada umat
itu dan tidak berlaku bagi umat Islam. Gugatan ini tidak dapat diterima,
karena dalil pelafalan niat bukan hanya hadis ini tetapi juga banyak
Nash yang lain. Lagipula, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
menceritakan kisah lelaki ini adalah sebagai penjelasan syariat untuk
dilaksanakan umatnya, bukan sekedar cerita hiburan. Tambahan lagi,
syariat umat sebelum kita jika tidak bisa diterapkan oleh umat Islam,
maka harus ada dalil yang menunjukkannya, misalnya cara bertaubat dari
syirik. Dalam syariat bani Israil cara bertaubat dari syirik adalah
membunuh diri sementara dalam syariat Islam cukup taubat Nashuha.
Kesembilan;
Seorang Arab Badui Melafalkan Niat Hijrah Di Hadapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Tanpa Ada Pengingkaran.
An-Nasai meriwayatkan;
سنن النسائي (7/ 38)
عَنْ شَدَّادِ بْنِ الْهَادِ أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَعْرَابِ جَاءَ إِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَآمَنَ بِهِ وَاتَّبَعَهُ
ثُمَّ قَالَ أُهَاجِرُ مَعَكَ فَأَوْصَى بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْضَ أَصْحَابِهِ
dari Syaddad bin Al Had bahwa seorang laki-laki dari seorang badui
datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ia beriman dan
mengikuti beliau. Kemudian dia berkata, “Aku akan berhijrah bersama
engkau”. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berpesan
kepada sebagian Shahabat beliau agar berbuat baik kepada orang tersebut.
(H.R.An-Nasai)
Ucapan arab badui yang berbunyi;
أُهَاجِرُ مَعَكَ
“Aku akan berhijrah bersama engkau”
Ucapan tersebut menunjukkan bahwa badui tersebut melafalakan niatnya
berhijrah bersama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . As-Sindy
menjelaskan makna lafadz tersebut sebagai berikut;
حاشية السندي على النسائي (4/ 60)
أي أسكن معك مهاجرا
Artinya; aku tinggal bersamamu dengan ikut berhijrah (Hasyiyah As-Sindy ‘Ala An-Nasai, vol.4, hlm 60)
Yakni, arab badui itu berniat hijrah untuk tinggal bersama Rasulullah
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, karena niat adalah menyengaja dan
memaksudkan sesuatu. Keinginan secara sengaja dan maksud untuk tinggal
bersama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menunjukkan arab
badui tersebut berniat hijrah dan tinggal bersama Rasulullah صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Ketika pelafalan niat tersebut tidak diingkari
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka hal ini menunjukkan
mubah hukumnya melafalkan niat dalam ibadah hijrah, sebagaimana
ibadah-ibadah yang lain.
Kesepuluh:
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melafalkan niatnya berjihad memerangi Quraisy.
Abu Dawud meriwayatkan;
سنن أبى داود (9/ 110)
عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ وَاللَّهِ لَأَغْزُوَنَّ قُرَيْشًا وَاللَّهِ لَأَغْزُوَنَّ
قُرَيْشًا وَاللَّهِ لَأَغْزُوَنَّ قُرَيْشًا ثُمَّ قَالَ إِنْ شَاءَ
اللَّهُ
dari Ikrimah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Demi Allah, sungguh aku akan memerangi Quraisy, demi Allah, sungguh aku
akan memerangi Quraisy, demi Allah, sungguh aku akan memerangi
Quraisy.” Kemudian beliau bersabda: “insya Allah.” (H.R.Abu Dawud)
Jihad adalah ibadah. Ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
melafalkan keinginanannya untuk berjihad memerangi orang-orang Quraisy,
maka hal ini menunjukkan bahwa beliau melafalkan niat jihad. Meskipun
para fuqoha’ dalam membahas hadis ini sorotan utamanya adalah terkait
hukum sumpah, namun dari segi bahwa niat adalah menyengaja untuk
melakukan perbuatan dan tekat kuat untuk berbuat sesuatu, maka keinginan
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berjihad memerangi
orang-orang quraisy itu termasuk dalam cakupan keumuman definisi niat.
Karena itu hadis ini bisa dijadikan sebagai dalil untuk menunjukkan
mubahnya pelafalan niat dalam ibadah.
Yang semakna dengan ini adalah pelafalan niat yang dilakukan sejumlah
shahabat yang bertekad puasa terus menerus dan shalat malam terus
menerus. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (11/ 227)
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيَّبِ أَخْبَرَهُ وَأَبَا
سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي أَقُولُ وَاللَّهِ لَأَصُومَنَّ النَّهَارَ
وَلَأَقُومَنَّ اللَّيْلَ مَا عِشْتُ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْتَ الَّذِي تَقُولُ وَاللَّهِ لَأَصُومَنَّ
النَّهَارَ وَلَأَقُومَنَّ اللَّيْلَ مَا عِشْتُ قُلْتُ قَدْ قُلْتُهُ
قَالَ إِنَّكَ لَا تَسْتَطِيعُ ذَلِكَ فَصُمْ وَأَفْطِرْ وَقُمْ وَنَمْ
وَصُمْ مِنْ الشَّهْرِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَإِنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ
أَمْثَالِهَا وَذَلِكَ مِثْلُ صِيَامِ الدَّهْرِ فَقُلْتُ إِنِّي أُطِيقُ
أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ
يَوْمَيْنِ قَالَ قُلْتُ إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ قَالَ
فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا وَذَلِكَ صِيَامُ دَاوُدَ وَهُوَ
أَعْدَلُ الصِّيَامِ قُلْتُ إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْهُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ قَالَ لَا أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ
dari Ibnu Syihab bahwa Sa’id bin Al Musayyab dan Abu Salamah bin ‘Abdur
Rahman mengabarkan kepadanya bahwa ‘Abdullah bin ‘Amru radliallahu
‘anhuma berkata; Disampaikan kabar kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bahwa aku berkata; “Demi Allah, sungguh aku akan berpuasa
sepanjang hari dan sungguh aku akan shalat malam sepanjang hidupku.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya
(‘Abdullah bin ‘Amru): “Benarkah kamu yang berkata; “Sungguh aku akan
berpuasa sepanjang hari dan sungguh aku pasti akan shalat malam
sepanjang hidupku?“. kujawab; “Demi bapak dan ibuku sebagai tebusannya,
sungguh aku memang telah mengatakannya”. Maka Beliau berkata: “Sungguh
kamu pasti tidak akan sanggup melaksanakannya. Akan tetapi berpuasalah
dan berbukalah, shalat malam dan tidurlah dan berpuasalah selama tiga
hari dalam setiap bulan karena setiap kebaikan akan dibalas dengan
sepuluh kebaikan yang serupa dan itu seperti puasa sepanjang tahun.” Aku
katakan; “Sungguh aku mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah”. Belau
berkata: “Kalau begitu puasalah sehari dan berbukalah selama dua hari”.
Aku katakan lagi: “Sungguh aku mampu yang lebih dari itu”. Beliau
berkata: “Kalau begitu puasalah sehari dan berbukalah sehari, yang
demikian itu adalah puasa Nabi Allah Daud ‘alaihi salam yang merupakan
puasa yang paling utama”. Aku katakan lagi: “Sungguh aku mampu yang
lebih dari itu”. Maka beliau bersabda: “Tidak ada puasa yang lebih utama
dari itu”. (H.R.Bukhari)
Kesebelas;
Sejumlah Shahabat Merekomendasikan Pelafalan Niat Dan Melakukan Pelafalan Niat Dalam Ibadah
As-Syafi’i meriwayatkan bahwa Aisyah merekomendasikan pelafalan niat saat Haji. Beliau berkata;
مسند الشافعي ترتيب السندي (ص: 1048)
( أخبرنا ) : سُفْيانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عن هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عن أبيه قال :
– قالتْ لي عائشةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْها : هَلْ تَثْتَثْنِي إذَا
حَجَجْتَ ؟ قال : فقُلْتُ لها مَاذَا أقُولُ ؟ فقالتْ قُلْ اللَّهُمَّ
الحَجَّ أرَدْتُ ولهُ عَمَدْتُ فَإنْ يَسَّرْتَهُ فَهُو الحَجُّ وإنْ
حَبَسَني حَابِسٌ فَهِيَ عُمْرَةٌ
Sufyan bin ‘Uyainah memberitahu kami dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya
beliau berkata. Aisyah Ra. berkata; Apakah engkau mengucapkan
perkecualian jika berhaji? Urwah bertanya; Apa yang aku katakan?Aisyah
menjawab, katakan; Ya Allah, aku ingin berhaji, dan untuk berhaji aku
menyengaja. Jika engkau memudahkanku maka itu adalah haji. Jika ada yang
menghalangiku, maka itu adalah umroh (H.R.As-Syafi’i)
At-Thohawy juga meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas pernah melafalkan niatnya untuk berpuasa. Dalam Ma’ani Al-Atsar disebutkan;
معاني الآثار (4/ 104)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ كَانَ يُصْبِحُ حَتَّى يُظْهِرَ , ثُمَّ
يَقُولُ ( وَاَللَّهِ لَقَدْ أَصْبَحْتُ , وَمَا أُرِيدُ الصَّوْمَ , وَمَا
أَكَلْت مِنْ طَعَامٍ وَلاَ شَرَابٍ مُنْذُ الْيَوْمِ , وَلاََصُومَنَّ
يَوْمِي هَذَا
Dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya beliau berada di pagi hari hingga waktu
dhuhur, kemudian beliau berkata; Demi Allah aku telah berada di waktu
pagi sementara aku belum menginginkan/berniat puasa. Dan aku tidak
makan makanan ataupun minuman apapun di hari ini. Aku sungguh akan
berpuasa hari ini(Ma’ani Al-Atsar, vol.4, hlm 104)
Bukhari juga meriwayatkan dalam Shahihnya secara Mu’allaq dengan Shighot
Jazm bahwa Abu Ad-Darda’ melafalkan niat puasa. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (7/ 4)
وَقَالَتْ أُمَّ الدَّرْدَاءِ كَانَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُولُ عِنْدَكُمْ
طَعَامٌ فَإِنْ قُلْنَا لَا قَالَ فَإِنِّي صَائِمٌ يَوْمِي هَذَا
وَفَعَلَهُ أَبُو طَلْحَةَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ وَابْنُ عَبَّاسٍ
وَحُذَيْفَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
Ummu Ad-Darda’ berkata: Kebiasaan Abu Ad-Darda’ jika bertanya: Apakah
ada makanan?,lalu kami menjawab: Tidak, maka beliau berkata; Aku puasa
hari ini. Abu Tholhah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, dan Hudzaifah juga
melakukan kebiasaan ini (H.R.Bukhari)
Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa shahabat-shahabat besar seperti
Aisyah, Ibnu Abbas, Abu Ad-Darda’, Abu Hurairah, Abu Tholhah, dan
Hudzaifah memandang bahwa pelafalan niat ibadah bukanlah suatu hal yang
tabu. Mereka melakukannya dan tidak memandangnya sebagai suatu hal yang
haram. Apa yang dilakukan saudara Syubrumah ketika melafalkan niat haji
dan juga arab badui ketika melafalkan niat hijrah semakin menguatkan
kesimpulan ini.
Inilah argumentasi-argumentasi terpenting yang menunjukkan mubahnya
pelafalan niat. Semua argumentasi di atas saling menguatkan satu sama
lain dan menunjukkan bahwa melafalkan niat dalam ibadah hukumnya adalah
mubah. Melafalkan niat hukumnya mubah selama lafadz niatnya tidak
bertentangan dengan syara’ baik untuk kepentingan mengajari, menguatkan
niat, menghilangkan was-was, menegaskan maksud, memberitahu, dan semua
kepentingan yang syar’i. Tidak dibatasinya kepentingan pelafalan
dikarenakan tidak ada Nash yang membatasi kebolehan tersebut, sehingga
kebolehannya berlaku umum sebagaimana keumuman lafadz yang menunjukkan
kemubahannya.
Kemubahan tersebut adalah kemubahan dari segi pelafalan itu sendiri,
sehingga pelafalan niat tidak menjadi syarat sah, sifat wajib, apalagi
rukun niat. Sesuatu menjadi syarat sah, sifat wajib, atau rukun harus
dinyatakan dengan dalil sementara dalil-dalil yang ada tidak menunjukkan
bahwa pelafalan adalah syarat sah, sifat wajib atau rukun.
Hanya saja, jika niat dilafalkan, hendaknya hal tersebut tidak dilakukan
secara terus menerus karena tidak ada riwayat bahwa Rasulullah صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ terus menerus melafalkan niat, sebagaimana para
shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in juga tidak didapati diriwayatkan
melafalkan niat secara terus menerus. Jadi, yang lebih dekat kepada
cara ibadah genarasi terbaik umat ini adalah cukup berniat dalam hati
dan itulah bentuk yang paling afdhol. Jika problem yang dihadapi adalah
penyakit was-was, maka obatnya adalah ilmu terhadap syariat sebagaimana
keterangan As-Syafi’i. As-Suyuthy menulis;
الأمر بالاتباع والنهي عن الابتداع (ص: 31، بترقيم الشاملة آليا)
وقال الشافعي رحمه الله: الوسوسة في نية الصلاة والطهارة من جهل بالشرع أو خبل في العقل.
As-Syafi’i berkata: was-was dalam niat shalat dan Thaharoh adalah
dikarenakan kebodohan terhadap syariat atau kekacauan dalam pikiran
(Al-Amru bil Ittiba’ Wn-Nahyu ‘An Al-Ibtida’, hlm 31)
Jika pelafalan itu dilakukan dalam sebuah situasi bersama orang lain,
maka disyaratkan pelafalan itu tidak boleh dilakukan sampai taraf
mengganggu orang lain. Mengeraskan suara yang mengganggu ibadah orang
lain hukumnya haram. Dalil yang menunjukkan keharamannya adalah
hadis-hadis berikut ini;
موطأ مالك – مكنز (1/ 226، بترقيم الشاملة آليا)
عَنِ الْبَيَاضِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ
عَلَى النَّاسِ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَقَدْ عَلَتْ أَصْوَاتُهُمْ
بِالْقِرَاءَةِ فَقَالَ « إِنَّ الْمُصَلِّىَ يُنَاجِى رَبَّهُ
فَلْيَنْظُرْ بِمَا يُنَاجِيهِ بِهِ وَلاَ يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى
بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ ».
dari Al Bayadli, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menemui
orang-orang ketika mereka sedang shalat. Mereka mengeraskan bacaan di
dalamnya, maka beliau bersabda: “Sesungguhnya orang yang shalat itu
sedang bermunajat kepada Rabbnya, maka lihatlah apa yang dia bisikkan.
Janganlah sebagian dari kalian mengeraskan bacaannya atas sebagian yang
lain! ” (H.R.Malik)
سنن أبى داود – م (1/ 510)
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ قَالَ : اعْتَكَفَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- فِى الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ فَكَشَفَ
السِّتْرَ وَقَالَ : « أَلاَ إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلاَ
يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلاَ يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ
فِى الْقِرَاءَةِ ». أَوْ قَالَ : « فِى الصَّلاَةِ ».
dari Abu Sa’id dia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
beri’tikaf di Masjid, lalu beliau mendengar mereka (para sahabat)
mengeraskan bacaan (Al Qur’an) mereka. kemudian beliau membuka tirai
sambil bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya kalian tengah bermunajat
dengan Rabbnya, oleh karena itu janganlah sebagian yang satu mengganggu
sebagian yang lain dan jangan pula sebagian yang satu mengeraskan
terhadap sebagian yang lain di dalam membaca (Al Qur’an) atau dalam
shalatnya.” (H.R.Abu Dawud)
Jika pelafalan niat itu untuk selain ibadah seperti jual beli, ijaroh,
wakalah, syirkah, nikah, talak, rujuk, sumpah, nadzar dan yang semisal,
maka lebih jelas lagi kemubahannya tanpa ada perselisihan karena semua
hal itu terkait muamalah.
MENDISKUSIKAN PENDAPAT YG MENGHARAMKAN PELAFALAN NIAT
Sebagian kaum muslimin berpendapat bahwa melafalkan niat dalam ibadah
adalah haram, bahkan bid’ah. Berikut ini akan dipaparkan
argumentasi-argumentasi dari pendapat tersebut untuk didiskusikan lebih
lanjut dan diulas secukupnya.
Pendapat yang mengharamkan pelafalan niat dalam ibadah mendasarkan kesimpulan hukum tersebut pada argumen-argumen di bawah ini;
Pertama;
Tidak ada riwayat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, Shahabat,
Tabi’in, Tabi’ut- Tabi’in, imam Madzhab yang empat, dan ulama-ulama
salaf yang menunjukkan mereka melafalkan niat. Mereka adalah generasi
terbaik umat ini. Seandainya pelafalan niat disyariatkan, seharusnya
mereka yang pertama kali melakukannya. Tidak adanya riwayat menunjukkan
pelafalan niat tidak disyariatkan, haram, dan termasuk kemunkaran.
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Mengatakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak pernah
melakukan pelafalan niat terbantahkan dengan riwayat-riwayat yang
dengan lugas menunjukkan bahwa beliau pernah melafalkan niat (saat
haji-umroh, puasa, berkurban, dan jihad), merekomendasikan pelafalan
niat (seperti kisah Dhuba’ah) , mendiamkan pelafalan niat (seperti
kasus saudara Syubrumah dan orang Arab Badui yg mau berhijrah), dilapori
pelafalan niat (seperti niat shahabat yg mau shalat malam seumur hidup
dan berpuasa seumur hidup), dan menceritakan pelafalan niat (seperti
kasus lelaki yang berniat shodaqoh).
Ibnu Hajar Al-Haitamy dalam kitabnya Tuhfatu Al-Muhtaj Fi Syarhi
Al-Minhaj membantah pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada riwayat
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melafalkan niat. Beliau
berkata;
تحفة المحتاج في شرح المنهاج (5/ 285)
( وَيَنْدُبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ )
لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ
وَإِنْ شَذَّ وَقِيَاسًا عَلَى مَا يَأْتِي فِي الْحَجِّ الْمُنْدَفِعِ
بِهِ التَّشْنِيعُ بِأَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ
Dianjurkan melafalkan sesuatu yang diniatkan sesaat sebelum Takbirotul
Ihram agar lisan membantu hati, dan demi menghindar dari berselisih
dengan orang yang mewajibkan pelafalan niat meskipun pendapat yang
mewajibkan tersebut adalah syadz. Juga sebagai bentuk Qiyas terhadap
riwayat pelafalan niat dalam haji, yang dengannya tertolak kritikan
keras yang menyatakan bahwa pelafalan niat tidak pernah diriwayatkan
(Tuhfatu Al-Muhtaj Fi Syarhi Al-Minhaj, vol 5, hlm 285)
Lebih tepat jika dikatakan; tidak ada riwayat bahwa Nabi terus menerus
melafalkan niat ibadah. Statemen ini lebih tepat karena jika pelafalan
niat itu dilakukan secara terus-menerus kontinyu dan istiqomah, maka
status hukumnya bukan lagi mubah, tetapi bisa naik menjadi sunnah atau
bahkan wajib. Maka tatkala riwayat yang ada nabi hanya sesekali
melafalkan niat, hal itu menunjukkan hukum mubahnya, bukan haram, sunnah
apalagi wajib.
Lagipula, sesuatu yang tidak dilakukan nabi tidak bisa serta merta
langsung dihukumi haram karena apa yang ditinggalkan/tidak dilakukan
Nabi memiliki sejumlah kemungkinan makna.
Sesuatu yang ditinggalkan/tidak dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bisa karena hukumnya tidak wajib. Misalnya berwudhu
setelah memakan makanan yang dimasak api. Rasulullah صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak berwudhu setelah memakan makanan yang dimasak
oleh api. Wudhu yang ditinggalkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ini bermakna hukum melakukannya tidak wajib. Maksudnya, tidak
wajib orang yang memakan makanan yang dimasak dengan api untuk berwudhu
sesudahnya. Abu Dawud meriwayatkan;
سنن أبى داود – م (1/ 75)
عَنْ جَابِرٍ قَالَ كَانَ آخِرُ الأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- تَرْكَ الْوُضُوءِ مِمَّا غَيَّرَتِ النَّارُ
dari Jabir dia berkata; Akhir dari dua perkara dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam adalah; Beliau tidak berwudhu karena makan
sesuatu yang disentuh api (H.R.Abu Dawud)
Bisa juga Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meninggalkan
sesuatu karena perasaan jijik/tidak terbiasa saja sementara hukum
sebenarnya adalah halal. Misalnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ tidak mau memakan biawak panggang yang dihidangkan di depan
beliau. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (17/ 6)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ قَالَ
أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِضَبٍّ مَشْوِيٍّ
فَأَهْوَى إِلَيْهِ لِيَأْكُلَ فَقِيلَ لَهُ إِنَّهُ ضَبٌّ فَأَمْسَكَ
يَدَهُ فَقَالَ خَالِدٌ أَحَرَامٌ هُوَ قَالَ لَا وَلَكِنَّهُ لَا يَكُونُ
بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ فَأَكَلَ خَالِدٌ وَرَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ
dari Ibnu Abbas dari Khalid bin Al Walid ia berkata; Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam pernah diberi daging biawak yang terpanggang. Maka
beliau pun berselera hendak memakannya, lalu dikatakanlah kepada beliau,
“Itu adalah daging biawak.” Dengan segera beliau menahan tangannya
kembali. Khalid bertanya, “Apakah daging itu adalah haram?” beliau
bersabda: “Tidak, akan tetapi daging itu tidak ada di negeri kaumku.”
Beliau tidak melarang. Maka Khalid pun memakannya sementara Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam melihat. (H.R.Bukhari)
Bisa juga Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meninggalkan
sesuatu karena lupa, seperti beliau shalat dengan rokaat yang tidak
lengkap pada kisah Dzul Yadain. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (3/ 137)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ انْصَرَفَ مِنْ اثْنَتَيْنِ فَقَالَ لَهُ ذُو الْيَدَيْنِ
أَقَصُرَتْ الصَّلَاةُ أَمْ نَسِيتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصَدَقَ ذُو الْيَدَيْنِ
فَقَالَ النَّاسُ نَعَمْ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَصَلَّى اثْنَتَيْنِ أُخْرَيَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ
فَسَجَدَ مِثْلَ سُجُودِهِ أَوْ أَطْوَلَ
dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, ketika Rasulullah menyelesaikan
shalatnya yang baru dua raka’at, Dzul Yadain berkata kepada Beliau:
“Apakah shalat diqashar ataukah anda lupa, wahai Rasulullah?” Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Apakah benar yang
dikatakan Dzul Yadain?” Orang-orang menjawab: “Benar”. Maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dan mengerjakan shalat dua raka’at
yang kurang tadi kemudian memberi salam. Kemudian Beliau bertakbir lalu
sujud seperti sujudnya (yang biasa) atau lebih lama lagi (H.R.Bukhari)
Bisa juga Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meninggalkan
sesuatu karena khawatir menjadi wajib seperti shalat tarawih berjamaah
yang ditinggalkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Bukhari
meriwayatkan;
صحيح البخاري (3/ 459)
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ
أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
خَرَجَ ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ
فَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلَاتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا
فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّوْا مَعَهُ فَأَصْبَحَ النَّاسُ
فَتَحَدَّثُوا فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ
فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّوْا
بِصَلَاتِهِ فَلَمَّا كَانَتْ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ
عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ فَلَمَّا قَضَى
الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ
فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ لَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ
عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا
dari Ibnu Syihab berkata, telah mengabarkan kepadaku ‘Urwah bahwa
‘Aisyah radliallahu ‘anha mengabarkan kepadanya, bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu malam keluar di tengah malam
untuk melaksanakan shalat di masjid, orang-orang kemudian mengikuti
beliau dan shalat dibelakangnya. Pada waktu paginya orang-orang
membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam berikutnya
orang-orang yang berkumpul bertambah banyak lalu ikut shalat dengan
Beliau. Dan pada waktu paginya orang-orang kembali membicarakan kejadian
tersebut. Kemudian pada malam yang ketiga orang-orang yang hadir di
masjid semakin bertambah banyak lagi, lalu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam keluar untuk shalat dan mereka shalat bersama beliau.
Kemudian pada malam yang keempat, masjid sudah penuh dengan jama’ah
hingga akhirnya beliau keluar hanya untuk shalat Shubuh. Setelah beliau
selesai shalat Fajar, beliau menghadap kepada orang banyak membaca
syahadat lalu bersabda: “Amma ba’du, sesungguhnya aku bukannya tidak
tahu keberadaan kalian (semalam). Akan tetapi aku takut shalat tersebut
akan diwajibkan atas kalian, sementara kalian tidak mampu.”
(H.R.Bukhari)
Bisa juga Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meninggalkan
sesuatu hanya karena tidak tergagas semata, misalnya Rasulullah صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak membuat mimbar untuk khutbah jum’at, dan
baru membuat mimbar setelah diusulkan salah seorang shahabat. Bukhari
meriwayatkan;
صحيح البخاري (7/ 275)
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ
امْرَأَةً مِنْ الْأَنْصَارِ قَالَتْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا أَجْعَلُ لَكَ شَيْئًا
تَقْعُدُ عَلَيْهِ فَإِنَّ لِي غُلَامًا نَجَّارًا قَالَ إِنْ شِئْتِ قَالَ
فَعَمِلَتْ لَهُ الْمِنْبَرَ فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ قَعَدَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ الَّذِي
صُنِعَ فَصَاحَتْ النَّخْلَةُ الَّتِي كَانَ يَخْطُبُ عِنْدَهَا حَتَّى
كَادَتْ تَنْشَقُّ فَنَزَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
حَتَّى أَخَذَهَا فَضَمَّهَا إِلَيْهِ فَجَعَلَتْ تَئِنُّ أَنِينَ
الصَّبِيِّ الَّذِي يُسَكَّتُ حَتَّى اسْتَقَرَّتْ قَالَ بَكَتْ عَلَى مَا
كَانَتْ تَسْمَعُ مِنْ الذِّكْرِ
dari Jabir bin ‘Abdullah radliallahu ‘anhu bahwa ada seorang wanita kaum
Anshar berkata, kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Tidakah sebaiknya aku buatkan sesuatu yang bisa baginda pergunakan
untuk karena aku punya pembantu yang pekerjaannya sebagai tukang kayu?”
Beliau menjawab: “Silakan bila kamu kehendaki”. Sahal berkata: “Maka
wanita itu membuatkan mimbar. Ketika hari Jum’at Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam duduk diatas mimbar yang telah dibuat tersebut. Lalu
batang pohon kurma yang biasanya beliau berkhathbah di atasnya berteriak
hingga hampir-hampir batang pohon itu terbelah. Maka Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam turun menghampiri batang kayu tersebut lalu memegang
dan memeluknya hingga akhirnya batang kayu tersebut merintih dengan
perlahan seperti bayi hingga akhirnya berhenti dan menjadi tenang.
Beliau berkata: “Batang kayu itu menangis karena dzikir yang pernah
didengarnya ” (H.R.Bukhari)
Bisa juga Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meninggalkan
sesuatu karena sudah termasuk keumuman Nash,seperti puasa Dawud.
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak melakukan pausa Dawud
namun menjelaskan dengan ucapan bahwa puasa tersebut adalah puasa yang
paling afdhol.
Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (15/ 477)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ أَنْكَحَنِي أَبِي امْرَأَةً ذَاتَ
حَسَبٍ فَكَانَ يَتَعَاهَدُ كَنَّتَهُ فَيَسْأَلُهَا عَنْ بَعْلِهَا
فَتَقُولُ نِعْمَ الرَّجُلُ مِنْ رَجُلٍ لَمْ يَطَأْ لَنَا فِرَاشًا وَلَمْ
يُفَتِّشْ لَنَا كَنَفًا مُنْذُ أَتَيْنَاهُ فَلَمَّا طَالَ ذَلِكَ
عَلَيْهِ ذَكَرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
الْقَنِي بِهِ فَلَقِيتُهُ بَعْدُ فَقَالَ كَيْفَ تَصُومُ قَالَ كُلَّ
يَوْمٍ قَالَ وَكَيْفَ تَخْتِمُ قَالَ كُلَّ لَيْلَةٍ قَالَ صُمْ فِي كُلِّ
شَهْرٍ ثَلَاثَةً وَاقْرَإِ الْقُرْآنَ فِي كُلِّ شَهْرٍ قَالَ قُلْتُ
أُطِيقُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ قَالَ صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فِي
الْجُمُعَةِ قُلْتُ أُطِيقُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ قَالَ أَفْطِرْ
يَوْمَيْنِ وَصُمْ يَوْمًا قَالَ قُلْتُ أُطِيقُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ
قَالَ صُمْ أَفْضَلَ الصَّوْمِ صَوْمَ دَاوُدَ صِيَامَ يَوْمٍ وَإِفْطَارَ
يَوْمٍ
dari Abdullah bin Amru ia berkata; Bapakku menikahkanku dengan seorang
wanita yang memiliki kemuliaan leluhur. Lalu bapakku bertanya pada sang
menantunya mengenai suaminya. Maka sang menantu pun berkata, “Dia adalah
laki-laki terbaik, ia belum pernah meniduriku dan tidak juga memelukku
mesra semenjak aku menemuinya.” Maka setelah selang beberapa lama,
bapakku pun mengadukan hal itu pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
akhirnya beliau bersabda: “Bawalah ia kemari.” Maka setelah itu, aku pun
datang menemui beliau, dan belaiau bersabda: “Bagaimanakah ibadah
puasamu?” aku menjawab, “Yaitu setiap hari.” Beliau bertanya lagi, “Lalu
bagaimana dengan Khataman Al Qur`anmu?” aku menjawab, “Yaitu setiap
malam.” Akhirnya beliau bersabda: “Berpuasalah tiga hari pada setiap
bulannya. Dan bacalah (Khatamkanlah) Al Qur`an sekali pada setiap
bulannya.” Aku katakan, “Aku mampu lebih dari itu.” Beliau bersabda:
“Kalau begitu, berpuasalah tiga hari dalam satu pekan.” Aku berkata,
“Aku masih mampu lebih dari itu.” Beliau bersabda: “Kalau begitu,
berbukalah sehari dan berpuasalah sehari.” Aku katakan, “Aku masih mampu
lebih dari itu.” Beliau bersabda: “Berpuasalah dengan puasa yang paling
utama, yakni puasa Dawud, yaitu berpuasa sehari dan berbuka sehari.
(H.R.Bukhari)
Bisa juga Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meninggalkan
sesuatu karena khawatir memberatkan shahabat, seperti pelaksanaan
shalat isya’ di tengah malam. Sebenarnya Rasulullah صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ingin shalat isya’ berjamaah di tengah malam atau
sepertiga malam, namun karena khawatir memberatkan umatnya maka hal
tersebut tidak dilakukan. An-Nasai meriwayatkan;
سنن النسائي (2/ 361)
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْمَغْرِبِ ثُمَّ لَمْ
يَخْرُجْ إِلَيْنَا حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَخَرَجَ فَصَلَّى
بِهِمْ ثُمَّ قَالَ إِنَّ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا وَنَامُوا وَأَنْتُمْ
لَمْ تَزَالُوا فِي صَلَاةٍ مَا انْتَظَرْتُمْ الصَّلَاةَ وَلَوْلَا ضَعْفُ
الضَّعِيفِ وَسَقَمُ السَّقِيمِ لَأَمَرْتُ بِهَذِهِ الصَّلَاةِ أَنْ
تُؤَخَّرَ إِلَى شَطْرِ اللَّيْلِ
dari Abu Sa’id Al Khudri dia berkata; “Kami shalat Maghrib bersama
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, kemudian beliau
Shallallahu’alaihi wasallam keluar kepada kami hingga telah lewat
separuh malam. Lalu beliau keluar dan shalat bersama mereka, lantas
bersabda: “Orang-orang sudah shalat dan mereka telah tidur dan kalian
selalu dalam keadaan orang yang shalat selama masih menunggu shalat.
Seandainya tidak menambah lemah orang yang lemah dan tidak menambah
sakit orang yang sakit, maka aku pasti memerintahkan mereka untuk
mengakhirkan shalat ini sampai pertengahan malam.” (H.R.An-Nasai)
hadis yang senada juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzy;
سنن الترمذى (1/ 280)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ أَنْ
يُؤَخِّرُوا الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفِهِ
dari Abu Hurairah ia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Sekiranya tidak memberatkan umatku, sungguh akan aku
perintahkan mereka untuk mengakhirkan shalat isya hingga sepertiga atau
pertengahan malam.” (H.R.At-Tirmidzi)
Bisa juga Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meninggalkan
sesuatu karena khawatir mengubah hati shahabat dan menimbulkan masalah
di tengah-tengah umatnya seperti rencana membangun kembali Ka’bah.
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sebenarnya ingin membongkar
Ka’bah dan membangun kembali pondasinya menurut pondasi yang semestinya.
Namun, karena beliau melihat Shahabat-shahabtnya masih dekat dengan
masa Jahiliyyah, maka beliau meninggalkan keinginan tersebut. Bukhari
meriwayatkan;
صحيح البخاري (5/ 495)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا حَدَاثَةُ قَوْمِكِ
بِالْكُفْرِ لَنَقَضْتُ الْبَيْتَ ثُمَّ لَبَنَيْتُهُ عَلَى أَسَاسِ
إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَام فَإِنَّ قُرَيْشًا اسْتَقْصَرَتْ
بِنَاءَهُ وَجَعَلْتُ لَهُ خَلْفًا
dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam berkata, kepadaku: “Seandainya bukan karena zaman kaummu yang
masih dekat dengan kekufuran tentu aku sudah membongkar Ka’bah lalu aku
bangun kembali diatas pondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrahim
Alaihissalam karena orang-orang Quraisy telah mengurangi pembangunannya
dan aku akan buatkan pintu (dari belakangnya) ” (H.R.Bukhari)
Bisa juga Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meninggalkan
sesuatu karena persoalan memang belum terjadi, misalnya Rasulullah
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak pernah mengumpulkan Al-Quran dalam
satu mushaf, tidak pernah memberi hukum untuk kasus waris kombinasi
antara kakek dengan saudara, tidak pernah membagi warisan dengan cara
‘Aul, dll.
Jadi, apa yang ditinggalkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
tidak bisa langsung dimaknai haram, namun harus dikaitkan dengan
Nash-Nash yang lain dan dihubungkan dengan qorinah-qorinah seputar topik
tersebut untuk memahami status apa yang ditinggalkan apakah bermakna
haram, mubah, sunnah, dll. Seandainya apa yang ditinggalkan Rasulullah
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ secara mutlak semuanya bermakna haram,
niscaya para shahabat sedikitpun tidak akan berani melakukan apapun
secara mutlak apa yang tidak pernah dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Faktanya, dalam sejarah ada banyak hal yang
dilakukan shahabat yang tidak dilakukan oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ baik terkait ibadah maupun selain Ibadah. Para
shahabat shalat tarawih berjamaah sebulan penuh, adzan dua kali saat
Jum’at, puasa sepanjang masa, mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf,
memperluas masjid Nabawy, dll yang semuanya menunjukkan bahwa apa yang
tidak dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak
langsung difahami sebagai hal yang haram.
Mengharamkan sesuatu harus dinyatakan oleh dalil, tidak cukup hanya
dengan argumentasi: Tidak pernah dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Keharaman sesuatu yang didasarkan dalil bentuknya
bisa berupa larangan tegas seperti larangan berzina dalam ayat berikut;
{وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا} [الإسراء: 32]
dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. (Al-Isro’ 32)
Bisa juga berupa lafadz lugas tahrim (mengharamkan), misalnya haramnya bangkai, darah, daging babi dalam ayat berikut;
{حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ } [المائدة: 3]
diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah , daging babi (Al-maidah;3)
Bisa juga berupa ancaman keras atau kecaman tajam terhadap sesuatu
seperti ancaman hukuman potong tangan dan larangan Tasyabbuh dalam
hadis;
{ وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا } [المائدة: 38]
laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (Al-Maidah; 38)
سنن الترمذى (9/ 317)
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ
تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
dari ‘Amru bin Syu’aib dari Ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bukan termasuk golonganku orang
yang Tasyabbuh (menyerupai atau mengikuti) kepada selain kami (H.R.
At-Tirmidzi)
Pendeknya, sesuatu bisa dikatakan haram jika dinyatakan oleh dalil
dengan qorinah yang tegas menunjukkan keharoman. Tidak semata-mata hanya
karena tidak pernah dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ.
Ibnu Umar pernah mengkritik orang yang menyimpulkan langsung bahwa
lafadz nahaa (melarang) adalah bermakna harom. Ibnu umar mengkritik cara
menyimpulkan yang demikian karena lafadz naha bisa bermakna makruh,
bukan haram. Ibnu Rojab menulis dalam kitabnya Jami’ Al-‘Ulum wa
Al-Hikam:
جامع العلوم والحكم محقق (32/ 12)
قالَ ابنُ المبارك : أخبرنا سلاَّمُ بن أبي مطيع ، عن ابن أبي دخيلةَ ، عن
أبيه ، قالَ : كنتُ عندَ ابن عمر ، فقالَ : نهى رسول الله – صلى الله عليه
وسلم – عَنِ الزَّبيب والتَّمر ، يعني : أنْ يُخلطا ، فقال لي رجل من خلفي :
ما قال ؟ فقلتُ: حرَّم رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم – الزبيب والتمر ،
فقال عبد الله بنُ عمر : كذبتَ ، فقلتُ : ألم تقل : نهى رسولُ الله – صلى
الله عليه وسلم – عنه ، فهو حرامٌ ؟ فقال : أنت تشهد بذاك ؟ قال سلاَّم :
كأنه يقول : من نهي النَّبيِّ – صلى الله عليه وسلم – ما هو أدب .
Ibnu Al-Mubarok berkata; Sallam bin Abi Muthi’ memberitahu kami dari
Ibnu Abi Dakhilah beliau berkata: Aku berada di sisi Ibnu Umar. Beliau
berkata: Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam melaranganggur kering
dan kurma kering, yakni untuk dicampur. Maka seorang lelaki dibelakangku
bertanya: Apa yang dia katakan? Maka aku menjawab: Rasulullah
Shallalahu ‘Alaihi Wasallammengharamkan anggur kering dan kurma kering
(untuk dicampur). Maka Abdulah bin umar berkata: Engkau berdusta. Aku
berkata: bukankah engkau mengatakan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi
Wasallam telah melarangnya, bukankah itu bermakna haram?beliau bertanya;
Engkau bersaksi atas hal tersebut?Sallam berkata; seakan-akan beliau
menjelaskan:diantara larangan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam
ada yang termasuk adab -tidak disukai/makruh– (Jami’ Al-‘Ulum wa
Al-Hikam, vol 12. Hlm 32)
Ulama-ulama Faqih di kalangan ulama salaf seperti Malik, As-Syafi’i dll
justru sangat berhati-hati untuk menghukumi harom. Mereka lebih suka
mengatakan makruh terhadap persoalan yang belum diyakini keharomannya,
atau ada sejenis kesamaran, atau ada ikhtilaf. Ibnu Rojab menyatakan;
جامع العلوم والحكم (ص: 280)
وقد ذكرنا فيما تقدم عن العلماء الورعين كأحمد ومالك توقيا إطلاق لفظ
الحرام على ما لم يتيقن تحريمه ما فيه نوع شبهة أو اختلاف وقال النخعي
كانوا يكرهون أشياء لا يحرمونها وقال ابن عون
Telah kami sebutkan sebelumnya ulama-ulama Wara’ seperti Ahmad dan
Malik yang menjauhi memvonis dengan lafadz Haram terhadap sesuatu yang
tidak diyakini keharamannya, selama di dalamnya masih ada sejenis
kesamaran atau ikhtilaf. An-Nakho’iy berkata: mereka memakruhkan
sesuatu, tidak mengharamkannya. (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, Hlm 280)
Dari sini jelaslah, bahwa menentukan status haram haruslah hati-hati.
Memvonis haram hanya karena nabi tidak pernah melakukan dikhawatirkan
termasuk kekurang hati-hatian yang bertentangan dengan sifat Wara’.
Dikhawatirkan pula sikap demikian tercakup dalam kandungan ayat yang
mencela orang yang mengharamkan yang dihalalkan Allah atau sebaliknya.
Allah berfirman;
{وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ
وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ
يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ} [النحل: 116]
dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh
lidahmu secara Dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung. (An-Nahl; 116)
{آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ} [يونس: 59]
Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-ada saja terhadap Allah ?” (Yunus; 59)
Sampai titik ini bisa dilanjutkan; Jika apa yang tidak dilakukan
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ saja tidak bisa langsung
difahami sebagai haram, maka apa yang tidak dilakukan Shahabat, Tabi’in,
Tabi’ut Tabi’in, dan ulama-ulama salaf lebih utama untuk tidak difahami
sebagai haram apalagi menjadi dalil. Hal itu dikarenakan apa yang tidak
dilakukan mereka lebih banyak lagi faktornya sehingga kemungkinan
maknanya juga semakin banyak. Apalagi perbuatan selain nabi bukanlah
menjadi dalil, sehingga tidak bisa dibahas dalam diskusi hukum syara’.
Tambahan lagi, klaim bahwa shahabat tidak pernah melafalkan niat
terbantahkan dengan riwayat Aisyah yang merekomendasikan lafadz niat
untuk haji yang disertai Isytiroth yang mana lafadz yang beliau
rekomendasikan berbeda dengan lafadz yang dibaca nabi saat berniat haji.
Ibnu Abbas juga diriwayatkan melafalkan niat puasa sebagaimana Abu
Ad-Darda’ Abu Hurairah, Abu Tholhah, dan Hudzaifah. Jadi, berdasarkan
riwayat-riwayat ini, klaim bahwa shahabat tidak pernah melafalkan niat
tidak bisa diterima.
Demikian pula klaim bahwa tidak ada ulama salaf atau Imam 4 madzhab yang
melafalkan niat. Klaim ini tidak bisa diterima karena ada riwayat bahwa
Imam As-Syafi’i melafalkan niat sebelum shalat. Ibnu Al-Muqri’
meriwayatkan dalam Mu’jamnya dengan sanad yang terang seperti matahari
sebagai berikut;
معجم ابن المقرئ (1/ 318، بترقيم الشاملة آليا)
أخبرنا ابن خزيمة ، ثنا الربيع قال : « كان الشافعي إذا أراد أن يدخل في
الصلاة قال : بسم الله ، موجها لبيت الله مؤديا لفرض الله عز وجل الله أكبر
»
Ibnu Khuzaimah memberitahu kami, Ar-Robi’ memberitahu kami, beliau
berkata; Adalah Asy-Syafi’I jika hendak memasuki shalat beliau
berkata;Bismilllah, muwajjihan libaitillah, mu-addiyan lifardhillah
‘azza wajalla Allahu akbar -dengan nama Allah, dalam keadaan menghadap
rumah Allah, untuk menunaikan kewajiban yang dibebankan Allah Azza
wajalla Allahuakbar- (Mu’jam Ibnu Al-Muqri’, vol 1, hlm 318)
Jelas sekali dalm riwayat ini Imam Syafi’I melafalkan niat. Riwayatnya
bahkan memakai lafadz كان yang secara bahasa menunjukkan istimror (terus
menerus) atau sering dilakukan. Bagaimana bisa keharoman dinisbatkan
kepada seorang Imam besar yang menjadi panutan umat dari berbagai masa?
Bagaimana bisa bid’ah dinisbatkan kepada seorang ulama salaf yang telah
diakui permusuhannya terhadap bid’ah, yang memiliki reputasi ilmu
tinggi dan kesalihan yang menjadi teladan? Riwayat pelafalan niat oleh
imam As-Syafi’i ini dalam sejumlah forum diskusi memaksa para syaikh
(rahimahumullah) yang mengharamkan pelafalan niat menjadi bertawaqquf,
karena sulit menjelaskannya.
Kedua; (argumentasi kedua pendapat yang mengharomkan pelafalan niat)
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak pernah memerintahkan
pelafalan niat ketika menyampaikan perintah ibadah atau mengajarkannya.
Rasulullahصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidk pernah memerintahkan
membaca niat ketika mengajarkan shalat, wudhu, Tayamum, puasa, zakat,
dan ibadah-ibadah yang lain. Ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ mengajari orang shalat, misalnya dalam hadis berikut ini;
صحيح البخاري (20/ 358)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلًا دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَصَلَّى
وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَاحِيَةِ
الْمَسْجِدِ فَجَاءَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَقَالَ لَهُ ارْجِعْ فَصَلِّ
فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَرَجَعَ فَصَلَّى ثُمَّ سَلَّمَ فَقَالَ
وَعَلَيْكَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ
فَأَعْلِمْنِي قَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَسْبِغْ الْوُضُوءَ
ثُمَّ اسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ وَاقْرَأْ بِمَا تَيَسَّرَ
مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ….
dari Abu Hurairah, ada seorang laki-laki masuk masjid dan shalat, sedang
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam ketika itu berada di pojok
masjid. kemudian lelaki tersebut datang menemui Nabi dan memberi salam,
tapi beliau berujar: “kembali dan shalaatlah, (karena) kamu belum
melakukan shalat!” Orang itu mengulangi shalatnya dan mengucapkan salam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda lagi; “kembalilah dan
lakukan shalat (lagi), sebab engkau belum melakukan shalat!” Pada kali
ketiganya, orang itu berujar; ‘ajarilah aku! ‘ Nabi menjawab: “Jika kamu
hendak melakukan shalat, sempurnakanlah wudhu dan menghadaplah ke
kiblat, kemudian bertakbirlah dan bacalah al qur`an yang mudah bagimu…
(H.R.Bukhari)
Pelafalan pertama yang diajarkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ adalah takbir, bukan pelafalan niat. Demikian pula ketika
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyampaikan perintah
berwudhu sebelum shalat dalam ayat berikut;
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ
فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ} [المائدة: 6]
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku (Al-Maidah;6)
Tidak ada perintah melafalkan niat dalm ayat tersebut sebagaimana juga
tidak ada perintah pelafalan niat dalam hadis. Karena itu pelafalan niat
adalah batil, dan hukumnya haram.
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Kesalahan utama pendapat yang mengkritik pelafalan dengan memakai
banyak kutipan Nash demi membuktikan bahwa Allah dan RasulNya tidak
pernah memerintahkan pelafalan niat adalah karena mempersepsikan
pelafalan itu bagian dari kaifiyah ibadah yang mempengaruhi status
ibadah seakan-akan menjadi syarat sah, rukun, dan shifat. Berusaha
mencari perintah lugas dalam Nash yang memerintahkan pelafalan niat
memang tidak akan ketemu, karena jika ada perintah langsung maka
status hukumnya akan menjadi wajib (dan tidak akan ada ikhtilaf) baik
statusnya adalah syarat sah atau rukun. Atau minimal sunnah yang
pelakunya mendapat pahala jika melakukannya. Penjelasan yang diberikan
terkait hukum pelafalan niat di sini adalah mubah, sehingga pembuktian
dengan cara mencari kutipan Nash yg menjelaskan perintah pelafalan
secara langsung menjadi tidak relevan.
Perintah takbir ketika memulai shalat dalam hadis yang dikutip misalnya,
para fuqoha sepakat memaknainya sebagai sesuatu yang wajib, yakni
menjadi rukun shalat. Takbir pertama kali untuk memulai shalat dihukumi
wajib berdasarkan adanya perintah langsung dan diistilahkan dengan nama
Takbirotul Ihram.
Tambahan lagi, dalil syara’ itu bukan hanya perintah. Ucapan Rasulullah
misalnya, yang menjadi dalil bukan hanya perintah-perintahnya tetapi
seluruh ucapan beliau secara mutlak meski redaksinya bukan perintah.
Perintah (amr) hanyalah salah satu redaksi dalil, bukan satu-satunya
redaksi dalil. Meski tidak ada perintah, jika Rasulullah telah pernah
mengucapkan, maka hal itu menjadi dalil kebolehannya sebagaimana pada
persoalan pelafalan niat ini.
Ketiga;
Melafalkan niat termasuk beramal dengan sesuatu yang tidak
diperintahkan, padahal hadis nabi menunjukkan siapapun yang beramal
tanpa ada perintah, maka amalnya tersebut tertolak. Imam Muslim
meriwayatkan;
صحيح مسلم (9/ 119)
عن عَائِشَةُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Dari Aisyah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Barangsiapa mengamalkan suaru perkara yang tidak kami
perintahkan, maka ia tertolak.” (H.R.Muslim)
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Yang dicela oleh syariat dalam hadis di atas adalah amalan yang keluar
dari syariat dan tidak terikat oleh syariat. Ubaidullah Al-Mubarokfury
berkata dalam kitabnya Mirqot Al-Mafatih, Syarh Misykat Al-Mashobih:
مرعاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح (1/ 236)
يعني من عمل عملاً خارجاً عن الشرع ليس متقيداً بالشرع فهو مردود. قال
الحافظ: قوله: “من عمل” أعم من قوله: ” من أحدث” فيحتج به في إبطال جميع
العقود المنهية، وعدم وجود ثمراتها المرتبة عليها
Maksudnya; barangsiapa melakukan perbuatan di luar syariat dan tidak
terikat syariat, maka perbuatan tersebut tertolak. Ibnu Hajar berkata;
Sabda beliau: barangsiapa melakukan perbuatan, lebih umum daripada sabda
beliau yang lain “barang siapa membuat-buat”. Sehingga dengan hadis
tersebut bisa dijadikan hujjah untuk membatalkan semua akad-akad yang
terlarang, dan tidak adanya efek-efek akad yang bisa dianggap (Mirqot
Al-Mafatih, Syarh Misykat Al-Mashobih, vol.1, hlm 236)
Adapun amalan yang disimpulkan hukumnya mubah berdasarkan Nash, berarti
amalan tersebut tidak keluar dari Nash dan bahkan terikat oleh Nash.
Mubahnya pelafalan niat digali dari Nash, sehingga bisa dikatakan bahwa
pelafalan niat itu masih terikat oleh hukum syara dan tidak keluar dari
hukum syara’. Yang digolongkan amal tertolak itu jika tidak didasarkan
oleh Nash, dan tidak terikat oleh Nash, misalnya amal yang didasarkan
oleh akal atau hawa nafsu.
Keempat;
Melafalkan niat termasuk hal baru, dan setiap yang baru adalah bid’ah,
dan setiap yang bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di
neraka sebagaimana diisyaratkan dalam hadis berikut ini;
سنن النسائي (6/ 27)
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ يَحْمَدُ اللَّهَ
وَيُثْنِي عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ يَقُولُ مَنْ يَهْدِهِ
اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ إِنَّ
أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ
مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
dari Jabir bin ‘Abdullah dia berkata; “ketika Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wa Sallam berkhutbah, maka beliau memuji dan menyanjung Allah
dengan hal-hal yang menjadi hak-Nya, kemudian bersabda: ‘Barangsiapa
telah diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang bisa
menyesatkannya. Barangsiapa telah disesatkan oleh Allah, maka tidak ada
yang bisa memberikan petunjuk kepadanya. Sebenar-benar perkataan adalah
kitabullah (Al Qur’an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam, dan sejelek jelek perkara adalah hal-hal
yang baru, setiap hal yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah
sesat, dan setiap kesesatan di dalam neraka’. (H.R.An-Nasai)
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Bid’ah bukanlah perbuatan yang baru, juga bukan benda baru, juga bukan
pemikiran baru hasil eksperimen, juga bukan pemikiran baru yang
dirumuskan untuk memahami dien, juga bukan pemikiran baru yang merupakan
hasil pemahaman Nash. Bid’ah adalah pemikiran baru yang bertentangan
dengan ajaran Islam. Setiap produk pemikiran baru yang bertentangan
dengan Nash, maka itu adalah bid’ah dan perbuatan untuk melaksanakan ide
baru tersebut adalah perbuatan harom, dan boleh disebut sebagai
perbuatan bid’ah.
Bid’ah bukan setiap perbuatan baru, karena jika perbuatan baru
diharamkan Syara, Niscaya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
akan mengontrol seluruh perbuatan shahabat agar tidak memproduksi
perbuatan baru apapun.
Bid’ah juga bukan setiap benda baru yang muncul, karena jika benda baru
diharamkan syara’ niscaya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
akan melarang seluruh penemuan benda baru untuk apapun kepentingannya.
Bid’ah juga bukan pemikiran baru hasil eksperimen yang menyingkap
rahasia hukum sebab-akibat di alam semesta, karena ilmu sains termasuk
perkara duniawi yang diserahkan syara’ kepada manusia.
Bid’ah juga bukan pemikiran baru yang dirumuskan untuk membantu memahami
dien seperti ushul fikih, ulumul quran, ulumul hadist, nahwu shorof
dll karena semua itu justru bagian dari tafaqquh fiddin.
Bid’ah juga bukan pemikiran baru yang merupakan hasil pemahaman Nash,
misalnya cara pembagian waris dengan cara ‘Aul, mengqishos pembunuh
berkelompok dll, karena semua ini disebut ijtihad, ijtihad jika salah
pahalanya satu dan jika benar pahalanya dua.
Bid’ah adalah pemikiran baru yang bertentangan dengan Nash, misalnya
menggagas bahwa malaikat itu berpasang-pasangan, shalat wajib hanya dua
kali, wanita tidak wajib menutup aurot, penghapusan kepemilikan,
kedaulatan membuat hukum ditangan manusia dll. Semua produk pemikiran
seperti ini adalah bid’ah, dan haram diikuti, karena siapapun yang
mengikuti bid’ah pasti dia meninggalkan Al-Quran dan As-Sunnah dan
mengikuti selain Allah dan RasulNya.
Pemikiran mubahnya melafalkan niat dalam ibadah tidak bisa disebut
bid’ah, karena pemikiran itu didasarkan pada pemahaman Nash. Seandainya
bid’ah difahami perbuatan baru secara mutlak, maka konsep ini akan sulit
diterapkan mengingat banyak perbuatan baru yang dilakukan shahabat dan
para ulama assalafus sholih yang tidak pernah dilakukan Rasulullah
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Dalam hal doa misalnya, para shahabat
banyak membaca doa yang dibuat sendiri dan tidak pernah diucapkan
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Diriwayatkan Abubakar berdoa dengan doa sebagaimana tampak dalam riwayat berikut;
العقد الفريد (1/ 336، بترقيم الشاملة آليا)
وكان آخرُ دُعاء أبي بكر الصدِّيق رضي الله عنه في خُطْبته: اللهم اجعلْ
خيرَ زَماني آخرَه، وخيرَ عَملي خواتِمَه، وخيرَ أيامي يومَ لِقائك.
Akhir doa Abu Bakar As-Shiddiq dalam khutbahnya: Ya Allah jadikanlah
waktu terbaikku adalah akhir umurku, dan sebaik-baik amalku yang
penghabisan dan sebaik-baik hariku adalah hari aku bertemu denganMu
(Al-‘Iqdu Al-Farid, vol.1, hlm 336)
Demikian pula umar. Diantara doa yang diriwayatkan dibaca oleh umar ada dalam riwayat berikut;
الطبقات الكبرى (3/ 275)
عن عمر بن الخطاب يقول ثلاث كلمات إذا قلتها فهيمنوا عليها اللهم إني ضعيف فقوني اللهم إني غليظ فليني اللهم إني بخيل فسخني
Dari Umar bin Khattab, beliau berkata: Tiga hal jika aku mengucapkannya
maka aminkanlah. Ya Allah sesungguhnya aku lemah, maka kuatkanlah aku.
Ya Allah sesungguhnya aku keras, maka lunakkanlah aku. Ya Allah
sesungguhnya aku pelit, maka jadikan aku dermawan (At-Thobaqot Al-Kubro,
vol.3,hlm 275)
Demikian pula Ibnu Al-Jauzy. Diantara doa yang dibaca Ibnu Al-Jauzy ada dalam riwayat berikut;
شذرات الذهب (4/ 331)
دعاء ابن الجوزي
الهي لا تعذب لسانا يخبر عنك ولا عينا تنظر إلى علوم تدل عليك ولا قدما
تمشي إلى خدمتك ولا يدا تكتب حديث رسولك فبعزتك لا تدخلني النار فقد علم
أهلها أني كنت أذب عن دينك
Ilahi, jangan Engkau siksa lisan yang memberi kabar tentangMu, jangan
Engkau siksa mata yang melihat ilmu yang menunjukkan kepadaMu, jangan
Engkau siksa kaki yang berjalan untuk berkhidmat kepadaMU, jangan pula
Engkau siksa tangan yang menulis hadis RasulMu. Dengan kemuliaanmu,
jangan Engkau masukkan aku ke dalam neraka. Sungguh, penghuninya telah
mengetahui bahwa aku membela dienMu (Syadzarot Adz-Dzahab, vil.4, hlm
331)
Bahkan, ada riwayat bahwa Ibnu Taimiyah berdoa dalam sujudnya memakai
bait syair seorang penyair penjilat yang pernah mengaku sebagi nabi yang
bernama Al-Mutanabby. Ibnu Katsir menulis;
البداية والنهاية (11/ 292)
قوله: يا من ألوذ به فيما أؤمله * ومن أعوذ به مما أحاذره لا يجبر الناس
عظما أنت كاسره * ولا يهيضون عظما أنت جابره وقد بلغني عن شيخنا العلامة
شيخ الاسلام أحمد بن تيمية رحمه الله أنه كان ينكر على المتنبي هذه
المبالغة في مخلوق ويقول: إنما يصلح هذا لجناب الله سبحانه وتعالى.وأخبرني
العلامة شمس الدين بن القيم رحمه الله أنه سمع الشيخ تقي الدين المذكور
يقول: ربما قلت هذين البيتين في السجود أدعو لله بما تضمناه من الذل
والخضوع.
Syair Al-Mutanabby;
Wahai yang aku bersimpuh padanya karena apa yang aku harapkan
Wahai yang aku berlindung kepadanya dari apa yang aku takutkan
Orang-orang tak ‘kan sanggup menyatukan tulang yang kaupatahkan,
Dan mereka juga tak ‘kan sanggup mematahkan tulang yang kau satukan.
Telah sampai berita kepadaku bahwa Syaikh kita Al-‘Allamah Syaikhul
Islam Ahmad bin Taimiyah rahimahullah mengingkari Al-Mutanabby yang
berlebihan memuji makhluk dengan syair ini. Beliau berkata; Ucapan
seperti ini hanya layak ditujukan kehadirat Allah. Al-‘Allamah
Syamsuddin Ibnu Al-Qoyyim rahimahullah juga memberitahu aku bahwasanya
beliau mendengar Syaikh ibnu Taimaiyah berkata; Kadang-kadang aku
mengucapkan dua bait syair ini dalam sujud sebagai doa kepada Allah
karena kandungan maknanya yang berisi kehinaan dan kerendahan diri
(Al-Bidayah Wa An-Nihayah)
Lafadz-lafadz doa ini tidak pernah diriwayatkan dibaca oleh Rasulullah
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Namun bisakah divonis bahwa membuat doa
adalah aktivitas bid’ah, dan perbuatan membaca doa dari doa buatan
sendiri adalah perbuatan bid’ah dengan argumen Rasulullah صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak pernah melakukannya? Bisakah Ibnu Taimiyah
divonis berbuat bid’ah karena membaca dalam sujudnya sebuah doa yang
dicuplik dari syair seorang penyair penjilat yang bernama Al-Mutanabby
dengan alasan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak pernah
melakukannya dan tidak pernah memerintahkannya?
Bid’ah, bukan perbuatan yang baru, tapi pemikiran baru yang bertentangan
dengan syara’ baik diekspresikan dengan perbuatan ataukah tidak.
Adapun klaim bahwa As-Suyuthi menggolongkan pelafalan niat sebagai
bid’ah, maka hal tersebut tidak benar dan merupakan jenis kesilapan
(jika tidak sengaja) atau ketidakamanahan (jika kesalahan mengutip itu
dilakukan dengan sengaja). Yang benar, yang digolongkan bid’ah oleh
As-Suyuthi adalah was-was, bukan melafalkan niat. As-Suyuthi berkata;
الأمر بالاتباع والنهي عن الابتداع (ص: 31، بترقيم الشاملة آليا)
ومن البدع أيضاً الوسوسة في نية الصلاة، ولم يكن ذلك من فعل النبي ولا أصحابه، كانوا لا ينطقون بشيء من نية الصلاة سوى التكبير.
Diantara bid’ah juga adalah was-was dalam niat shalat sementara hal
tersebut (was-was) bukan perbuatan nabi juga bukan perbuatan
shahabat-shahabatnya. Mereka tidak mengucapkan apapun dalam niat shalat
selain takbir. (Al-Amru bil Ittiba’ Wn-Nahyu ‘An Al-Ibtida’, hlm 31)
Jadi yang dikritik As-Suyuthi adalah was-wasnya, bukan pelafalannya.
Sejauh dugaan kami (wallahua’alam) maksudnya adalah jika orang
melafalkan niat sebagai bentuk kewajiban yang mempengaruhi keabsahan
niat. Sehingga karena keyakinannya seperti ini, maka dia selalu ditimpa
was-was terus menerus setiap kali berniat shalat.
Dalam kitab Al-Asybah WA An-Nadho-ir, As-Suyuthi hanya menerangkan bahwa
pelafalan niat bukan syarat sah niat. Sama sekali tidak ada kata-kata
bahwa beliau membid’ahkan pelafalan niat. As-Suyuthy berkata;
الأشباه والنظائر (ص: 30)
والحاصل أن هنا أصلين الأول أنه لا يكفي التلفظ باللسان دونه والثاني أنه لا يشترط مع القلب التلفظ
Kesimpulannya, disini ada dua dua hal pokok/prinsip. Pertama; tidak
cukup pelafalan dengan lisan tanpa (niat) hati. Kedua; tidak disyaratkan
pelafalan lisan bersama niat hati (Al-Asybah wa An-Nadho-ir, hlm 30)
Kelima;
Dien Islam sudah sempurna, sebagaimana dinyatakan Allah;
{الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا} [المائدة: 3]
pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama
bagimu (Al-Maidah; 3)
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah wafat dalam keadaan
tidak melafalkan niat dalam ibadahnya. Melafalkan niat dalam ibadah
berarti memahami Islam belum sempurna, sehingga masih perlu ditambah
syariat baru.
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Argumen bahwa Islam sudah sempuna, sehingga melafalkan niat dimaknai
menambah dien tidak bisa diterima karena hukum mubah tidak bermakna
menambah kaifiyyah ibadah baik terkait syarat, rukun,maupun shifat.
Melafalkan niat tidak menambah syarat sah ibadah, tetapi masuk
pembahasan wasilah/uslub (teknis) melaksanakan perintah syara’. Hukum
mubah digali dari Nash, bukan dikarang menurut hawa nafsu. Sesuatu
dianggap melengkapi jika berasal dari unsur luar yang ditambahkan pada
sesuatu tersebut. Seluruh ijtihad yang shahih tidak boleh dianggap
melengkapi kekurangan hukum Islam, tetapi justru malah menampilkan
kesempurnaan Islam yang digali dari Nash-Nash yang ada yang mencakup
seluruh problematika manusia yang sanggup menjawab tantangan zaman dari
berbagai masa.
Keenam;
Al-Quran melarang Tasyri’ (mensyariatkan) dien karena Tasyri’ hanyalah hak Allah saja. Allah berfirman;
{ أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ} [الشورى: 21]
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? (Asy-Syuro;
21)
Melafalkan niat tidak pernah diperintahkan Allah dan RasulNya, juga
tidak pernah dicontohkan. Karena itu melafalkan niat termasuk Tasyri’
dien yang dilarang.
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Memang benar kita harus berhati-hati agar tidak sampai melakukan
Tasyri’ Dien, namun pada saat yang sama kita juga harus berhati-hati
agar tidak mengharamkan apa yang dihalalkan Allah. Yang demikian itu
dilarang keras dalam Al-Quran dan pelakunya sama seperti rahib-rahib dan
pendeta-pendeta ahli kitab yang menjadi Robb selain Allah. Allah
berfirman;
{وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ
وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ
يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ} [النحل: 116]
dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh
lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung. (An-Nahl;116)
{ اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ} [التوبة: 31]
mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah (T-Taubah; 31)
Berargumen haramnya melafalkan niat dengan larangan Tasyri’ tidak bisa
diterima, karena yang dilarang adalah Tasyri’ (membuat hukum) bukan
Istinbath hukum. Istinbath adalah ijtihad dan ijtihad terpuji meskipun
salah. Bedanya Tasyri’ dengan Istinbath; Tasyri’ itu membuat hukum
dengan akal, sementara Istinbath itu memahami hukum dari Nash.
Menjelaskan pelafalan niat hukumnya mubah tidak bermakna mensyariatkan
ibadah. Karena tidak ada ibadah yang hukumnya mubah. Semua ibadah
terpuji, ada yang sunnah ada yang wajib. Menjelaskan kemubahan
pelafalan mubah semakna dengan menjelaskan hukum mengarang doa sendiri
yang hukumnya mubah selama tidak bertentangan dengan Nash. Berdoanya
adalah sunnah dan termasuk ibadah, namun mengarang lafadz doa untuk
berdoa hukumnya mubah sebagaimana Ibnu Taimiyah yang berdoa dengan bait
seorang penyair.
Ketujuh;
Hukum asal ibadah adalah Tauqifi sehingga, sesuatu tidak boleh
dimasukkan dalam ibadah kecuali ada dalil. Mensyariatkan ibadah tanpa
dalil adalah bid’ah yang haram
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Alasan bahwa hukum asal ibadah bersifat Tauqifi sehingga siapapun
tidak bisa mengklaim bahwa sesuatu sebagai ibadah kecuali dengan dalil
tidak bisa diterima karena pelafalan niat tidak dikatakan sebagai
ibadah. Istilah ibadah merujuk pada perbuatan yang digunakan untuk
mendekatkan diri kepada Allah sehingga status hukumnya tidak lepas dari
status wajib atau sunnah. Tidak ada ibadah yang hukumnya mubah. Suatu
perbuatan yang dilakukan untuk mengantarkan pada ibadah bukan ibadah itu
sendiri, namun wasilah/uslub untuk melaksanakan ibadah. Sesuatu jika
dikatakan mubah, maka hal tersebut jika dilakukan tidak ada keutamaan
namun boleh saja melakukannya. Lagi pula bagi yang berpendapat sunnah,
maka kesimpulan sunnah itu telah didasarkan dalil, yakni pelafalan niat
nabi saat haji/umroh dan dalil-dalil lain yg semakna.
Kedelapan;
Mensyariatkan pelafalan bermakna menjadikannya sebagai syarat sementara
isytiroth dalam ibadah tidak boleh kecuali dengan dalil sebagaimana suci
adalah syarat sah shalat yang dinyatakan oleh dalil
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Memubahkan pelafalan niat bukan berarti menjadikan pelafalan sebagai
syarat. Jelas ini adalah kekeliruan fatal dalam menyimpulkan karena
keabsahan niat tidak tergantung pada pelafalan.
Menjelaskan bahwa hukum melafalkan niat mubah tidak bermakna menjadikan
pelafalan sebagai syarat, karena jika sesuatu menjadi syarat maka
sesuatu tersebut hukumnya wajib dilakukan dan ibadah menjadi tidak sah
jika dilakukan. Suci misalnya, adalah syarat shalat. Bersuci hukumnya
wajib, dan shalat tidak sah tanpa bersuci. Tidak ada ulama yang
mewajibkan pelafalan niat selain Abu Abdillah Az-Zubairy yang bermadzhab
Syafi’i, dan itupun sudah dikritik oleh ulama2 syafi’iyyah.
Kesembilan;
Allah mengetahui yang nampak maupun tersembunyi sebagaimana disebutkan dalam firmannya;
{قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللَّهَ بِدِينِكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي
السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ}
[الحجرات: 16]
Katakanlah: “Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang
agamamu, Padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di
bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu (Al-Hujurot;16)
Tidak perlu Allah diberitahu tentang dien seorang hamba, karena Allah
mengetahui semua yang ada di langit dan dibumi. Dia juga mengetahui apa
yang tampak dan tersembunyi. Dia Maha mengetahui segala sesuatu.
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Argumentasi yang melarang pelafalan karena Allah adalah Dzat yang Maha
tahu yang tampak maupun yang tersembunyi adalah argumen yang kurang
mengena, karena maksud pelafalan niat bukan memberitahu Allah, tetapi
mengajari orang lain, memantapkan niat, menghilangkan was-was dan
hal-hal yang semakna dengan ini. Bukan berarti karena Allah mengetahui
segala sesuatu dan isi hati hamba lalu melafalkan niat hukumnya haram.
Kaharoman ucapan harus dinyatakan oleh dalil seperti haramnya dusta,
ghibah/menggunjing, mengejek dan semisalnya. Dalam beberapa kasus
melafalkan justru diperintahkan, misalnya doa. Meski Allah tahu
keinginan kita, tetapi melafalkan doa justru diperintahkan.
Kesepuluh;
Ibnu Umar mengkritik orang yang melafalkan niat haji dengan keras.Ibnu Rojab menulis;
جامع العلوم والحكم (ص: 22)
وصح عن ابن عمر أنه سمع رجلا عند إحرامه يقول اللهم إنى أريد الحج والعمرة فقال له أتعلم الناس أو ليس الله يعلم ما في نفسك
Ada riwayat shahih dari Ibnu Umar bahwasanya beliau mendengar seorang
lelaki yang berkata saat Ihromnya; Ya Allah sesungguhnya aku ingin
berhaji dan umroh. Maka ibnu Umar bertanya; Apakah engkau mengajari
orang-orang? bukankah Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu? (Jami’
Al-‘Ulum Wa Al-Hikam, hlm 22)
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Atsar ibnu Umar, dengan asumsi shahih maka bisa difahami bahwa yang
dikritik beliau adalah mengucapkan niat haji dengan keras, bukan
melafalkan secara mutlak. Bisa juga difahami bahwa yang dikritik adalah
ucapannya yang keras seakan-akan memberitahu niatnya kepada Allah. Jika
difahami celaan pelafalan niat secara mutlak, maka hal itu bertentangan
dengan perbuatan Rasulullah dan juga bertentangan dengan fatwa Aisyah
yang merekomendasikan pelafalan niat haji saat isytiroth. Bagaimana
mungkin Ibnu Umar mencela sesuatu yang dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ? Lagi pula perbuatan Ibnu Umar bukan dalil syara’,
terlebih diketahui ada fatwa shahabat yang bertentangan dengannya
sehingga tidak bisa menjadi hujjah.
Kesebelas;
Para ulama sepakat bahwa niat itu tempatnya di hati, sementara pelafalan lisan saja tidak cukup dan bukan menjadi syarat.
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Memang benar seluruh ulama sepakat bahwa niat tempatnya di hati,
pelafalan tidak menjadi syarat dan tidak sah niat yang hanya dengan
pelafalan. Namun sungguh jauh jika prinsip ini difahami bahwa mereka
mengharamkan pelafalan niat. Statemen-statemen ulama dari berbagai
madzhab yang seperti ini semuanya tidak lebih bermakna bahwa niat dengan
hati sudah sah, tetapi jika melafalkan saja tanpa niat dengan hati maka
tidak sah. Pelafalan bukan syarat, maknanya seandainya jika berniat
tanpa melafalkan maka itu sah. Dari statemen “bukan syaratpun” bisa
ditarik mafhum bahwa melafalkan tidak apa-apa. Statemen-statemen para
ulama tersebut maksimal yang bisa difahami; Pelafalan niat adalah topik
tersendiri yang dibahas dalam bahasan tersendiri dari segi
kebolehan/terlarangnya. Namun statemen bahwa niat hanya di hati dan
pelafalan bukan syarat sama sekali tdk menunjukkan pelafalan hukumnya
harom.
Hendaknya berhati-hati ketika menyimpulkan pendapat ulama. Karena jika
kekeliruan itu dilakukan secara sengaja, dikhawatirkan termasuk
melakukan iftiro’ (mengada-ada) yang haram. Contoh penukilan pendapat
yang kurang tepat adalah nukilan terhadap fatwa ‘Alauddin Ibnu
Al-‘Atthor. Sebagian kaum muslimin memberi kesan bahwa beliau
mengharamkan pelafalan niat secara mutlak dan bersikap keras terhadapnya
dengan mengutip fatwanya sebagai berikut;
Mengeraskan suara untuk melafalkan niat yang mengganggu orang-orang yang
shalat haram secara Ijma’. Jika mengeraskan suara itu tidak disertai
unsur menganggu, maka itu adalah bid’ah yang buruk. Jika pelafalan itu
dimaksudkan untuk pamer, maka itu haram dari dua sisi: termasuk dosa
besar (dan bid’ah?). orang yang mengingkarinya adalah benar, dan yang
membenarkannya adalah salah. Menisbatkannya pada dinullah disertai
keyakinan adalah kekufuran, dan jika tanpa keyakinan adalah maksiat
(Majmu’ah Ar Rasail Al Kubra, 1/254-257)
Pencitraan ini tidak benar, karena kutipan yang diberikan tidak utuh.
Jika kutipan fatwa belau ditampilkan secara utuh maka akan diketahui
bahwa beliau justru termasuk ulama yang memubahkan pelafalan niat jika
tidak disertai unsur mengganggu orang lain. Berikut fatwa lengkapnya;
وأجاب عنها الشيخ الإمام العلامة علاء الدين ابن العطار عفا الله عنه:
الحمد لله لا يشرع تعيين عدد ركعات ولا الجماعة في النية. وأما التلفظ بها
من غير التشويش فلا بأس به. إذا كان مطابقا للقلب ولا يشترط ولا يجب. ورفع
الصوت به مع التشويش على المصلين حرام إجماعا، ومع عدمه بدعة قبيحة. فإن
قصد به الرياء كان حراما من وجهين كبيرة من الكبائر: والمنكر عبيه مصيب
ومصوبه مخطئ ونسبته إلى دين الله تعالى اعتقادا كفر وغير اعتقاد معصية
Alhamdulillah. Menentukan jumlah rokaat dalam niat tidak disyariatkan
sebagaimana berniat jamaah juga tidak disyariatkan. Adapun melafalkan
niat tanpa mengganggu orang lain, maka hal itu tidak mengapa jika
pelafalan tersebut sesuai dengan hati. Namun tidak menjadi syarat dan
tidak wajib. Mengeraskan suara untuk melafalkan niat yang mengganggu
orang-orang yang shalat haram secara Ijma’. Jika mengeraskan suara itu
tidak disertai unsur menganggu, maka itu adalah bid’ah yang buruk. Jika
pelafalan itu dimaksudkan untuk pamer, maka itu haram dari dua sisi:
termasuk dosa besar (dan bid’ah?). orang yang mengingkarinya adalah
benar, dan yang membenarkannya adalahs alah. Menisbatkannya pada
dinullah disertai keyakinan adalah kekufuran, dan jika tanpa keyakinan
adalah maksiat (Majmu’ah Ar Rasail Al Kubra, 1/254-257)
Keduabelas;
Pelafalan niat adalah pintu syetan untuk memasukkan was-was yang
terkadang menggiring orang sampai menjadi stres/kacau pikiran/gila
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Tidak semua orang yang melafalkan niat terserang was-was. Justru pada
sebagian orang pelafalan niat menjadi solusi. Obat was-was adalah ilmu,
bukan mengharamkan sesuatu yg tdk ada Nash yang mengharamkannya.
As-Suyuthi berkata;
الأمر بالاتباع والنهي عن الابتداع (ص: 31، بترقيم الشاملة آليا)
وقال الشافعي رحمه الله: الوسوسة في نية الصلاة والطهارة من جهل بالشرع أو خبل في العقل.
As-Syafi’i berkata: was-was dalam niat shalat dan Thaharoh adalah
dikarenakan kebodohan terhadap syariat atau kekacauan dalam pikiran
(Al-Amru bil Ittiba’ Wn-Nahyu ‘An Al-Ibtida’, hlm 31)
Lagi pula pintu was-was dan stres banyak sekali, seperti istri, anak,
kendaraan, usaha, tabungan, perhiasan dll. Tetapi fakta bahwa hal
tersebut bisa mengantarkan was-was tidak cukup untuk menjadi dalil
keharaman sesuatu.
Ini semua adalah catatan untuk pendapat yang mengharamkan pelafalan niat.
Adapun pendapat yang mewajibkan pelafalan niat, maka pendapat ini lebih
jauh lagi untuk bisa diterima. Karena tidak ada dalil yang dipakai untuk
menunjukkan kewajibannya. Referensi-referensi fikih yang membahas
masalah pelafalan niat menyebutkan bahwa ulama yang mewajibkan pelafalan
niat hanyalah Abu Abdillah Az-Zubairy. Itupun didasarkan penafsiran
terhadap statemen Asy-Syafi’I, bukan didasarkan pada dalil. Ucapan
manusia, tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk mewajibkan,
mengharamkan, mensunnahkan, memakruhkan atau memubahkan sesuatu.
Lagipula ulama-ulama Syafi’iyyah sendiri telah mengkritik pendapat
Az-Zubairy tersebut, karena dipandang keliru menafsirkan ucapan
As-Syafi’i. An-Nawawy berkata;
المجموع شرح المهذب (3/ 277)
قال اصحابنا غلط هذا القائل وليس مراد الشافعي بالنطق في الصلاة هذا بل مراده التكبير
Ulama-ulama yang semadzhab dengan kami (dengan madzhab Syafi’i)
mengatakan; Yang berpendapat seperti ini (mewajibkan pelafalan niat)
telah keliru. Maksud Syafi’I dengan Nuthq/pelafalan di dalam shalat
bukanlah ini (pelafalan niat), tetapi, maksudnya adalah Takbir
(Al-Majmu’ Syarhu Al-Muhadzdzab, vol. 3 hlm 277)
Adapun pendapat yang mensunnahkan pelafalan niat, maka dalil yang
digunakan lebih dekat difahami mubah daripada sunnah. Pelafalan niat
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ saat berhaji misalnya, lebih
dekat difahami mubah karena dhohir hadis tersebut , Rasulullah صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melafalkan niat haji untuk mengajari kaum
muslimin. Hal itu dikarenakan haji dan umroh dari segi niat memiliki
aturan tersendiri yang tidak sama dengan ibadah yang lain, misalnya
haji dan umroh bisa digabung dalam satu niat dengan konsekuensi yang
berbeda jika niat haji dan umroh tidak disatukan. Niat menggabung
seperti ini tidak diketahui jika tidak diajarkan dengan pelafalan. Ibnu
Umar, dalam atsar yang dinukil Ibnu Rojab, tidak mengingkari jika orang
memaksudkan untuk mengajari. Sikap ibnu Umar ini lebih dekat difahami
bahwa pelafalan niat untuk mengajari hukumnya mubah.
جامع العلوم والحكم (ص: 22)
وصح عن ابن عمر أنه سمع رجلا عند إحرامه يقول اللهم إنى أريد الحج والعمرة فقال له أتعلم الناس أو ليس الله يعلم ما في نفسك
Ada riwayat shahih dari Ibnu Umar bahwasanya beliau mendengar seorang
lelaki yang berkata saat Ihromnya; Ya Allah sesungguhnya aku ingin
berhaji dan umroh. Maka ibnu Umar bertanya; Apakah engkau mengajari
orang-orang?bukankah Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu? (Jami’
Al-‘Ulum Wa Al-Hikam, hlm 22)
Ibnu Qudamah mensifati pelafalan niat untuk berkurban dengan sebutan
Hasan. Hasan di sini lebih dekat difahami mubah yang baik bukan sunnah.
Beliau berkata;
المغني (21/ 497)
وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ يَقُولَ عِنْدَ الذَّبْحِ عَمَّنْ لِأَنَّ
النِّيَّةَ تُجْزِئُ لَا أَعْلَمُ خِلَافًا فِي أَنَّ النِّيَّةَ تُجْزِئُ ،
وَإِنْ ذَكَرَ مَنْ يُضَحِّي عَنْهُ فَحَسَنٌ ؛ لِمَا رَوَيْنَا مِنْ
الْحَدِيثِ
Tidak menjadi keharusan bagi orang yang berkurban pada saat menyembelih
mengucapkan; Ini kurban untuk…dst karena niat saja sudah sah/cukup. Saya
tidak mengetahui ada perselisihan bahwa niat saja sudah sah. Jika orang
yang berkurban menyebut (dalam niatnya) kurbannya untuk siapa, maka hal
tersebut adalah baik berdasarkan hadis yang telah kami riwayatkan
(Al-Mughni, vol. 21, hlm 497)
Menurut Al-Adzro’y, tidak ada dalil kesunnahan melafalkan niat.
مغني المحتاج (2/ 248)
قَالَ الْأَذْرَعِيُّ : وَلَا دَلِيلَ لِلنَّدَبِ
Al-Adzro’iy berkata: tidak ada dalil bagi anjuran melafalkan niat (Mughni Al-Muhtaj, vol.2, hlm 248)
Adapun alasan mensunnahkan yang menjelaskan bahwa pelafalan bisa
membantu memantapkan hati dan melibatkan dua anggota tubuh yakni hati
dan lisan sehingga lebih afdhol dibandingkan hanya melibatkan satu
anggota tubuh yakni hati saja, maka ini semua adalah Ta’lil ‘Aqli
(alasan nalar) sehingga tidak bisa menjadi dalil.
Lagipula sejumlah ulama menjelaskan bahwa maksud sunnah melafalkan niat
bukanlah sunnah syar’I, tetapi sunnah masyayikh, yakni sesuatu yang
mubah yang dipandang baik karena membantu pelaksanaan ibadah. Zainuddin
Ibnu Nujaim berkata dalam Al-Bahru Ar-Roiq;
فَتَحَرَّرَ من هذا أَنَّهُ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ عِنْدَ قَصْدِ جَمْعِ
الْعَزِيمَةِ وقد اسْتَفَاضَ ظُهُورُ الْعَمَلِ بِذَلِكَ في كَثِيرٍ من
الْأَعْصَارِ في عَامَّةِ الْأَمْصَارِ فَلَعَلَّ الْقَائِلَ
بِالسُّنِّيَّةِ أَرَادَ بها الطَّرِيقَةَ الْحَسَنَةَ لَا طَرِيقَةَ النبي
Dari sini bisa disimpulkan bahwa pelafalan niat adalah bid’ah hasanah
ketika yang jadi maksud adalah mengokohkan tekad.. mungkin yang
berpendapat hukumnya sunnah adalah memaksudkan makna Thoriqoh
hasanah/cara yang baik, bukan memaksudkan sunnah Nabi (yang mendapatkan
ganjaran ketika melakukannya) (Al-Bahru Ar-Ro-iq, vol. 1 hlm 293)
Muhammad bin Framuz Munalla Khusru dalamDuroru Al-Hukkam Syarhu Ghurori Al-Ahkam juga berkata;
درر الحكام شرح غرر الأحكام (1/ 283)
وَالتَّلَفُّظُ بِهَا مُسْتَحَبٌّ ) يَعْنِي طَرِيقٌ حَسَنٌ أَحَبَّهُ الْمَشَايِخُ لَا إنَّهُ مِنْ السُّنَّةِ
Melafalkan niat dianjurkan, yakni cara yang baik yang disukai para
syaikh, bukan sunnah yang mendapat pahala (Duroru Al-Hukkam Syarhu
Ghurori Al-Ahkam, vol.1, hlm 283)
Ahmad bin Muhammad bin Isma’il At-Thohawydalam Hasyiyah Aththohawy ‘Ala Maroqil Falahberkata;
حاشية الطحاوي على مراقي الفلاح (ص: 427)
إلا أن التلفظ بها سنة كما في الحدادي أي سنة المشايخ كما في تحفة الأخيار
Hanya saja, melafalkan niat adalah sunnah sebagaiman dalam kitab
Al-Haddady, artinya sunnah para Syaikh (bukan sunnah Rasulullah صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ), sebagaimana dalam kitab Tuhfah Al-Akhyar
(Hasyiyah Ath-Thohawy ‘Ala Maroqi Al-Falah, hlm 427)
Ibnu ‘Abidin berkata dalam Hasyiyah Ibni ‘Abidin:
حاشية ابن عابدين (1/ 127)
قوله ( هذه ) أي الطريقة التي مشى عليها المصنف حيث جعل التلفظ بالنية مندوبا لا سنة ولا مكروها
Adapun statemennya “Ini”, maka yang dimaksud adalah metode yang ditempuh
oleh penulis hingga menyimpulkan yang menjadikan pelafalan niat sebagai
sesuatu yang dianjurkan. Bukan sunnah, bukan pula makruh. (Hasyiyah
Ibni ‘Abidin, vol. 1 hlm 127)
Dari sini bisa difahami, bahwa melafalkan niat dalam ibadah hukumnya
adalah mubah karena dalil menunjukkan kemubahannya. Banyak ulama
berbagai madzhab yang juga tidak melarang pelafalan tersebut, bahkan
mereka adalah Jumhur ulama. Namun pendapat yang mensunnahkan atau
mengharamkan adalah pendapat yang Islami juga karena didasarkan pada
dalil atau syubhatud dalilsehingga bisa diikuti oleh kaum muslimin yang
sepakat dengan cara Istinbath (penarikan kesimpulan hukum)nya. Diantara
ulama yang berpendapat haramnya pelafalan niat adalah Ibnu Taimiyah,Ibnu
Qoyyim, al Hajjawy Al-Albany, Ibnu Baz, ibnu ‘Utsaimin, Sholih
Al-Fauzan, Ibnu Jibrin, Sa’duddin Al-Kabby, Abdul Muhsin ‘Abbad,
danMasyhur Hasan Salman.
Boleh berbeda pendapat, namun harom mengejek ulama. Pemilihan pendapat
yang menjadi ukuran adalah kekuatan dalil, namun penyikapan terhadap
ikhtilaf ulama adalah masalah adab/tata krama, moral, dan akhlak.
Pembahasan Syariat harus dibahas dalam kapasitas jalan menuju Allah,
bukan alat debat kusir, alat kesombongan, meremehkan orang lain, ghurur,
ujub, dan memamerkan pengetahuan. Semoga Allah menuntun kita semua ke
jalan yang paling dekat dengan ketakwaan dengan ilmu yang benar.
Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar