Kebiasan merokok di masyarakat kita sudah menjadi kebiasaan yang
dianggap biasa, mungkin karena begitu banyaknya para perokok atau juga
karena begitu banyaknya aktivitas merokok yang biasa kita jumpai
disekitar kita sehingga merokok menjadi hal yang lumrah dan biasa saja.
Dari kalangan pengusaha sampai karyawan dan buruhnya, dari mulai pejabat
sampai rakyat jelatanya, dari kalangan intelektual sampai kalangan
orang awamnya, dan dari kalangan tokoh agama sampai umatnya, mereka
tidak lepas dari kebiasaan merokok. Lihat lah orang-orang yang ada
disekitar kita, keluarga dan teman-teman kita, tetangga dan relasi kita,
banyak diantara mereka adalah perokok maka begitu akrabnya kita dengan
dunia rokok. Bahkan banyak yang menyebut Indonesia adalah surganya
perokok karena begitu bebas dalam merokok.
Dalam bahasa Arab, rokok disebut dukhan (الدخان), tabagh (التبغ), tambak
(التمباك), natan (التتن), sijarah (سيجارة). Sedangkan perbuatan merokok
itu disebut dengan tadkhin (التدخين) yang berasal dari fi'il tsulasi
mazid ruba'i dakhkhana yudakhkhinu tadkhinan (دخن يدخن تدخينا ).
Penghisap rokok atau perokok disebut dengan mudakhkhin (المدخن)
Memang tidak ada dalil khusus dari Al-Quran maupun Sunah yang
menunjukkan haramnya rokok, karena rokok belum dikenal di zaman
Rasulullah shallawahu ‘alaihi wasallam, para sahabat, maupun zaman
tabi’in. karena rokok baru dikenal didunia islam sekitar abad sepuluh
hijriyah melalui barat. Meskipun tidak ada dalil khusus, kita tidak
boleh tergesa-gesa menganggapnya halal atau haram berdasarkan kaidah: “
hukum asal dari setiap sesuatu itu boleh ” , karena kaidah ini berlaku
apabila hal tersebut tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah dan tujuan
syariah.
Ketika kemunculannya para ulama berbeda pendapat mengenai hukum rokok,
sebagian besar mengharamkan, sebagian lagi memakruhkan, dan sebagiannya
menghalalkan dan tawaqquf. Mereka yang membolehkan rokok ketika itu
lebih melihat kepada orangnya ketimbang rokoknya, mereka kurang memahami
bahwa rokok dapat membahayakan kesehatan tapi menganggapnya hanya
seperti minuman atau makanan yang dikonsumsi.
Diantara ulama yang mengharamkan adalah Syeikh Umar bin Abdur Rohman
Al-Husaini Asy-Syafi’ie demikian pula Syeikh Muhammad Fathullah bin Ali
Al-Maghribi, Muhammad bin Shiddiq Az-Zubaidi Al-Hanafi, dan Syeikh
‘Amir Asy-Syafi’ie dimana beliau berkata :
الدخان المشهور إن أضر في عقل أو بدن فهو حرام، وضرره بين يشهد به الحس وما قرره الأطباء في الدخان بأنواعه
( rokok yang kita kenal jika membahayakan akal atau badan maka haram
hukumnya, dan bahayanya sudah jelas disaksikan oleh kita dan di tetapkan
para dokter mengenai rokok dengan segala jenisnya).
PENDAPAT YANG MENGHARAMKAN ROKOK
DALIL HARAMNYA ROKOK
1. QS Al-A'raf 7:157
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأُمِّيَّ الَّذِي
يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالإِنجِيلِ
يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ
لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ
عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالأَغْلالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ
آمَنُواْ بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُواْ النُّورَ الَّذِيَ
أُنزِلَ مَعَهُ أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya: (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang
(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di
sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang
mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala
yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang
dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka
orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran),
mereka itulah orang-orang yang beruntung.
2. QS Al-Isra 17:26-27
وَءَاتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلاَ
تُبَذِّرْ تَبْذِيراً * إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ
الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُوراً
Artinya: Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya,
kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.
Ayat lain yang sering diajukan dalil adalah QS An-Nisa' 4:29 dan Al-Baqarah 2:195.
3. Hadits riwayat Abu Daud, Ahmad, Daruqutni, dll لا ضرر ولا ضرار
Artinya: Jangan melakukan sesuatu yang dapat mencelakakan diri sendiri dan orang lain.
4. Hadits riwayat Bukhari
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يؤذ جاره، ومن كان يؤمن بالله واليوم
الآخر فلْيُكرم ضيفه، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو
لِيصمت
Artinya: Barangsiapa beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaknya
tidak menyakiti tetangganya, menghormati tamunya, dan mengatakan sesuatu
yang baik atau diam.
Alasan Pengharaman Rokok
Bahkan Asyaron Bilali berpendapat bahwa rokok haram karena tidak
mengandung unsur gizi maupun obat, dan dilarang menjualnya dan
menghisapnya karena termasuk khabaits ( benda-benda yang menjijikkan).
Ini benar, karena keharaman rokok bisa didasari dengan beberapa dalil.
Pertama : dari sisi penelitian kedokteran membuktikan bahwa rokok dapat
menyebabkan bermacam-macam penyakit berbahaya seperti jantung, ginjal,
kanker dan sebagainya, apalagi kalau dikonsusmsi oleh wanita hamil, maka
lebih beresiko menyebabkan keguguran, walhasil seluruh dokter sepakat
kalau rokok membahayakan kesehatan.
Kedua : agama Islam memerintahkan kita untuk menjaga harta benda dengan
baik, rokok bertentangan dengan perintah itu, karena termasuk membuang
harta, apalagi kalau sampai kecanduan, belum lagi biaya yang dikeluarkan
untuk mengobati penyakit-penyakit akibat rokok kalau dibandingkan
pendapatan dari rokok maka jauh lebih besar.
قوله سبحانه: (وكلوا وا شربوا ولا تسرفوا ) الأعراف 31.
31. Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki)
mesjid[534], Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan[535].
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
[ Al-A'raf : 31]
Apabila larangan ini pada hal-hal yang mubah dan baik, maka apalagi
kalau berkaitan dengan makanan atau minuman yang buruk dan membahayakan?
* قوله صلّى الله عليه وسلم :" إن الله كره لكم ثلاث قيل وقال ، وكثرة السؤال ، وإضاعة المال "
Artinya : Rasulullah shallawahu 'alaihi wasallam bersabda : "
sesungguhnya Allah membenci tiga perkara atas kalian : mengatakan "
katanya" , banyak bertanya, dan membuang harta "
Dan merokok termasuk membuang-buang harta tanpa faedah, dan termasuk hal yang mubadzir dan isrif yang dilarang dalam agama.
قال صلّى الله عليه وسلم " لا تزول قدما عبد يوم القيامة حتى يسأل عن عمره فيما أفناه وعن
علمه ما فعل به وعن ماله من أين اكتسبه وفيما أنفقه وعن جسمه فيما أبلاه " ( الترمذي 2417، والدارمي 537)
Artinya : Rasulullah shallawahu 'alaihi wasallam bersabda : " tidak akan
berpindah kaki seorang hamba hari kiamat sampai ditanya tentang umurnya
untuk apa dia habiskan, tentang ilmu apa yang dilakukan dengannya,
tentang hartanya dari mana dia dapatkan dan kemana dia belanjakan, dan
tentang badannya untuk apa dia habiskan "
Ketiga : ada beberapa kaidah-kaidah umum yang dapat diterapkan pada keharaman rokok.
1- Allah menceritakan tentang NabiNya dalam firmanNya :
{... يأمرهم بالمعروف وينهاهم عن المنكر ويحل لهم الطيبات ويحرم عليهم الخبائث..} [الأعراف 157 ]
Artinya : “ Beliau memerintahkan mereka yang baik dan melarang dari yang
mungkar dan menghalalkan bagi mereka yang baik-baik dan mengharamkan
atas mereka yang buruk-buruk “ ( Al-A’raf: 157).
Cukuplah Allah mengharamkan sesuatu yang buruk atau berbahaya, sehingga
bisa dimasukkan kedalamnya semua makanan atau minuman yang buruk dan
berbahaya, sehingga ulama sepakat haramnya ganja dan semacamnya karena
termasuk narkoba yang berbahaya.
Begitu juga termasuk rokok karena keburukan dan bahayanya, seandainya
kita bertanya kepada seseorang tentang rokok : apakah bagus atau tidak ?
maka dia akan menjawab bahwa rokok tidak bagus kecuali kalau
berdasarkan hawa nafsu mereka menganggapnya baik, bermanfaat, kalau
tidak merokok tidak bisa beraktifitas dengan baik, itu bukan jawaban
yang sebenarnya.
2- Allah Ta’ala melarang kita membunuh diri dan menjatuhkan diri dalam kebinasaan ketika berfirman:
*قوله تعالى (ولا تلقوا بأيديكم الى التهلكة )
195. Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat
baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik.
[ Al-Baqarah: 195]
وقوله جل ثناؤه : (ولا تقتلوا أنفسكم )
29. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
[ An-Nisa: 29]
Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang
lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena
umat merupakan suatu kesatuan.
dan mereka yang mengkonsumsi racun atau sesuatu yang membahayakan
dirinya dan kesehatannya, tidak ragu lagi dia melemparkan dirinya dalam
kebinasaan, dan rokok termasuk hal yang membinasakan karena bahaya yang
telah disebutkan atas.
3- Allah melarang kita mengkonsumsi sesuatu yang melemahkan badan dan akal sebagaimana sabda Nabi shallawahu 'alaihi wasallam :
* أن النبيّ صلّى الله عليه وسلم نهى عن كل مسكر ومفتر ".
Merokok meskipun tidak memabukkan, tapi dapat melemahkan badan, karena
kita dapati orang yang kecanduan lalu tidak mendapatkannya maka dia
merasa pusing dan loyo badan dan pikirannya.
4- Bahwasanya manusia ketika menghisapnya nampak dalam gambaran yang
buruk seperti setan yang membawa api di tangannya padahal Allah telah
memuliakan anak adam dalam bentuk yang baik.
5-Allah Ta'alaa telah memerintahkan kepada kita untuk menjaga kebersihan
gigi dan mulut, sedangkan perokok justru merusakkannya, benarlah ketika
mereka berkata : " rokok adalah siwaknya iblis"
6- mereka yang membolehkan rokok mengatakan: seandainya rokok diharamkan
tentunya akan mengakibatkan banyak pengangguran baru karena tutupnya
pabrik rokok, berarti berkurangnya pendapatan.
Ini adalah keliru, karena ketika rokok haram maka bekerja di pabrik
rokok tentunya tidak diperbolehkan, demikian juga kita hendaknya percaya
bahwa rizki di tangan Allah, apabila manusia berusaha mencari yang
halal tentu akan dimudahkan rizkinya, tergantung keyakinan kita.
Adapun haramnya rokok mengurangi pendapatan, maka berapa biaya yang
dikeluarkan akibat bahaya rokok ? jauh lebih besar. Dan berapa yang
dikeluarkan untuk membeli rokok jika dibandingkan dengan jutaan orang
yang mati kelaparan ? Hanya Allah yang Tahu.
Kesimpulan : rokok hukumnya haram karena bertentangan dengan kaidah
syariah yang ditetapkan untuk mencapai tujuan yang lima maqashidu
syariah yaitu menjaga agama, keturunan, akal, harta, dan jiwa.
Dan kesimpulan ini dikuatkan dengan fatwa-fatwa para ulama yang sholih,
termasuk fatwa yang terakhir dikeluarkan oleh MUI. Semoga Allah
melepaskan kita dari jeratan bahaya rokok.
Adapun pertanyaan kedua : yaitu hukum berjualan rokok, maka karena hukum
rokok adalah haram, berjualan pun juga haram hasilnya, karena ketika
Allah mengharamkan sesuatu Ia juga mengharamkan uang hasilnya.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallawahu 'alaihi wasallam :
وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : { إنَّ اللَّه حَرَّمَ بَيْعَ
الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةَ وَالْخِنْزِيرَ وَالْأَصْنَامَ ، فَقِيلَ : يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهُ يُطْلَى بِهَا
السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ ؟
فَقَالَ : لَا ، هُوَ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ : قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إنَّ
اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ، ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا
ثَمَنَهُ } .
رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ ، وَأَبُو دَاوُد ، وَالنَّسَائِيُّ ، وَابْنُ مَاجَهْ .وَأَصْلُهُ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .
Dari Jabir bin Abdullah bahwa dia mendengar Nabi shallawahu 'alaihi
wasallam bersabda : { sesungguhnya Allah mengharamkan menjual minuman
keras , bangkai, babi, dan patung, lalu dikatakan kepada beliau : Ya
Rasulullah bagaimana dengan lemak bangkai maka itu bermanfaat untuk
menambal kapal dan meminyaki kulit dan untuk penerangan ? maka beliau
berkata : tidak, itu haram kemudian Rasulullah shallawahu 'alaihi
wasallam bersabda : Allah melaknat orang-orang yahudi ketika Allah
mengharamkan lemak bangkai, mereka mencairkannya kemudian menjualnya dan
mereka makan uangnya }. HR Imam Bukhari, Abu Dawud, Nasa'ie, dan Ibnu
Majah.
Menurut Lajnah al-Daaimah li al-Buhuuts wa al-’Ilmiyyah wa al-Iftaa’,
menghisap rokok hukumnya adalah haram. Di dalam Kitab Fatawa Lajnah
al-Daaimah li al-Buhuuts wa al-’Ilmiyyah wa al-Iftaa’ disebutkan,
”Menghisab rokok hukumnya haram. Orang yang terlanjur menghisap rokok,
ketika hendak masuk ke dalam masjid wajib membersihkan mulutnya untuk
menghilangkan bau busuk mulutnya, dan untuk mencegah dlarar dan gangguan
bau rokok bagi orang-orang yang sholat. Akan tetapi, menghisap rokok
tidaklah membatalkan wudluk.” [Fatawa Lajnah al-Daaimah li al-Buhuuts wa
al-’Ilmiyyah wa al-Iftaa’, juz 7, hal. 282]
PENDAPAT ROKOK ITU MAKRUH / BOLEH
DALIL ATAS MAKRUH / BOLEH-NYA ROKOK
- Kaidah fiqih (الأصل فى الأشياء الاباحة segala sesuatu pada asalnya adalah mubah
ALASAN ULAMA ROKOK MAKRUH / BOLEH (MUBAH)
- Shaykh Hazim Abu Ghazalah, ulama Yordania, menganggap rokok itu makruh. Berikut fatwanya:
ان حكم الاسلام في التدخين ، لم يرد فيه نص قطعي ، في كتاب الله تعالى او
سنة رسوله ، محمد صلى الله عليه وسلم ، وانما ورد قوله تبارك وتعالى «يحل
لهم الطيبات ويحرم عليهم الخبائث ، وكلمة الخبائث هنا كلمة عامة لا تشير
الى الدخان بعينه ، وانما تشير الى ما ورد في النص من المحرمات ، كشرب
الخمر والميسر ، والزنا ، والربا ، وغير ذلك.
لذلك لا نستطيع ان نحكم حكما قطعيا في تحريم الدخان ، او كراهيته التحريمية
، وانما ننصح اخواننا واخواتنا المدخنين ان يتركوا ، ويبتعدوا عن هذه
النبتة الخبيثة
Artinya: Hukum Islam dalam soal merokok adalah tidak ada dalil eksplisit
(qath'i) dalam Quran atau Sunnah (hadits) Nabi. Yang ada adalah firman
Allah dalam QS Al-A'raf 7:157. Ayat ini sangat umum dan sama sekali
tidak mengarah pada rokok. Ayat ini merujuk pada apa yang terdapat pada
perkara-perkara yang diharamkan seperti minum khamr (minuman keras),
judi, zina, riba, dan lain-lain.
Oleh karena itu, saya tidak bisa menetapkan hukum yang pasti untuk
mengharamkan rokok, untuk menghukumi makruh tahrim. Saya hanya bisa
menganjurkan saudara-saudara kita yang perokok agar meninggalkan
kebiasaan buruk ini.
- Pada dasarnya tidak ada nash yang shorih (jelas) yang mengatakan bahwa
rokok itu haram. Dan dalam kaidah ushul fiqih Syafi’ه bahwa segala
sesuatu pada asalnya adalah mubah (الأصل فى الأشياء الاباحة) kecuali
jika ada dalil yang mengharamkannya. Nah, karena tidak ditemukan dalil
baik dari al-Qur’an maupun al-Hadits yang mengharamkan rokok, maka
pengambilan hukumnya dengan istish-hab (kembali ke hukum asalnya) yaitu
mubah. Jadi hukum rokok pada asalnya adalah mubah.
Allamah Syaikh ’Ali al-Ajhuriy memiliki sebuah risalah (tulisan) yang
membolehkan menghisap tembakau. Di dalam tulisan itu disebutkan
bahwasanya orang yang memberi fatwa bolehnya menghisap tembakau
bersandar kepada Imam empat madzhab. [Ibnu ’Abidin, Radd al-Muhtaar, juz
27, hal. 266]
Ibnu ’Abidin menyatakan, ”Saya katakan, ”Ulama yang juga mengarang
tulisan yang membolehkan menghisap tembakau adalah guru kami yang arif,
’Abdul Ghaniy al-Nablusiy. Tulisan itu berjudul al-Shulhu bain
al-Ikhwaan fi Ibaahat Syurb al-Dukhaan. Beliau telah menjelaskan dengan
sangat baik masalah ini dalam karya-karyanya. Beliau mengkritik dengan
sangat keras orang-orang yang mengharamkan atau memakruhkan tembakau.
Sebab, keduanya (haram dan makruh) adalah hukum syariat yang harus
disandarkan pada dalil. Padahal tidak ada satupun dalil yang menunjukkan
hukum itu. Pasalnya, tidak terbukti bahwa tembakau itu memabukkan,
melemahkan, atau membahayakan (dlarar). Tetapi justru terbukti bahwa ia
memiliki beberapa manfaat. Hukum tembakau (rokok) masuk dalam kaedah
”al-ashl fi al-asyyaa’ ibaahah” (hukum asal dari benda adalah mubah).
Sesungguhnya beberapa dlarar yang terkandung di dalamnya tidak
menjadikan keseluruhannya haram. Madu bisa membahayakan orang yang
terkena penyakit kuning akut. Seandainya Allah swt menetapkan keharaman
atau kemakruhan tembakau, maka pastilah ada dalil yang menunjukkannya.
Akan tetapi, jika tidak ada, maka harus dinyatakan bahwa mubah adalah
hukum asalnya. Nabi Saw tawaqquf (menahan diri) dalam masalah
pengharaman khamer sebagai umm al-khabaaits (induk segala barang yang
menjijikkan); padahal beliau adalah musyarri’, hingga turun nash qath’iy
pada dirinya….” [Ibnu ’Abidin, Radd al-Muhtaar, juz 27, hal. 266]
Di dalam Haasyiyyah al-Bajiiramiy disebutkan, ”Jika penguasa
memerintahkan perkara-perkara mubah yang di dalamnya terdapat
kemashlahatan bagi orang banyak, semacam menghisap rokok, maka, rakyat
wajib mentaatinya.” [Haasyiyyah al-Bajiiramiy ’Ala al-Khaathib, juz 5,
hal. 475]
Di dalam Fatawa al-Azhar, ’Abdurrahman Qaraa’ah menyatakan, ”Menghisap
rokok tidak pernah terjadi di masa Nabi saw, Khulafaaur Rasyidin,
shahabat, maupun tabi’in. Menghisap rokok terjadi pada masa-masa
belakangan. Para ulama berpendapaty pendapat dalam masalah ini. Sebagian
mereka mengharamkannya, dan sebagian lagi memakruhkan. Sebagian lagi
memubahkannya. Saya (’Abdurrahman Qara’ah) menguatkan pendapat yang
memakruhkannya…” [Fatawa al-Azhar, juz 5, hal. 499]
Adapun Hasanain Mohammad Makhluf menguatkan pendapat yang memubahkannya.
Di dalam Fatawa al-Azhar, beliau menyatakan, ”Kami menyatakan;
ketahuilah, sesungguhnya hukum menghisap rokok adalah hukum ijtihaadiy.
Pendapat para fukaha dalam masalah ini tidaklah seragam. Yang benar
menurut kami adalah sebagaimana yang disebutkan di dalam Kitab Radd
al-Muhtaar; bahwa hukum menghisap rokok adalah mubah. Orang-orang yang
bersandar kepada imam empat madzhab telah memfatwakan kebolehannya;
seperti penuturan dari al-’Allamah al-Ajhuuriy al-Maalikiy di dalam
tulisannya.” [Fatawa al-Azhar, juz 7, hal. 247]
Demikianlah, para fukaha kontemporer berselisih pendapat mengenai status
hukum rokok. Ada tiga pendapat masyhur dalam masalah ini; haram,
makruh, dan mubah.
Lantas, mana pendapat rajih yang wajib kita ikuti? Untuk menjawab
pertanyaan ini harus diketahui terlebih dahulu pandangan syariat Islam
terhadap hukum asal benda, baru setelah itu hukum-hukum derivatifnya.
Hukum Asal Benda
Pada dasarnya, para ulama sepakat bahwa benda hanya memiliki dua status
hukum saja, yakni yakni halal dan haram. Sedangkan hukum atas perbuatan
manusia ada lima, yakni wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.
Para ulama juga sepakat bahwa hukum asal benda adalah mubah, selama
tidak ada dalil yang melarangnya. Ketentuan ini didasarkan pada firman
Allah SWT:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ
يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ
لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ
بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ
رَحِيمٌ
”Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali
kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi
--karena sesungguhnya semua itu kotor-- atau binatang yang disembelih
atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang
dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka
sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Qs. Al-An’aam
(6): 145)
Ayat ini dengan sharih menyatakan bahwa tidak ada benda yang diharamkan
oleh Allah swt, kecuali benda-benda yang disebut di dalam ayat ini.
Hanya saja, karena ayat ini Makiyyah, maka benda-benda yang diharamkan
hanya sebatas pada bangkai, darah yang mengalir, babi, dan binatang yang
disembelih atas nama selain Allah. Setelah itu, Syaari’ menambah
jenis-jenis benda yang diharamkan, baik yang disebutkan di dalam
al-Quran maupun hadits-hadits shahih; semacam binatang bertaring dan
berkuku tajam, binatang jalalah, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, ayat ini dengan sharih menyatakan bahwa hukum asal dari
benda adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.
Di ayat lain, Allah SWT berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
”Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu...” (Qs. al-Baqarah (2): 29 )
Imam Syaukaniy di dalam Kitab Fath al-Qadiir menyatakan, ”Ayat ini
merupakan dalil yang menunjukkan bahwa hukum asal dari benda yang
diciptakan adalah mubah, hingga ada dalil yang memalingkan hukum asalnya
(mubah)...” [Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 1, hal. 64]
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
”Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezki yang baik?" (Qs. al-A’raaf (7): 32); dan masih
banyak ayat lain yang memiliki pengertian senada.
Berdasarkan ayat-ayat di atas dapat dipahami dua hal penting.
الأ صل فى الأشياء اباحة ما لم يرد دليل التحريم
“Hukum asal dari benda adalah mubah selama tidak dalil yang mengharamkan”
Walhasil, semua benda yang ada di alam ini telah ditetapkan kemubahannya
oleh Allah SWT, kecuali benda-benda tertentu yang diharamkanNya.
Status Hukum Rokok
Hukum Asal Rokok
Tembakau dan cengkeh yang menjadi bahan utama pembuatan rokok adalah
benda-benda yang berhukum mubah. Sebab, tidak ada satupun nash sharih
yang mengharamkan keduanya, baik dalam al-Quran maupun sunnah. Dalam
keadaan seperti ini; status hukum tembakau dan cengkeh harus
dikembalikan kepada konteks hukum asalnya, yaknimubah.
Jika benda-benda tersebut (tembakau dan cengkeh) digunakan secara
bersama-sama atau terpisah, maka penggunaannya diperbolehkan. Dengan
demikian, produk yang menggunakan bahan baku tembakau, cengkeh, atau
benda-benda mubah lainnya, mengikuti hukum bahan bakunya. Jika bahan
bakunya berhukum mubah, maka produk olahannya juga berhukum mubah. Oleh
karena itu, selama rokok dibuat dari bahan-bahan mubah, maka status
hukum rokok juga mubah, bukan haram atau makruh.
’Allamah ’Abd al-Ghaniy An Nablusiy, di dalam tulisannya menyatakan
bahwa tidak ada satu pun dalil syariat yang mengharamkan ataupun
memakruhkan rokok; juga tidak terbukti bahwa rokok itu memabukkan,
melemahkan, atau menimbulkan bahaya secara umum pada orang yang
menghisapnya, hingga ia menjadi haram atau makruh. Oleh karena itu,
rokok termasuk dalam kaedah ”al-Ashl fi al-Asyyaa’ Ibaahah”. [Ibnu
’Abidin, Radd al-Muhtaar, juz 27, hal. 266]
Di dalam Kitab Fatawa al-Azhar, ”...Pendapat yang terpilih adalah yang
pertama (hukum asal dari sesuatu adalah mubah). Pasalnya, seperti yang
dituturkan dalam Kitab al-Tahrir, menurut jumhur Hanafiyyah dan
Syafiyyah, pendapat yang kuat adalah hukum asal dari benda adalah
mubah...” [Fatawa al-Azhar, juz 7, hal. 247]
Ini dari sisi status hukum bendanya. Adapun dari sisi hukum perbuatannya, yakni merokok; harus ada perincian lebih mendalam.
Pertama , jika seseorang merokok, dan menyebabkan bahaya secara pasti
pada dirinya (muhaqqah), maka orang tersebut dilarang merokok,
dikarenakan telah tampak bahaya yang nyata bagi dirinya. Sebab, jika
benda mubah mengandung atau menimbulkan dlarar (bahaya) bagi individu
tertentu; dan dlararnya bersifat muhaqqah (terbukti) bagi individu
tersebut, maka benda itu haram dikonsumsi oleh individu itu; sedangkan
hukum asal benda tersebut tetaplah mubah, bukan haram. Udang misalnya,
hukum asalnya adalah mubah. Akan tetapi, bagi orang-orang tertentu,
udang bisa mendatangkan bahaya (dlarar) yang bersifat muhaqqah. Dalam
kondisi semacam ini; orang tersebut dilarang (haram) mengkonsumsi udang,
dikarenakan telah terbukti bahaya udang bagi dirinya. Hanya saja, hukum
asal udang tetaplah mubah, bukan haram. Sebab, adanya dlarar (bahaya)
pada benda-benda mubah, tidaklah mengubah status kemubahan dari benda
tersebut. [Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani, al-Syakhshiyyah
al-Islaamiyyah, juz 3, hal. 459] Oleh karena itu, individu-individu lain
tetap diperbolehkan mengkonsumsi udang semampang tidak menyebabkan
dlarar yang bersifat muhaqqah bagi dirinya.
Ketentuan di atas didasarkan pada riwayat yang dituturkan oleh Ibnu
Hisyam di dalam Kitab Siirahnya, ”Ketika Rasulullah saw melintas di
Hijr, beliau berhenti di sana. Pada saat itu, orang-orang meminum air
dari sumur Hijr. Ketika, para shahabat sedang istirahat, beliau saw
bersabda, ”Janganlah kalian minum dari air sumur Hijr, janganlah kalian
berwudluk dengan airnya untuk sholat. Adonan roti apapun yang kalian
buat dengan menggunakan airnya, berikanlah kepada onta, dan janganlah
kalian memakannya sedikitpun. Dan janganlah seorang diantara kalian
keluar malam sendirian, kecuali ditemani oleh temannya. Para shahabat
melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Nabi Saw, kecuali dua orang
laki-laki dari Bani Sa’idah. Salah satu dari orang itu keluar untuk
memenuhi urusannya, sedangkan yang lain keluar untuk mencari onta
miliknya. Adapun orang yang pergi untuk memenuhi urusannya, ia jatuh
sakit. Sedangkan orang yang pergi untuk mencari ontanya, ia diterbangkan
angin hingga terlembar di Jabalaiy Thaiyyi’. Kejadian ini disampaikan
kepada Rasulullah Saw. Beliau bersabda, ”Bukankah aku telah melarang
kalian agar tak seorangpun diantara kalian pergi sendirian, kecuali
disertai teman? Lalu, beliau Saw mendoakan orang yang jatuh sakit ketika
hendak bepergian, dan sembuhlah ia dari sakitnya. Sedangkan laki-laki
lain yang jatuh di Jabalaiy Thaiyyi`, sesungguhnya kabilah Thai`
menunjukkan kepada Rasulullah Saw ketika beliau Saw tiba di
Madinah”.[HR. Ibnu Hisyam dan Sirah Ibnu Hisyam]
Berdasarkan riwayat ini dapat disimpulkan; perkara-perkara yang hukum
asalnya mubah, jika di dalamnya mengandung bahaya yang pasti (muhaqqah),
maka perkara itu berhukum haram, sedangkan hukum asalnya tetaplah
mubah. Sebab, minum air dari sumur manapun, hukum asalnya adalah mubah,
termasuk air sumur Hijr. Larangan nabi saw agar para shahabat tidak
meminum airnya, tidak menggunakannya untuk berwudluk, dan untuk membuat
adonan roti, dikarenakan air tersebut mengandung bahaya. Keluarnya
seorang laki-laki di waktu malam sendirian, juga termasuk perkara mubah.
Adanya larangan dari Nabi saw agar para shahabat tidak keluar pada
waktu malam di tempat itu seorang diri disebabkan karena bahaya
(dlarar). Dengan demikian, perkara mubah (baik benda maupun perbuatan),
jika perkara tersebut mengandung bahaya, maka hukumnya menjadi haram
(karena bahaya yang dikandungnya), sedangkan hukum asalnya tetaplah
mubah.
Kedua , Bila dilakukan di dalam masjid, hukumnya adalah makruh. Pasalnya
ada larangan dari Nabi Mohammad saw bagi orang yang memakan bawang
putih atau bawang merah masuk ke dalam masjid, dikarenakan bau menyengat
yang dihasilkan dari keduanya. Imam Bukhari menuturkan sebuah hadits
dari Jabir bin ’Abdullah ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا
”Barangsiapa memakan bawang putih atau bawang merah, hendaknya ia
memisahkan diri dari kami, atau memisahkan diri dari masjid kami.” [HR.
Imam Bukhari]
Imam Bukhari juga mengetengahkan sebuah hadits bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ قَالَ
فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ وَأَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِقِدْرٍ فِيهِ خَضِرَاتٌ مِنْ
بُقُولٍ فَوَجَدَ لَهَا رِيحًا فَسَأَلَ فَأُخْبِرَ بِمَا فِيهَا مِنْ
الْبُقُولِ فَقَالَ قَرِّبُوهَا إِلَى بَعْضِ أَصْحَابِهِ كَانَ مَعَهُ
فَلَمَّا رَآهُ كَرِهَ أَكْلَهَا قَالَ كُلْ فَإِنِّي أُنَاجِي مَنْ لَا
تُنَاجِي
”Barangsiapa memakan bawang putih atau bawang merah, hendaklah ia
memisahkan diri dari kami, atau beliau bersabda, ”Hendaknya ia
memisahkan diri dari masjid kami dan hendaknya ia duduk di rumahnya”.
Sesungguhnya, Nabi saw diberi sebuah periuk yang di dalamnya terdapat
sayur-sayuran. Beliau mendapati bau dari sayuran itu. Lalu, beliau
bertanya, dan beliau diberitahu apa yang ada di sayuran itu. Lalu ia
(perawiy) berkata, “Para shahabat mendekatkan periuk itu ke beberapa
shahabat yang bersama Nabi. Ketika beliau melihatnya, maka beliau tidak
suka memakannya. Beliau saw bersabda, “Makanlah. Sesungguhnya aku
berbisikan dengan malaikat”. [HR. Imam Bukhari]
Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Jabir bin ’Abdullah ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ
مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ وَإِنَّهُ أُتِيَ بِقِدْرٍ فِيهِ
خَضِرَاتٌ مِنْ بُقُولٍ فَوَجَدَ لَهَا رِيحًا فَسَأَلَ فَأُخْبِرَ بِمَا
فِيهَا مِنْ الْبُقُولِ فَقَالَ قَرِّبُوهَا إِلَى بَعْضِ أَصْحَابِهِ
فَلَمَّا رَآهُ كَرِهَ أَكْلَهَا قَالَ كُلْ فَإِنِّي أُنَاجِي مَنْ لَا
تُنَاجِي
”Barangsiapa memakan bawang putih atau bawang merah, hendaknya ia
memisahkan diri dari kami, atau memisahkan diri dari masjid kami, dan
hendaknya ia duduk di rumahnya”. Nabi Saw diberi sebuah periuk yang di
dalamnya ada sayuran-sayuran, kemudian beliau saw mendapati bau. Lantas,
beliau bertanya, dan beliau diberitahu apa yang ada di dalam sayuran
itu. Kemudian perawi berkata, ”Para mendekatkannya kepada sebagian
shahabatnya. Tatkala beliau mengetahuinya, beliau tidak suka memakannya,
seraya berkata, ”Makanlah. Sesungguhnya aku berbisikan dengan
malaikat”. [HR. Imam Muslim]
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Nabi saw melarang orang yang memakan
bawang putih atau bawang merah mendekati masjid disebabkan karena
baunya yang mengganggu orang lain. Dengan demikian, larangan Nabi saw
disebabkan karena aroma atau bau menyengatnya; yang ini hal ini tentunya
menganggu orang lain yang hendak beribadah kepada Allah SWT. Alasan ini
diperkuat oleh hadits-hadits berikut ini. Dalam hadits yang dituturkan
oleh Imam Muslim dari Jabir ra , bahwasanya ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ
الْبَصَلِ وَالْكُرَّاثِ فَغَلَبَتْنَا الْحَاجَةُ فَأَكَلْنَا مِنْهَا
فَقَالَ مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ الْمُنْتِنَةِ فَلَا
يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَأَذَّى مِمَّا
يَتَأَذَّى مِنْهُ الْإِنْسُ
”Rasulullah saw melarang makan bawang mereka dan bawang bakung. Lalu,
kebutuhan begitu mendesak kami, hingga akhirnya kami memakannya. Nabi
saw bersabda, ”Barangsiapa memakan tumbuhan ini, janganlah mendekati
masjid kami. Sesungguhnya malaikat terganggu karenanya, begitu pula
manusia.” [HR. Imam Muslim]
Imam Muslim juga meriwayatkan sebuah hadits dari Jabir ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ
مَسْجِدَنَا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ
بَنُو آدَمَ
”Barangsiapa memakan bawang merah, bawang putih, dan bawang bakung,
janganlah mendekati masjid kami. Sesungguhnya malaikat merasa terganggu,
sebagaimana anak Adam merasa terganggu darinya.” [HR. Imam Muslim]
Imam Muslim juga menuturkan sebuah hadits dari Umar ra bahwasanya ia sedang berkhuthbah;
إِنَّكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ تَأْكُلُونَ شَجَرَتَيْنِ لَا أَرَاهُمَا
إِلَّا خَبِيثَتَيْنِ هَذَا الْبَصَلَ وَالثُّومَ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ رِيحَهُمَا مِنْ
الرَّجُلِ فِي الْمَسْجِدِ أَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ إِلَى الْبَقِيعِ فَمَنْ
أَكَلَهُمَا فَلْيُمِتْهُمَا طَبْخًا حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي
شَيْبَةَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي
عَرُوبَةَ قَالَ ح و حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ كِلَاهُمَا عَنْ شَبَابَةَ بْنِ سَوَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ جَمِيعًا عَنْ قَتَادَةَ فِي هَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ
”Wahai manusia, sesungguhnya kalian memakan dua tanaman yang menurutku
tidak baik, yakni bawang merah dan bawang puti. Sungguh, dahulu aku
melihat Rasulullah saw jika mendapati bau keduanya dari seseorang,
beliau menyuruh orang itu keluar dari masjid. Karenanya, jika kalian
ingin memakannya, hendaklah kalian memasaknya terlebih dahulu.” [HR.
Imam Muslim]
Berdasarkan hadits-hadits ini dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa orang
yang mengkonsumsi sesuatu yang menimbulkan bau tidak sedap, dan
berpotensi menganggu orang lain, semacam rokok dimakruhkan masuk ke
dalam masjid. Pasalnya, asap rokok jelas-jelas menyebarkan aroma atau
bau menyengat yang sangat mengganggu orang lain. Atas dasar itu,
seseorang makruh merokok di dalam masjid dikarenakan bisa mengganggu
orang lain.
Begitu pula jika seseorang merokok di tempat umum yang berpotensi
mengganggu orang lain, maka hukumnya makruh, berdasarkan riwayat-riwayat
di atas.
Ketiga, jika seseorang merokok, dan tidak menimbulkan dlarar yang
bersifat muhaqqah pada dirinya, serta dilakukan di tempat atau komunitas
yang tidak menganggu orang lain, maka status hukumnya adalah boleh.
Dalilnya adalah kebolehan memanfaatkan benda-benda mubah. Selain itu,
’illat yang menyebabkan pengharaman rokok, yakni bahaya yang bersifat
muhaqqah tidak terwujud pada orang tersebut; dan ia melakukan aktivitas
di suatu tempat dan komunitas yang tidak terganggu oleh asap rokok.
Kesimpulan Pendapat Hukum
Pertama; sebagian besar ulama' terdahulu berpandangan, bahwa merokok itu
mubah atau makruh. Mereka lmelihat kenyataan bahwa merokok tidak
membawa mudarat, atau kalaupu membawa mudarat relatif kecil.
Dianalogikan, bahwa kemudaratan merokok tidak lebih besar dari
kemudaratan durian yang jelas berkadar kolesterol tinggi.
Kedua; ulama sekarang cenderung mengharamkan merokok karena lebih
melihat pada informasi mengenai hasil penelitian medis yang menyatakan
bahaya rokok (berdampak besar) bagi kesehatan, khusunya menmbukan
penyakit dalam. Apabila model penelitian medis semacam ini kurang
dicermati, jika kemudaratan merokok akan cenderung dipahami jauh lebih
besar dari apa yang sebenarnya. Lalu, kemudaratan yang sebenarnya kecil
dan terkesan jauh lebih besar itu dijadikan dasar untuk menetapkan hukum
haram.
Tapi bukankah banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan halal,
ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi. Lalu
apakah setiap makanan dan minuman yang dinyatakan tidak steril itu terus
dihukumi haram, ataukah harus dicermati seberapa besar kemudaratannya,
kemudian ditentukan mubah, makruh ataukah haram hukumnya ?
Ketiga; hukum merokok itu bisa jadi bersifat relative, dalam arti dapat
dipahami bahwa merokok itu haram bagi orang tertentu yang dimungkinkan
dapat terkena mudaratnya. Akan tetapi merokok itu mubah atau makruh bagi
orang dipastikan tidak terkena mudaratnya atau terkena mudaratnya
tetapi hanya kadarnya kecil.
Keempat; jika merokok itu membawa mudarat relatif kecil dengan hukum
makruh, kemudian di balik kemudaratan itu terdapat kemaslahatan yang
lebih besar, maka hukum makruh itu dapat berubah menjadi mubah. Jika
dalam kasus rokok dpat memberikan semangat bagi yang mengkonsumsinya,
tentunya dalam kadar yang tidak berlebihan. Karena apa pun yang
dikonsumsi secara berlebihan dan jika membawa mudarat cukup besar, maka
haram hukumnya.
Nah, itulah beberapa hukum terkait rokok, perbedaan pendapat dan
pandangan dalam menghukumi rokok sudah diuraikan, lalu mau mengikuti
pendapat yang mana ? penulis hanya bisa mengajak pembaca untuk dapat
menakar sejauhmana dampak kemudharatan dan atau manfaatnya.
Wallohu A'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar