Daging kuda maksudnya ialah daging yang dihasilkan dari kuda yang
disembelih. Daging kuda rasanya agak manis, empuk, rendah lemak, dan
berprotein tinggi. Bentuk dari daging kuda mirip dengan daging sapi,
daging babi juga daging kerbau loh namun daging kuda berwarna merah dan
bebas lemak. Tidak adanya lemak pada daging kuda dibuktikan dengan tidak
adanya asap saat daging dibakar. nah daging kuda ini dianggap tabu
dalam banyak kebudayaan.
Memang benar bahwa di beberapa tempat di negeri kita ada hidangan daging
kuda. Misalnya di Makassar ada sop kuda. Namun sebagian orang masih
merasa risih makan daging kuda, karena umumnya kuda bukan untuk dimakan
melainkan untuk ditunggangi menjadi alat transportasi.
Lalu bagaimana hukum makan daging kuda, halal atau haram?
Dalam hal ini kalau kita telusuri maraji; dan sumber rujukan fiqih dari
kitab-kitab para ulama di masa klasik, kita akan menemukan bahwa para
ulama berbeda pendapat di dalamnya. Sebagian dari mereka menghalalkan
makan daging kuda, namun sebagian lagi malah mengharamkan. Dan di
tengah-tengah ada yang tidak sampai mengharamkan, tetapi juga tidak 100%
membolehkan, jadi hukumnya makruh.
1. Halal
Jumhur ulama dari madzhab Asy-Syafi'iyah, Al-Hanabilah dan sebuah qaul
yang rajih (kuat) dari madzhab Al-Malikyah bersepakat bahwa kuda itu
halal dimakan dagingnya. Sehingga boleh disembelih juga, baik kuda itu
kuda Arab ('irab) atau pun kuda yang bukan Arab (baradzin).
Dalilnya adalah dua hadits nabi berikut ini :
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَال : نَهَى
رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ
لُحُومِ الْحُمُرِ الأَْهْلِيَّةِ ، وَأَذِنَ فِي لُحُومِ الْخَيْل
Dari Jabir radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah SAW pada perang Khaibar
melarang makan daging keledai peliharaan dan mengizinkan untuk makan
daging kuda. (HR. Al-Buhkari dan Muslim)
أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَتْ :
نَحَرْنَا عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَرَسًا فَأَكَلْنَاهُ وَنَحْنُ بِالْمَدِينَةِ
Dari Asma' bin Abu Bakar radhiyallahu anhu berkata,"Kami menyembelih
kuda di zaman Rasulullah SAW, dan kami makan sedangkan kami berada di
Madinah. (HR. Al-Buhkari dan Muslim)
2. Makruh
Sedangkan madzhab Al-Hanafiyah dalam qaul yang rajih (yang lebih kuat)
mengatakan bahwa kuda itu halal, namun dengan karahah tanzih. (kurang
disukai). Hal yang sama juga dikatakan oleh Al-Auza'i dan Abu Ubaid.
Namun begitu mereka tidak menganggap bahwa kuda itu najis, demikian juga
dengan liurnya, mereka tetap mengatakan kuda itu suci, hanya saja
makruh kalau disembelih dan dimakan.
Dalil pendapat ini adalah
1. Di surat An-Nahl ayat 5 sampai 7, Allah menyebutkan tentang Bahimatul
An’am (onta, sapi, dan kambing). Allah sebutkan manfaat yang didapat
oleh manusia dengan binatang itu, termasuk manfaat untuk dimakan.
Kemudian di ayat ke-8 Allah menyebutkan jenis hewan yang lain:
وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً وَيَخْلُقُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Dia menciptakan kuda, bighal (peranakan kuda dengan keledai), dan
keledai, agar bisa kalian tunggangi dan sebagai hiasan. Dia juga
menciptakan makhluk yang tidak kalian ketahui.” (QS. An-Nahl: 8).
Di ayat ke-8 ini Allah tidak menyebutkan fungsi mereka untuk dimakan.
Padahal Allah sebutkan manfaat ‘dimakan’ pada Bahimatul An’am yang
disebutkan di ayat sebelumnya.
Sanggahan:
Berdalil dengan ayat ini untuk menghukumi makruhnya makan daging kuda
adalah menyimpulkan dalil yang kurang tepat. Karena penyebutan fungsi
kuda, bighal, dan khimar untuk dinaiki dan sebagai hiasan, sama sekali
tidak menunjukkan bahwa binatang ini tidak boleh dimanfaatkan untuk yang
lainnya. Disebutkan manfaat ‘bisa tunggangi dan sebagai hiasan’ karena
itulah umumnya manfaat yang diambil dari kuda.
2. Hadis dari Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu,
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن لحوم الخيل والبغال والحمير وكل ذي ناب من السباع
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makan daging kuda,
bighal, khimar, dan semua hewan buas yang bertaring.” (HR. Abu Daud,
An-Nasai, dan Ibn Majah)
Sanggahan:
Hadis ini dinilai dhaif oleh banyak ulama. An-Nawawi dalam al-Majmu’ 9:4 mengatakan,
وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ مِنْ أَئِمَّةِ الْحَدِيثِ وَغَيْرِهِمْ عَلَى أَنَّهُ حَدِيثٌ ضَعِيفٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ مَنْسُوخ
Ulama ahli hadis dan yang lainnya sepakat bahwa hadis ini adalah hadis dhaif. Sebagian ada yang mengatakan: Hadis ini mansukh.
Kemudian an-Nawawi menyebutkan beberapa penilaian ulama tentang hadis ini:
a. Al-Hafidz Musa bin Harus al-Hammal mengatakan:
هَذَا حَدِيثٌ ضَعِيفٌ
“Ini hadis dhaif”
b. Imam Bukhari mengatakan:
هذا الحديث فيه نظر
“Hadis ini sangat dhaif”
c. Al-Baihaqi mengatakan:
هذا إسناد مضطرب , ومع اضطرابه هو مخالف لأحاديث الثقات
“Hadis ini sanadnya goncang. Disamping itu, bertentangan dengan hadis shahih (yang membolehkan makan kuda).”
d. Abu Daud perawi hadis mengatakan:
هذا الحديث منسوخ
“Hadis ini mansukh”
3. Haram
Dan sebagian yang lain dari ulama madzhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa
kuda itu haram dimakan dagingnya. Pendapat yang mengharamkan kuda ini
bagian dari mazhab Abu Hanifah, yaitu lewat jalur periwayatan Al-Hasan
bin Ziyad. Selain juga ada pendapat kedua dari mazhab Al-Malikyah yang
minoritas yang mendukung fatwa ini.
Mereka yang memakruhkan dan mengharamkan daging kuda, berasalan bukan karena daging kuda itu najis, melainkan karena dua hal :
a. Alat Perang
Alasan pertama terkait dengan fungsi fungsi kuda di masa itu lebih utama bukan untuk dimakan, melainkan untuk alat berjihad.
Logikanya, kalau kuda disembelih dan dimakan dagingnya, maka hal itu
dianggap mengurangi kekuatan umat Islam dalam berperang di jalan Allah.
Sebab secara khusus Allah SWT memang memerintahkan untuk mempersiapkan
kuda untuk peperangan, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran :
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْل تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ
Dan persiapkanlah yang kamu mampu dari kekuatan dan kuda-kuda yang
tertambat, dengan itu kamu dapat menakuti musuh Allah dan musuhmu. (QS.
Al-Anfal : 60)
b. Alat Penganguktan dan Perhiasan
Selain untuk perang, di dalam Al-Quran Allah juga mengkhususkan kuda itu
untuk kendaraan atau tunggangan serta perhiasan, sehingga kalau
disembelih dan dimakan dagingnya, seperti melanggar ketentuan Allah SWT.
وَالْخَيْل وَالْبِغَال وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً
Dan kuda, bagal serta keledai, agar kamu menungganginya serta menjadi
perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya. (QS.
An-Nahl : 8)
Pengkhususan kuda untuk dijadikan tunggangan serta perhiasan dalam
pandangan mazhab ini merupakan isyarat yang melarang kuda untuk
disembelih dan dimakan dagingnya. Seandainya boleh dimakan, seharusnya
disebutkan dalam ayat sebagaimana hewan ternak lain.
وَالأَْنْعَامَ خَلَقَهَا لَكُمْ فِيهَا دِفْءٌ وَمَنَافِعُ وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ
Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada yang
menghangatkan dan berbagai-bagai manfa'at, dan sebahagiannya kamu
makan.(QS. An-Nahl : 5)
Dengan demikian tetaplah kehalalan daging kuda. So apakah teman-teman
masih mergukan kehalalannya? Selain itu daging kuda juga banyak
khasiatnya untuk kesehatan manusia. Dengan cara pemotongan, penyimpanan,
hingga cara masak yang benar dapat mempengaruhi rasa dan khasiat daging
kuda. Jadi cara pemotongan secara higienis, penyayatan daging mengikuti
seratnya, dan memasak dengan api sedang agar membuat khasiat dan rasa
daging kuda maksimal loh.
Dalam suatu website diceritakan juga bahwa khasiat daging kuda sendiri
ternyata sangat banyak untuk tubuh manusia, Antara lain menambah
stamina, keperkasaan pria, asma, diabetes, menurunkan kolesterol, dan
menurunkan darah tinggi. Jadi jangan ragu lagi ya
Wallahu a'lam bishshowab
Hukum Keledai piaraan (jinak)
Mayoritas ulama berpendapat bahwa keledai jinak itu haram untuk dimakan.
Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Anas bin Malik,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَهُ جَاءٍ
فَقَالَ أُكِلَتْ الْحُمُرُ ثُمَّ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُكِلَتْ
الْحُمُرُ ثُمَّ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُفْنِيَتْ الْحُمُرُ فَأَمَرَ
مُنَادِيًا فَنَادَى فِي النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ فَإِنَّهَا رِجْسٌ
فَأُكْفِئَتْ الْقُدُورُ وَإِنَّهَا لَتَفُورُ بِاللَّحْمِ
“Seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil
berkata, “Daging keledai telah banyak di konsumsi. ” Selang beberapa
saat orang tersebut datang lagi sambil berkata, “Daging keledai telah
banyak di konsumsi.” Setelah beberapa saat orang tersebut datang lagi
seraya berkata, “Keledai telah binasa.” Maka beliau memerintahkan
seseorang untuk menyeru di tengah-tengah manusia,sesungguhnya Allah dan
Rasul-Nya melarang kalian mengkonsumsi daging keledai jinak, karena
daging itu najis.” Oleh karena itu, mereka menumpahkan periuk yang di
gunakan untuk memasak daging tersebut.” (HR. Bukhari no. 5528 dan Muslim
no. 1940)
Sedangkan keledai liar itu halal untuk dimakan dan hal ini telah menjadi
ijma’ (kesepakatan) ulama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya pun memakannya, sebagaimana terdapat riwayat yang shahih
mengenai hal ini. Abu Qotadah menceritakan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – خَرَجَ حَاجًّا ، فَخَرَجُوا
مَعَهُ فَصَرَفَ طَائِفَةً مِنْهُمْ ، فِيهِمْ أَبُو قَتَادَةَ فَقَالَ
خُذُوا سَاحِلَ الْبَحْرِ حَتَّى نَلْتَقِىَ . فَأَخَذُوا سَاحِلَ
الْبَحْرِ ، فَلَمَّا انْصَرَفُوا أَحْرَمُوا كُلُّهُمْ إِلاَّ أَبُو
قَتَادَةَ لَمْ يُحْرِمْ ، فَبَيْنَمَا هُمْ يَسِيرُونَ إِذْ رَأَوْا
حُمُرَ وَحْشٍ ، فَحَمَلَ أَبُو قَتَادَةَ عَلَى الْحُمُرِ ، فَعَقَرَ
مِنْهَا أَتَانًا ، فَنَزَلُوا فَأَكَلُوا مِنْ لَحْمِهَا ، وَقَالُوا
أَنَأْكُلُ لَحْمَ صَيْدٍ وَنَحْنُ مُحْرِمُونَ فَحَمَلْنَا مَا بَقِىَ
مِنْ لَحْمِ الأَتَانِ ، فَلَمَّا أَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه
وسلم – قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّا كُنَّا أَحْرَمْنَا وَقَدْ
كَانَ أَبُو قَتَادَةَ لَمْ يُحْرِمْ ، فَرَأَيْنَا حُمُرَ وَحْشٍ فَحَمَلَ
عَلَيْهَا أَبُو قَتَادَةَ ، فَعَقَرَ مِنْهَا أَتَانًا ، فَنَزَلْنَا
فَأَكَلْنَا مِنْ لَحْمِهَا ثُمَّ قُلْنَا أَنَأْكُلُ لَحْمَ صَيْدٍ
وَنَحْنُ مُحْرِمُونَ فَحَمَلْنَا مَا بَقِىَ مِنْ لَحْمِهَا .
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama mereka (para sahabat)
berangkat untuk menunaikan haji. Lalu sebagian rombongan ada yang
berpisah, di antaranya adalah Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu. Beliau
berkata, kepada rombongan ini: “Ambillah jalan menyusuri tepi pantai
hingga kita bertemu”. Maka mereka mengambil jalan di tepian pantai.
Ketika mereka hendak berangkat, semua anggota rambongan itu berihram
kecuali Abu Qatadah. Ketika mereka sedang berjalan, mereka melihat ada
seeokor keledai liar. Maka Abu Qatadah menghampiri keledai itu lalu
menyembelihnya yang sebagian dagingnya dibawa ke hadapan kami. Maka
mereka berhenti lalu memakan daging keledai tersebut. Sebagian dari
mereka ada yang berkata: “Apakah kita boleh memakan daging hewan buruan
padahal kita sedang berihram?”. Maka kami bawa sisa daging tersebut.
Ketika mereka berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
mereka berkata: “Wahai Rasulullah, kami sedang berihram sedangkan Abu
Qatadah tidak. Lalu kami melihat ada keledai-keledai liarkemudian Abu
Qatadah menangkapnya lalu menyembelihnya kemudian sebagian dagingnya
dibawa kepada kami, lalu kami berhenti dan memakan dari daging tersebut
kemudian diantara kami ada yang berkata: “Apakah kita boleh memakan
daging hewan buruan padahal kita sedang berihram?”. Lalu kami bawa sisa
dagingnya itu kemari”. Beliau bertanya: “Apakah ada seseorang diantara
kalian yang sedang berihram menyuruh Abu Qatadah untuk memburunya atau
memberi isyarat kepadanya?”. Mereka menjawab: “Tidak ada”. Maka Beliau
bersabda: “Makanlah sisa daging yang ada itu”.” (HR. Bukhari no. 1824
dan Muslim no. 1196
Wallohu A'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar