Akhir-akhir ini, ada semacam trend yang cukup aneh dalam hal konsumsi
makanan. Daging hewan yang beberapa waktu sebelumnya dianggap
menjijikkan, kini malah dijajakan di warung pinggir jalan. Sajian
semacam sate jamu atau rica-rica anjing, sate ular, tokek, kadal dan
bahkan tikus dihidangkan sebagai menu utama. Harganya pun relatif lebih
mahal dari pada daging ayam, bebek atau dara, dikarenakan memang daging
hewan tersebut tidak mudah diperoleh.
Dalam merespon fenomena ini,masyarakat dalam hal ini umat Islam, ada
yang sekedar merasa jijik, ada yang memilih diam dan cuek, ada yang
masih ragu, haramkah hewan tersebut? Dan yang paling memprihatinkan
adalah yang penasaran lalu mencicipi dan akhirnya kesengsem.
Diakui, hukum hewan-hewan tersebut masih samar bagi sebagian besar umat
Islam. Tidak sebagaimana daging babi, yang secara sharih (jelas) di
terangkan dalam Al Qur’an. Sehingga manakala suatu makanan diindikasikan
terkontaminasi babi, umat segera merespon dengan keras. Dalam hal ini,
sensitivitas umat masih cukup tinggi. Meski hal diatas kita nilai masih
menggembirakan, namun menjamurnya penjualan daging hewan-hewan diatas
yang bisa jadi hukumnya tidak jauh berbeda dengan babi, perlu kita
cermati dengan serius.
Disamping itu, terlepas apakah nantinya daging hewan tersebut makruh
atau haram, kita sebagai umat Islam diperintahkan untuk mengkonsumsi
makanan yang tidak hanya halal tapi juga thayyibah. Jadi meski hukumnya
makruh sekalipun, tapi tidak thayyib dan bermanfaat bagi kita sebaiknya
kita tidak mengkonsumsinya.
Allah berfirman :
يَاأَيُّهاَ النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي اْلأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّبًا
وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di
bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan; karena
sesungguhnya syaithan adalah musuh yang nyata bagimu. (QS. 2:168)
Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah
rezkikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman
kepada-Nya. (QS. 5:88)
Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah
kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja
menyembah. (QS. 16:114)
Rasulullah Sholallohu 'Alaihi Wasallam juga bersabda :
“ Sesungguhnya Allah itu thayyib dan tidak menyukai kecuali yang thayyib.” (HR. Bukhari )
Perintah ini tidak lain adalah demi kemaslahatan dan kesehatan umat ,
baik jasmani maupun rohani. Sehat jasmani karena makan yang thayyib
mengandung gizi dan berbagai manfaat. Dan sebaliknya, makanan yang tidak
thayyib (khabits) , meski barangkali ada manfaat namun banyak
mengandung efek samping. Dan sehat secara rohani, karena disamping
sebagai bentuk ketaatan kepada Allah, memakan makanan yang thayib akan
menjauhkan kita dari rasa was-was dan kesan jorok dalam hal makan. Dan
yang paling utma adalah menghindarkan diri dari makanan yang haram,
sebab makanan yangkhobits adalah haram.
Maka ada yang mesti kita jawab dari pertanyaan, apakah statsus hewan
semacam tikus, ular, tokek, biawak, landak, cicak, kodok dan hewan
sejenis? Juga hewan yang biasa dikonsumsi orang awam (baca: kampung)
semisal laron, tawon, lebah, ulat dan lainnya? layak konsumsi dan
thayyibkah daging hewan ini?. Hal ini perlu kita kaji lebih dalam. Jika
ternyata hukumnya makruh, pun kita dianjurkan menjaga diri dari yang
makruh, lalu bagaimana jika ternyata haram?
Dalam makalah ini, tidak akan dibahas hukum hewan diatas satu persatu, namun pembahasan bersifat umum yaitu tentang hasyarat.
Hasyarat
Mengapa kita membahas hasyarat? Sebab dalam terminologi arab, kata ini
bersifat general (umum), mencakup sekian banyak hewan yang telah
disinggung tadi. Jadi, manakala hukum hasyarat telah diketahui, otomatis
status hukum hewan-hewan yang termasuk didalam kategori hasyarat dapat
diketahui pula.
Arti hasyarat dalam bahasa Indonesia adalah serangga, atau dalam istilah
biologi dikenal sebagai hewan invertebrata. Yaitu hewan tak bertulang
belakang, memiliki ciri ; badan terbagi menjadi beberapa segmen :
Kepala (head) dada (thorax) dan perut (abdomen). Ciri-ciri hewan dewasa
memiliki tiga pasang kaki, dua antena dan sepasang sayap. Berkembang
biak dengan larva yang mengalami methamorphosis. Makanannya antara lain
kayu, daun, embun, nectar, darah dan terkadang sabun dan lainnya.
Definisi semisal terdapat dalam kamus Munjid fie Lughah.Contoh:
Kumbang, lebah, kupu, belalang dan lain-lain.
Meski secara bahasa hasyarat bermakna serangga, namun dalam terminologi
Arab hasyarat memiliki cakupan makna yang jauh lebih luas. Dalam Lisanul
Arab disebutkan, Hasyarat adalah hewan bumi, termasuk didalamnya
jerboa, landak, biawak juga hewan melata yang kecil dan lainnya.
Dikatakan pula hasyarat adalah binatang bumi yang tak memiliki nama.
Imam as Sanqity menjelaskan, termasuk hewan khobits (kotor) diantaranya
hasyarat, seperti tikus, ular, kalajengking, tokek, kodok, tikus mondok,
jengkrik, kumbang, kecoa, cacing dan lainnya.
Ibnu Ruslan mengatakan bahwa hasayarat itu seperti biawak, landak, jerboa dan lainnya.
Serangga atau hewan invertebrata sebagaimana dalam terminologi yang kita
kenal juga termasuk hasyarat. Hewan bumi yang kecil-kecil dengan
beragam bentuknya pun bisa dikategorikan hasyarat. Mungkin ada semacam
kekaburan definisi dalam hal ini, namun secara umum hasyarat adalah
hewan-hewan bumi baik yang melata seperti tokek, kadal, cicak, ular,
kalajengking, iguana dan selainnya, maupun yang terbang (serangga
terbang) seperti capung, kumbang, laron, semut terbang, dan sebagainya.
Atau hewan lain semisal tikus, jerboa dan landak. Diantara hewan-hewan
tersebut ada yang telah dijelaskan status halal-haramnya dalam hadits
dengan keterangan para ulama dan ada yang tidak. Adapun yang tidak
dijelaskan dalam hadits maka masuk dalam keumuman hukum hasyarat.
Hukum hasyarat.
Ada dua pendapat yang masyhur yaitu :
Imam as Sanqity berpendapat bahwa hasyarat termasukkhobaits (benda
kotor) yang diharamkan. Beliau menyebutkan beberapa diantaranya : tikus,
ular, kalajengking, hewan melata ; tokek, kadal atau kumbang,
jengkerik, laba-laba,cacing, kecoa dan kodok. Ini adalah pendapat
beliau dalam menafsirkan ayat 157 surat al A’raf.
Imam Al Ghazali menjelaskan bahwa salah satu kaidah pengharaman suatu
jenis hewan adalah istikhbats, yaitu manakala suatu jenis hewan
dianggap kotor (khobits) oleh bangsa Arab semisal semua jenis hasyarat,
kodok, kepiting air tawar, kura-kura kecuali belalang dan biawak, maka
hukumnya haram.
Hasyarat secara umum adalah khobits baik yang melata seperti tokek, ular
dan cicak maupun yang terbang seperti capung, lalat ataupun semut
terbang.
Jumhur Ulama’ sepakat akan keharaman hewan-hewan ini karena termasuk
khobaits. Diantaranya adalah Imam Syafi’i. Abu Hanifah, Ahmad, Abu
Syihab dan Urwah juga Abu Daud.
Tokek atau Cecak
Tokek atau cecak juga termasuk jenis hewan fawasiq, walaupun tidak
disebutkan di dalam hadits-hadits di atas. Namun ada beberapa hadits
lainnya yang menyebutkan bahwa hewan itu termasuk fawasiq, dan oleh
karena itu hukumnya juga haram dimakan.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَسَمَّاهُ فُوَيْسِقًا
Bahwa Nabi SAW memerintahkan untuk membunuh cecak atau tokek, dan beliau dinamakan fuwaisiq. (HR. Muslim)
Secara harfiyah makna fuwaisiq adalah binatang jahat yang kecil.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله مَنْ قَتَلَ وَزَغَةً
فِيْ أَوَّلِ ضَرْبَةٍ فَلَهُ كَذَا وَكَذَا حَسَنَةٌ وَمَنْ قَتَلَهَا
فِيْ الضَّرْبَةِ الثَّانِيَةِ فَلَهُ كَذَا وَكَذَا حَسَنَةٌ لِدُوْنِ
الْأُوْلَى وَإِنْ قَتَلَهَا فِيْ الضَّرْبَةِ الثَّالِثَةِ فَلَهُ كَذَا
وَكَذَا حَسَنَةٌ لِدُوْنِ الثَّانِيَةِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu berkata,”Siapa yang membunuh cecak
atau tokek pada pukulan pertama maka dia akan mendapatkan pahala sekian
dan sekian, dan barang siapa yang membunuh cecak atau tokek pada pukulan
yang kedua maka dia akan mendapatkan kebaikan sekian-dan sekian di
bawah kebaikan yang pertama, dan barang siapa yang membunuhnya pada
pukulan ketiga maka dia akan mendapatkan kebaikan sekian dan sekian di
bawak kebaikan yang kedua.” (HR. Muslim)
Dari Ummu Syarik radhiallahu ‘anha bahwa Nabi SAW memerintahkan untuk
membunuh cicak. Beliau menyatakan, “Dahulu, cicak yang meniup dan
memperbesar api yang membakar Ibrahim.” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa para ulama sepakat bahwa cicak/tokek termasuk hewan kecil yang mengganggu.”
Al-Munawi mengatakan bahwa Allah memerintahkan untuk membunuh
cicak/tokek karena hewan itu memiliki sifat yang jelek, yaitu konon
dahulu hewan inilah yang meniup-niup api yang membakar Ibrahim sehingga
menjadi besar.”
Cecak Atau Tokek?
Tokek dalam bahasa Arab disebut dengan kata Saamm Abrash. Nama ilmiahnya
Gecko gekko. Binatang ini masih satu famili dengan cicak ( Arab :
al-wazagh ), yaitu famili Geckonidae. Nama ilmiah cicak Cosymbotus
platyurus. Sedangkan cecak dalam bahasa Arab disebut dengan sihliyah
(سحلية).
Tiga dalil hadits di atas diterjemahkan dengan agak ragu, atas makna
wazagh (وَزَغ), sehingga dituliskan menjadi cecak atau tokek. Sebagian
kalangan menterjemahkannya sebagai cecak, namun sebagian lagi
menterjemahkan sebagai tokek.
Lalu mana yang benar, apakah yang dimaksud itu cecak, tokek atau memang keduanya?
Pendapat Pertama : Cecak dan Tokek Sama Haramnya
Sebagian ulama menganggap tokek dan cicak masih satu jenis, sehingga
hukum tokek sama dengan hukum cicak, yaitu haram. Imam Nawawi berkata,
bahwa menurut ahli bahasa Arab, cicak (al-wazagh) masih satu jenis
dengan tokek ( saam abrash ), karena tokek adalah cicak besar.
Pengarang kitab Aunul Ma’bud menerangkan bahwa, “Cicak itu ialah binatang yang dapat disebut juga tokek.
Imam Syaukani berkata bahwa tokek adalah salah satu jenis cicak dan merupakan cicak besar.
Syihabuddin Asy-Syafii dalam kitabnya, At-Tibyan limaa Yuhallal wa
Yuharram min al-Hayaman, mengatakan bahwa berdasarkan penjelasan di
atas, hukum haramnya cicak dapat juga diterapkan pada tokek, karena
cicak dan tokek dianggap satu jenis. Maka tokek pun hukumnya haram.
Pendapat Lainnya
Sementara sebagian pendapat mengatakan bahwa yang diharamkan itu tokek
dan bukan cecak. Sebab makna wazagh lebih lebih tepat diartikan sebagai
tokek dan bukan cecak. Bahasa Arabnya cecak adalah sihliyah (سحلية).
Hukum Memakan Tikus
Para ulama sepakat untuk memasukkan tikus ke dalam hewan yang haram
dimakan dengan dalil bahwa tikus termasuk hewan fawasiq. Rasulullah SAW
menamakan beberapa hewan dengan sebutan fawasiq (فواسق), yang asalnya
dari kata fisq. Al-Fisq secara bahasa berarti :
الْخُرُوجُ عَنِ الاِسْتِقَامَةِ
Keluar dari garis yang lurus
Maksudnya keluar dari garis yang telah ditetapkan dalam syariah Islam.
Maka orang yang melakukan dosa besar disebut sebagai fasik. Hewan-hewan
yang disebut sebagai fawasiq oleh Rasulullah SAW adalah merupakan bentuk
meminjam istilah (isti'arah), karena hewan-hewan tersebut termasuk
banyak memberikan masalah, madharat dan juga berbahaya.
Hewan-hewan yang disebut oleh Rasulullah SAW sebagai fawasiq inilah yang
kita mendapatkan perintah dari beliau SAW untuk membunuhnya. Dan
konsekuensinya adalah bahwa kita diharamkan untuk memakannya. Hal itu
sebagaimana disebutkan dengan tegas di dalam hadits-hadits berikut ini :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ قَالَ خَمْسُ
فَوَاسِق يُقْتَلْنَ فِي الْحِل وَالْحَرَمِ : الْحَيَّةُ وَالْغُرَابُ
الأْبْقَعُ وَالْفَأْرَةُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ وَالْحُدَيَّا
Dari Aisyah radhiyallahuanha, Rasulullah SAW bersabda," “Lima binatang
jahat yang boleh dibunuh, baik di tanah halal atau tanah haram : ular,
burung gagak, tikus, anjing hitam dan burung buas. (HR. Muslim)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ قَالَ خَمْسٌ
فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِي الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ وَالْعَقْرَبُ
وَالْحُدَيَّا وَالْغُرَابُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ
Dari Aisyah radhiyallahuanha, Rasulullah SAW bersabda," “Lima binatang
jahat yang boleh dibunuh di tanah haram: tikus, kalajengking, burung
buas, gagak, dan anjing hitam. (HR. Bukhari Muslim)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ قَالَ أَرْبَعٌ
كُلُّهُنَّ فَاسَقٌ يُقْتَلْنَ فيِ الحَلِّ وَالحَرَمِ : الْحِدَأَةُ
وَالْغُرَابُ وَالْفَأْرَةُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ " قَالَ : فَقُلْتُ
لِلْقَاسِمِ : أَفَرَأَيْتَ الْحَيَّةَ ؟ قَالَ : " تُقْتَلُ بِصُغْرٍ
لَهَا
Dari Aisyah radhiyallahuanha, Rasulullah SAW bersabda," “Empat binatang
jahat yang boleh dibunuh, baik di tanah halal atau tanah haram : burung
buas, gagak, tikus dan anjing hitam.(HR. Muslim)
Mazhab Al-Hanafiyah tidak membedakan apakah tikus itu termasuk tikus
liar yang merusak dan merugikan, ataukah tikus peliharaan. Keduanya
masuk dalam hewan fawasiq yang harus dibunuh.
Demikian juga dengan pendapat Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari. Setelah
menyebutkan berbagai macam jenis tikus, beliau mengatakan bahwa semuanya
termasuk bagian dari hewan fawasiq yang harus dibunuh.
Tikus banyak disifati dengan kejelekan dalam banyak nash. Bahkan, Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam memasukkan tikus dalam klasifikasi
binatang fasiq sebagaimana sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
خَمِّرُوا الْآنِيَةَ، وَأَجِيفُوا الْأَبْوَابَ، وَأَطْفِئُوا
الْمَصَابِيحَ، فَإِنَّ الْفُوَيْسِقَةَ رُبَّمَا جَرَّتِ الْفَتِيلَةَ،
فَأَحْرَقَتْ أَهْلَ الْبَيْتِ
“Tutuplah bejana-bejana dan pintu-pintu kalian, serta matikanlah
lampu-lampu kalian, karena tikus (al-fuwaisiqah) kadangkala akan menarik
sumbu lampu sehingga mengakibatkan kebakaran yang menimpa para penghuni
rumah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3316 & 6295, Muslim no.
2012, At-Tirmidziy no. 1812, dan yang lainnya].
خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: الْحَيَّةُ
وَالْغُرَابُ الْأَبْقَعُ وَالْفَأْرَةُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ
وَالْحُدَيَّا
“Ada lima jenis binatang fasik yang boleh diboleh dibunuh di luar tanah
haram maupun di tanah haram, yaitu : ular, burung gagak, tikus, anjing
yang suka menggigit, dan burung elang” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 1829 & 3314, Muslim no. 1198, At-Tirmidziy no. 837, An-Nasaa’iy
no. 2829, dan yang lainnya].
Dalam satu riwayat, tikus merupakan binatang yang diubah sebagaimana riwayat:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " فُقِدَتْ أُمَّةٌ مِنْ بَنِي
إِسْرَائِيلَ لَا يُدْرَى مَا فَعَلَتْ وَإِنِّي لَا أُرَاهَا إِلَّا
الْفَارَ إِذَا وُضِعَ لَهَا أَلْبَانُ الْإِبِلِ لَمْ تَشْرَبْ، وَإِذَا
وُضِعَ لَهَا أَلْبَانُ الشَّاءِ شَرِبَتْ فَحَدَّثْتُ كَعْبًا، فَقَالَ:
أَنْتَ سَمِعْتَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُهُ؟،
قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: لِي مِرَارًا، فَقُلْتُ: أَفَأَقْرَأُ التَّوْرَاةَ
"
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam, beliau berkata : “Satu umat dari Bani Israaiil telah hilang
dan tidak diketahui apa yang telah dilakukan oleh mereka. Sesungguhnya
aku tidak melihatnya kecuali mereka telah dijelmakan dalam bentuk tikus,
yang apabila mereka disuguhi susu unta, mereka tidak meminumnya, dan
bila diberi susu kambing, mereka meminumnya”. Kemudian aku ceritakan hal
ini kepada Ka'ab, maka ia berkata : “Apakah engkau mendengar Nabi
shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda seperti itu?”. Aku jawab : “Ya”.
Ia bertanya kepadaku berkali-kali hingga akhirnya aku katakan kepadanya
: “Apakah perlu aku bacakan kitab Taurat ?” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no.].
Tentang hukum makan dagingnya, berikut sebagian perkataan ulama madzhab:
Ad-Dasuuqiy Al-Maalikiy rahimahullah berkata:
وَاَلَّذِي فِي كِتَابِ الطَّهَارَةِ مِنْ التَّوْضِيحِ أَنَّ فِي
الْفَأْرِ وَالْوَطْوَاطِ ثَلَاثَةَ أَقْوَالٍ ، وَأَنَّ الْقَوْلَ
بِالتَّحْرِيمِ هُوَ الْمَشْهُورُ وَنَقَلَهُ ، وَذُكِرَ عَنْ ابْنِ رُشْدٍ
أَيْضًا أَنَّهُ اسْتَظْهَرَ التَّحْرِيمَ
“Yang terdapat dalam kitab Ath-Thaharah minat-Taudliih, tentang tikus
dan wathwaath (sejenis kelelawar) ada tiga pendapat. Pendapat yang
menyatakan keharaman adalah masyhur dan Penulis menukilnya. Dan
disebutkan juga dari Ibnu Rusyd bahwasannya iaberhati-hati dalam
pengharaman” [Haasyiyyah Ad-Dasuuqiy, 6/333].
Ibnu Qudaamah Al-Hanbaliy rahimahullah berkata:
وَلَنَا ، قَوْله تَعَالَى { : وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمْ الْخَبَائِثَ }
وَقَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { خَمْسٌ
فَوَاسِقُ ، يُقْتَلْنَ فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ ؛ الْعَقْرَبُ ،
وَالْفَأْرَةُ ، وَالْغُرَابُ ، وَالْحِدَأَةُ ، وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ } .
وَفِي حَدِيثٍ : " الْحَيَّةُ " مَكَانَ : " الْفَأْرَةِ " .
وَلَوْ كَانَتْ مِنْ الصَّيْدِ الْمُبَاحِ ، لَمْ يُبَحْ قَتْلُهَا ،
وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ : { لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ
حُرُمٌ } .
وَقَالَ : { وَحَرَّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدَ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا } .
وَلِأَنَّهَا مُسْتَخْبَثَةٌ ، فَحُرِّمَتْ ، كَالْوَزَغِ أَوْ مَأْمُورٌ بِقَتْلِهَا ......
“Dan bagi kami, dalilnya adalah firman Allahta’ala : ‘dan mengharamkan
bagi mereka segala yang buruk’ (QS. Al-A’raaf : 157), dan sabda Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Ada lima binatang fasiq yang boleh
dibunuh di tanah halal dan tanah haram, yaitu kalajengking, tikus,
burung gagak, rajawali, dan anjing yang suka menggigit’. Dalam hadits
yang lain disebutkan ‘ular’ sebagai pengganti ‘tikus’. Seandainya hewan
tersebut termasuk hewan buruan yang diperbolehkan (untuk memakannya),
tentu tidak akan diperbolehkan untuk membunuhnya karena Allah
ta’alaberfirman : ‘Janganlah engkau membunuh hewan buruan ketika engkau
dalam keadaan ihram’ (QS. Al-Maaidah : 95). ‘Dan diharamkan atasmu
(menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram’ (QS.
Al-Maaidah : 96). Dikarenakan hewan tersebut merupakan hewan yang
khabiits, maka diharamkan seperti halnya wazagh (sejenis tokek) atau
binatang yang yang diperintahkan untuk membunuhnya…..” [Al-Mughniy,
11/65].
Sebagaimana disinggung oleh Ibnu Qudaamah rahimahullah di atas, para
ulama telah menjelaskan satu kaedah bahwa binantang yang disyari’atkan
untuk membunuhnya haram untukdimakan.
Al-Baihaqiy rahimahullah berkata :
قال أصحابنا : فالذي أمر بقتله في الحل والحرم يحرم أكله ، والذي نهى عن قتله يحرم أكله.........
“Telah berkata shahabat-shahabat kami (ulama Syaafi’iyyah) : Hewan yang
diperintahkan untuk dibunuh di tanah haram ataupun halal, maka
diharamkan untuk memakannya. Begitu puga hewan yang dilarang untuk
membunuhnya, terlarang pula untuk memakannya…..” [Ash-Shughraa, 8/294].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
ما أمر بقتله من الحيوانات فأكله حرام
“Semua hewan yang diperintahkan untuk membunuhnya, haram dimakan” [Al-Majmuu’, 9/22].
Pendalilan keharaman daging tikus dari sisi ini sangat kuat. Selain itu,
beberapa ulama memasukkan tikus dalam jenis hewan yangkhabiits (kotor).
‘Alaauddiin As-Samarqandiy Al-Hanafiyrahimahullah berkata:
أما ما ليس له دم سائل - فكله حرام إلا الجراد، مثل الذباب، والزنبور وسائر
هوام الارض وما يدب عليها وما يكون تحت الارض من الفأرة واليربوع والحيات
والعقارب، لانها من جملة الخبائث
“Adapun hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir, semuanya
diharamkan - kecuali belalang - seperti misal lalat, kumbang, seluruh
hewan berbisa di bumi, hewan melata, dan hewan yang ada di atas
permukaan bumi dari jenis tikus, yarbuu’[3], ular, dan kalajengking;
karena termasuk khabiits” [Tuhfatul-Fuqahaa’, 3/64].
Allah ta’ala berfirman:
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“Dan Allah menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan
bagi mereka segala yang buruk (khabiits)” [QS. Al-A’raaf : 157].
Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
وقال بعض العلماء: كل ما أحل الله تعالى، فهو طيب نافع في البدن والدين، وكل ما حرمه، فهو خبيث ضار في البدن والدين
“Sebagian ulama berkata : segala sesuatu yang dihalalkan Allah ta’ala,
maka itu baik bagi badan dan agama; sedangkan segala sesuatu yang
diharamkan-Nya, maka itu buruk dan membahayakan badan dan agama”
[Tafsiir Ibni Katsiir, 3/488].
Kesimpulan : Tikus haram hukumnya untuk dimakan. Inilah pendapat jumhur ulama’.
Wallohu A'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar