Dewasa ini banyak muncul tulisan (terutama kalangan Salafi-Wahabi) yang
membahas tentang kewajiban memelihara jenggot dan menganggap haram dan
bid’ah mencukurnya. Sebenarnya isi tulisan tersebut tidak perlu
dipersoalkan selama masih dalam koridor ijtihad masing-masing umat Islam
dan itu didukung oleh argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan,
meskipun kita tidak sependapat dengan kesimpulan argumentasi yang
dikemukakannya. Namun ini menjadi masalah ketika orang yang berpendapat
wajib memelihara jenggot dan menganggap haram dan bid’ah mencukurnya
mengklaim bahwa pendapat tersebut merupakan ijmak ulama, dimana
konsekwensinya, maka barangsiapa yang menyalahinya, maka ia telah
menyalahi ijmak, pelaku bid’ah dan kemungkaran yang wajib dicegah serta
merupakan pendapat sesat dan menyesatkan.
Ini tentu sangat berbahaya bagi akidah umat Islam, karena itu, melalui
tulisan ini penulis mencoba menempatkan masalah ini (hukum memelihara
dan mencukur jenggot) pada posisi yang sebenarnya dengan mengutip
pendapat ulama-ulama mazhab dan ahli ilmu. Mudah-mudahan tulisan ini
menjadi bermanfaat bagi kita semuanya, Amin ....
Perintah Nabi Agar Memelihara Jenggot
Hadits pertama, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى
“Potong pendeklah kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot.”(HR. Muslim no. 623)
Hadits kedua, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى
“Selisilah orang-orang musyrik. Potong pendeklah kumis dan biarkanlah jenggot.” (HR. Muslim no. 625)
Hadits ketiga, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
أَنَّهُ أَمَرَ بِإِحْفَاءِ الشَّوَارِبِ وَإِعْفَاءِ اللِّحْيَةِ.
“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memotong
pendek kumis dan membiarkan (memelihara) jenggot.” (HR. Muslim no. 624)
Hadits keempat, dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ
“Pendekkanlah kumis dan biarkanlah (perihalah) jenggot dan selisilah Majusi.” (HR. Muslim no. 626)
Hadits kelima, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
انْهَكُوا الشَّوَارِبَ ، وَأَعْفُوا اللِّحَى
“Cukur habislah kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot.”(HR. Bukhari no. 5893)
Hadits keenam, dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ ، وَفِّرُوا اللِّحَى ، وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
“Selisilah orang-orang musyrik. Biarkanlah jenggot dan pendekkanlah kumis.” (HR. Bukhari no. 5892)
Pendapat Para Ulama Madzhab Empat
Para ulama Salafusshaleh dalam kitab kuning berbeda pendapat mengenai
hukum mencukur jenggot. Dr Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa ulama
Malikiyah dan Hanabilah mengharamkan mencukur jenggot, sedangkan
Hanafiyah menganggapnya sebagai makruh tahrim (mendekati haram) dan
makruh tanzih menurut Syafi’iyah.
Pernyataan Wahbah Zuhaili tersebut dapat dilihat dalam kitabnya, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, sebagai berikut :
اما إرخاء أو إعفاء اللحية: فهو تركها وعدم التعرض لها بتغيير، وقد حرم
المالكية والحنابلة حلقها، ولا يكره أخذ ما زاد على القبضة، ولا أخذ ما تحت
حلقه، لفعل ابن عمر ويكره حلقها تحريماً عند الحنفية، ويكره تنزيهاً عند
الشافعية، فقد ذكر النووي في شرح مسلم عشر خصال مكروهة في اللحية، منها
حلقها، إلا إذا نبت للمرأة لحية، فيستحب لها حلقها.
ِ
Artinya : Menurunkan dan membiarkan jenggot, yaitu membiarkannya serta
tidak melakukan perubahan, maka ulama Malikiyah dan Hanabilah
mengharamkan mencukurnya dan tidak memakruhkan memotong yang lebih dari
genggaman dan juga tidak memakruhkan memotong yang dibawah halqum
seseorang, karena mengikuti perbuatan Ibnu Umar. menurut ulama Hanafiyah
makruh tahrim mencukurnya dan makruh tanzih di sisi ulama Syafi’iyah.
Al-Nawawi dalam Syarh Muslim telah menyebut sepuluh perkara yang makruh
pada jenggot, sebagiannya mencukurnya kecuali apabila tumbuh jenggot itu
pada seorang perempuan, maka disunnahkan mencukurnya.
a. Ulama Hanafiyah :
1. Kitab Radd al-Muhtar ‘ala Dar al-Mukhtar, karangan Ibnu Abidin :
وَلِذَا يَحْرُمُ عَلَى الرَّجُلِ قَطْعُ لِحْيَتِهِ
Artinya : Karena itu, haramlah atas laki-laki memotong jenggotnya.
2. Kitab Badaa-i’ al-Shanaa-i’ fi Tartib al-Syara-i’, karangan Abu Bakar al-Kasany
أَنَّ حَلْقَ اللِّحْيَةِ مِنْ بَابِ الْمُثْلَةِ
Artinya : Sesungguhnya mencukur jenggot termasuk dalam bab mutslah.
b. Ulama Malikiyah :
1. Kitab Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Syarh al-Kabir, karya Muhammad al-Dusuqi :
يَحْرُمُ عَلَى الرَّجُلِ حَلْقُ لِحْيَتِهِ
Artinya : Haram atas laki-laki mencukur jenggot.
2. Kitab Bulghah al-Saalik li Aqrab al-Masalik, karya Syekh Ahmad al-Shawi :
قوله : ( بحلق لحيته و لا تسخيم وجهه ) : أي يحرم ذلك
Artinya : (Tidak dita’zir dengan mengukur jenggot dan tidak menghitamkan mukanya) artinya haram yang demikian itu.
Qadhi ‘Iyazdh, salah seorang ulama terkemuka dari kalangan Malikiyah
berpendapat bahwa mencukur jenggot merupakan perbuatan makruh, bukan
haram sebagaimana pendapat yang masyhur dikalangan Malikiyah.
Hal ini sebagaimana disebut dalam kitab Tharh al-Tatsrib karangan al-Hafizh al-‘Iraqi sebagai berikut :
قال القاضي عياض يكره حلقها وقصها وتحريقها
Artinya : Qadhi ‘Iyazh mengatakan : makruh mencukur, memotong dan membakar jenggot.
c. Ulama Hanabilah
1. Kitab al-Furu’, karangan Ibnu Muflih :
وَيُعْفِي لِحْيَتَهُ ، وَفِي الْمَذْهَبِ مَا لَمْ يُسْتَهْجَنْ طُولُهَا وَيَحْرُمُ حَلْقُهَا ذَكَرَهُ شَيْخُنَا
Artinya : Dibiarkan jenggotnya, di dalam mazhab selama tidak dikuatirkan
buruk panjangnya dan haram mencukurnya, itu disebut oleh guru kami.
2. Kitab Kasyf al-Qana’ ‘an Matn al-Iqna’ :
( وَيُحَرَّمُ ) التَّعْزِيرُ ( بِحَلْقِ لِحْيَتِهِ ) لِمَا فِيهِ مِنْ الْمُثْلَةِ
Artinya : Haram ta’zir dengan cara mencukur jenggotnya, karena hal itu termasuk mutslah.
d. Ulama Syafi’iyah
Sedangkan ulama Syafi’iyah berbeda pendapat dalam menentukan hukum
mencukur jenggot, namun yang mu’tamad(dibuat pegangan) yang dianggap
sebagai madzhab adalah pendapat yang menyatakan makruh, sebagaimana
terlihat dalam kutipan kitab-kitab Syafi’iyah di bawah ini :
a. Kitab Fathul Mu’in karangan Zainuddin al-Malibari :
ويحرم حلق لحية، وخضب يدي الرجل ورجليه بحناء، خلافا لجمع فيهما. وبحث
الاذرعي كراهة حلق ما فوق الحلقوم من الشعر.وقال غيره إنه مباح.
Artinya : Haram mencukur jenggot dan mewarnai dua tangan seorang
laki-laki dan dua kakinya dengan inai/pacar, khilaf dengan sekelompok
ulama pada masalah keduanya. Al-Adzra’i telah membahas makruh mencukur
bulu di atas halqum, sedangkan lainnya mengatakan mubah.
b. Al-Nawawi dalam Syarah Muslim telah menyebut perkara-perkara yang makruh pada jenggot, sebagiannya yaitu :
الثانية عشر حلقها الا إذا نبت للمرأة لحية فيستحب لها حلقها
Artinya : Yang kedua belas adalah mencukurnya kecuali apabila tumbuh
jenggot itu pada seorang perempuan, maka disunatkan mencukurnya.
c. Kitab I’anah al-Thalibin, karangan Syekh al-Bakri al-Dimyathi
dalam mengomentari pernyataan pengarang Fathul Mu’in di atas menyebutkan
:
المعتمد عند الغزالي وشيخ الإسلام وابن حجر في التحفة والرملي والخطيب وغيرهم: الكراهة
Artinya : Pendapat yang mu’tamad di sisi al-Ghazali, Syekh Islam, Ibnu
Hajar al-Haitamy dalam al-Tuhfah, al-Ramli, al-Khatib dan lainnya adalah
makruh.
d. Kitab Asnaa al-Mathalib, karangan Syekh Zakariya al-Anshari :
(وَ) يُكْرَهُ (نَتْفُهَا) أَيْ اللِّحْيَةِ أَوَّلَ طُلُوعِهَا إيثَارًا لِلْمُرُودَةِ وَحُسْنِ الصُّورَةِ
Artinya : Makruh mencabut jenggot ketika baru tumbuh, untuk nampak
seperti orang yang baru tumbuh jenggot dan untuk tampilan yang bagus.
e. Kitab Tuhfah al-Muhtaj, karangan Al-Imam Ibnu Hajar al-Haitamy :
ذَكَرُوا هُنَا فِي اللِّحْيَةِ وَنَحْوِهَا خِصَالًا مَكْرُوهَةً مِنْهَا نَتْفُهَا وَحَلْقُهَا
Artinya : Mereka (ulama) telah menyebut di sini berkenaan dengan jenggot
dan seumpamanya tentang perkara-perkara yang dimakruhkan, di antaranya
mencabut dan mencukur jenggot.
f. Kitab Mughni al-Muhtaj, karangan Syekh Khatib Syarbaini :
و يُكْرَهُ نَتْفُْ اللِّحْيَةِ أَوَّلَ طُلُوعِهَا إيثَارًا لِلْمُرُودَةِ
Artinya : Makruh mencabut jenggot ketika baru tumbuh, untuk nampak seperti orang yang baru tumbuh jenggot.
g. Kitab Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj:
(قَوْلُهُ أَوْ يَحْرُمُ كَانَ خِلَافَ الْمُعْتَمَدِ إلَخْ) قَالَ فِي
شَرْحُ الْعُبَابِ فَائِدَةٌ قَالَ الشَّيْخَانِ يُكْرَهُ حَلْقُ
اللِّحْيَةِ وَاعْتَرَضَهُ ابْنُ الرِّفْعَةُ فِي حَاشِيَةِ الْكَافِيَةِ
بِأَنَّ الشَّافِعِيَّ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ - نَصَّ فِي
الْأُمِّ عَلَى التَّحْرِيمِ قَالَ الزَّرْكَشِيُّ وَكَذَا الْحَلِيمِيُّ
فِي شُعَبِ الْإِيمَانِ وَأُسْتَاذُهُ الْقَفَّالُ الشَّاشِيُّ فِي
مَحَاسِنِ الشَّرِيعَةِ
Artinya : (Perkataan mushannif : “atau haram, maka pendapat yang
menyalahi yang mu’tamad”), dikatakan dalam Syarh al-‘Ubab : “Faedah :
Kedua Syekh (yaitu Nawawi dan Rāfi'ī) menganggap makruh mencukur
jenggot. Ibnu Ar-Rifa'ah menentang pendapat mereka dalam Hasyiyah
al-Kāfiyah karena ada nash dari Imam Syafi'i r.a. dalam kitabnya, al-Umm
haram mencukur jenggot. Az-Zarkasyī menyatakan bahwa hal yang sama
dinyatakan oleh Al-Hulaimi dalam kitabnya, Syu'ab Al-Iman, serta gurunya
Al-Qaffāl Ash-Syasyi dalam Mahasin Asy-syari'ah.
Apabila kita perhatikan kutipan-kutipan di atas, maka dapat diterangkan
di sini bahwa kebanyakan ulama Syafi’iyah berpendapat makruh mencukur
jengggot, bukan haram, yaitu al-Imam al-Ghazali, al-Imam al-Nawawi,
al-Imam al-Rafi’i, Syekh Islam (Zakariya al-Anshari), Ibnu Hajar
al-Haitamy dalam al-Tuhfah, al-Ramli, al-Khatib, dan lainnya. Sedangkan
yang menyatakan haram adalah Ibnu al-Rifa’ah, al-Hulaimy dan al-Qafal
al-Syasyi. Kita berkesimpulan bahwa pendapat makruh mencukur jengggot,
yaitu pendapat al-Ghazali, al-Nawawi, al-Rafi’i, Syekh Islam (Zakariya
al-Anshari), Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Tuhfah, al-Ramli, al-Khatib
merupakan pendapat mu’tamad dalam mazhab Syafi’i karena berdasarkan
kesepakatan ulama Syafi’iyah mutaakhiriin bahwa yang menjadi ikutan
dalam mazhab Syafi’i adalah pendapat yang dipegang oleh al-Nawawi dan
al-Rafi’i, kemudian Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Ramli, Zakariya
al-Anshari, al-Khatib dan kemudian ulama-ulama lainnya yang berada di
bawahnya. Dalam Fathul Mu’in disebutkan :
إعلم أن المعتمد في المذهب للحكم والفتوى ما اتفق عليه الشيخان، فما جزم به النووي فالرافعي فما رجحه الاكثر فالاعلم فالاورع.
Artinya : Ketahuilah bahwa sesungguhnya yang mu’tamad(yang Kuat) dalam
madzhab untuk penetapan hukum dan fatwa adalah apa yang menjadi
kesepakatan dua syaikh (al-Nawawi dan al-Rafi’i), kemudian yang
dipastikan oleh al-Nawawi, kemudian oleh al-Rafi’i, kemudian hukum yang
ditarjih oleh kebanyakan, kemudian yang lebih ‘alim dan kemudian yang
lebih wara’.
Syaikh Al-Bakri al-Dimyathi dalam I’anah al-Thalibin (kitab hasyiah bagi kitab Fathul Mu’in di atas) menjelaskan :
واعلم أنه إذا اختلف كلام المتأخرين عن الشيخين - كشيخ الاسلام وتلامذته -
فقد ذهب علماء مصر إلى اعتماد ما قاله الشيخ محمد الرملي، خصوصا في نهايته،
لانها قرئت على المؤلف إلى آخرها في أربعمائة من العلماء فنقدوها وصححوها.
وذهب علماء حضرموت وأكثر اليمن والحجاز إلى أن المعتمد ما قاله الشيخ أحمد
بن حجر في كتبه، بل في تحفته لما فيها من الاحاطة بنصوص الامام مع مزيد
تتبع المؤلف فيها، ولقراءة المحققين لها عليه الذين لا يحصون، ثم إذا لم
يتعرضا بشئ فيفتي بكلام شيخ الاسلام، ثم بكلام الخطيب، ثم بكلام الزيادي،
ثم بكلام ابن قاسم، ثم بكلام عميرة، ثم بكلام ع ش، ثم بكلام الحلبي، ثم
بكلام الشوبري، ثم بكلام العناني، ما لم يخالفوا أصول المذهب.
Artinya : Ketahuilah bahwa sesungguhnya apabila khilaf(perbedaan
pendapat) kalam muatakhirin mengenai pendapat dua syeikh (al-Nawawi dan
al-Rafi’i) seperti Syeikh Islam(zakariya al-ansory) dan murid-muridnya,
maka ulama Mesir berpegang kepada pendapat yang dipegang oleh Syeikh
Muhammad al-Ramli, terutama dalam kitab al-Nihayah, karena kitab
tersebut sudah dibaca kepada pengarangnya hingga akhirnya pada empat
ratus ulama dimana mereka mengkritik dan mentashihnya. Ulama Hadzramaut
dan kebanyakan ulama Yaman dan Hijaz berpedapat bahwa yang mu’tamad
adalah pendapat Syeikh Ahmad Ibnu Hajar dalam semua kitabnya, bahkan
terutama dalam Tuhfah, karena dalamnya diperhatikan nash-nash imam serta
lebih teliti pengarangnya serta juga karena telah dibaca para ulama
muhaqiqin yang tidak terbatas banyaknya. Kemudian apabila keduanya (Ibnu
Hajar dan al-Ramli) tidak mengemukakan pendapat apapun, maka difatwakan
dengan kalam Syeikh Islam, kalam al-Khatib, al-Ziyadi, Ibnu Qasim,
‘Amirah, ع ش (‘Ali Syibran al-Malusi), al-Halabi, al-Syaubari, dan
kemudian kalam al-‘Inaani, selama mereka itu tidak menyalahi ushul
madzhab.
Hal senada dengan di atas, juga telah dikemukakan oleh Sayyid ‘Alawi bin
Ahmad al-Saqaf(assegaf) dalam kitabnya, al-Fawaid al-Makkiyah dan
al-Faqih al-Muhaqqiq Sayyid Ahmad Miqaari Syumailah al-Ahdal dalam
kitabnya, Sulam al-Muta’allim al-Muhtaj ila ma’rifah Rumuz al-Minhaj dan
lainnya.
Kesimpulan
1. Masalah mencukur jenggot bukanlah merupakan ijmak (kesepakatan) ulama
sebagaimana dakwaan sebagian umat Islam dewasa ini, bahkan hanya
merupakan masalah furu’iyah (cabang pembahasan hukum) dan khilafiyah
(perbedaan pendapat ulama) sehingga tidak boleh sebagian umat Islam
menuduh sesat yang lainnya hanya karena tidak menyetujui pendapatnya.
2. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat haram mencukur jenggot
3. Ulama Malikiyah berpendapat haram mencukur jenggot, namun Qadhi ‘Iyazh salah seorang ulama Malikiyah berpendapat makruh
4. Pendapat kebanyakan dan yang mu’tamad(kuat) di kalangan Syafi’iyah adalah makruh, sebagiannya berpendapat haram.
Bantahan terhadap bebarapa syubhat
1. Mereka mengatakan keharaman mencukur jenggot merupakan ijmak
ulama. Mereka beralasan dengan keterangan sebagai berikut :
a. Keterangan Ibn Hazm dalam kitabnya, Maratib al-Ijma’, sebagai berikut :
واتفقوا أن حلق جميع اللحية مثلة لا تجوز
Artinya : Mereka sepakat bahwa mencukur jenggot merupakan perbuatan mutslah yang tidak dibolehkan.
Bantahan :
Dakwaan Ibn Hazm ini tidak dapat diterima, karena jelas sekali
bertentangan dengan kenyataan bahwa status hukum mencukur jenggot
terjadi khilaf/perbedaan pendapat di antara ulama Islam sebagaimana
terlihat pada penjelasan di atas. Seandainya keterangan Ibn Hazm ini
benar adanya, tentunya ulama besar sekaliber al-imam al-Ghazali,
al-Nawawi, al-Rafi’i, Ibnu Hajar, al-Ramli, Zakariya al-Anshari, Qadhi
‘Iyazh dan al-Khatib tidak akan berfatwa dengan fatwa yang menyalahi
ijma’, apalagi ini bukan hanya difatwa oleh satu orang atau dua orang
ulama, bahkan oleh kebanyakan ulama yang menjadi ikutan dikalangan
pengikut Syafi’i plus Qadhi ‘Iyazh dari kalangan Malikiyah.
Perlu dicatat bahwa Ibn Hazm ini sebagaimana dimaklumi adalah pengikut
Mazhab DZhahiriyah (Abu daud Adzhahiri) dimana fatwanya dalam bidang
agama sering dianggap syadz (ganjil) dan tidak dapat dijadikan sebagai
bahan pertimbangan dalam bab mura’ah (memelihara) khilaf dalam fiqh.
Imam Haramain mengatakan :
ان المحققين لا يقيمون لخلاف اهل الظاهر وزنا
Artinya : Sesungguhnya ulama muhaqqiq tidak menjadi timbangan bagi khilaf Ahlu Zhahir.
Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan :
فَلَوْ فُرِضَ أَنَّ دَاوُد قَائِلٌ بِحِلِّ ذلك لم يُلْتَفَتُ إلَيْهِ على
أَنَّ كَثِيرِينَ من أَصْحَابِنَا مَنَعُوا من تَقْلِيدِهِ كَسَائِرِ
الظَّاهِرِيَّةِ لِأَنَّهُمْ لِإِنْكَارِهِمْ الْقِيَاسَ الْجَلِيَّ
يَرْتَكِبُونَ السَّفْسَافَ من الْآرَاءِ فلم يُعْتَدَّ بِآرَائِهِمْ
Artinya : Seandainya ditaqdirkan bahwa Daud (daud Adzahiri) berpendapat
dengan demikian itu (boleh nikah tanpa wali dan saksi), maka tidak boleh
memperhatikannya karena kebanyakan ashab kita melarang taqlidnya
sebagaimana halnya golongan DZhahiriyah lainnya, karena mereka
mengingkari qiyas jalii (qiyas yang terang) dan mereka dihinggapi
pikiran yang buruk, sehingga tidak diperhitungkan pendapat mereka.
b. Keterangan al-Kamal bin al-Himam dalam kitab Fathul Qadir, sebagai berikut :
وَأَمَّا الْأَخْذُ مِنْهَا وَهِيَ دُونَ ذَلِكَ كَمَا يَفْعَلُهُ بَعْضُ
الْمَغَارِبَةِ وَمُخَنَّثَةُ الرِّجَالِ فَلَمْ يُبِحْهُ أَحَدٌ
Artinya : Adapun memotong jenggot yang panjangnya kurang dari genggaman
sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang Moroko dan para laki-laki
banci, maka tidak seorangpun yang mengatakan mubah.
Bantahan
Perkataan Ibn al-Himam “tidak seorangpun yang mengatakan mubah” bukanlah
harus diartikan dengan haram, tetapi berkemungkinan juga mengandung
pengertian meniadakan mubah, sehingga perkataan tersebut masih
berkemungkinan bermakna yang mencakup makruh dan haram. Pengertian
terakhir ini haruslah menjadi makna dari perkataan tersebut mengingat
banyak ulama-ulama besar dalam madzhab yang berpendapat makruh mencukur
jenggot disamping banyak juga yang berpendapat haram. Dengan demikian
perkataan Ibn al-Himam ini tidak menjadi keterangan bahwa beliau
berpendapat telah terjadi ijma’(kesepakatan Ulama) haram mencukur
jenggot.
2. Mereka mengatakan Imam Syafi’i sendiri mengatakan hukum
mencukur jenggot tidak dibolehkan, alias haram, sebagaimana tersebut
dalam kitab al-Um, yaitu sebagai berikut :
والحلاق ليس بجناية لان فيه نسكا في الرأس وليس فيه كثير ألم وهو وإن كان في اللحية لا يجوز فليس كثير ألم ولا ذهاب شعر لانه يستخلف
Artinya : Mencukur rambut bukanlah jinayat, karena ada ibadah pada
mencukurkan kepala dan juga karena tidak ada rasa sakit yang berlebihan
padanya. Mencukur, meskipun jenggot tidak dibolehkan, namun tidak ada
rasa sakit yang berlebihan dan tidak menyebabkan hilang rambut karena ia
akan tumbuh lagi.
Bantahan
Pernyataan Imam Syafi’i “laa yajuz” di atas, memang dzhahirnya bisa
bermakna haram, tetapi masih berkemungkinan bermakna nafi al-jawaz
al-mustawi baina al-tharfaini (menafikan boleh dengan makna menafikan
sama antara dua sisi perbuatan, yaitu sisi melakukan atau tidak
melakukannya) sehingga perkataan Syafi’i tersebut masih berkemungkinan
bermakna yang mencakup makruh dan haram sebagaimana penjelasan terhadap
perkataan Ibn al-Himam di atas. Mencakup makruh, karena makruh lebih
rajih(unggul) kepada tidak melakukan suatu perbuatan. Penjelasan yang
mirip seperti ini juga pernah dilakukan oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam
mengomentari perkataan al-Hulaimy : “la yahillu zalika” (tidak halal
yang demikian itu, yaitu mencukur jenggot). Al-Haitamy mengatakan :
وَلَا يُنَافِيهِ قَوْلُ الْحَلِيمِيِّ لَا يَحِلُّ ذَلِكَ لِإِمْكَانِ
حَمْلِهِ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ نَفْيُ الْحِلِّ الْمُسْتَوِي
الطَّرَفَيْنِ
Artinya : Perkataan al-Hulaimy “tidak halal yang demikian” tidak
menafikan kemakruhan mencabut dan mencukur jenggot, karena masih mungkin
menempatkan maksudnya itu adalah nafi halal yang sama dua sisi
perbuatan.
Lalu apa arti perkataan Imam Syafi’i “laa yajuz” apakah bermakna haram
atau makruh ?. Keterangan-keterangan di atas menjelaskan kepada kita
bahwa ulama-ulama besar yang menjadi ikutan kalangan pengikut Syafi’i,
kebanyakan mereka memaknai dengan makruh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar