Salah satu syarat harta yang wajib dizakati adalah kepemilikan secara
penuh. Artinya bahwa seseorang memiliki harta tersebut secara penuh,
tidak ada pihak lain yang bersyarikat di dalam hartanya, dan dia secara
bebas menggunakan harta tersebut tanpa ada seorangpun yang
menghalanginya.
Oleh karena itu, harta yang tidak ada kepemilikan secara khusus, tidak
wajib dizakati, seperti : uang negara yang diambil dari zakat atau
pajak, harta rampasan perang dan fa'I, harta wakaf untuk kepentingan
umum, seperti wakaf untuk anak – anak yatim, masjid dan sekolah.
Harta yang tidak ada kepemilikan secara khusus, maka tidak wajib
dizakati, seperti : uang negara hasil zakat atau pajak, harta rampasan
perang dan fa'I, harta wakaf untuk umum seperti untuk anak yatim, masjid
dan sekolah.
Dalil dalam masalah ini adalah :
Pertama : Firman Allah :
وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُومٌ
" Dalam harta mereka ada hak bagian tertentu ( untuk dizakati ) “ (Qs Al Ma'arij : 24 )
Kedua : Firman Allah :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً
" Ambillah dari sebagian harta mereka sebagai pembayaran zakat “ ( Qs At Taubah : 103)
Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa harta yang wajib dizakati adalah harta yang dimiliki secara penuh.
Yang berhak mendapatkan harta Zakat, tanpa membedakan apakah Zakat Mal
(Zakat harta) maupun Zakat Fithri (Zakat yang dikeluarkan khusus di
bulan Ramadhan) adalah delapan golongan ( 8 Ashnaf) yang disebutkan
Allah dalam Al-Quran, yaitu; 1.Fakir 2.Miskin 3.Amil 4.Mu-allaf
5. Untuk Pembebasan budak 6. Ghorim 7.untuk Jihad Fisabilillah, dan
8.Ibnu Sabil. Dalil delapan golongan ini adalah Firman Allah;
{ إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ
عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ
وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ
وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ} [التوبة: 60]
Sesungguhnya Zakat-Zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, Amil (pengurus-pengurus Zakat), Para mu’allaf yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang,
untuk Jihad di jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana (At-Taubah;60)
Jika seseorang diamanahi menyalurkan Zakat Mal, maka penyaluran Zakat
tersebut tidak boleh ditangguhkan baik dengan alasan dihutangkan,
diinvestasikan, maupun semata-mata ditunda. Tidak dibedakan apakah hal
tersebut dilakukan untuk kepentingan pribadi, lembaga, maupun negara.
Semuanya terlarang berdasarkan alasan-alasan berikut;
Pertama; Allah menjelaskan bahwa harta Zakat hanya menjadi hak delapan
Ashnaf. Lafadz إِنَّمَا memberi makna “Hashr” (pembatasan). Harf Lam
pada kata لِلْفُقَرَاءِ adalah Harf yng bermakna “Lam Al-Milki” (Harf
lam yang menunjukkan kepemilikan). Adanya إِنَّمَا Lafadz dan إِنَّمَا
menunjukkan bahwa harta Zakat dibatasi pemanfaatan dan pemberiannya
kepada delapan Ashnaf yang berhak atas harta Zakat itu. Menghutangkan
harta Zakat atau menginvestasikannya bermakna memberikan manfaat harta
tersebut kepada orang yang tidak berhak. Hal ini bermakna tidak
melaksanakan surat At-Taubah ayat; 60 dan itu terlarang. Jika yang
berhutang termasuk delapan Ashnaf, maka dia justru diberi bagian harta
Zakat, bukan dihutangi.
Kedua; membagikan harta Zakat kepada delapan Ashnaf hukumnya wajib, dan
hukum asal pelaksanaan kewajiban adalah dilakukan langsung tanpa
ditunda-tunda selama tidak ada udzur Syar’i. Pelaksanaan kewajiban tanpa
menunda-nunda adalah sifat hamba-hamaba yang shalih sebagaiamana para
Malaikat di langit langsung melaksanakan perintah bersujud kepada Adam
ketika diperintahkan bersujud.
Ketiga; Sunnah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah
membagikan harta Zakat dengan segera tanpa menunda-nunda. Bukhari
meriwayatkan;
صحيح البخاري (5/ 252)
عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ أَنَّ عُقْبَةَ بْنَ الْحَارِثِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُ قَالَ
صَلَّى بِنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعَصْرَ
فَأَسْرَعَ ثُمَّ دَخَلَ الْبَيْتَ فَلَمْ يَلْبَثْ أَنْ خَرَجَ فَقُلْتُ
أَوْ قِيلَ لَهُ فَقَالَ كُنْتُ خَلَّفْتُ فِي الْبَيْتِ تِبْرًا مِنْ
الصَّدَقَةِ فَكَرِهْتُ أَنْ أُبَيِّتَهُ فَقَسَمْتُهُ
Dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa ‘Uqbah bin Al Harits radliallahu ‘anhu
menceritakan kepadanya, katanya: “Nabi Shallallahu’alaihiwasallam shalat
‘Ashar berjama’ah bersama kami. Tiba-tiba Beliau dengan tergesa-gesa
memasuki rumah. Tidak lama kemudian Beliau keluar, dan aku bertanya atau
dikatakan kepada Beliau tentang ketergesaannya itu. Maka Beliau
berkata,: “Aku tinggalkan dalam rumah sebatang emas dari harta Zakat.
Aku tidak mau bila sampai bermalam, maka aku membagi-bagikannya”.
(H.R.Bukhari)
Keempat; Penundaan penyerahan harta kepada orang yang berhak memilikinya
padahal orang yang menyerahkan itu mampu untuk tidak menundanya adalah
kezaliman sebagaimana orang kaya yang menunda membayar hutang padahal
mampu. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda;
صحيح البخاري (8/ 238)
عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ أَخِي وَهْبِ بْنِ مُنَبِّهٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
Dari Hammam bin Munabbih, saudaranya Wahb bin Munabbih bahwa dia
mendengar Abu Hurairah radliallahu ‘anhu berkata; Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Menunda pembayaran hutang bagi orang kaya
adalah kezhaliman”. (H.R.Bukhari)
Orang-orang fakir dan miskin misalnya, jelas membutuhkan harta untuk
memenuhi kebutuhan mereka. Boleh jadi mereka akan kelaparan sehari atau
berhari-hari jika tidak mendapatkan harta. Seandainya harta Zakat
langsung dibagikan, maka mereka akan mampu memenuhi seluruh kebutuhan
mereka. Namun akibat penundaan penyaluran Zakat, boleh jadi penderitaan
mereka bertambah dan semakin parah. Hal ini adalah kezaliman, dan tidak
boleh terjadi. Islam mengharamkan semua bentuk kezaliman baik dalam hal
harta, darah maupun kehormatan.
Kelima; kepercayaan Muzakki (orang yang berzakat) kepada Wakil yang
diserahi menyalurkan Zakat kepada orang-orang yang berhak adalah amanah.
Menunaikan amanah adalah wajib, dan mengkhianatinya hukumnya haram.
Allah berfirman;
{إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا} [النساء: 58]
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,. (An-Nisa; 58)
Allah melarang orang-orang beriman mengkhianati amanah. Allah berfirman;
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ
وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ} [الأنفال: 27]
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan
Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat
yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (Al-Anfal;27)
Dalam ayat yang lain dinyatakan bahwa Allah tidak akan memberi petunjuk makar orang-orang yang berkhianat. Allah berfirman;
{وَأَنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي كَيْدَ الْخَائِنِينَ } [يوسف: 52]
dan bahwasanya Allah tidak memberi petunjuk tipu daya orang-orang yang berkhianat. (Yusuf; 52)
Nabi mensifati khianat terhadap amanah adalah sifat orang Munafik. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (1/ 58)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ
الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ
وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau
bersabda: “Tanda-tanda munafiq ada tiga; jika berbicara dusta, jika
berjanji mengingkari dan jika diberi amanat dia khianat”. (H.R.Bukhari)
Nabi juga mensifati orang yang tidak punya sifat amanah, berarti dia tidak punya iman. Imam Ahmad meriwayatkan;
مسند أحمد (20/ 423)
عَنْ أَنَسٍ قَالَ مَا خَطَبَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِلَّا قَالَ لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ وَلَا
دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَهُ
Dari Anas beliau berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam
sangat jarang menyampaikan kepada kami kecuali perkataan ‘tidak ada iman
bagi orang yang tidak menunaikan amanah, dan tidak ada agama bagi yang
tidak menepati janji. (H.R.Ahmad)
Nabi memerintahkan agar menunaikan amanah, dan jangan membalas
mengkhianati terhadap orang yang mengkhianati. Abu Dawud meriwayatkan;
سنن أبى داود – م (3/ 313)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «
أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
Dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Tunaikanlah amanah kepada orang yang mempercayaimu dan jangan
engkau mengkhianati orang yang mengkhianatimu!” (H.R.Abu Dawud)
Seandainyapun Muzakki (orang yang berzakat) mengizinkan kepada wakil
yang dipercayainya menyalurkan Zakat untuk mengelolanya baik dihutangkan
maupun diinvestasikan, maka hal ini juga tetap terlarang. Hal itu
dikarenakan Zakat adalah hak Allah bukan hak hamba.
Perbedaan hak Allah dengan hak hamba adalah; hak Allah tidak dapat
digugurkan sementara hak hamba bisa digugurkan. Zakat termasuk hak Allah
karena tidak dapat digugurkan meski delapan Ashnaf semuanya tidak ada.
Tapi piutang adalah hak hamba karena bisa digugurkan, yakni ketika
diputihkan. Berbeda halnya jika harta yang disalurkan adalah harta
shodaqoh. Dalam kondisi ini harta bisa dihutangkan atau diinvestasikan
dengan seizin orang yang bershodaqoh. Sebab, shodaqoh hukumnya Sunnah,
tidak wajib sehingga bisa dibatalkan kapanpun diinginkan.
Atas dasar ini, haram menunda penyaluran Zakat termasuk mengelolanya
sebelum disalurkan dengan alasan apapun selama tidak ada udzur Syar’i.
Wallahua’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar