TAK ada yang tidak transparan dalam Islam, termasuk soal urusan ranjang.
Sepanjang tidak terkait dengan deskripsi praktik dan detil, maka semua
terbuka, dan dibolehkan untuk dibicarakan.
Satu hal yang mungkin tak akan bisa terhindarkan dalam hubungan suami
istri adalah percumbuan sebelum dan ketika melakukan hubungan yang dalam
Islam ini sangat suci. Bagaimana jika istri kemudian tengah berada
dalam kondisi menyusui?
Dibolehkan bagi suami untuk menghisap puting istrinya. Bahkan hal ini
dianjurkan, jika dalam rangka memenuhi kebutuhan biologis sang istri.
Sebagaimana pihak lelaki juga menginginkan agar istrinya memenuhi
kebutuhan biologis dirinya.
Memang terkadang muncul keraguan di sebagian suami tentang air susu
istri yang tertelan suami saat berhubungan, apakah ia sama hukumnya
dengan air susu ibu yang diminum oleh seorang anak susuannya?!
Sesungguhnya persyaratan susuan yang menjadikannya orang yang menyusu itu anak dari ibu susuannya adalah sebagai berikut :
1. Susuan tersebut terjadi pada usia-usia di antara dua tahun pertama
dari usia anak yang menyusu darinya. Dan jika seandainya usia yang
menyusu itu di atas dua tahun maka tidaklah menjadikannya haram untuk
dinikahi, ini adalah pendapat jumhur ulama berdasarkan sabda Rasulullah
saw, ”Tidak ada rodho’ (susuan) kecuali diantara usia dua tahun.” (HR.
Daruquthni dari Ibnu Abbas).
Imam Malik menambahkan dari masa dua tahun itu dengan dua bulan
dikarenakan masa dua bulan ini dibutuhkan bagi anak itu sebagai masa
transisinya dari mengkonsumsi susu kepada makanan lain. Hal itu apabila
anak itu tidak disapih sebelum masa dua tahun sedangkan apabila ia sudah
disapih dan makan makanan kemudian menyusu maka susuannya itu tidak
menjadikannya sebagai mahram.
Imam Abu Hanifah menentukan masa susuan itu adalah dua tahun setengah.
Setengah tahun itu adalah masa transisi bagi anak itu untuk berpindah
dari mengkonsumsi susu kepada makanan yang lainnya.
2. Hendaklah anak itu menyusu sebanyak lima susuan secara terpisah
sebagaimana kebiasaan, dimana anak itu meninggalkan puting susunya
dengan kehendaknya tanpa adanya halangan seperti bernafas, istirahat
sejenak atau sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba sehingga
menjadikannya lupa dari menyusu. Dalam hal ini tidak pula disyaratkan
hisapan-hisapan tersebut harus mengenyangkannya, demikian pendapat para
ulama madzhab Syafi’i serta pendapat yang paling kuat dari para ulama
madzhab Hambali.
Terhadap orang dewasa yang sudah baligh dan berakal yang menyusu kepada
seorang wanita maka jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan para
fuqoha mengatakan bahwa tidak ada susuan yang menjadikannya mahram
kecuali apabila terjadi pada saat ia masih kecil, meskipun terjadi
perselisihan dalam penentuan batas usia anak kecil tersebut.
Diantara dalil-dalil yang dipakai jumhur adalah :
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
Artinya : “…..Selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS. Al Baqoroh : 233)
Sabda Rasulullah saw, ”Sesungguhnya susuan itu hanyalah yang
mengenyangkannya dari rasa lapar.” (HR. Bukhori Muslim) artinya susu
yang diminumnya itu mengenyangkannya dan ia tidak memiliki makanan
selainnya. Tentunya orang yang sudah dewasa tidaklah termasuk didalamnya
terlebih lagi hadits ini menggunakan kata-kata hanyalah. (al Fiqhul
Islami wa Adillatuhu juz IX hal 6637 – 6638)
Dengan demikian air susu istri yang tertelan oleh suaminya saat
berhubungan tidaklah menjadikannya haram untuk berhubungan dengannya,
tidak pula menjadikannya sebagai anak dari istrinya itu serta tidak pula
berpengaruh apa-apa terhadap pernikahan mereka.
Pada masa-masa haidh dan nifas pun hal itu tetap diperbolehkan bagi
kedua pasangan tersebut, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Haram
bin Hakim dari pamannya bahwa dia bertanya kepada Rasulullah saw,”Apa
saja yang dihalalkan bagiku terhadap istriku pada saat dia haidh?’
beliau saw menjawab,’Bagimu apa yang berada diatas sarung..” (HR. Abu
Daud)
Hadits terebut memerintahkan bagi suami yang ingin menggauli istrinya
pada saat haidh adalah pada bagian diatas pusar karena dikhawatirkan
akan terjadi persetubuhan pada kemaluannya jika apa yang dibawah pusar
juga diperbolehkan terutama bagi mereka yang tidak bisa mengendalikan
gejolak syahwat didalam dirinya, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Maka
barangsiapa yang mengitari daerah larangan maka dikhawatirkan ia akan
jatuh kedalamnya.” (HR. Bukhori Muslim)
Namun apabila dia mampu mengendalikan gejolak syahwat didalam dirinya
dan meyakini apabila dia ‘bermain’ dengan yang dibawah pusar atau bahkan
diantara dua paha serta tidak jijik dengan bercak-bercak darah yang
mungkin terlihat disekitar kemaluan istrinya maka hal itu diperbolehkan
selama tidak memasukkan kemaluannya kedalam kemaluan istrinya,
sebagaimana hadits Rasulullah saw,”Pebuatlah sesuai kehendakmu kecuali
nikah (memasukkan kemaluanmu kedalam kemaluan istrimu).” (Hr Muslim dan
Abu Daud)
Menyentuh, mencium atau menyedot puting susu istrinya hingga menelan air
susunya adalah bagian daripada ‘bermain-main’ didalam bersetubuh
seperti halnya terhadap bagian-bagian tubuh lainnya yang dapat menambah
kenikmatan bagi kedua pasangan itu sehingga tidaklah ada larangannya.
Karena itu semua termasuk didalam batas-batas yang diperbolehkan selama
tidak pada duburnya.
Dari Abu Yusuf berkata, ”Aku pernah bertanya kepada Abu Hanifah tentang
seorang yang memegang kemaluan istrinya dan istrinya menyentuh kemaluan
suaminya untuk bergerak-gerak diatas kemaluannya apakah menurutmu ini
tidak boleh?
Abu Hanifah menjawab, ”Boleh, dan aku berharap hal itu dapat menambah
pahala yang merupakan investasi baginya.” (Roddul Mukhtar juz 26 hal
388)
Adapun ketika kondisi istri tengah menyusui bayi, kemudian suami minum
susu istri, para ulama ada bebarapa pendapat di sebagian kalangan.
Madzhab Hanafi berselisih pendapat. Ada yang mengatakan boleh dan ada yang me-makruh-kan.
Dalam Al-Fatawa al-Hindiyah (5/356) disebutkan, “Tentang hukum minum
susu wanita, untuk laki-laki yang sudah baligh tanpa ada kebutuhan
mendesak, termasuk perkara yang diperselisihkan ulama belakangan.”
Dalam Fathul Qadir (3/446) disebutkan pertanyaan dan jawaban, “Bolehkah
menyusu setelah dewasa? Ada yang mengatakan tidak boleh. Karena susu
termasuk bagian dari tubuh manusia, sehingga tidak boleh dimanfaatkan,
kecuali jika terdapat kebutuhan yang mendesak.”
Sikap yang lebih tepat adalah suami berusaha agar tidak minum susu istri dengan sengaja, karena dua hal:
Keluar dari perselisihan ulama. Karena ada sebagian yang melarang, meskipun hanya dihukumi makruh.
Perbuatan ini menyelisihi fitrah manusia.
Suami yang pernah minum susu istrinya, tidaklah menyebabkan dirinya menjadi anak persusuan bagi istrinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar