Kamis, 27 Februari 2020

Hukum Melafadzkan Niat


Melafalkan niat untuk melakukan ibadah hukumnya mubah bukan haram, wajib atau sunnah/ mandub/ mustahabb. Kemubahan ini  tidak  membedakan apakah ibadah tersebut ibadah ‎Mahdhoh seperti shalat, puasa Wudhu, Mandi Junub, Tayamum,  Zakat, Haji, Umroh, berkurban, Kaffaroh,I’tikaf dll  ataukah Ghoiru Mahdhoh seperti berbakti kepada orangtua, shilaturrahim, membezuk orang sakit dll, juga tidak membedakan apakah ibadah tersebut manfaatnya juga dirasakan hamba yang lain seperti menghajikan orang lain ataukah tidak, juga tidak membedakan apakah ibadah tersebut dilakukan langsung setelah pelafalan ataukah ada jarak waktu.  Semuanya mubah selama lafadz niatnya tidak bertentangan dengan syara’, baik untuk kepentingan mengajari, menguatkan niat, menghilangkan was-was, menegaskan maksud, dan semua kepentingan yang syar’i.  Namun kemubahan ini adalah mubah dari segi pelafalan  itu sendiri, bukan menjadi syarat sah, sifat wajib, apalagi rukun niat. Jika niat dilafalkan, hendaknya tidak dilakukan terus menerus, dan mengucapkannya juga harus pelan jika dimungkinkan mengganggu ibadah orang lain. Jika pelafalan niat itu untuk selain ibadah seperti jual beli, ijaroh, wakalah, syirkah, nikah, talak, rujuk, sumpah, nadzar dan yang semisal, maka lebih jelas lagi kemubahannya.
Niat adalah القَصْدُ (hal menyengaja/penyengajaan) yaitu;
 عَزْمُ الْقَلْبِ عَلى فِعْلِ الشَّيْءِ
tekad hati untuk melakukan sesuatu
Niat adalah jenis dari  اْلإِرَادَةُ (kehendak), namun bukan kehendak biasa, karena kehendak yang dimaksud adalah kehendak yang kuat (اْلعَزْمُ) yang diistilahkan dengan azam/kehendak yang kuat. Kehendak yang kuat tersebut diarahkan untuk melakukan perbuatan tertentu yang terkait dengan Mukallaf, bukan terkait dengan perbuatan orang lain. Karena itulah niat dideskripsikan sebagai; عَزْمُ الْقَلْبِ عَلى فِعْلِ الشَّيْءِ (tekad hati untuk melakukan sesuatu).
Jika seorang mukallaf telah menyengaja suatu perbuatan yaitu bertekad kuat untuk melakukan suatu perbuatan, maka dia dikatakan telah berniat  yang shahih meskipun tanpa mengucapkan niat. Berpuasa misalnya, jika orang yang hendak berpuasa telah menyengaja untuk berpuasa yaitu bertekad kuat untuk melakukan perbuatan puasa, maka pada saat itu dia telah merealisasikan niat yang shahih, dan niatnya sah meskipun tidak mengucapkan dalam hati dengan lisan.
Niat tersebut, ketika didorong oleh mafhum bahwa puasa adalah perintah Allah semata-mata untuk meraih ridhanya, maka niat tersebut sudah ikhlas karena Allah meskipun dia tidak menggumamkan/mengucapkan dalam hati “Lillahi Ta’ala” (karena Allah Ta’ala).
Hanya saja, hal ini tidak bermakna bahwa mengucapkan dengan lisan diharamkan. Menggumamkan dalam hati maupun mengucapkan dengan lisan hukumnya mubah dengan makna; Boleh dilakukan tanpa ada keutamaan, yakni jika dilakukan tidak ada janji pahala, dan jika ditinggalkan juga tdk ada ancaman siksa. Dalil yang menunjukkan mubahnya melafalkan niat adalah argumentasi-argumentasi berikut ini;
Pertama;
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Melafalkan Niat Pada  Saat Haji
Riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melafalkan niat pada saat haji adalah hadis berikut;
صحيح مسلم (6/ 317)
عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي إِسْحَقَ وَعَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ وَحُمَيْدٍ أَنَّهُمْ سَمِعُوا أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَهَلَّ بِهِمَا جَمِيعًا لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا
dari Yahya bin Abu Ishaq dan Abdul Aziz bin Shuhaib dan Humaid bahwa mereka mendengar Anas radliallahu ‘anhu berkata; Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ihram untuk haji dan umrah sekaligus: “LABBAIKA UMRATAN WA HAJJAN LABBAIKA UMRATAN WA HAJJAN (Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu, untuk umrah dan haji. Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu, untuk umrah dan haji).” (H.R.Muslim)
Abu Al-Baqo’ Al-Ukbary menjelaskan hadis di atas dalam kitabnya I’robu Ma Yusy-kilu Min Al-Fadzi Al-Hadits An-Nabawy sebagai berikut;
إعراب ما يشكل من ألفاظ الحديث النبوي (ص: 11) (الإمام محب الدين أبو البقاء عبد الله بن الحسين العكبري الحنبلي)
النصب بفعل محذوف تقديره أريد عمرة أو نويت عمرة
I’rob Nashob pada lafadz ‘Umroh dan Hajj adalah disebabkan Fi’il (kata kerja) yang dibuang. Perkiraan struktur kalimatnya adalah : Uriidu ‘Umrotan atau Nawaitu ‘Umrotan –aku ingin berumroh atau aku berniat umroh- (I’robu Ma Yusy-kil Min Al-Fadzi Al-Hadits An-Nabawy, hlm 11)
Berdasarkan penjelasan di atas bisa difahami bahwa sabda Nabi yang berbunyi;
لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا
Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu, untuk umrah dan haji. Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu, untuk umrah dan haji
Ucapan tersebut bermakna bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bertalbiyah dengan berniat untuk berumroh dan berniat untuk berhaji. Artinya, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah melafalkan niatnya untuk berhaji, sehingga hadis ini menjadi dalil tidak terlarangnya melafalkan niat dalam ibadah seperti haji dan umroh. Jika melafalkan niat hukumnya haram, maka tidak mungkin nabi melakukannya, meski hanya sekali dalam hidupnya, karena seluruh nabi terjaga dari dosa (ma’shum). Menghukumi pelafalan niat dengan hukum haram bisa berakibat menisbatkan dosa kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang telah melafalkan niat haji dalam hadis ini dan itu tidak boleh.
Ibnu ‘Allan Ash-Siddiqy dalam kitabnya Al-Futuhat Ar-Robbaniyyah ‘Ala Al-Adzkar An-Nawawiyyah malah menyimpulkan lebih jauh berdasarkan hadis ini, yakni melafalkan niat hukumnya sunnah, dengan argumentasi bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak mungkin melakukan sesuatu kecuali yang paling sempurna dan paling utama untuk diteladani umatnya. Ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mencontohkan pelafalan niat, maka hal ini difahami bahwa melafalkan niat hukumnya sunnah dalam ibadah haji termasuk ibadah-ibadah yang lain. Beliau berkata;
قال ابن علان الصديقي الشافعي في الفتوحات الربانية على الأذكار النووية
 نعم يسن النطق بها ليساعد اللسان القلب، ولأنه صلى الله عليه وآله وسلم نطق بها في الحج فقسنا عليه سائر العبادات،
Ya, melafalkan niat disunnahkan, agar lisan membantu hati. Karena Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengucapkan niat pada saat haji, dan kita menqiyaskannya pada ibadah-ibadah sisanya (Ibnu ‘Allan Ash-Siddiqy dalam Al-Futuhat Ar-Robbaniyyah ‘Ala Al-Adzkar An-Nawawiyyah)
Imam As-Syafi’i, sebagaimana dinukil oleh An-Nawawy dalam Al-Majmu’ juga bisa difahami termasuk ulama yang tidak mempermasalahkan pelafalan niat berdasarkan  hadis ini. An-Nawawy berkata;
المجموع شرح المهذب (3/ 277)
الشافعي رحمه الله قال في الحج إذا نوى حجا أو عمرة أجزأ وان لم يتلفظوليس كالصلاة لا تصح الا بالنطق
As-Syafi’i rahimahullah berkata dalam perkara haji: “Jika ia (orang yang hendak berhaji) berniat untuk haji atau umrah, maka hal itu sudah cukup meskipun tidak melafadzkan niat, berbeda dengan sholat yang tidak sah kecuali dengan pelafalan -Takbirotul Ihrom-. (Al-Majmu’ Syarhu Al-Muhadzdzab, vol. 3 hlm 277)
Statemen yang berbunyi:
إذا نوى حجا أو عمرة أجزأ وان لم يتلفظ
jika ia (orang yang hendak  berhaji) berniat untuk haji atau umrah, maka hal itu sudah sah/ cukup meskipun tidak melafadzkan niat,
statemen tersebut mafhumnya bermakna: melafalkan niat tidak masalah, atau bahkan lebih baik, sebagaimana ucapan: “Wudhu anda sah meskipun tidak berkumur-kumur” atau “shalat anda sah meskipun tidak memakai kopyah” yang bermakna; berkumur-kumur dan memakai kopyah tidak mengapa dilakukan atau justru lebih baik.
Yang jelas, statemen As-Syafi’i yang dikutip an-Nawawy tersebut bisa ditegaskan beliau tidak menjadikan pelafalan niat sebagai syarat sah niat dalam niat Haji atau Umroh. Maksimal, yang bisa difahami dari statemen tersebut adalah beliau menjadikan pelafalan niat sebagai hal yang baik atau mubah sebagai penguat niat maupun kepentingan-kepentingan syar’i lainnya.
Tidak bisa dikatakan bahwa ucapan  Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bukan pelafalan niat tetapi hanya lafadz yang semakna dengan  takbirotul ihrom. Tidak  bisa dikatakan demikian karena  ucapan talbiyah haji/umroh jelas menunjukkan pelafalan niat sebagaimana keterangan Al-‘Ukbary, yakni apakah niat haji ataukan umroh ataukah haji yang dibarengkan dengan umroh. Takbirotul ihrom tidak bermakna niat, karena tidak membedakan apakah untuk melakukan shalat wajib ataukah sunnah, juga tidak membedakan antara dhuhur, ashar, maghrib, isya, ataukah  subuh. Pelafalan niat haji/umroh tidak  mempengaruhi keabsahan ibadah sementara pelafalan takbirotul ihrom mempengaruhi keabsahan. Jadi  dua hal ini tidak  bisa disamakan.
Memahami bahwa  ucapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ di atas  bukan pelafalan niat, tetapi hanya salah satu nusuk (tatacara ibadah) diantara nusuk-nusuk  haji atau sekedar I’lan (pengumuman)  talbiyah, pemahaman ini  tertolak, karena faqih besar seperti asy-syafi’i memasukkan pembahasan tersebut ke dalam pembahasan niat dan pelafalannya. Hal ini menunjukkan ahli fikih besar yang sudah diketahui kredibilitasnya dalam bahasa arab dan ushul fikih telah memahami bahwa ucapan nabi tersebut ekspresi niat yang berupa pelafalan, bukan sekedarnusuk atau I’lan. An-Nawawi dan ulama’-ulama madzhab Syafi’I  sangat tegas memahami bahwa ucapan nabi tersebut adalah  dalil sunnahnya pelafalan niat. Reputasi keilmuan ulama  yang memahami bahwa ucapan Nabi dalam hadis tersebut bermakna pelafalan niat,  lebih tinggi, lebih kredibel dan lebih terpercaya. Tambahan lagi, orang yang berniat bersamaan dengan talbiyahnya maka haji atau umrohnya sah, jadi tidak menjadi keharusan berniat dilakukan di negeri asal. An-Nawawy berkata;
المجموع شرح المهذب (7/ 224)
قال أصحابنا ينبغي لمريد الاحرام أن ينويه بقلبه ويتلفظ بذلك بلسانه
ويلبى فيقول بقلبه ولسانه نويت الحج وأحرمت به لله تعالى لبيك اللهم لبيك إلى آخر التلبية فهذا أكمل ما ينبغى له
Ulama-ulama yang semadzhab dengan kami mengatakan;  orang yang hendak berihrom seyogyanya meniatkan berniat dengan hati dan melafalkan niatnya itu dengan lisannya dan bertalbiyah. Dia mengucapkan dengan hati dan lisannya: nawaitu Al-Hajja wa ahromtu bihi lillahi ta’ala. Labbaik Allahumma labbaik dst sampai akhir talbiyah. Ini adalah yang paling sempurna dari apa yang seyogyanya baginya (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadz-dzab, vol 7, hlm 224)
Syarofuddin Musa Al-Hajjawy dalam kitabnya Zadu  Al-Mustanqo’ termasuk yang merekomendasikan pelafalan niat haji. Beliau berkata;
زاد المستقنع (ص: 87)
 ويستحب قوله2: اللهم إني أريد نسك كذا فيسره لي وإن حبسني حابس فمحلي حيث حبستني.
Dianjurkan untuk mengucapkan; ya Allah  sesungguhnya aku ingin  melakukan nusuk ini.. maka mudahkanlah  untukku. Jika ada yang menghalangiku maka tempatku adalah di mana engkau menahanku (Zadu Al-Mustanqo’, hlm 87)
Pelafalan niat yang dilakukan Nabi dalam hadis ini tidak bisa difahami sebagai kekhususan ibadah haji, sehingga melafalkan niat untuk selain haji tidak boleh. Tidak bisa difahami demikian  karena  tidak ada dalil yang menunjukkan kekhususan tersebut, apalagi  Nash-Nash yang ada menunjukkan bahwa pelafalan niat  yang dilakukan nabi bukan hanya dalam ibadah haji dan umroh. Justru  ketika tidak ada riwayat  nabi melakukannya  terus menerus dan hanya pada kondisi ibadah-ibadah tertentu ketika  melakukannya, hal itu menunjukkan hukum mubah, bukan kekhususan, bukan  sunnah apalagi  haram.
Memahami  pembolehan pelafalan niat hanya untuk kepentingan mengajari berdasarkan hadis ini juga kurang kuat, karena tidak ada qorinah jelas yang menunjukkan bahwa pelafalan itu hanya dibatasi untuk mengajari saja  dari segi kebolehannya. Kasus pelafalan saudara Syubrumah yang didiamkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  (sebagaimana nanti akan dijelaskan pada argumen berikutnya) malah menunjukkan bahwa pelafalan niat itu tidak untuk kepentingan mengajari, karena saudara Syubrumah tidak pernah mengajari siapapun.
Kedua;
Malaikat  Memerintahkan Nabi Melafalkan Niat Haji Sekaligus Umroh
Dalil yang menunjukkan bahwa malaikat memerintahkan nabi melafalkan niat haji sekaligus umroh adalah hadis berikut ini;
صحيح البخاري (8/ 147)
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللَّيْلَةَ أَتَانِي آتٍ مِنْ رَبِّي وَهُوَ بِالْعَقِيقِ أَنْ صَلِّ فِي هَذَا الْوَادِي الْمُبَارَكِ وَقُلْ عُمْرَةٌ فِي حَجَّةٍ
dari Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Malam ini Malaikat yang diutus oleh Rabbku datang kepadaku”. Saat itu Beliau sedang berada di lembah Al ‘Aqiq dan Malaikat itu berkata; “Shalatlah di lembah yang penuh barakah ini dan katakanlah: “Aku berniat melaksanakan ‘umrah dalam ‘ibadah hajji ini”. (H.R.Bukhari)
lafadz;
وَقُلْ عُمْرَةٌ فِي حَجَّةٍ
dan katakanlah: “Aku berniat melaksanakan ‘umrah dalam ‘ibadah haji ini
cukup jelas menunjukkan bahwa  malaikat memerintahkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ untuk mengucapkan niat. Jika pelafalan niat adalah sesuatu yang haram, tidak mungkin malaikat memerintahkan yang haram.
Tidak bisa dikatakan bahwa perintah malaikat kepada Nabi untuk mengucapkan عُمْرَةٌ فِي حَجَّةٍ  difahami  “sekedar” ” menyebut nusuk (tatacara ibadah)  dalam talbiyah. Tidak bisa dikatakan demikian, karena maksud ibadah  umroh adalah Ta’yin Niyyah (menentukan niat yang membedakan dengan ibadah yang lain), sebagai mana haji juga Ta’yin Niyyah. Umroh fi’ hajji juga Ta’yin Niyyah yang masing-masing  konsekuensinya terkait tatacara dan ketentuan-ketentuannya berbeda. Pelabelan ” Hanya menyebut nusuk dalam talbiyah”  membuat ucapan tersebut menjadi seakan-akan tidak ada maknanya, yakni tidak memberi penjelasan niat haji yang disertakan dengan umroh.  Oleh karena itu, lebih sesuai  dengan maksud Nash jika  ucapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tersebut tidak dilepaskan dari maksud niat ibadahnya, sehingga lebih dekat difahami sebagai pelafalan niat.
Tambahan lagi, mengatakan bahwa hal itu hanyalah sekedar penyebutan nusuk dalam talbiyah sesungguhnya hal tersebut adalah sifat yang sama yang  juga bisa diberlakukan pada  ibadah-ibadah yang lain. Artinya, jika sesuatu yang disebut “penyebutan nusuk” pada haji itu tidak dipermasalahkan, seharusnya  kita bisa mengatakan bahwa pelafalan niat pada shalat, puasa, haji dll “hanyalah” penyebutan yang semisal dengan penyebutan nusuk  dalam memasuki ibadah haji.
Ketiga;
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  Tidak Mengingkari Pelafalan Niat Haji yang dilakukan Seorang Lelaki Untuk Saudaranya yang bernama  Syubrumah
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah mendengar seorang lelaki melafalkan niat berhaji untuk saudaranya yang bernama Syubrumah. Beliau tidak mengingkari pelafalan niat tersebut, namun hanya mengoreksi terkait syarat dalam menghajikan orang lain. Abu Dawud meriwayatkan;
سنن أبى داود (5/ 145)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ قَالَ مَنْ شُبْرُمَةُ قَالَ أَخٌ لِي أَوْ قَرِيبٌ لِي قَالَ حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ قَالَ لَا قَالَ حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ
Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shalla Allahu ‘alaihi wa sallam mendengar seseorang mengucapkan; LABBAIKA ‘AN SYUBRUMAH (ya Allah, aku memenuhi seruanmu untuk Syubrumah), beliau bertanya: “Siapakah Syubrumah tersebut?” Dia menjawab; saudaraku! Atau kerabatku! Beliau bertanya: “Apakah engkau telah melaksanakan Haji untuk dirimu sendiri?” Dia menjawab; belum! Beliau berkata: “Laksanakan Haji untuk dirimu, kemudian berhajilah untuk Syubrumah.” (H.R.Abu Dawud)
As-Shon’any dalam kitabnya Subul As-Salam menjelaskan hadis ini sebagai berikut;
سبل السلام (2/ 184)
والحديث دليل على أنه لا يصح أن يحج عن غيره من لم يحج نفسه لأنه صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم أمره أن يجعله عن نفسه بعد أن لبى عن شبرمة فدل على أنها لم تنعقد النية عن غيره وإلا لأوجب عليه المضي فيه.
Hadis ini menunjukkan bahwa tidak sah orang yang berhaji menghajikan orang lain selama dia belum berhaji untuk dirinya sendiri. Karena Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan kepadanya untuk menjadikan haji tersebut bagi dirinya, setelah dia bertalbiyah untuk Syubrumah. Jadi hal tersebut menunjukkan bahwa niat untuk orang lain tidak sah. Andai tidak demikian, niscaya beliau akan mengharuskan lelaki tersebut untuk meneruskan hajinya (Subul As-Salam, vol.2, hlm 184)
Statemen As-Shon’any yang berbunyi;
فدل على أنها لم تنعقد النية عن غيره
Jadi hal tersebut menunjukkan bahwa niat untuk orang lain tidak sah
Statemen tersebut menunjukkan bahwa As-Shon’any memahami ucapan saudara Syubrumah adalah terkait dengan niatnya menghajikan Syubrumah. Artinya, ucapan saudaranya Syubrumah bisa difahami sebagai ekspresi lisan atas niat tersebut. Dengan kata lain, saudara Syubrumah melafalkan niatnya berhaji untuk saudaranya dan pelafalan tersebut didengar oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Tidak adanya pengingkaran Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ terhadap pelafalan tersebut, menunjukkan melafalkan niat hukumnya mubah, karena tidak mungkin Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mendiamkan sesuatu yang terkategori kemungkaran.
Keempat;
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  Merekomendasikan Pelafalan Niat Haji Yang Disertai Istitsna’ kepada  Dhuba’ah
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah merekomendasikan pelafalan niat yang disertai Isytiroth (memberi syarat) kepada Dhuba’ah binti Az-Zubair yang ingin berhaji namun dalam kondisi sakit. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (16/ 32)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ضُبَاعَةَ بِنْتِ الزُّبَيْرِ فَقَالَ لَهَا لَعَلَّكِ أَرَدْتِ الْحَجَّ قَالَتْ وَاللَّهِ لَا أَجِدُنِي إِلَّا وَجِعَةً فَقَالَ لَهَا حُجِّي وَاشْتَرِطِي وَقُولِي اللَّهُمَّ مَحِلِّي حَيْثُ حَبَسْتَنِي وَكَانَتْ تَحْتَ الْمِقْدَادِ بْنِ الْأَسْوَدِ
dari Aisyah ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menemui Dhuba’ah binti Az Zubair, maka beliau bersabda: “Sepertinya kamu ingin menunaikan ibadah haji.” Ia pun berkata, “Demi Allah, tidak ada yang menghalangiku kecuali sakit.” Beliau pun bersabda: “Tunaikanlah haji, dan berilah syarat. ucapkan: ‘ALLAHUMMA MAHILLII HAITSU HABASTANII (Ya Allah, tempatku adalah di tempat Engkau menahanku).'” Saat itu, ia adalah isteri daripada Miqdad bin Al Aswad. (H.R.Bukhari)
Ubaidullah Al-Mubarokfury menjelaskan hadis ini dalam kitabnya Mirqot Al-Mafatih Syarh Misykat Al-Mashobih sebagai berikut;
مرعاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح (9/ 445)
وذكر فيه ابن قدامة احتمالين : أحدهما هذا ، قال : ويدل عليه ظاهر قوله – صلى الله عليه وسلم – في حديث ابن عباس (( قولي : محلي من الأرض حيث تحبسني )) قلت : وكذا في حديث عائشة في الصحيحين (( وقولي : اللهم محلي حيث حبستني )) والثاني أنه تكفي فيه النية
Ibnu Qudamah menyebut dua kemungkinan makna. Pertama; adalah makna ini (yakni melafalkan Isytiroth saat berniat haji). Beliau berkata: yang menunjukkannya adalah dhohirnya sabda Nabi pada hadis Ibnu Abbas; Ucapkanlah; tempatku di bumi adalah di mana Engkau menahanku. Saya berkata; demikian pula dalam hadis Aisyah dalam shahihain: katakanlah Ya Allah, tempatku adalah di mana engkau menahanku. Kedua; Cukup niat saja –tanpa pelafalan- (Mirqot Al-Mafatih Syarh Misykat Al-Mashobih, vol.9,hlm 445)
Pemaknaan Ibnu Qudamah yang dinukil Ubaidullah Al-Mubarokfury terhadap hadis Dhuba’ah ini menunjukkan bahwa rekomendasi ucapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ kepadanya adalah terkait niat. Hanya saja, dalam pembahasan fikih ada dua kemungkinan makna yang bisa digali: Isytiroth haji itu harus diucapkan ataukah cukup niat dalam hati saja. Dua kemungkinan makna ini semuanya mungkin dalam ijtihad, meski dhohir hadis menunjukkan harus dilafalkan. Yang jelas, makna apapun yang mungkin digali dari hadis tersebut, semuanya tidak terlepas dari makna niat haji yang hendak dilakukan oleh Dhuba’ah. Artinya, rekomendasi pelafalan yang dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bukan sekedar pelafalan tanpa makna, tetapi pelafalan niat haji oleh Dhuba’ah yang disertai dengan Isytiroth. Karena itu hadis ini juag bisa menjadi dalil bolehnya melafalkan niat.
Hadis  Dhuba’ah ini tidak bisa difahami hanya sebagai nadzar atau yang semakna dengan nadzar, karena haji Dhuba’ah jelas bukan nadzar tetapi rencana melakukan haji yang memang diwajibkan kepada mukallaf muslim secara  ibtida-an (orsinil sejak awal tanpa sebab yang lain). Hanya saja kondisi Dhuba’ah adalah sakit sehingga saat melafalkan niat haji, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyarankan disertai dengan  isytiroth untuk meringankannya.
Tidak bisa juga memahami bahwa hadis Dhuba’ah ini hanyalah dalil bolehnya isytiroth semata. Tidak bisa dikatakan demikian, karena  meskipun benar bahwa  hadis tersebut adalah dalil bolehnya isytiroth, namun pada saat yang sama nabi memerintahkan mengucapkan isytiroth niat tersebut, sehingga hadis tersebut  juga menjadi dalil mubahnya pelafalan niat.
Imam As-Syafi’i meriwayatkan bahwa Aisyah merekomendasikan pelafalan niat sekaligus isytiroth dalam kondisi diduga akan terjadi hal-hal yang menghalangi pelaksanaan haji. Dalam Musnad As-Syafi’i dinyatakan;
مسند الشافعي ترتيب السندي (ص: 1048)
( أخبرنا ) : سُفْيانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عن هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عن أبيه قال :
 – قالتْ لي عائشةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْها : هَلْ تَثْتَثْنِي إذَا حَجَجْتَ ؟ قال : فقُلْتُ لها مَاذَا أقُولُ ؟ فقالتْ قُلْ اللَّهُمَّ الحَجَّ أرَدْتُ ولهُ عَمَدْتُ فَإنْ يَسَّرْتَهُ فَهُو الحَجُّ وإنْ حَبَسَني حَابِسٌ فَهِيَ عُمْرَةٌ
Sufyan bin ‘Uyainah memberitahu kami dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya beliau berkata. Aisyah Ra. berkata; Apakah engkau mengucapkan perkecualian jika berhaji? Urwah bertanya; Apa yang aku katakan?Aisyah menjawab; Katakan Ya Allah, aku ingin berhaji, dan untuknya aku menyengaja. Jika engkau memudahkanku maka itu adalah haji. Jika ada yang menghalangiku, maka itu adalah umroh (H.R.As-Syafi’i)
Aisyah adalah perawi hadis Dhuba’ah. Tentu shahabat yang meriwayatkan hadis lebih faham maksud hadis yang diriwayatkannya. Dalam riwayat As-Syafi’y, ternyata Aisyah merekomendasikan pelafalan niat sekaligus isytiroth, bukan hanya merekomendasikan pelafalan isytiroth. Oleh karena itu, hadis Dhuba’ah menunjukkan mubahnya pelafalan niat, bukan sekedar mubahnya pelafalan isytiroth.
Al-Hajjawy dalam Zadu Al-Mustanqo’ juga memahami hadis Dhuba’ah sebagai pelafalan niat. Beliau berkata;
زاد المستقنع (ص: 87)
 ويستحب قوله2: اللهم إني أريد نسك كذا فيسره لي وإن حبسني حابس فمحلي حيث حبستني.
Dianjurkan untuk mengucapkan; ya Allah  sesungguhnya aku ingin  melakukan nusuk ini.. maka mudahkanlah  untukku. Jika ada yang menghalangiku maka tempatku adalah di mana engkau menahanku (Zadu Al-Mustanqo’, hlm 87)
Kelima;
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Melafalkan Niat Ketika  hendak Berkurban
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melafalkan niatnya ketika hendak menyembelih kurbannya. Hadisnya adalah sebagai berikut;
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ وَأَتَى بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ وَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِيِِِِ (مسند أحمد (23/ 172)
dari Jabir bin Abdullah berkata; saya menyaksikan penyembelihan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di sebuah tempat shalat. Tatkala beliau selesai khutbahnya, beliau turun dari mimbarnya dan membawa kambing lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyembelih dengan tangan beliau dan berkata; BISMILLAH WA ALLOHU AKBAR, ini adalah dariku dan dari orang yang belum berkurban dari kalangan umatku. (H.R.Ahmad)
‘Alauddin Al-Kasany dalam kitabnya Bada-I’ As-Shona-I’ ketika berbicara niat dalam berkurban mengatakan bahwa pelafalan adalah bukti/dalil yang menunjukkan/mengekspresikan niat yang ada dalam hati. Beliau berkata;
بدائع الصنائع (10/ 281)
وَيَكْفِيهِ أَنْ يَنْوِيَ بِقَلْبِهِ وَلَا يُشْتَرَطُ أَنْ يَقُولَ بِلِسَانِهِ مَا نَوَى بِقَلْبِهِ كَمَا فِي الصَّلَاةِ ؛ لِأَنَّ النِّيَّةَ عَمَلُ الْقَلْبِ ، وَالذِّكْرُ بِاللِّسَانِ دَلِيلٌ عَلَيْهَا (في موضوع الأضحية)
cukup baginya berniat dengan hatinya dan tidak disyaratkan melafalkan dengan lisan apa yang diniatkan oleh hatinya sebagaimana dalam shalat. Niat adalah amal hati, dan penyebutan dengan lisan menjadi penunjuk niat tersebut (Bada-I’ As-Shona-I’,vol.10, hlm 281)
Penyebutan pelafalan niat oleh Al-Kasany pada saat berkurban dengan cara penyebutan yang positif menunjukkan bahwa beliau termasuk yang tidak mempermasalahkan pelafalan niat dalm berkurban, sekaligus menunjukkan bahwa hadis nabi di atas  memang bermakna pelafalan niat oleh nabi.
Abdul Hayyi Yusuf juga membolehkan pelafalan niat saat berkurban. Beliau berkata;
فلا مانع من أن يقول المضحي عند ذبح أضحيته: “اللهم هذه عن فلان وآل فلان”؛ اقتداء بالنبي الأكرم صلى الله عليه وسلم، وإلا فالنية في الأصل محلها القلب، والله أعلم.
Tidak masalah orang yang berkurban saat menyembelih kurbannya  mengucapkan : Ya Allah, ini adalah kurban untuk fulan dan keluarga fulan (Fatwa Abdul Hayyi Yusuf)
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni malah memandangnya termasuk hal yang baik karena dicontohkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Beliau berkata;
المغني (21/ 497)
وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ يَقُولَ عِنْدَ الذَّبْحِ عَمَّنْ لِأَنَّ النِّيَّةَ تُجْزِئُ لَا أَعْلَمُ خِلَافًا فِي أَنَّ النِّيَّةَ تُجْزِئُ ، وَإِنْ ذَكَرَ مَنْ يُضَحِّي عَنْهُ فَحَسَنٌ ؛ لِمَا رَوَيْنَا مِنْ الْحَدِيثِ
Tidak menjadi keharusan bagi orang yang berkurban pada saat menyembelih mengucapkan; Ini kurban untuk…dst karena niat saja sudah sah/cukup. Saya tidak mengetahui ada perselisihan bahwa niat saja sudah sah. Jika orang yang berkurban menyebut (dalam niatnya) kurbannya untuk siapa, maka hal tersebut  adalah baik berdasarkan hadis yang telah kami riwayatkan (Al-Mughni, vol. 21, hlm 497)
Markazul Fatwa dibawah supervisi Abdullah Al-Faqih juga memberikan fatwa senada. Redaksi fatwanya adalah sebagai berikut;
فتاوى الشبكة الإسلامية (6/ 2746)
أما بخصوص التلفظ بالنية أثناء الذبح فإن قصدت به قول المضحي أو نائبه: اللهم هذا منك ولك، أو اللهم تقبل مني أو من فلان، فهذا لا حرج فيه؛ بل عده ابن قدامة من الأمور الحسنة عند كثير من العلماء. والله أعلم.
المفتي: مركز الفتوى بإشراف د.عبدالله الفقيه
Terkait pelafalan niat saat menyembelih, jika yang dimaksud adalah ucapan orang yang berkurban/wakilnya: “ya Allah ini dariMu dan untukMu” atau “Ya Allah terimalah dariku” atau “dari fulan”, maka ini tidak ada keberatan. Bahkan Ibnu Qudamah memandangnya termasuk perkara-perkara yang baik bagi mayoritas ulama. Wallahua’lam. Mufti: Markazul Fatwa dibawah supervisi Abdullah Al-Faqih (Fatawa As-Syabakah Al-Islamiyyah, vol.6, hlm 2746)
Semua komentar, penjelasan dan fatwa ulama di atas menunjukkan bahwa mereka secara eksplisit atau implisit mengakui bahwa hadis berkurban Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah pelafalan niat berkurban, sehingga dari situ biasa ditarik kesimpulan yang lebih umum yakni melafalkan niat dalam ibadah hukumnya mubah sebagaimana pelafalan niat dalam haji dan umroh.
Ucapan nabi yang berbunyi;
هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِيِِِِ
ini adalah dariku dan dari orang yang belum berkurban dari kalangan umatku
ucapan ini tidak bisa difahami sebagai doa, karena doa adalah permintaan hamba kepada Robbnya, sementara lafadz yang diucapkan Nabi bukanlah permintaan. Lafadz tersebut adalah ekspresi maksud dari melakukan ibadah berkurban, sehingga lebih tepat disebut sebagai pelafalan niat, bukan doa. Lafadz yang lebih layak difahami sebagai doa adalah lafadz semisal “Allahumma taqobbal minni..” (ya Allah terimalah dariku) dan yang semakna dengannya.
Keenam;
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Melafalkan Niat Puasa Sunnah Saat tidak  Ada Makanan
Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melafalkan niat puasa sunnah ketika tidak ada makanan:
صحيح مسلم (6/ 26)
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ فَقُلْنَا لَا قَالَ فَإِنِّي إِذَنْ صَائِمٌ
dari Aisyah Ummul Mukminin, ia berkata; Pada suatu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” kami menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda: “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” (H.R.Muslim)
An-Nawawy berkata ketika mensyarahi hadis ini;
شرح النووي على مسلم (8/ 35)
وفيه دليل لمذهب الجمهور أن صوم النافلة يجوز بنية في النهار قبل زوال الشمس
Dalam hadis ini terdapat dalil bagi madzhab Jumhur, yakni bahwa puasa nafilah boleh niatnya di siang hari sebelum matahari tergelincir (Syarah An-Nawawy ‘Ala Muslim, vol.8, hlm 35)
An-Nawawy dengan tegas menjelaskan bahwa hadis tersebut menjadi dalil bagi jumhur ulama yang membolehkan niat puasa sunnah di siang hari. Maknanya Jumhur termasuk An-Nawawy memahami bahwa ucapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang berbunyi;
فَإِنِّي إِذَنْ صَائِمٌ
“Kalau begitu, saya akan berpuasa.”
Ucapan ini adalah  niat berpuasa setelah tidak mendapati makanan yang bisa dimakan. Jadi, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melafalkan niatnya, sehingga hadis ini bisa menjadi dalil kemubahan pelafalan niat, karena Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah melafalkan niat puasa.
Pemaknaan yang sama dengan an-Nawawy diberikan oleh ‘Athiyyah Muhammad Salim. Beliau berkata;
شرح بلوغ المرام للشيخ عطية محمد سالم (145/ 2، بترقيم الشاملة آليا)
وإذا ثبتت لفظة (إذاً) فهي تدل على إنشاء النية نهاراً
Jika lafadz Idzan sudah diakui memang ada, maka hal tersebut menunjukkan pemunculan niat dilakukan di siang hari (Syarah Bulughu Al-Marom Lisy-Syaikh ‘Athiyyah Muhammad Salim, vol.2, hlm 145)
Demikian pula Ubaidullah Al-Mubarokfury dalamMirqot Al-Mafatih Syarah Misykat Al-Mashobih. Beliau berkata;
مرقاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح (6/ 406)
فإني إذن أصوم يدل على جواز نية النفل في النهار وبه قال الأكثرون
Lafadz “kalau begitu aku berpuasa” menunjukkan bolehnya berniat puasa nafilah pada siang hari. Ini adalah pendapat mayoritas (Mirqot Al-Mafatih Syarah Misykat Al-Mashobih, vol.6, hlm 406)
Termasuk Ibnu ‘Utsaimin. Yang menarik, meskipun Ibnu ‘Utsaimin termasuk ulama yang mengharamkan pelafalan niat, namun ketika mensyarah hadis ini beliau tidak mengingkari bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ َ berniat puasa saat mengucapkan tersebut. Artinya bisa difahami bahwa Ibnu ‘Utsaimin juga mengakui bahwa hadis tersebut adalah pelafalan niat puasa oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Beliau berkata;
الشرح المختصر على بلوغ المرام (6/ 5) محمد بن صالح بن عثيمين
يعني في الحال فنوى الصيام في الحال
Yakni saat itu juga. Jadi, beliau (Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ) berniat puasa saat itu juga (Asy-Syarh Al-Mukhtashor ‘Ala Bulugh Al-Marom, vol.5 hlm 6)
Ucapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Kalau begitu, saya akan berpuasa” tidak bisa disebut Ikhbar (pemberian informasi), karena pemberian informasi hanya bisa dilakukan jika sesuatu sudah terjadi. Sebelum ucapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tersebut Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ belum berpuasa, sehingga mustahil Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memberitahu sesuatu yang belum terjadi dan belum ada. Jadi ucapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ lebih tepat dan sesuai konteks hadis jika difahami pelafalan niat, bukan yang lain.
Memberi takwil bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sudah berniat puasa sejak malam adalah takalluf (memaksa-maksa) yang berlebihan. Hal itu dikarenakan klaim ini sama sekali tidak didukung oleh Nash apapun, dan bertentangan dengan redaksi riwayat yang menunjukkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mencari makanan di pagi hari. Ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mencari makanan maka hal itu adalah bukti yang jelas bahwa beliau tidak sedang berpuasa. Lagi pula niat harus jazim (pasti) dan tidak boleh ragu-ragu. Niat membatalkan maka bermakna batal seterusnya tanpa bisa dikoreksi. Seandainya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memang sudah berniat puasa di malam hari, dengan upaya mencari makanan itu berarti beliau telah membatalkan puasanya. Niat membatalkan puasa tidak bisa digagalkan  dengan niat baru. Lagipula seandainya beliau sudah berniat puasa di malam hari seharusnya beliau mengatakan: “kalau begitu saya meneruskan puasa”, bukan “kalau begitu saya akan berpuasa”.
Ketujuh;
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Melafalkan Niat Puasa Tasu’a
Hadis menunjukkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah melafalkan niat puasa Tasu’a’, yaitu puasa tanggal 9 Muharram. Imam Muslim meriwayatkan;
صحيح مسلم (5/ 480)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ
dari Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seandainya tahun depan aku masih hidup, niscaya saya benar-benar akan berpuasa pada hari ke sembilan –Muharram-.” (H.R.Muslim)
An-Nawawy menjelaskan dalam Syarahnya, bahwa berpuasa tanggal 9 Muharram hukumnya sunnah karena Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berniat puasa Tasu’a, meskipun secara riil beliau belum pernah puasa dihari itu karena didahului wafat. An-Nawawy berkata;
شرح النووي على مسلم (8/ 12)
قال الشافعي وأصحابه وأحمد واسحاق وآخرون يستحب صوم التاسع والعاشر جميعا لأن النبي صلى الله عليه و سلم صام العاشر ونوى صيام التاسع
As-Syafi’i dan murid-muridnya, Ahmad, Ishaq dan yang lainnya menganjurkan puasa tanggal 9 dan 10 Muharrom karena nabi berpuasa tanggal 10 danberniat puasa tanggal 9 (Syarh An-Nawawy ‘Ala Muslim, vol.8, hlm 12)
Penjelasan An-Nawawy terkait  ucapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang berbunyi;
لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ
“Seandainya tahun depan aku masih hidup, niscaya saya benar-benar akan berpuasa pada hari ke sembilan –Muharram-.”
Yang mana ucapan tersebut ditafsiri sebagai niat berpuasa tanggal 9 Muharram, menunjukkan An-Nawawy mengakui bahwa ucapan tersebut adalah ucapan niat. Hal ini bermakna Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melafalkan niatnya untuk berpuasa Tasu’a, sehingga hadis ini juga menjadi dalil mubahnya melafalkan niat.
Kedelapan;
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengisahkan cerita seorang lelaki yang melafalkan niatnya untuk bershodaqoh.
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah menceritakan sebuah kisah kepada shahabat tentang cerita seorang lelaki yang bershodaqoh, namun tidak tepat sasaran. Pesan dalam cerita tersebut adalah hendaknya setiap muslim tidak merasa rugi ketika bershodaqoh, meski orang yang dishodaqohi tidak seperti yang diinginkan. Tidak perlu merasa rugi karena niat yang baik sudah dibalas oleh Allah. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (5/ 238)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ رَجُلٌ لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدِ سَارِقٍ فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُونَ تُصُدِّقَ عَلَى سَارِقٍ فَقَالَ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدَيْ زَانِيَةٍ فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُونَ تُصُدِّقَ اللَّيْلَةَ عَلَى زَانِيَةٍ فَقَالَ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ عَلَى زَانِيَةٍ لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدَيْ غَنِيٍّ فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُونَ تُصُدِّقَ عَلَى غَنِيٍّ فَقَالَ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ عَلَى سَارِقٍ وَعَلَى زَانِيَةٍ وَعَلَى غَنِيٍّ فَأُتِيَ فَقِيلَ لَهُ أَمَّا صَدَقَتُكَ عَلَى سَارِقٍ فَلَعَلَّهُ أَنْ يَسْتَعِفَّ عَنْ سَرِقَتِهِ وَأَمَّا الزَّانِيَةُ فَلَعَلَّهَا أَنْ تَسْتَعِفَّ عَنْ زِنَاهَا وَأَمَّا الْغَنِيُّ فَلَعَلَّهُ يَعْتَبِرُ فَيُنْفِقُ مِمَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ
dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu; Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam berkata,: “Ada seorang laki-laki berkata,: Aku benar-benar akan bershadaqah. Lalu dia keluar dengan membawa shadaqahnya dan ternyata jatuh ke tangan seorang pencuri. Keesokan paginya orang-orang ramai membicarakan bahwa dia telah memberikan shadaqahnya kepada seorang pencuri. Mendengar hal itu orang itu berkata,: “Ya Allah segala puji bagiMu, Aku benar-benar akan bershadaqah lagi”. Kemudian dia keluar dengan membawa shadaqahnya lalu ternyata jatuh ke tangan seorang pezina. Keesokan paginya orang-orang ramai membicarakan bahwa dia tadi malam memberikan shadaqahnya kepada seorang pezina. Maka orang itu berkata, lagi: Ya Allah segala puji bagiMu, (ternyata shadaqahku jatuh) kepada seorang pezina, Aku benar-benar akan bershadaqah lagi. Kemudian dia keluar lagi dengan membawa shadaqahnya lalu ternyata jatuh ke tangan seorang yang kaya. Keesokan paginya orang-orang kembali ramai membicarakan bahwa dia memberikan shadaqahnya kepada seorang yang kaya. Maka orang itu berkata,: Ya Allah segala puji bagiMu, (ternyata shadaqahku jatuh) kepada seorang pencuri, pezina, dan orang kaya. Setelah itu orang tadi bermimpi dan dikatakan padanya: “Adapun shadaqah kamu kepada pencuri, mudah-mudahan dapat mencegah si pencuri dari perbuatannya, sedangkan shadaqah kamu kepada pezina, mudah-mudahan dapat mencegahnya berbuat zina kembali dan shadaqah kamu kepada orang yang kaya mudah-mudahan dapat memberikan pelajaran baginya agar menginfaqkan harta yang diberikan Allah kepadanya”. (H.R.Bukhari)
Faishol Al-Mubarok dalam kitabnya Tath-riz Riyadh As-Sholihin menjelaskan berdasarkan hadis ini bahwa niat baik sudah cukup untuk membuat shodaqoh seseorang diterima, meski shodaqoh tersebut tidak tepat sasaran, seperti diterima oleh orang kaya, pelacur, pencuri dll. Beliau berkata;
تطريز رياض الصالحين (ص: 1057)
وفيه: أن نية المتصدق إذا كانت صالحة، قبلت صدقته ولو لم تقع الموقع
Diantara makna hadis ini: Niat orang yang bershodaqoh jika baik maka shodaqohnya diterima meskipun shodaqoh tersebut tidak tepat sasaran (Tath-riz Riyadh As-Sholihin, hlm 1057)
Penafsiran beliau terkait niat dan ketepatan sasaran shodaqoh dalam hadis ini menunjukkan pengakuan beliau bahwa ucapan lelaki dalam hadis di atas yang berbunyi;
لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ
Aku benar-benar akan bershadaqah
Ucapan tersebut maknanya adalah pelafalan niat shodaqoh. Karena itu hadis ini juga menjadi dalil kebolehan melafalkan niat ibadah, karena shodaqoh termasuk ibadah sebagaimana haji, puasa, dan berkurban.  Diamnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ terhadap pelafalan lelaki yang berniat bershodaqoh tanpa pengingkaran menjadi taqrir beliau bahwa pelafalan niat itu mubah dan tidak termasuk kemunkaran.
Tidak bisa dikatakan bahwa kisah lelaki yang mengucapkan niat shodaqoh itu adalah syariat umat sebelum umat Islam, sehingga berlaku pada umat itu dan tidak berlaku bagi umat Islam. Gugatan ini tidak dapat diterima, karena dalil pelafalan niat bukan hanya hadis ini tetapi juga banyak Nash yang lain. Lagipula, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menceritakan kisah lelaki ini adalah sebagai penjelasan syariat untuk dilaksanakan umatnya, bukan sekedar cerita hiburan. Tambahan lagi, syariat umat sebelum kita jika tidak bisa diterapkan oleh umat Islam, maka harus ada dalil yang menunjukkannya, misalnya cara bertaubat dari syirik. Dalam syariat bani Israil cara bertaubat dari syirik adalah membunuh diri sementara dalam syariat Islam cukup taubat Nashuha.
Kesembilan;
Seorang Arab Badui Melafalkan Niat Hijrah Di Hadapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Tanpa Ada Pengingkaran.
An-Nasai meriwayatkan;
سنن النسائي (7/ 38)
عَنْ شَدَّادِ بْنِ الْهَادِ أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَعْرَابِ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَآمَنَ بِهِ وَاتَّبَعَهُ ثُمَّ قَالَ أُهَاجِرُ مَعَكَ فَأَوْصَى بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْضَ أَصْحَابِهِ
dari Syaddad bin Al Had bahwa seorang laki-laki dari seorang badui datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ia beriman dan mengikuti beliau. Kemudian dia berkata, “Aku akan berhijrah bersama engkau”. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  berpesan kepada sebagian Shahabat beliau agar berbuat baik kepada orang tersebut. (H.R.An-Nasai)
Ucapan arab badui yang berbunyi;
أُهَاجِرُ مَعَكَ
“Aku akan berhijrah bersama engkau”
Ucapan tersebut menunjukkan bahwa badui tersebut melafalakan niatnya berhijrah bersama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . As-Sindy menjelaskan makna lafadz tersebut sebagai berikut;
حاشية السندي على النسائي (4/ 60)
أي أسكن معك مهاجرا
Artinya; aku tinggal bersamamu dengan ikut berhijrah (Hasyiyah As-Sindy ‘Ala An-Nasai, vol.4, hlm 60)
Yakni, arab badui itu berniat hijrah untuk tinggal bersama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, karena niat adalah menyengaja dan memaksudkan sesuatu. Keinginan secara sengaja dan maksud untuk tinggal bersama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menunjukkan arab badui tersebut berniat hijrah dan tinggal bersama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Ketika pelafalan niat tersebut tidak diingkari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka hal ini menunjukkan mubah hukumnya melafalkan niat dalam ibadah hijrah, sebagaimana ibadah-ibadah yang lain.
Kesepuluh:
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melafalkan niatnya berjihad memerangi Quraisy.
Abu Dawud meriwayatkan;
سنن أبى داود (9/ 110)
عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَاللَّهِ لَأَغْزُوَنَّ قُرَيْشًا وَاللَّهِ لَأَغْزُوَنَّ قُرَيْشًا وَاللَّهِ لَأَغْزُوَنَّ قُرَيْشًا ثُمَّ قَالَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
dari Ikrimah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah, sungguh aku akan memerangi Quraisy, demi Allah, sungguh aku akan memerangi Quraisy, demi Allah, sungguh aku akan memerangi Quraisy.” Kemudian beliau bersabda: “insya Allah.” (H.R.Abu Dawud)
Jihad adalah ibadah. Ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melafalkan keinginanannya untuk berjihad memerangi orang-orang Quraisy, maka hal ini menunjukkan bahwa beliau melafalkan niat jihad. Meskipun para fuqoha’ dalam membahas hadis ini sorotan utamanya adalah terkait hukum sumpah, namun dari segi bahwa niat adalah menyengaja untuk melakukan perbuatan dan tekat kuat untuk berbuat sesuatu, maka keinginan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berjihad memerangi orang-orang quraisy itu termasuk dalam cakupan keumuman  definisi niat. Karena itu hadis ini bisa dijadikan sebagai dalil untuk menunjukkan mubahnya pelafalan niat dalam ibadah.
Yang semakna dengan ini adalah pelafalan niat yang dilakukan sejumlah shahabat yang bertekad puasa terus menerus dan shalat malam terus menerus. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (11/ 227)
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيَّبِ أَخْبَرَهُ وَأَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي أَقُولُ وَاللَّهِ لَأَصُومَنَّ النَّهَارَ وَلَأَقُومَنَّ اللَّيْلَ مَا عِشْتُ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْتَ الَّذِي تَقُولُ وَاللَّهِ لَأَصُومَنَّ النَّهَارَ وَلَأَقُومَنَّ اللَّيْلَ مَا عِشْتُ قُلْتُ قَدْ قُلْتُهُ قَالَ إِنَّكَ لَا تَسْتَطِيعُ ذَلِكَ فَصُمْ وَأَفْطِرْ وَقُمْ وَنَمْ وَصُمْ مِنْ الشَّهْرِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَإِنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا وَذَلِكَ مِثْلُ صِيَامِ الدَّهْرِ فَقُلْتُ إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمَيْنِ قَالَ قُلْتُ إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ قَالَ فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا وَذَلِكَ صِيَامُ دَاوُدَ وَهُوَ أَعْدَلُ الصِّيَامِ قُلْتُ إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَا أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ
dari Ibnu Syihab bahwa Sa’id bin Al Musayyab dan Abu Salamah bin ‘Abdur Rahman mengabarkan kepadanya bahwa ‘Abdullah bin ‘Amru radliallahu ‘anhuma berkata; Disampaikan kabar kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa aku berkata; “Demi Allah, sungguh aku akan berpuasa sepanjang hari dan sungguh aku akan shalat malam sepanjang hidupku.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya (‘Abdullah bin ‘Amru): “Benarkah kamu yang berkata; “Sungguh aku akan berpuasa sepanjang hari dan sungguh aku pasti akan shalat malam sepanjang hidupku?“. kujawab; “Demi bapak dan ibuku sebagai tebusannya, sungguh aku memang telah mengatakannya”. Maka Beliau berkata: “Sungguh kamu pasti tidak akan sanggup melaksanakannya. Akan tetapi berpuasalah dan berbukalah, shalat malam dan tidurlah dan berpuasalah selama tiga hari dalam setiap bulan karena setiap kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa dan itu seperti puasa sepanjang tahun.” Aku katakan; “Sungguh aku mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah”. Belau berkata: “Kalau begitu puasalah sehari dan berbukalah selama dua hari”. Aku katakan lagi: “Sungguh aku mampu yang lebih dari itu”. Beliau berkata: “Kalau begitu puasalah sehari dan berbukalah sehari, yang demikian itu adalah puasa Nabi Allah Daud ‘alaihi salam yang merupakan puasa yang paling utama”. Aku katakan lagi: “Sungguh aku mampu yang lebih dari itu”. Maka beliau bersabda: “Tidak ada puasa yang lebih utama dari itu”. (H.R.Bukhari)
Kesebelas;
Sejumlah Shahabat  Merekomendasikan Pelafalan Niat Dan Melakukan Pelafalan Niat Dalam Ibadah
As-Syafi’i meriwayatkan bahwa Aisyah merekomendasikan pelafalan niat saat Haji. Beliau berkata;
مسند الشافعي ترتيب السندي (ص: 1048)
( أخبرنا ) : سُفْيانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عن هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عن أبيه قال :
 – قالتْ لي عائشةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْها : هَلْ تَثْتَثْنِي إذَا حَجَجْتَ ؟ قال : فقُلْتُ لها مَاذَا أقُولُ ؟ فقالتْ قُلْ اللَّهُمَّ الحَجَّ أرَدْتُ ولهُ عَمَدْتُ فَإنْ يَسَّرْتَهُ فَهُو الحَجُّ وإنْ حَبَسَني حَابِسٌ فَهِيَ عُمْرَةٌ
Sufyan bin ‘Uyainah memberitahu kami dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya beliau berkata. Aisyah Ra. berkata; Apakah engkau mengucapkan perkecualian jika berhaji? Urwah bertanya; Apa yang aku katakan?Aisyah menjawab, katakan; Ya Allah, aku ingin berhaji, dan untuk berhaji aku menyengaja. Jika engkau memudahkanku maka itu adalah haji. Jika ada yang menghalangiku, maka itu adalah umroh (H.R.As-Syafi’i)
At-Thohawy juga meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas pernah melafalkan niatnya untuk berpuasa. Dalam Ma’ani Al-Atsar disebutkan;
معاني الآثار (4/ 104)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ كَانَ يُصْبِحُ حَتَّى يُظْهِرَ , ثُمَّ يَقُولُ ( وَاَللَّهِ لَقَدْ أَصْبَحْتُ , وَمَا أُرِيدُ الصَّوْمَ , وَمَا أَكَلْت مِنْ طَعَامٍ وَلاَ شَرَابٍ مُنْذُ الْيَوْمِ , وَلاََصُومَنَّ يَوْمِي هَذَا
Dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya beliau berada di pagi hari hingga waktu dhuhur, kemudian beliau berkata; Demi Allah aku telah berada di waktu pagi sementara aku belum  menginginkan/berniat puasa. Dan aku tidak makan makanan ataupun minuman  apapun di hari ini. Aku sungguh akan berpuasa hari ini(Ma’ani Al-Atsar, vol.4, hlm 104)
Bukhari juga meriwayatkan dalam Shahihnya secara Mu’allaq dengan Shighot Jazm bahwa Abu Ad-Darda’ melafalkan niat puasa. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (7/ 4)
وَقَالَتْ أُمَّ الدَّرْدَاءِ كَانَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُولُ عِنْدَكُمْ طَعَامٌ فَإِنْ قُلْنَا لَا قَالَ فَإِنِّي صَائِمٌ يَوْمِي هَذَا وَفَعَلَهُ أَبُو طَلْحَةَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَحُذَيْفَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
Ummu Ad-Darda’ berkata: Kebiasaan Abu Ad-Darda’ jika bertanya: Apakah ada makanan?,lalu kami menjawab: Tidak, maka beliau berkata; Aku puasa hari ini. Abu Tholhah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, dan Hudzaifah juga melakukan kebiasaan ini (H.R.Bukhari)
Riwayat-riwayat ini  menunjukkan bahwa shahabat-shahabat besar seperti Aisyah, Ibnu Abbas, Abu Ad-Darda’, Abu Hurairah, Abu Tholhah, dan Hudzaifah memandang bahwa  pelafalan niat ibadah bukanlah suatu hal yang tabu. Mereka melakukannya dan tidak memandangnya sebagai suatu hal yang haram. Apa yang dilakukan saudara Syubrumah ketika melafalkan niat haji dan juga arab badui ketika melafalkan niat hijrah semakin menguatkan kesimpulan ini.
Inilah argumentasi-argumentasi terpenting yang menunjukkan mubahnya pelafalan niat. Semua argumentasi di atas saling menguatkan satu sama lain dan menunjukkan bahwa melafalkan niat dalam ibadah hukumnya adalah mubah. Melafalkan niat hukumnya mubah selama lafadz niatnya tidak bertentangan dengan syara’ baik untuk kepentingan mengajari, menguatkan niat, menghilangkan was-was, menegaskan maksud, memberitahu, dan semua kepentingan yang syar’i. Tidak dibatasinya kepentingan pelafalan dikarenakan tidak ada Nash yang membatasi kebolehan tersebut, sehingga kebolehannya berlaku umum sebagaimana keumuman lafadz yang menunjukkan kemubahannya.
Kemubahan tersebut adalah kemubahan dari segi pelafalan itu sendiri, sehingga pelafalan niat tidak menjadi syarat sah, sifat wajib, apalagi rukun niat. Sesuatu menjadi syarat sah, sifat wajib, atau rukun harus dinyatakan dengan dalil sementara dalil-dalil yang ada tidak menunjukkan bahwa pelafalan adalah syarat sah, sifat wajib atau rukun.
Hanya saja, jika niat dilafalkan, hendaknya hal tersebut tidak dilakukan secara terus menerus karena tidak ada riwayat bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ terus menerus melafalkan niat, sebagaimana para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in juga tidak didapati diriwayatkan melafalkan niat secara terus menerus. Jadi, yang lebih dekat kepada cara ibadah genarasi terbaik umat ini adalah cukup berniat dalam hati dan itulah bentuk yang paling afdhol. Jika problem yang dihadapi adalah penyakit was-was, maka obatnya adalah ilmu terhadap syariat sebagaimana keterangan As-Syafi’i. As-Suyuthy menulis;
الأمر بالاتباع والنهي عن الابتداع (ص: 31، بترقيم الشاملة آليا)
وقال الشافعي رحمه الله: الوسوسة في نية الصلاة والطهارة من جهل بالشرع أو خبل في العقل.
As-Syafi’i  berkata: was-was dalam niat shalat dan Thaharoh adalah dikarenakan kebodohan terhadap syariat atau kekacauan dalam pikiran (Al-Amru bil Ittiba’ Wn-Nahyu ‘An Al-Ibtida’, hlm 31)
Jika pelafalan itu dilakukan dalam sebuah situasi bersama orang lain, maka disyaratkan pelafalan itu tidak boleh dilakukan sampai taraf mengganggu orang lain. Mengeraskan suara yang mengganggu ibadah orang lain hukumnya haram. Dalil yang menunjukkan keharamannya adalah hadis-hadis berikut ini;
موطأ مالك – مكنز (1/ 226، بترقيم الشاملة آليا)
عَنِ الْبَيَاضِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ عَلَى النَّاسِ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَقَدْ عَلَتْ أَصْوَاتُهُمْ بِالْقِرَاءَةِ فَقَالَ « إِنَّ الْمُصَلِّىَ يُنَاجِى رَبَّهُ فَلْيَنْظُرْ بِمَا يُنَاجِيهِ بِهِ وَلاَ يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ ».
dari Al Bayadli, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menemui orang-orang ketika mereka sedang shalat. Mereka mengeraskan bacaan di dalamnya, maka beliau bersabda: “Sesungguhnya orang yang shalat itu sedang bermunajat kepada Rabbnya, maka lihatlah apa yang dia bisikkan. Janganlah sebagian dari kalian mengeraskan bacaannya atas sebagian yang lain! ” (H.R.Malik)
سنن أبى داود – م (1/ 510)
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ قَالَ : اعْتَكَفَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ فَكَشَفَ السِّتْرَ وَقَالَ : « أَلاَ إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلاَ يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلاَ يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِى الْقِرَاءَةِ ». أَوْ قَالَ : « فِى الصَّلاَةِ ».
dari Abu Sa’id dia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf di Masjid, lalu beliau mendengar mereka (para sahabat) mengeraskan bacaan (Al Qur’an) mereka. kemudian beliau membuka tirai sambil bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya kalian tengah bermunajat dengan Rabbnya, oleh karena itu janganlah sebagian yang satu mengganggu sebagian yang lain dan jangan pula sebagian yang satu mengeraskan terhadap sebagian yang lain di dalam membaca (Al Qur’an) atau dalam shalatnya.” (H.R.Abu Dawud)
Jika pelafalan niat itu untuk selain ibadah seperti jual beli, ijaroh, wakalah, syirkah, nikah, talak, rujuk, sumpah, nadzar dan yang semisal, maka lebih jelas lagi kemubahannya tanpa ada perselisihan karena semua hal itu terkait muamalah.
MENDISKUSIKAN PENDAPAT YG MENGHARAMKAN PELAFALAN NIAT
Sebagian kaum muslimin berpendapat bahwa melafalkan niat dalam ibadah adalah haram, bahkan bid’ah. Berikut ini akan dipaparkan argumentasi-argumentasi dari pendapat tersebut untuk didiskusikan lebih lanjut dan diulas secukupnya.
Pendapat yang mengharamkan pelafalan niat dalam ibadah mendasarkan kesimpulan hukum tersebut pada argumen-argumen di bawah ini;
Pertama;
Tidak  ada riwayat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut- Tabi’in, imam Madzhab yang  empat, dan ulama-ulama salaf yang menunjukkan mereka melafalkan niat. Mereka adalah generasi terbaik umat ini. Seandainya pelafalan niat disyariatkan, seharusnya mereka yang pertama kali melakukannya. Tidak adanya riwayat menunjukkan pelafalan niat tidak disyariatkan, haram, dan termasuk kemunkaran.
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Mengatakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak pernah melakukan pelafalan niat  terbantahkan dengan riwayat-riwayat yang dengan lugas menunjukkan bahwa beliau pernah  melafalkan niat (saat haji-umroh, puasa, berkurban, dan  jihad), merekomendasikan pelafalan  niat (seperti kisah Dhuba’ah) ,  mendiamkan pelafalan niat (seperti kasus saudara Syubrumah dan orang Arab Badui yg mau berhijrah), dilapori pelafalan niat  (seperti niat shahabat yg mau shalat malam seumur hidup dan berpuasa seumur hidup), dan menceritakan pelafalan niat (seperti kasus lelaki yang berniat shodaqoh).
Ibnu Hajar Al-Haitamy dalam kitabnya Tuhfatu Al-Muhtaj Fi Syarhi Al-Minhaj membantah pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada riwayat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melafalkan niat. Beliau berkata;
تحفة المحتاج في شرح المنهاج (5/ 285)
( وَيَنْدُبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ وَإِنْ شَذَّ وَقِيَاسًا عَلَى مَا يَأْتِي فِي الْحَجِّ الْمُنْدَفِعِ بِهِ التَّشْنِيعُ بِأَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ
Dianjurkan melafalkan sesuatu yang diniatkan sesaat sebelum Takbirotul Ihram agar lisan membantu hati, dan demi menghindar dari berselisih dengan orang yang mewajibkan pelafalan niat meskipun pendapat yang mewajibkan tersebut adalah syadz. Juga sebagai bentuk Qiyas terhadap riwayat pelafalan niat dalam haji, yang dengannya tertolak kritikan keras yang menyatakan bahwa pelafalan niat tidak pernah diriwayatkan (Tuhfatu Al-Muhtaj Fi Syarhi Al-Minhaj, vol 5, hlm 285)
Lebih tepat jika dikatakan; tidak ada riwayat bahwa Nabi terus menerus melafalkan niat ibadah. Statemen ini lebih tepat karena jika pelafalan niat itu dilakukan secara terus-menerus kontinyu dan istiqomah, maka status hukumnya  bukan lagi mubah, tetapi bisa naik menjadi sunnah atau bahkan wajib. Maka tatkala riwayat yang ada nabi hanya sesekali melafalkan niat, hal itu menunjukkan hukum mubahnya, bukan haram, sunnah apalagi wajib.
Lagipula, sesuatu yang tidak dilakukan nabi tidak bisa serta merta langsung dihukumi haram karena apa yang ditinggalkan/tidak dilakukan Nabi memiliki sejumlah kemungkinan makna.
Sesuatu yang ditinggalkan/tidak dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bisa karena hukumnya tidak wajib. Misalnya berwudhu setelah memakan makanan yang dimasak api. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak berwudhu setelah memakan makanan yang dimasak oleh api. Wudhu  yang ditinggalkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ini bermakna hukum melakukannya tidak wajib. Maksudnya, tidak wajib orang yang memakan makanan yang dimasak dengan api untuk berwudhu sesudahnya. Abu Dawud meriwayatkan;
سنن أبى داود – م (1/ 75)
عَنْ جَابِرٍ قَالَ كَانَ آخِرُ الأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَرْكَ الْوُضُوءِ مِمَّا غَيَّرَتِ النَّارُ
dari Jabir dia berkata; Akhir dari dua perkara dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah; Beliau  tidak berwudhu karena makan sesuatu yang disentuh api  (H.R.Abu Dawud)
Bisa juga Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meninggalkan sesuatu karena perasaan jijik/tidak terbiasa saja sementara hukum sebenarnya adalah halal. Misalnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak mau memakan biawak panggang yang dihidangkan di depan beliau. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (17/ 6)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ قَالَ
أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِضَبٍّ مَشْوِيٍّ فَأَهْوَى إِلَيْهِ لِيَأْكُلَ فَقِيلَ لَهُ إِنَّهُ ضَبٌّ فَأَمْسَكَ يَدَهُ فَقَالَ خَالِدٌ أَحَرَامٌ هُوَ قَالَ لَا وَلَكِنَّهُ لَا يَكُونُ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ فَأَكَلَ خَالِدٌ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ
dari Ibnu Abbas dari Khalid bin Al Walid ia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah diberi daging biawak yang terpanggang. Maka beliau pun berselera hendak memakannya, lalu dikatakanlah kepada beliau, “Itu adalah daging biawak.” Dengan segera beliau menahan tangannya kembali. Khalid bertanya, “Apakah daging itu adalah haram?” beliau bersabda: “Tidak, akan tetapi daging itu tidak ada di negeri kaumku.” Beliau tidak melarang. Maka Khalid pun memakannya sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat. (H.R.Bukhari)
Bisa juga Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meninggalkan sesuatu karena lupa, seperti beliau shalat dengan rokaat yang tidak lengkap pada kisah Dzul Yadain.  Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (3/ 137)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْصَرَفَ مِنْ اثْنَتَيْنِ فَقَالَ لَهُ ذُو الْيَدَيْنِ أَقَصُرَتْ الصَّلَاةُ أَمْ نَسِيتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصَدَقَ ذُو الْيَدَيْنِ فَقَالَ النَّاسُ نَعَمْ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى اثْنَتَيْنِ أُخْرَيَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ فَسَجَدَ مِثْلَ سُجُودِهِ أَوْ أَطْوَلَ
dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, ketika Rasulullah menyelesaikan shalatnya yang baru dua raka’at, Dzul Yadain berkata kepada Beliau: “Apakah shalat diqashar ataukah anda lupa, wahai Rasulullah?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Apakah benar yang dikatakan Dzul Yadain?” Orang-orang menjawab: “Benar”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dan mengerjakan shalat dua raka’at yang kurang tadi kemudian memberi salam. Kemudian Beliau bertakbir lalu sujud seperti sujudnya (yang biasa) atau lebih lama lagi (H.R.Bukhari)
Bisa juga Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meninggalkan sesuatu karena khawatir menjadi wajib seperti shalat tarawih berjamaah yang ditinggalkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (3/ 459)
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلَاتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّوْا مَعَهُ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ فَلَمَّا كَانَتْ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ لَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا
dari Ibnu Syihab berkata, telah mengabarkan kepadaku ‘Urwah bahwa ‘Aisyah radliallahu ‘anha mengabarkan kepadanya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu malam keluar di tengah malam untuk melaksanakan shalat di masjid, orang-orang kemudian mengikuti beliau dan shalat dibelakangnya. Pada waktu paginya orang-orang membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam berikutnya orang-orang yang berkumpul bertambah banyak lalu ikut shalat dengan Beliau. Dan pada waktu paginya orang-orang kembali membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam yang ketiga orang-orang yang hadir di masjid semakin bertambah banyak lagi, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar untuk shalat dan mereka shalat bersama beliau. Kemudian pada malam yang keempat, masjid sudah penuh dengan jama’ah hingga akhirnya beliau keluar hanya untuk shalat Shubuh. Setelah beliau selesai shalat Fajar, beliau menghadap kepada orang banyak membaca syahadat lalu bersabda: “Amma ba’du, sesungguhnya aku bukannya tidak tahu keberadaan kalian (semalam). Akan tetapi aku takut shalat tersebut akan diwajibkan atas kalian, sementara kalian tidak mampu.” (H.R.Bukhari)
Bisa juga Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meninggalkan sesuatu hanya karena tidak tergagas semata, misalnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak membuat mimbar untuk khutbah jum’at, dan baru membuat mimbar setelah diusulkan salah seorang shahabat. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (7/ 275)
 عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ امْرَأَةً مِنْ الْأَنْصَارِ قَالَتْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا أَجْعَلُ لَكَ شَيْئًا تَقْعُدُ عَلَيْهِ فَإِنَّ لِي غُلَامًا نَجَّارًا قَالَ إِنْ شِئْتِ قَالَ فَعَمِلَتْ لَهُ الْمِنْبَرَ فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ قَعَدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ الَّذِي صُنِعَ فَصَاحَتْ النَّخْلَةُ الَّتِي كَانَ يَخْطُبُ عِنْدَهَا حَتَّى كَادَتْ تَنْشَقُّ فَنَزَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى أَخَذَهَا فَضَمَّهَا إِلَيْهِ فَجَعَلَتْ تَئِنُّ أَنِينَ الصَّبِيِّ الَّذِي يُسَكَّتُ حَتَّى اسْتَقَرَّتْ قَالَ بَكَتْ عَلَى مَا كَانَتْ تَسْمَعُ مِنْ الذِّكْرِ
dari Jabir bin ‘Abdullah radliallahu ‘anhu bahwa ada seorang wanita kaum Anshar berkata, kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Tidakah sebaiknya aku buatkan sesuatu yang bisa baginda pergunakan untuk karena aku punya pembantu  yang pekerjaannya sebagai tukang kayu?” Beliau menjawab: “Silakan bila kamu kehendaki”. Sahal berkata: “Maka wanita itu membuatkan mimbar. Ketika hari Jum’at Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam duduk diatas mimbar yang telah dibuat tersebut. Lalu batang pohon kurma yang biasanya beliau berkhathbah di atasnya berteriak hingga hampir-hampir batang pohon itu terbelah. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam turun menghampiri batang kayu tersebut lalu memegang dan memeluknya hingga akhirnya batang kayu tersebut merintih dengan perlahan seperti bayi hingga akhirnya berhenti dan menjadi tenang. Beliau berkata: “Batang kayu itu menangis karena dzikir yang pernah didengarnya ” (H.R.Bukhari)
Bisa juga Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meninggalkan sesuatu karena sudah termasuk keumuman Nash,seperti puasa Dawud. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak melakukan pausa Dawud namun menjelaskan dengan ucapan bahwa puasa tersebut adalah puasa yang paling afdhol.
Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (15/ 477)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ أَنْكَحَنِي أَبِي امْرَأَةً ذَاتَ حَسَبٍ فَكَانَ يَتَعَاهَدُ كَنَّتَهُ فَيَسْأَلُهَا عَنْ بَعْلِهَا فَتَقُولُ نِعْمَ الرَّجُلُ مِنْ رَجُلٍ لَمْ يَطَأْ لَنَا فِرَاشًا وَلَمْ يُفَتِّشْ لَنَا كَنَفًا مُنْذُ أَتَيْنَاهُ فَلَمَّا طَالَ ذَلِكَ عَلَيْهِ ذَكَرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ الْقَنِي بِهِ فَلَقِيتُهُ بَعْدُ فَقَالَ كَيْفَ تَصُومُ قَالَ كُلَّ يَوْمٍ قَالَ وَكَيْفَ تَخْتِمُ قَالَ كُلَّ لَيْلَةٍ قَالَ صُمْ فِي كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثَةً وَاقْرَإِ الْقُرْآنَ فِي كُلِّ شَهْرٍ قَالَ قُلْتُ أُطِيقُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ قَالَ صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فِي الْجُمُعَةِ قُلْتُ أُطِيقُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ قَالَ أَفْطِرْ يَوْمَيْنِ وَصُمْ يَوْمًا قَالَ قُلْتُ أُطِيقُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ قَالَ صُمْ أَفْضَلَ الصَّوْمِ صَوْمَ دَاوُدَ صِيَامَ يَوْمٍ وَإِفْطَارَ يَوْمٍ
dari Abdullah bin Amru ia berkata; Bapakku menikahkanku dengan seorang wanita yang memiliki kemuliaan leluhur. Lalu bapakku bertanya pada sang menantunya mengenai suaminya. Maka sang menantu pun berkata, “Dia adalah laki-laki terbaik, ia belum pernah meniduriku dan tidak juga memelukku mesra semenjak aku menemuinya.” Maka setelah selang beberapa lama, bapakku pun mengadukan hal itu pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, akhirnya beliau bersabda: “Bawalah ia kemari.” Maka setelah itu, aku pun datang menemui beliau, dan belaiau bersabda: “Bagaimanakah ibadah puasamu?” aku menjawab, “Yaitu setiap hari.” Beliau bertanya lagi, “Lalu bagaimana dengan Khataman Al Qur`anmu?” aku menjawab, “Yaitu setiap malam.” Akhirnya beliau bersabda: “Berpuasalah tiga hari pada setiap bulannya. Dan bacalah (Khatamkanlah) Al Qur`an sekali pada setiap bulannya.” Aku katakan, “Aku mampu lebih dari itu.” Beliau bersabda: “Kalau begitu, berpuasalah tiga hari dalam satu pekan.” Aku berkata, “Aku masih mampu lebih dari itu.” Beliau bersabda: “Kalau begitu, berbukalah sehari dan berpuasalah sehari.” Aku katakan, “Aku masih mampu lebih dari itu.” Beliau bersabda: “Berpuasalah dengan puasa yang paling utama, yakni puasa Dawud, yaitu berpuasa sehari dan berbuka sehari. (H.R.Bukhari)
Bisa juga Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meninggalkan sesuatu karena khawatir memberatkan shahabat, seperti  pelaksanaan shalat isya’ di tengah malam. Sebenarnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ingin shalat isya’ berjamaah di tengah malam atau sepertiga malam, namun karena  khawatir memberatkan umatnya maka hal tersebut tidak dilakukan. An-Nasai meriwayatkan;
سنن النسائي (2/ 361)
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْمَغْرِبِ ثُمَّ لَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَخَرَجَ فَصَلَّى بِهِمْ ثُمَّ قَالَ إِنَّ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا وَنَامُوا وَأَنْتُمْ لَمْ تَزَالُوا فِي صَلَاةٍ مَا انْتَظَرْتُمْ الصَّلَاةَ وَلَوْلَا ضَعْفُ الضَّعِيفِ وَسَقَمُ السَّقِيمِ لَأَمَرْتُ بِهَذِهِ الصَّلَاةِ أَنْ تُؤَخَّرَ إِلَى شَطْرِ اللَّيْلِ
dari Abu Sa’id Al Khudri dia berkata; “Kami shalat Maghrib bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, kemudian beliau Shallallahu’alaihi wasallam keluar kepada kami hingga telah lewat separuh malam. Lalu beliau keluar dan shalat bersama mereka, lantas bersabda: “Orang-orang sudah shalat dan mereka telah tidur dan kalian selalu dalam keadaan orang yang shalat selama masih menunggu shalat. Seandainya tidak menambah lemah orang yang lemah dan tidak menambah sakit orang yang sakit, maka aku pasti memerintahkan mereka untuk mengakhirkan shalat ini sampai pertengahan malam.” (H.R.An-Nasai)
hadis yang senada juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzy;
سنن الترمذى (1/ 280)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ أَنْ يُؤَخِّرُوا الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفِهِ
dari Abu Hurairah ia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sekiranya tidak memberatkan umatku, sungguh akan aku perintahkan mereka untuk mengakhirkan shalat isya hingga sepertiga atau pertengahan malam.” (H.R.At-Tirmidzi)
Bisa juga Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meninggalkan sesuatu karena khawatir mengubah hati shahabat dan menimbulkan masalah di tengah-tengah umatnya seperti rencana membangun kembali Ka’bah.  Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sebenarnya ingin membongkar Ka’bah dan membangun kembali pondasinya menurut pondasi yang semestinya. Namun, karena beliau melihat Shahabat-shahabtnya masih dekat dengan masa Jahiliyyah, maka beliau meninggalkan keinginan tersebut.  Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (5/ 495)
 عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا حَدَاثَةُ قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ لَنَقَضْتُ الْبَيْتَ ثُمَّ لَبَنَيْتُهُ عَلَى أَسَاسِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَام فَإِنَّ قُرَيْشًا اسْتَقْصَرَتْ بِنَاءَهُ وَجَعَلْتُ لَهُ خَلْفًا
dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, kepadaku: “Seandainya bukan karena zaman kaummu yang masih dekat dengan kekufuran tentu aku sudah membongkar Ka’bah lalu aku bangun kembali diatas pondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrahim Alaihissalam karena orang-orang Quraisy telah mengurangi pembangunannya dan aku akan buatkan pintu (dari belakangnya) ” (H.R.Bukhari)
Bisa juga Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meninggalkan sesuatu karena persoalan memang belum terjadi, misalnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak pernah mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf, tidak pernah memberi hukum untuk kasus waris kombinasi antara kakek dengan saudara, tidak pernah membagi warisan dengan cara ‘Aul, dll.
Jadi, apa yang ditinggalkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak bisa langsung dimaknai haram, namun harus dikaitkan dengan Nash-Nash yang lain dan dihubungkan dengan qorinah-qorinah seputar topik tersebut untuk memahami status apa yang ditinggalkan apakah bermakna haram, mubah, sunnah, dll. Seandainya apa yang ditinggalkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ secara mutlak semuanya bermakna haram, niscaya para shahabat sedikitpun tidak akan berani melakukan apapun secara mutlak apa yang tidak pernah dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Faktanya, dalam sejarah ada banyak hal yang dilakukan shahabat yang tidak dilakukan oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ baik terkait ibadah maupun selain Ibadah. Para shahabat shalat tarawih berjamaah sebulan penuh, adzan dua kali saat Jum’at, puasa sepanjang masa, mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf, memperluas masjid Nabawy, dll yang semuanya menunjukkan bahwa apa yang tidak dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak langsung difahami sebagai hal yang haram.
Mengharamkan sesuatu harus dinyatakan oleh dalil, tidak cukup hanya dengan argumentasi: Tidak pernah dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Keharaman sesuatu yang didasarkan dalil bentuknya bisa berupa larangan tegas seperti larangan berzina dalam ayat berikut;
{وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا} [الإسراء: 32]
dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. (Al-Isro’ 32)
Bisa juga berupa lafadz lugas tahrim (mengharamkan), misalnya haramnya  bangkai, darah, daging babi dalam ayat berikut;
{حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ } [المائدة: 3]
 diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah , daging babi (Al-maidah;3)
Bisa juga berupa ancaman keras atau kecaman tajam terhadap sesuatu seperti  ancaman hukuman potong tangan dan larangan Tasyabbuh dalam hadis;
{ وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا } [المائدة: 38]
laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (Al-Maidah; 38)
سنن الترمذى (9/ 317)
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
dari ‘Amru bin Syu’aib dari Ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bukan termasuk golonganku orang yang Tasyabbuh (menyerupai atau mengikuti) kepada selain kami (H.R. At-Tirmidzi)
Pendeknya, sesuatu bisa dikatakan haram jika dinyatakan oleh dalil dengan qorinah yang tegas menunjukkan keharoman. Tidak semata-mata hanya karena tidak pernah dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Ibnu Umar pernah mengkritik orang yang menyimpulkan langsung bahwa lafadz nahaa (melarang) adalah bermakna harom. Ibnu umar mengkritik cara menyimpulkan yang demikian karena lafadz naha bisa bermakna makruh, bukan haram. Ibnu Rojab menulis dalam kitabnya Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam:
جامع العلوم والحكم محقق (32/ 12)
قالَ ابنُ المبارك : أخبرنا سلاَّمُ بن أبي مطيع ، عن ابن أبي دخيلةَ ، عن أبيه ، قالَ : كنتُ عندَ ابن عمر ، فقالَ : نهى رسول الله – صلى الله عليه وسلم – عَنِ الزَّبيب والتَّمر ، يعني : أنْ يُخلطا ، فقال لي رجل من خلفي : ما قال ؟ فقلتُ: حرَّم رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم – الزبيب والتمر ، فقال عبد الله بنُ عمر : كذبتَ ، فقلتُ : ألم تقل : نهى رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم – عنه ، فهو حرامٌ ؟ فقال : أنت تشهد بذاك ؟ قال سلاَّم : كأنه يقول : من نهي النَّبيِّ – صلى الله عليه وسلم – ما هو أدب .
Ibnu Al-Mubarok berkata; Sallam bin Abi Muthi’ memberitahu kami dari Ibnu Abi Dakhilah beliau berkata: Aku berada di sisi Ibnu Umar. Beliau berkata: Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam melaranganggur kering dan kurma kering, yakni untuk dicampur. Maka seorang lelaki dibelakangku bertanya: Apa yang dia katakan? Maka aku menjawab: Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallammengharamkan anggur kering dan kurma kering (untuk dicampur). Maka Abdulah bin umar berkata: Engkau berdusta. Aku berkata: bukankah engkau mengatakan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam telah melarangnya, bukankah itu bermakna haram?beliau bertanya; Engkau bersaksi atas hal tersebut?Sallam berkata; seakan-akan beliau menjelaskan:diantara larangan  Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam ada yang termasuk adab -tidak disukai/makruh– (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, vol 12. Hlm 32)
Ulama-ulama Faqih di kalangan ulama salaf seperti Malik, As-Syafi’i dll  justru sangat berhati-hati untuk menghukumi  harom.  Mereka lebih suka mengatakan makruh terhadap persoalan yang belum diyakini keharomannya, atau ada sejenis kesamaran, atau ada ikhtilaf. Ibnu Rojab menyatakan;
جامع العلوم والحكم (ص: 280)
وقد ذكرنا فيما تقدم عن العلماء الورعين كأحمد ومالك توقيا إطلاق لفظ الحرام على ما لم يتيقن تحريمه ما فيه نوع شبهة أو اختلاف وقال النخعي كانوا يكرهون أشياء لا يحرمونها وقال ابن عون
Telah kami sebutkan sebelumnya ulama-ulama Wara’ seperti Ahmad dan  Malik yang menjauhi memvonis dengan lafadz Haram terhadap sesuatu yang tidak diyakini keharamannya, selama di dalamnya masih ada sejenis kesamaran atau ikhtilaf. An-Nakho’iy berkata: mereka memakruhkan sesuatu,  tidak mengharamkannya. (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, Hlm 280)
Dari sini jelaslah, bahwa menentukan status haram haruslah hati-hati. Memvonis haram hanya karena nabi tidak pernah melakukan dikhawatirkan termasuk kekurang hati-hatian yang bertentangan dengan sifat Wara’.  Dikhawatirkan pula sikap demikian tercakup dalam kandungan ayat yang mencela orang yang mengharamkan yang dihalalkan Allah atau sebaliknya.  Allah berfirman;
{وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ} [النحل: 116]
dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung. (An-Nahl; 116)
{آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ} [يونس: 59]
Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-ada saja terhadap Allah ?” (Yunus; 59)
Sampai titik ini bisa dilanjutkan; Jika apa yang tidak dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ saja tidak bisa langsung difahami sebagai haram, maka apa yang tidak dilakukan Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan ulama-ulama salaf lebih utama untuk tidak difahami sebagai haram apalagi menjadi dalil. Hal itu dikarenakan apa yang tidak dilakukan mereka lebih banyak lagi faktornya  sehingga kemungkinan maknanya juga semakin banyak. Apalagi perbuatan selain nabi bukanlah menjadi dalil, sehingga tidak bisa dibahas dalam diskusi hukum syara’.
Tambahan lagi, klaim bahwa shahabat tidak pernah melafalkan niat terbantahkan dengan riwayat Aisyah yang merekomendasikan lafadz niat untuk haji yang disertai Isytiroth yang mana lafadz yang beliau rekomendasikan berbeda dengan lafadz yang dibaca nabi saat berniat haji. Ibnu Abbas juga diriwayatkan melafalkan niat puasa sebagaimana Abu Ad-Darda’ Abu Hurairah, Abu Tholhah, dan Hudzaifah. Jadi, berdasarkan riwayat-riwayat ini, klaim bahwa shahabat tidak pernah melafalkan niat tidak bisa diterima.
Demikian pula klaim bahwa tidak ada ulama salaf atau Imam 4 madzhab yang melafalkan niat. Klaim ini tidak bisa diterima karena ada riwayat bahwa Imam As-Syafi’i melafalkan niat sebelum shalat. Ibnu Al-Muqri’ meriwayatkan dalam Mu’jamnya dengan sanad yang terang seperti matahari sebagai berikut;
معجم ابن المقرئ (1/ 318، بترقيم الشاملة آليا)
 أخبرنا ابن خزيمة ، ثنا الربيع قال : « كان الشافعي إذا أراد أن يدخل في الصلاة قال : بسم الله ، موجها لبيت الله مؤديا لفرض الله عز وجل الله أكبر »
Ibnu Khuzaimah memberitahu kami, Ar-Robi’ memberitahu kami, beliau berkata; Adalah Asy-Syafi’I jika hendak memasuki shalat beliau berkata;Bismilllah, muwajjihan libaitillah, mu-addiyan lifardhillah ‘azza wajalla Allahu akbar -dengan nama Allah, dalam keadaan menghadap rumah Allah, untuk menunaikan kewajiban yang dibebankan Allah Azza wajalla Allahuakbar- (Mu’jam Ibnu Al-Muqri’, vol 1, hlm 318)
Jelas sekali dalm riwayat ini Imam Syafi’I melafalkan niat. Riwayatnya bahkan memakai lafadz كان yang secara bahasa menunjukkan istimror (terus menerus) atau sering dilakukan. Bagaimana bisa keharoman dinisbatkan kepada seorang Imam besar yang menjadi panutan umat dari berbagai masa? Bagaimana bisa bid’ah dinisbatkan kepada  seorang ulama salaf yang telah diakui permusuhannya terhadap bid’ah, yang memiliki reputasi ilmu tinggi dan kesalihan yang menjadi teladan? Riwayat pelafalan niat oleh imam As-Syafi’i ini dalam sejumlah forum diskusi memaksa para syaikh (rahimahumullah) yang mengharamkan pelafalan niat menjadi bertawaqquf, karena sulit menjelaskannya.
Kedua; (argumentasi kedua pendapat yang mengharomkan pelafalan niat)
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak pernah memerintahkan pelafalan niat ketika menyampaikan perintah ibadah atau mengajarkannya. Rasulullahصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidk pernah memerintahkan membaca niat ketika mengajarkan shalat, wudhu, Tayamum, puasa, zakat, dan ibadah-ibadah yang lain. Ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengajari orang shalat, misalnya dalam hadis berikut ini;
صحيح البخاري (20/ 358)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلًا دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَصَلَّى وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَاحِيَةِ الْمَسْجِدِ فَجَاءَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَقَالَ لَهُ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَرَجَعَ فَصَلَّى ثُمَّ سَلَّمَ فَقَالَ وَعَلَيْكَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ فَأَعْلِمْنِي قَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَسْبِغْ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ وَاقْرَأْ بِمَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ….
dari Abu Hurairah, ada seorang laki-laki masuk masjid dan shalat, sedang Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam ketika itu berada di pojok masjid. kemudian lelaki tersebut datang menemui Nabi dan memberi salam, tapi beliau berujar: “kembali dan shalaatlah, (karena) kamu belum melakukan shalat!” Orang itu mengulangi shalatnya dan mengucapkan salam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda lagi; “kembalilah dan lakukan shalat (lagi), sebab engkau belum melakukan shalat!” Pada kali ketiganya, orang itu berujar; ‘ajarilah aku! ‘ Nabi menjawab: “Jika kamu hendak melakukan shalat, sempurnakanlah wudhu dan menghadaplah ke kiblat, kemudian bertakbirlah dan bacalah al qur`an yang mudah bagimu… (H.R.Bukhari)
Pelafalan  pertama yang diajarkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah takbir, bukan pelafalan niat.  Demikian pula ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyampaikan perintah berwudhu sebelum shalat dalam ayat berikut;
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ} [المائدة: 6]
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku (Al-Maidah;6)
Tidak ada perintah melafalkan niat dalm ayat tersebut sebagaimana  juga tidak ada perintah pelafalan niat dalam hadis. Karena itu pelafalan niat adalah batil, dan hukumnya haram.
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Kesalahan utama pendapat yang  mengkritik pelafalan dengan memakai  banyak kutipan Nash demi  membuktikan bahwa Allah dan RasulNya  tidak  pernah memerintahkan pelafalan niat  adalah karena mempersepsikan pelafalan itu bagian dari  kaifiyah ibadah yang  mempengaruhi status ibadah seakan-akan menjadi syarat sah, rukun, dan shifat. Berusaha mencari perintah lugas dalam Nash yang memerintahkan  pelafalan niat memang tidak  akan ketemu, karena  jika  ada perintah langsung maka status hukumnya akan menjadi  wajib (dan tidak  akan ada ikhtilaf) baik statusnya adalah syarat sah atau rukun. Atau minimal sunnah yang pelakunya mendapat pahala jika melakukannya. Penjelasan yang diberikan terkait hukum pelafalan niat di sini adalah mubah, sehingga pembuktian dengan  cara mencari kutipan Nash yg menjelaskan perintah pelafalan secara langsung menjadi tidak relevan.
Perintah takbir ketika memulai shalat dalam hadis yang dikutip misalnya, para fuqoha sepakat memaknainya sebagai sesuatu yang wajib, yakni menjadi  rukun shalat. Takbir pertama kali untuk memulai shalat dihukumi wajib berdasarkan adanya perintah langsung dan diistilahkan dengan nama Takbirotul Ihram.
Tambahan lagi, dalil syara’ itu bukan hanya perintah. Ucapan Rasulullah misalnya, yang menjadi dalil bukan hanya perintah-perintahnya tetapi seluruh ucapan beliau secara mutlak meski redaksinya bukan perintah. Perintah (amr) hanyalah salah satu redaksi dalil, bukan satu-satunya redaksi dalil. Meski tidak ada perintah, jika Rasulullah telah pernah mengucapkan, maka hal itu menjadi dalil kebolehannya sebagaimana pada persoalan pelafalan niat ini.
Ketiga;
Melafalkan niat termasuk beramal dengan sesuatu yang tidak diperintahkan, padahal hadis nabi menunjukkan siapapun yang beramal tanpa ada perintah, maka amalnya tersebut tertolak. Imam Muslim meriwayatkan;
صحيح مسلم (9/ 119)
عن  عَائِشَةُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
 
Dari Aisyah bahwasanya  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mengamalkan suaru perkara yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak.” (H.R.Muslim)
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Yang dicela oleh syariat dalam hadis di atas adalah amalan yang keluar dari syariat dan tidak terikat oleh syariat. Ubaidullah Al-Mubarokfury berkata dalam kitabnya  Mirqot Al-Mafatih, Syarh Misykat Al-Mashobih:
مرعاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح (1/ 236)
يعني من عمل عملاً خارجاً عن الشرع ليس متقيداً بالشرع فهو مردود. قال الحافظ: قوله: “من عمل” أعم من قوله: ” من أحدث” فيحتج به في إبطال جميع العقود المنهية، وعدم وجود ثمراتها المرتبة عليها
Maksudnya; barangsiapa melakukan perbuatan di luar syariat dan tidak terikat syariat, maka perbuatan tersebut tertolak. Ibnu Hajar berkata; Sabda beliau: barangsiapa melakukan perbuatan, lebih umum daripada sabda beliau yang lain “barang siapa membuat-buat”. Sehingga dengan hadis tersebut bisa dijadikan hujjah untuk membatalkan semua akad-akad yang terlarang, dan tidak adanya efek-efek akad yang bisa dianggap (Mirqot Al-Mafatih, Syarh Misykat Al-Mashobih, vol.1, hlm 236)
Adapun amalan yang disimpulkan hukumnya mubah berdasarkan  Nash, berarti amalan tersebut tidak keluar dari Nash dan bahkan terikat oleh Nash. Mubahnya pelafalan niat digali dari Nash, sehingga bisa dikatakan bahwa pelafalan niat itu masih terikat oleh hukum syara dan tidak keluar dari hukum syara’.  Yang digolongkan amal tertolak itu jika tidak didasarkan oleh Nash, dan tidak terikat oleh Nash, misalnya amal yang didasarkan oleh akal atau hawa nafsu.
Keempat;
Melafalkan niat termasuk hal baru, dan setiap yang baru adalah bid’ah, dan setiap yang bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka sebagaimana diisyaratkan dalam hadis berikut ini;
سنن النسائي (6/ 27)
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ يَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ يَقُولُ مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
 
dari Jabir bin ‘Abdullah dia berkata; “ketika  Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkhutbah, maka beliau memuji dan menyanjung Allah dengan hal-hal yang menjadi hak-Nya, kemudian bersabda: ‘Barangsiapa telah diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Barangsiapa telah disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang bisa memberikan petunjuk kepadanya. Sebenar-benar perkataan adalah kitabullah (Al Qur’an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan sejelek jelek perkara adalah hal-hal yang baru, setiap hal yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan di dalam neraka’. (H.R.An-Nasai)
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Bid’ah bukanlah perbuatan yang baru, juga bukan benda baru, juga bukan pemikiran baru  hasil eksperimen, juga bukan pemikiran baru yang dirumuskan untuk memahami dien, juga bukan pemikiran baru yang merupakan hasil pemahaman Nash. Bid’ah adalah pemikiran baru yang bertentangan dengan ajaran Islam. Setiap produk pemikiran baru yang bertentangan dengan Nash, maka itu adalah bid’ah dan perbuatan untuk melaksanakan ide baru tersebut adalah perbuatan harom, dan boleh disebut sebagai perbuatan bid’ah.
Bid’ah bukan setiap perbuatan baru, karena jika perbuatan baru diharamkan Syara, Niscaya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ akan mengontrol seluruh perbuatan shahabat agar tidak memproduksi perbuatan baru apapun.
Bid’ah juga bukan setiap benda baru yang muncul, karena jika benda baru diharamkan syara’ niscaya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ akan melarang seluruh penemuan benda baru untuk apapun kepentingannya.
Bid’ah juga bukan pemikiran baru hasil eksperimen yang menyingkap rahasia hukum sebab-akibat di alam semesta, karena ilmu sains termasuk perkara duniawi yang diserahkan syara’ kepada manusia.
Bid’ah juga bukan pemikiran baru yang dirumuskan untuk membantu memahami dien  seperti ushul fikih, ulumul quran, ulumul hadist, nahwu shorof dll karena semua itu justru bagian dari tafaqquh fiddin.
Bid’ah juga bukan pemikiran baru yang merupakan hasil pemahaman Nash, misalnya cara pembagian waris dengan cara ‘Aul, mengqishos pembunuh berkelompok dll, karena semua ini disebut ijtihad, ijtihad jika salah pahalanya satu dan jika benar pahalanya dua.
Bid’ah adalah pemikiran baru yang bertentangan dengan Nash, misalnya menggagas bahwa malaikat itu berpasang-pasangan, shalat wajib hanya dua kali, wanita tidak wajib menutup aurot, penghapusan kepemilikan, kedaulatan membuat hukum ditangan manusia dll. Semua produk pemikiran seperti ini adalah bid’ah, dan haram diikuti, karena siapapun yang mengikuti bid’ah pasti dia meninggalkan Al-Quran dan As-Sunnah dan mengikuti selain Allah dan RasulNya.
Pemikiran mubahnya melafalkan niat dalam ibadah tidak bisa disebut bid’ah, karena pemikiran itu didasarkan pada pemahaman Nash. Seandainya bid’ah difahami perbuatan baru secara mutlak, maka konsep ini akan sulit diterapkan mengingat banyak perbuatan baru yang dilakukan shahabat dan para ulama assalafus sholih yang tidak pernah dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Dalam hal doa misalnya, para shahabat banyak membaca doa yang dibuat sendiri dan tidak pernah diucapkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Diriwayatkan Abubakar berdoa dengan doa sebagaimana tampak dalam riwayat berikut;
العقد الفريد (1/ 336، بترقيم الشاملة آليا)
وكان آخرُ دُعاء أبي بكر الصدِّيق رضي الله عنه في خُطْبته: اللهم اجعلْ خيرَ زَماني آخرَه، وخيرَ عَملي خواتِمَه، وخيرَ أيامي يومَ لِقائك.
Akhir doa Abu Bakar As-Shiddiq dalam khutbahnya: Ya Allah jadikanlah waktu terbaikku adalah akhir umurku, dan sebaik-baik amalku yang penghabisan dan sebaik-baik hariku adalah hari aku bertemu denganMu (Al-‘Iqdu Al-Farid, vol.1, hlm 336)
Demikian pula umar. Diantara doa yang diriwayatkan dibaca oleh umar ada dalam riwayat berikut;
الطبقات الكبرى (3/ 275)
عن عمر بن الخطاب يقول ثلاث كلمات إذا قلتها فهيمنوا عليها اللهم إني ضعيف فقوني اللهم إني غليظ فليني اللهم إني بخيل فسخني
Dari Umar bin Khattab, beliau berkata: Tiga hal jika aku mengucapkannya maka aminkanlah. Ya Allah sesungguhnya aku lemah, maka kuatkanlah aku. Ya Allah sesungguhnya aku keras, maka lunakkanlah aku. Ya Allah sesungguhnya aku pelit, maka jadikan aku dermawan (At-Thobaqot Al-Kubro, vol.3,hlm 275)
Demikian pula Ibnu Al-Jauzy. Diantara doa yang dibaca Ibnu Al-Jauzy ada dalam riwayat berikut;
شذرات الذهب (4/ 331)
دعاء ابن الجوزي
 الهي لا تعذب لسانا يخبر عنك ولا عينا تنظر إلى علوم تدل عليك ولا قدما تمشي إلى خدمتك ولا يدا تكتب حديث رسولك فبعزتك لا تدخلني النار فقد علم أهلها أني كنت أذب عن دينك
Ilahi, jangan Engkau siksa lisan yang memberi kabar tentangMu, jangan Engkau siksa mata yang melihat ilmu yang menunjukkan kepadaMu, jangan Engkau siksa kaki yang berjalan untuk berkhidmat kepadaMU, jangan pula Engkau siksa tangan yang menulis hadis RasulMu. Dengan kemuliaanmu, jangan Engkau masukkan aku ke dalam neraka.  Sungguh, penghuninya telah mengetahui bahwa aku membela dienMu (Syadzarot Adz-Dzahab, vil.4, hlm 331)
Bahkan, ada riwayat bahwa Ibnu Taimiyah berdoa dalam sujudnya memakai bait syair seorang penyair penjilat yang pernah mengaku sebagi nabi yang bernama Al-Mutanabby. Ibnu Katsir menulis;
البداية والنهاية (11/ 292)
قوله: يا من ألوذ به فيما أؤمله * ومن أعوذ به مما أحاذره لا يجبر الناس عظما أنت كاسره * ولا يهيضون عظما أنت جابره وقد بلغني عن شيخنا العلامة شيخ الاسلام أحمد بن تيمية رحمه الله أنه كان ينكر على المتنبي هذه المبالغة في مخلوق ويقول: إنما يصلح هذا لجناب الله سبحانه وتعالى.وأخبرني العلامة شمس الدين بن القيم رحمه الله أنه سمع الشيخ تقي الدين المذكور يقول: ربما قلت هذين البيتين في السجود أدعو لله بما تضمناه من الذل والخضوع.
Syair Al-Mutanabby;
Wahai yang aku bersimpuh padanya karena apa yang aku harapkan
Wahai yang aku berlindung kepadanya dari apa yang aku takutkan
Orang-orang tak ‘kan sanggup menyatukan tulang yang kaupatahkan,
Dan mereka juga tak ‘kan sanggup mematahkan tulang yang kau satukan.
Telah sampai berita kepadaku bahwa Syaikh kita Al-‘Allamah Syaikhul Islam Ahmad bin Taimiyah rahimahullah mengingkari Al-Mutanabby yang berlebihan memuji makhluk dengan syair ini. Beliau berkata; Ucapan seperti ini hanya layak ditujukan kehadirat Allah. Al-‘Allamah Syamsuddin Ibnu Al-Qoyyim rahimahullah juga memberitahu aku bahwasanya beliau mendengar Syaikh ibnu Taimaiyah berkata; Kadang-kadang aku mengucapkan dua bait syair ini dalam sujud sebagai doa kepada Allah  karena kandungan maknanya yang berisi kehinaan dan kerendahan diri (Al-Bidayah Wa An-Nihayah)
Lafadz-lafadz doa ini tidak pernah diriwayatkan dibaca oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Namun bisakah divonis bahwa membuat doa adalah aktivitas bid’ah, dan perbuatan membaca doa dari doa buatan sendiri adalah perbuatan bid’ah dengan argumen Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak pernah melakukannya? Bisakah Ibnu Taimiyah divonis berbuat bid’ah karena membaca dalam sujudnya sebuah doa yang dicuplik dari syair seorang penyair penjilat yang bernama Al-Mutanabby dengan alasan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak pernah melakukannya dan tidak pernah memerintahkannya?
Bid’ah, bukan perbuatan yang baru, tapi pemikiran baru yang bertentangan dengan syara’ baik diekspresikan dengan perbuatan ataukah tidak.
Adapun klaim bahwa As-Suyuthi menggolongkan pelafalan niat sebagai bid’ah, maka hal tersebut tidak benar dan merupakan jenis kesilapan (jika tidak sengaja) atau ketidakamanahan (jika kesalahan mengutip itu dilakukan dengan sengaja). Yang benar, yang digolongkan bid’ah oleh As-Suyuthi adalah was-was, bukan melafalkan niat. As-Suyuthi berkata;
الأمر بالاتباع والنهي عن الابتداع (ص: 31، بترقيم الشاملة آليا)
ومن البدع أيضاً الوسوسة في نية الصلاة، ولم يكن ذلك من فعل النبي ولا أصحابه، كانوا لا ينطقون بشيء من نية الصلاة سوى التكبير.
Diantara bid’ah juga adalah was-was dalam niat shalat sementara hal tersebut (was-was) bukan perbuatan nabi juga bukan perbuatan shahabat-shahabatnya. Mereka tidak mengucapkan apapun dalam niat shalat selain takbir. (Al-Amru bil Ittiba’ Wn-Nahyu ‘An Al-Ibtida’, hlm 31)
Jadi yang dikritik As-Suyuthi adalah was-wasnya, bukan pelafalannya. Sejauh dugaan kami (wallahua’alam) maksudnya adalah jika orang melafalkan niat sebagai bentuk kewajiban yang mempengaruhi keabsahan niat. Sehingga karena keyakinannya seperti ini, maka dia selalu ditimpa was-was terus menerus setiap kali berniat shalat.
Dalam kitab Al-Asybah WA An-Nadho-ir, As-Suyuthi hanya menerangkan bahwa pelafalan niat bukan syarat sah niat. Sama sekali tidak ada kata-kata bahwa beliau membid’ahkan pelafalan niat. As-Suyuthy berkata;
الأشباه والنظائر (ص: 30)
والحاصل أن هنا أصلين الأول أنه لا يكفي التلفظ باللسان دونه والثاني أنه لا يشترط مع القلب التلفظ
Kesimpulannya, disini ada dua dua hal pokok/prinsip. Pertama; tidak cukup pelafalan dengan lisan tanpa (niat) hati. Kedua; tidak disyaratkan pelafalan lisan bersama niat hati (Al-Asybah wa An-Nadho-ir, hlm 30)
Kelima;
Dien Islam sudah sempurna, sebagaimana dinyatakan Allah;
{الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا} [المائدة: 3]
pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu (Al-Maidah; 3)
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah wafat dalam keadaan tidak melafalkan niat dalam ibadahnya. Melafalkan niat dalam ibadah berarti memahami  Islam belum sempurna, sehingga masih perlu ditambah syariat baru.
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Argumen bahwa  Islam sudah sempuna, sehingga melafalkan niat dimaknai menambah dien tidak bisa diterima karena  hukum mubah tidak bermakna menambah kaifiyyah ibadah baik terkait syarat, rukun,maupun  shifat. Melafalkan niat tidak menambah syarat sah ibadah, tetapi masuk pembahasan wasilah/uslub  (teknis) melaksanakan perintah syara’. Hukum mubah digali dari Nash, bukan dikarang menurut hawa nafsu. Sesuatu dianggap melengkapi jika berasal dari unsur luar yang ditambahkan pada sesuatu tersebut. Seluruh ijtihad yang shahih tidak boleh dianggap melengkapi kekurangan hukum Islam, tetapi  justru malah menampilkan kesempurnaan Islam  yang digali dari Nash-Nash yang ada yang mencakup seluruh problematika manusia  yang sanggup menjawab tantangan zaman dari berbagai masa.
Keenam;
Al-Quran melarang Tasyri’  (mensyariatkan) dien karena Tasyri’ hanyalah hak Allah saja. Allah berfirman;
{ أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ} [الشورى: 21]
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? (Asy-Syuro; 21)
Melafalkan niat tidak pernah diperintahkan Allah dan RasulNya, juga tidak pernah dicontohkan. Karena itu melafalkan niat termasuk Tasyri’ dien yang dilarang.
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Memang benar kita  harus berhati-hati agar tidak sampai melakukan Tasyri’ Dien, namun pada saat yang sama kita juga harus berhati-hati agar tidak mengharamkan apa yang dihalalkan Allah. Yang demikian itu dilarang keras dalam Al-Quran dan pelakunya sama seperti rahib-rahib dan pendeta-pendeta ahli kitab yang menjadi Robb selain Allah. Allah berfirman;
{وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ} [النحل: 116]
dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung. (An-Nahl;116)
{ اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ} [التوبة: 31]
mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah (T-Taubah; 31)
Berargumen haramnya  melafalkan niat dengan larangan  Tasyri’ tidak bisa diterima, karena yang dilarang adalah Tasyri’ (membuat hukum) bukan Istinbath hukum. Istinbath adalah  ijtihad dan ijtihad terpuji meskipun salah. Bedanya Tasyri’ dengan  Istinbath; Tasyri’ itu membuat hukum dengan akal, sementara  Istinbath itu memahami hukum dari Nash. Menjelaskan pelafalan niat hukumnya mubah tidak  bermakna mensyariatkan ibadah. Karena  tidak ada ibadah yang hukumnya mubah. Semua ibadah terpuji, ada yang sunnah ada yang  wajib. Menjelaskan kemubahan pelafalan mubah semakna dengan menjelaskan hukum mengarang doa sendiri yang  hukumnya mubah selama tidak bertentangan dengan  Nash. Berdoanya adalah sunnah dan termasuk ibadah, namun mengarang lafadz doa untuk berdoa hukumnya mubah sebagaimana Ibnu Taimiyah yang berdoa dengan bait seorang penyair.
Ketujuh;
Hukum asal ibadah adalah  Tauqifi sehingga, sesuatu tidak boleh dimasukkan dalam ibadah kecuali ada dalil.  Mensyariatkan ibadah tanpa  dalil adalah bid’ah yang haram
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Alasan bahwa hukum asal  ibadah bersifat  Tauqifi sehingga siapapun tidak bisa mengklaim bahwa sesuatu sebagai ibadah kecuali dengan dalil tidak bisa diterima karena pelafalan niat tidak dikatakan sebagai ibadah. Istilah ibadah merujuk pada perbuatan yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah sehingga status hukumnya tidak lepas dari status wajib atau sunnah.  Tidak ada ibadah yang hukumnya mubah. Suatu perbuatan yang dilakukan untuk mengantarkan pada ibadah bukan ibadah itu sendiri, namun wasilah/uslub untuk melaksanakan ibadah.  Sesuatu jika dikatakan mubah, maka hal tersebut jika dilakukan tidak ada keutamaan namun boleh saja melakukannya. Lagi pula bagi yang berpendapat sunnah, maka kesimpulan sunnah itu telah didasarkan dalil, yakni pelafalan niat nabi saat haji/umroh dan dalil-dalil lain yg semakna.
Kedelapan;
Mensyariatkan pelafalan bermakna menjadikannya sebagai syarat sementara isytiroth dalam ibadah tidak boleh kecuali dengan dalil sebagaimana suci adalah  syarat sah shalat yang  dinyatakan oleh dalil
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Memubahkan pelafalan niat  bukan berarti menjadikan pelafalan sebagai syarat. Jelas ini adalah kekeliruan fatal dalam menyimpulkan  karena keabsahan niat tidak tergantung pada pelafalan.
Menjelaskan bahwa  hukum melafalkan niat mubah tidak bermakna menjadikan pelafalan sebagai syarat, karena jika sesuatu menjadi syarat maka sesuatu tersebut hukumnya wajib dilakukan dan ibadah menjadi tidak sah jika dilakukan. Suci misalnya, adalah syarat shalat. Bersuci hukumnya wajib, dan shalat tidak sah tanpa bersuci. Tidak ada ulama yang mewajibkan pelafalan niat selain Abu Abdillah Az-Zubairy yang bermadzhab Syafi’i, dan itupun sudah dikritik oleh ulama2 syafi’iyyah.
Kesembilan;
Allah mengetahui yang  nampak maupun tersembunyi sebagaimana disebutkan dalam firmannya;
{قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللَّهَ بِدِينِكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ} [الحجرات: 16]
Katakanlah: “Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, Padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu (Al-Hujurot;16)
Tidak perlu Allah diberitahu tentang dien seorang hamba, karena Allah mengetahui semua yang ada di langit dan dibumi. Dia juga mengetahui apa yang tampak dan tersembunyi. Dia Maha mengetahui segala sesuatu.
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Argumentasi yang  melarang pelafalan karena Allah adalah Dzat yang Maha tahu yang tampak maupun yang tersembunyi adalah argumen yang kurang mengena, karena maksud pelafalan niat bukan memberitahu Allah, tetapi mengajari orang lain,  memantapkan niat, menghilangkan was-was dan hal-hal yang semakna dengan ini. Bukan berarti karena  Allah mengetahui segala sesuatu dan isi hati hamba lalu melafalkan niat hukumnya haram. Kaharoman ucapan harus dinyatakan oleh dalil seperti haramnya dusta, ghibah/menggunjing, mengejek dan semisalnya. Dalam beberapa kasus melafalkan justru diperintahkan, misalnya doa. Meski Allah tahu keinginan kita, tetapi  melafalkan doa justru diperintahkan.
Kesepuluh;
Ibnu Umar mengkritik orang yang melafalkan niat haji dengan keras.Ibnu Rojab menulis;
جامع العلوم والحكم (ص: 22)
وصح عن ابن عمر أنه سمع رجلا عند إحرامه يقول اللهم إنى أريد الحج والعمرة فقال له أتعلم الناس أو ليس الله يعلم ما في نفسك
Ada riwayat shahih dari Ibnu Umar bahwasanya beliau mendengar seorang lelaki yang berkata saat Ihromnya; Ya Allah sesungguhnya aku ingin berhaji dan umroh. Maka ibnu Umar bertanya; Apakah engkau mengajari orang-orang? bukankah Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu? (Jami’ Al-‘Ulum Wa Al-Hikam, hlm 22)
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Atsar ibnu Umar, dengan asumsi shahih maka bisa difahami bahwa yang dikritik beliau adalah mengucapkan niat haji dengan keras, bukan melafalkan secara mutlak. Bisa juga difahami bahwa yang dikritik adalah ucapannya yang keras seakan-akan memberitahu niatnya kepada Allah. Jika difahami celaan pelafalan niat secara mutlak, maka hal  itu bertentangan dengan  perbuatan Rasulullah dan juga bertentangan dengan fatwa Aisyah yang  merekomendasikan pelafalan niat haji saat isytiroth. Bagaimana mungkin Ibnu Umar mencela sesuatu yang dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ?  Lagi pula perbuatan Ibnu Umar bukan dalil syara’, terlebih diketahui ada fatwa shahabat yang bertentangan dengannya sehingga tidak bisa menjadi hujjah.
Kesebelas;
Para ulama sepakat bahwa  niat itu tempatnya di hati, sementara pelafalan lisan saja tidak cukup dan bukan menjadi syarat.
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Memang benar seluruh ulama  sepakat bahwa niat tempatnya di hati, pelafalan tidak menjadi syarat dan tidak sah niat yang  hanya dengan pelafalan. Namun sungguh jauh jika prinsip ini difahami bahwa mereka mengharamkan  pelafalan niat.  Statemen-statemen  ulama dari berbagai madzhab yang seperti ini semuanya tidak lebih bermakna bahwa niat dengan hati sudah sah, tetapi jika melafalkan saja tanpa niat dengan hati maka tidak sah. Pelafalan bukan syarat, maknanya seandainya jika berniat tanpa melafalkan maka itu sah. Dari statemen “bukan syaratpun” bisa ditarik mafhum bahwa melafalkan tidak apa-apa. Statemen-statemen  para ulama tersebut maksimal yang bisa difahami; Pelafalan niat adalah topik tersendiri yang dibahas dalam bahasan tersendiri dari segi kebolehan/terlarangnya. Namun statemen bahwa niat hanya di hati dan pelafalan bukan syarat sama sekali tdk menunjukkan pelafalan hukumnya harom.
Hendaknya berhati-hati ketika menyimpulkan pendapat ulama. Karena jika kekeliruan itu dilakukan secara sengaja, dikhawatirkan termasuk melakukan iftiro’ (mengada-ada) yang haram. Contoh penukilan pendapat yang kurang tepat adalah nukilan terhadap fatwa ‘Alauddin Ibnu Al-‘Atthor. Sebagian kaum muslimin memberi kesan bahwa beliau mengharamkan pelafalan niat secara mutlak dan bersikap keras terhadapnya dengan mengutip fatwanya sebagai berikut;
Mengeraskan suara untuk melafalkan niat yang mengganggu orang-orang yang shalat haram secara Ijma’. Jika mengeraskan suara itu tidak disertai unsur menganggu, maka itu adalah bid’ah yang buruk. Jika pelafalan itu dimaksudkan untuk pamer, maka itu haram dari dua sisi: termasuk dosa besar (dan bid’ah?). orang yang mengingkarinya adalah benar, dan yang membenarkannya adalah salah. Menisbatkannya pada dinullah disertai keyakinan adalah kekufuran, dan jika tanpa keyakinan adalah maksiat (Majmu’ah Ar Rasail Al Kubra, 1/254-257)
Pencitraan ini tidak benar, karena kutipan yang diberikan tidak utuh. Jika kutipan fatwa belau ditampilkan secara utuh maka akan diketahui bahwa beliau justru termasuk ulama yang memubahkan pelafalan niat jika tidak disertai unsur mengganggu orang lain. Berikut fatwa  lengkapnya;
وأجاب عنها الشيخ الإمام العلامة علاء الدين ابن العطار عفا الله عنه:
الحمد لله لا يشرع تعيين عدد ركعات ولا الجماعة في النية. وأما التلفظ بها من غير التشويش فلا بأس به. إذا كان مطابقا للقلب ولا يشترط ولا يجب. ورفع الصوت به مع التشويش على المصلين حرام إجماعا، ومع عدمه بدعة قبيحة. فإن قصد به الرياء كان حراما من وجهين كبيرة من الكبائر: والمنكر عبيه مصيب ومصوبه مخطئ ونسبته إلى دين الله تعالى اعتقادا كفر وغير اعتقاد معصية
Alhamdulillah. Menentukan jumlah rokaat dalam niat tidak disyariatkan sebagaimana berniat jamaah juga tidak disyariatkan. Adapun melafalkan niat tanpa mengganggu orang lain, maka hal itu tidak mengapa jika pelafalan tersebut sesuai dengan hati.  Namun tidak menjadi syarat dan tidak wajib. Mengeraskan suara untuk melafalkan niat yang mengganggu orang-orang yang shalat haram secara Ijma’. Jika mengeraskan suara itu tidak disertai unsur menganggu, maka itu adalah bid’ah yang buruk. Jika pelafalan itu dimaksudkan untuk pamer, maka itu haram dari dua sisi: termasuk dosa besar (dan bid’ah?). orang yang mengingkarinya adalah benar, dan yang membenarkannya adalahs alah. Menisbatkannya pada dinullah disertai keyakinan adalah kekufuran, dan jika tanpa keyakinan adalah maksiat (Majmu’ah Ar Rasail Al Kubra, 1/254-257)
Keduabelas;
Pelafalan niat adalah pintu syetan untuk memasukkan was-was yang terkadang menggiring orang sampai menjadi stres/kacau pikiran/gila
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Tidak semua orang yang melafalkan niat terserang was-was. Justru pada sebagian orang pelafalan niat  menjadi solusi. Obat was-was adalah ilmu, bukan mengharamkan sesuatu yg tdk ada Nash yang mengharamkannya. As-Suyuthi berkata;
الأمر بالاتباع والنهي عن الابتداع (ص: 31، بترقيم الشاملة آليا)
وقال الشافعي رحمه الله: الوسوسة في نية الصلاة والطهارة من جهل بالشرع أو خبل في العقل.
As-Syafi’i  berkata: was-was dalam niat shalat dan Thaharoh adalah dikarenakan kebodohan terhadap syariat atau kekacauan dalam pikiran (Al-Amru bil Ittiba’ Wn-Nahyu ‘An Al-Ibtida’, hlm 31)
Lagi pula pintu was-was dan stres banyak sekali, seperti istri, anak, kendaraan, usaha, tabungan, perhiasan dll. Tetapi fakta bahwa hal tersebut bisa mengantarkan was-was tidak cukup untuk menjadi dalil keharaman sesuatu.
Ini semua adalah catatan untuk pendapat yang mengharamkan pelafalan niat.
Adapun pendapat yang mewajibkan pelafalan niat, maka pendapat ini lebih jauh lagi untuk bisa diterima. Karena tidak ada dalil yang dipakai untuk menunjukkan kewajibannya. Referensi-referensi fikih yang membahas masalah pelafalan niat menyebutkan bahwa ulama yang mewajibkan pelafalan niat hanyalah Abu Abdillah Az-Zubairy. Itupun didasarkan penafsiran terhadap statemen Asy-Syafi’I, bukan didasarkan pada dalil. Ucapan manusia, tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk mewajibkan, mengharamkan, mensunnahkan, memakruhkan atau memubahkan sesuatu. Lagipula ulama-ulama Syafi’iyyah sendiri telah mengkritik pendapat Az-Zubairy tersebut, karena dipandang keliru menafsirkan ucapan As-Syafi’i. An-Nawawy berkata;
المجموع شرح المهذب (3/ 277)
 قال اصحابنا غلط هذا القائل وليس مراد الشافعي بالنطق في الصلاة هذا بل مراده التكبير
Ulama-ulama yang semadzhab dengan kami (dengan madzhab  Syafi’i) mengatakan; Yang berpendapat seperti ini (mewajibkan pelafalan niat) telah keliru. Maksud Syafi’I dengan Nuthq/pelafalan di dalam shalat bukanlah ini (pelafalan niat), tetapi, maksudnya adalah Takbir (Al-Majmu’ Syarhu Al-Muhadzdzab, vol. 3 hlm 277)
Adapun pendapat yang mensunnahkan pelafalan niat, maka dalil yang digunakan lebih dekat difahami mubah daripada sunnah. Pelafalan niat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ saat berhaji misalnya, lebih dekat difahami  mubah karena dhohir hadis tersebut , Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melafalkan niat haji untuk mengajari kaum muslimin. Hal itu dikarenakan  haji dan umroh dari segi niat memiliki aturan tersendiri yang tidak sama dengan ibadah yang lain, misalnya  haji dan umroh bisa digabung dalam satu niat dengan konsekuensi yang berbeda jika niat haji dan umroh tidak disatukan. Niat menggabung seperti ini tidak diketahui jika tidak diajarkan dengan pelafalan. Ibnu Umar, dalam atsar yang dinukil Ibnu Rojab, tidak mengingkari jika orang memaksudkan untuk mengajari. Sikap ibnu Umar ini lebih dekat difahami bahwa pelafalan niat untuk mengajari hukumnya mubah.
جامع العلوم والحكم (ص: 22)
وصح عن ابن عمر أنه سمع رجلا عند إحرامه يقول اللهم إنى أريد الحج والعمرة فقال له أتعلم الناس أو ليس الله يعلم ما في نفسك
Ada riwayat shahih dari Ibnu Umar bahwasanya beliau mendengar seorang lelaki yang berkata saat Ihromnya; Ya Allah sesungguhnya aku ingin berhaji dan umroh. Maka ibnu Umar bertanya; Apakah engkau mengajari orang-orang?bukankah Allah mengetahui  apa yang ada dalam hatimu? (Jami’ Al-‘Ulum Wa Al-Hikam, hlm 22)
Ibnu Qudamah mensifati pelafalan niat untuk berkurban dengan sebutan Hasan. Hasan di sini lebih dekat difahami mubah yang baik bukan sunnah. Beliau berkata;
المغني (21/ 497)
وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ يَقُولَ عِنْدَ الذَّبْحِ عَمَّنْ لِأَنَّ النِّيَّةَ تُجْزِئُ لَا أَعْلَمُ خِلَافًا فِي أَنَّ النِّيَّةَ تُجْزِئُ ، وَإِنْ ذَكَرَ مَنْ يُضَحِّي عَنْهُ فَحَسَنٌ ؛ لِمَا رَوَيْنَا مِنْ الْحَدِيثِ
Tidak menjadi keharusan bagi orang yang berkurban pada saat menyembelih mengucapkan; Ini kurban untuk…dst karena niat saja sudah sah/cukup. Saya tidak mengetahui ada perselisihan bahwa niat saja sudah sah. Jika orang yang berkurban menyebut (dalam niatnya) kurbannya untuk siapa, maka hal tersebut  adalah baik berdasarkan hadis yang telah kami riwayatkan (Al-Mughni, vol. 21, hlm 497)
Menurut Al-Adzro’y, tidak ada dalil kesunnahan melafalkan niat.
مغني المحتاج (2/ 248)
قَالَ الْأَذْرَعِيُّ : وَلَا دَلِيلَ لِلنَّدَبِ
Al-Adzro’iy berkata: tidak ada dalil bagi anjuran melafalkan niat (Mughni Al-Muhtaj, vol.2, hlm 248)
Adapun alasan mensunnahkan yang menjelaskan bahwa pelafalan bisa membantu memantapkan hati dan melibatkan dua anggota tubuh yakni hati dan lisan sehingga lebih afdhol dibandingkan hanya melibatkan satu anggota tubuh yakni hati saja, maka ini semua adalah Ta’lil ‘Aqli (alasan nalar)  sehingga tidak bisa menjadi dalil.
Lagipula sejumlah ulama  menjelaskan bahwa maksud sunnah melafalkan niat bukanlah sunnah syar’I, tetapi sunnah masyayikh, yakni sesuatu yang mubah yang dipandang baik karena membantu pelaksanaan ibadah. Zainuddin Ibnu Nujaim berkata dalam Al-Bahru Ar-Roiq;
فَتَحَرَّرَ من هذا أَنَّهُ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ عِنْدَ قَصْدِ جَمْعِ الْعَزِيمَةِ وقد اسْتَفَاضَ ظُهُورُ الْعَمَلِ بِذَلِكَ في كَثِيرٍ من الْأَعْصَارِ في عَامَّةِ الْأَمْصَارِ فَلَعَلَّ الْقَائِلَ بِالسُّنِّيَّةِ أَرَادَ بها الطَّرِيقَةَ الْحَسَنَةَ لَا طَرِيقَةَ النبي
Dari sini bisa disimpulkan bahwa pelafalan niat adalah bid’ah hasanah ketika yang jadi maksud adalah mengokohkan tekad.. mungkin yang berpendapat hukumnya sunnah adalah memaksudkan makna Thoriqoh hasanah/cara yang baik, bukan memaksudkan sunnah Nabi (yang mendapatkan ganjaran ketika melakukannya) (Al-Bahru Ar-Ro-iq, vol. 1 hlm 293)
Muhammad bin  Framuz  Munalla Khusru dalamDuroru Al-Hukkam Syarhu Ghurori Al-Ahkam juga berkata;
درر الحكام شرح غرر الأحكام (1/ 283)
وَالتَّلَفُّظُ بِهَا مُسْتَحَبٌّ ) يَعْنِي طَرِيقٌ حَسَنٌ أَحَبَّهُ الْمَشَايِخُ لَا إنَّهُ مِنْ السُّنَّةِ
Melafalkan niat  dianjurkan, yakni cara yang baik yang disukai para syaikh, bukan sunnah yang mendapat pahala  (Duroru Al-Hukkam Syarhu Ghurori Al-Ahkam, vol.1, hlm 283)
Ahmad bin Muhammad bin Isma’il At-Thohawydalam  Hasyiyah Aththohawy ‘Ala Maroqil Falahberkata;
حاشية الطحاوي على مراقي الفلاح (ص: 427)
إلا أن التلفظ بها سنة كما في الحدادي أي سنة المشايخ كما في تحفة الأخيار
Hanya saja, melafalkan niat adalah sunnah sebagaiman dalam kitab Al-Haddady, artinya sunnah para Syaikh (bukan sunnah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ), sebagaimana dalam kitab Tuhfah Al-Akhyar (Hasyiyah Ath-Thohawy ‘Ala Maroqi Al-Falah, hlm 427)
Ibnu ‘Abidin berkata dalam Hasyiyah Ibni ‘Abidin:
حاشية ابن عابدين (1/ 127)
قوله ( هذه ) أي الطريقة التي مشى عليها المصنف حيث جعل التلفظ بالنية مندوبا لا سنة ولا مكروها
Adapun statemennya “Ini”, maka yang dimaksud adalah metode yang ditempuh oleh penulis hingga menyimpulkan yang menjadikan pelafalan niat sebagai sesuatu  yang dianjurkan. Bukan sunnah, bukan pula makruh. (Hasyiyah Ibni ‘Abidin, vol. 1 hlm 127)
Dari sini bisa difahami, bahwa melafalkan niat dalam ibadah hukumnya adalah mubah karena dalil menunjukkan kemubahannya. Banyak ulama berbagai madzhab yang juga tidak melarang pelafalan tersebut, bahkan mereka adalah Jumhur ulama. Namun pendapat yang mensunnahkan atau mengharamkan adalah pendapat yang Islami juga karena didasarkan pada dalil atau syubhatud dalilsehingga bisa diikuti oleh kaum muslimin yang sepakat dengan cara Istinbath (penarikan kesimpulan hukum)nya. Diantara ulama yang berpendapat haramnya pelafalan niat adalah Ibnu Taimiyah,Ibnu Qoyyim, al Hajjawy Al-Albany,  Ibnu Baz, ibnu ‘Utsaimin, Sholih Al-Fauzan, Ibnu Jibrin, Sa’duddin Al-Kabby, Abdul Muhsin ‘Abbad,  danMasyhur Hasan Salman.
Boleh berbeda pendapat, namun harom mengejek ulama. Pemilihan pendapat yang menjadi  ukuran adalah kekuatan dalil, namun penyikapan terhadap ikhtilaf ulama adalah masalah adab/tata krama, moral, dan akhlak. Pembahasan Syariat harus dibahas dalam kapasitas jalan menuju Allah, bukan alat debat kusir, alat kesombongan, meremehkan orang lain, ghurur, ujub, dan memamerkan pengetahuan. Semoga Allah menuntun kita semua ke jalan yang paling dekat dengan ketakwaan dengan ilmu yang benar. Wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hukum Vareasi Bercinta Dalam Islam

Setiap agama pastinya memiliki hukumnya sendiri-sendiri dalam hal bercinta. Beberapa agama mungkin memiliki beberapa hukum yang sama,...