Pembahasan tentang Isbal dalam berbagai tulisan dan ceramah kadang
disampaikan dengan cara yang membuat tercetaknya kesan yang kurang tepat
dibenak kaum muslimin. Banyak yang menyangka bahwa semua ulama dalam
berbagai zaman telah bersepakat satu hukum dalam topik ini. Bagi
kalangan awam, hal ini bisa menimbulkan fitnah, paling tidak dalam cara
penyikapan terhadap saudara sesama muslim yang cenderung “semena-mena”
ketika melihat mereka berbeda dengan apa yang difahami. Oleh karena itu
menjadi hal yang bermanfaat-Insya Allah- memaparkan seputar topik ini
dengan pembahasan yang diusahakan sedekat mungkin dengan obyektifitas
dan cara pembahasan yang ilmiah. Mudah-mudahan kaum Muslimin
terinspirasi untuk lebih bersemangat dalam Tafaqquh Fiddin dan
mengamalkan Islam dengan cara yang paling prima.
Pembahasan
Melakukan Isbal bagi lelaki Muslim, yakni mengulurkan pakaian melebihi
mata kaki hukumnya Mubah selama tidak disertai kesombongan tanpa
membedakan apakah pakaian itu berupa gamis, sarung, celana, Jarit, Izar
(seperti yang dipakai saat Ihram) dan sebagainya. Adapun jika Isbal itu
disertai sombong, maka hukumnya Haram yang keharamannya berlaku bukan
hanya pada Isbal pakaian tetapi pada semua penggunaan asesoris tubuh
yang memicu kesombongan.
Argumentasi yang menunjukkan bahwa Isbal yang tanpa disertai kesombongan hukumnya Mubah adalah hal-hal berikut;
Pertama; Nash-Nash yang melarang Isbal disertai keterangan yang menjadi
penyebab dilarangnyaIsbal yaitu kesombongan. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (18/ 91)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا
يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Pada hari kiamat kelak, Allah tidak akan melihat orang yang
menyeret kain sarungnya karena sombong.” (H.R.Bukhari)
dalam riwayat lain lafadznya berbunyi;
صحيح البخاري (11/ 304)
عَنْ الزُّهْرِيِّ أَخْبَرَنِي سَالِمٌ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ حَدَّثَهُ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَيْنَمَا
رَجُلٌ يَجُرُّ إِزَارَهُ مِنْ الْخُيَلَاءِ خُسِفَ بِهِ فَهُوَ
يَتَجَلْجَلُ فِي الْأَرْضِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Dari Az Zuhriy ,telah mengabarkan kepadaku Salim bahwa Ibnu ‘Umar
radliallahu ‘anhuma bercerita bahwa Nabi Shallallu ‘alaihi wa salam
besabda: “Ada seorang laki-laki yang ketika dia menyeret pakaiannya
karena kesombongan, ia dibenamkan ke dasar bumi, dan orang itu terus
meronta-ronta hingga hari qiyamat”.(H.R.Bukhari)
dalam riwayat Ahmad lafadznya berbunyi;
مسند أحمد (31/ 202)
عَنْ هُبَيْبِ بْنِ مُغْفِلٍ الْغِفَارِيِّ
أَنَّهُ رَأَى مُحَمَّدًا الْقُرَشِيَّ قَامَ يَجُرُّ إِزَارَهُ فَنَظَرَ
إِلَيْهِ هُبَيْبٌ فَقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ وَطِئَهُ خُيَلَاءَ وَطِئَهُ فِي النَّارِ
Dari Hubaib bin Mughfil salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ’alaihi
wasallam, dia melihat seorang laki-laki yang menyeret kainnya sampai
kebelakangnya dan menginjaknya. Dia berkata; Maha Suci Allah, Saya
pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang menginjak kainnya karena sombong, dia akan
menginjaknya di Neraka”. (H.R.Ahmad)
Riwayat-riwayat ini dan yang semakna dengannya menunjukkan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang Isbal karena ada
sebabnya yaitu kebiasaan sebagian orang yang mengulurkan dan menyeret
pakaiannya karena angkuh nan sombong. Mafhumnya (makna implisitnya),
jika Isbal tersebut dilakukan tidak karena sombong berarti tidak terkena
celaan dan tidak termasuk ke dalam ancaman. Dengan kata lain Lafadz
بَطَرًا (keangkuhan) dan خُيَلَاءَ (kesombongan) dalam riwayat-riwayat
di atas menjadi Qoid (pengikat) dari syariat larangan Isbal. Selama Qoid
tersebut ada, maka hukum berlaku, dan jika Qoid tersebut tidak ada,
maka hukum larangan Isbal tidak bisa diterapkan. Lafadz بَطَرًا dan
خُيَلَاءَ sama dengan lafadz خَطَأً dalam firman Allah berikut ini ;
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ } [النساء: 92]
Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tidak sengaja (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang
diserahkan kepada keluarganya (An-Nisa; 92)
Artinya, pada kasus pembunuhan, hukum kewajiban membebaskan budak
mukmin dan membayar diyat hanya berlaku jika pembunuhan tersebut
terealisasi sifat خَطَأً (yakni dilakukan secara tidak sengaja). Jika
pembunuhan tersebut disengaja, maka hukuman membebaskan budak dan
membayar diyat tidak dapat diterapkan. Dalam masalah Isbal juga
demikian. Jika terealisasi sifat sombong maka hukum larangan Isbal
berlaku, namun jika tidak terealisasi sifat sombong maka hukum larangan
Isbal tidak dapat diterapkan.
Contoh lain adalah lafadz ظُلْمًا dalam ayat berikut;
{إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا
يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا} [النساء: 10]
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk
ke dalam api yang menyala-nyala (Neraka). (An-Nisa; 10)
Maknanya, orang yang terancam memakan api di Neraka dalam perut-perut
mereka adalah orang-orang yang memakan harta anak yatim secara ظُلْمًا
(zalim). Mafhumnya, jika harta anak yatim itu dimakan dengan cara yang
tidak zalim, misalnya karena pemberian sukarela dari anak yatim
tersebut, maka orang tersebut tidak terkena ancaman. Hal yang sama
berlaku pada Isbal. Jika Isbalnya dilakukan dengan cara sombong, maka
pelakunya terkena ancaman, namun jika dilakukan bukan karena sombong
misalnya yang Isbal para petani yang pergi ke sawah, maka orang tersebut
tidak terkena ancaman.
Demikianlah. Ringkasnya; Nash-Nash yang menunjukkan larangan Isbal
adalah Nash-Nash yang disertai Qoid (pengikat) hukum. Dengan kata lain ,
Nash-Nashnya termasuk Nash Muqoyyad (Nash terikat). Semua Nash Muqoyyad
diterapkan sesuai dengan Qoidnya dan dibatasi pelaksanaan hukumnya pada
Qoid yang disebutkan.
Yang menguatkan kesimpulan ini adalah adanya Nash yang melarang makan,
minum, berpakaian, dan bersedekah disertai kesombongan. Nash yang
seperti ini menunjukkan bahwa perhatian, celaan, larangan, dan ancaman
Syara semuanya itu diarahkan pada aspek kesombongannya bukan
semata-mata masalah mengulurkan pakaiannya. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (18/ 81)
وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُوا وَاشْرَبُوا
وَالْبَسُوا وَتَصَدَّقُوا فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا مَخِيلَةٍ وَقَالَ
ابْنُ عَبَّاسٍ كُلْ مَا شِئْتَ وَالْبَسْ مَا شِئْتَ مَا أَخْطَأَتْكَ
اثْنَتَانِ سَرَفٌ أَوْ مَخِيلَةٌ
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Makan dan minumlah kalian,
dan kenakanlah (pakaian) serta bersedekahlah tanpa berlebih-lebihan dan
kesombongan.” Ibnu Abbas berkata, “Makanlah apa yang engkau mau,
kenakanlah apa yang engkau mau, (H.R.Bukhari)
Ibnu Umar juga pernah menolak memakai pakaian yang terbuat dari kapas karena khawatir diselinapi kesombongan.
روى الإمام الذهبي بإسناده إلى هلال بن خباب عن قزعة قال : رأيت على ابن
عمر ثيابا خشِنة أو جَشبة ، فقلت له : إني قد أتيتك بثوب لَـيِّن مما
يُصْنَع بخراسان وتَقَرّ عيناي أن أراه عليك . قال : أرنيه ، فلمسه ، وقال :
أحرير هذا ؟ قلت : لا ، إنه من قطن . قال : إني أخاف أن ألبسه ، أخاف أكون
مختالا فخورا ، ( وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ ) .
Imam adz-Dzahabi meriwayatkan dengan sanadnya hingga Hilal bin Khabab
dari Qoza’ah yang berkata, “Aku melihat ibnu Umar mengenakan
pakaian-pakaian yang kasar. Lalu aku berkata kepadanya, ‘Aku datang
kepadamu dengan membawa pakaian yang halus, yang diproduksi di Khurasan.
Dan kurasa aku akan merasa senang jika melihatmu mengenakannya.’ Ia
berkata, ‘Perlihatkan kepadaku.’ Lalu ia menyentuhnya dan bertanya,
‘Suterakah ini?’ Kujawab, ‘Bukan, ini dari kapas.’ Ibnu Umar berkata,
‘Sungguh aku takut untuk memakainya, aku takut menjadi orang yang angkuh
dan menyombongkan diri.’” (Siyar A’lam Nubala’)
Riwayat ini juga menunjukkan bahwa perhatian shahabat dalam masalah
berpakaian diantaranya yang terpenting adalah penggunaannya yang membuat
hati terselipi rasa sombong.
Kedua; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri melakukan Isbal
Sejumlah riwayat menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam sendiri pernah berisbaldan menyeret pakaiannya. Bukhari
meriwayatkan;
صحيح البخاري (18/ 85)
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
خَسَفَتْ الشَّمْسُ وَنَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَامَ يَجُرُّ ثَوْبَهُ مُسْتَعْجِلًا حَتَّى أَتَى
الْمَسْجِدَ وَثَابَ النَّاسُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ فَجُلِّيَ عَنْهَا
ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا وَقَالَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ
مِنْ آيَاتِ اللَّهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَصَلُّوا
وَادْعُوا اللَّهَ حَتَّى يَكْشِفَهَا
Dari Abu Bakrah radliallahu ‘anhu dia berkata; “Ketika kami berada di
samping Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba terjadi gerhana
Matahari, maka beliau segera berdiri menuju masjid, dan menyeret
pakaiannya karena tergesa-gesa hingga tiba di masjid. Lalu orang-orang
pun segera berdiri di sisinya dan beliau mengerjakan shalat dua rakaat.
Setelah matahari terang, beliau berkhutbah di hadapan kami seraya
bersabda: “Matahari dan bulan tidak mengalami gerhana karena kematian
atau kelahiran seseorang, tetapi keduanya merupakan tanda diantara
tanda-tanda kebesaran Allah. Jika kalian melihat kedua gerhana tersebut,
maka shalatlah dan berdoalah hingga gerhana tersingkap dari kalian
(nampak kembali).” (H.R.Bukhari)
Dalam riwayat Ibnu majah juga terdapat kisahIsbalnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ibnu Majah meriwayatkan;
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْنِ قَالَ
سَلَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ثَلَاثِ
رَكَعَاتٍ مِنْ الْعَصْرِ ثُمَّ قَامَ فَدَخَلَ الْحُجْرَةَ فَقَامَ
الْخِرْبَاقُ رَجُلٌ بَسِيطُ الْيَدَيْنِ فَنَادَى يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَقَصُرَتْ الصَّلَاةُ فَخَرَجَ مُغْضَبًا يَجُرُّ إِزَارَهُ فَسَأَلَ
فَأُخْبِرَ فَصَلَّى تِلْكَ الرَّكْعَةَ الَّتِي كَانَ تَرَكَ ثُمَّ
سَلَّمَ ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ
Dari Imran Ibnul Hushain ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam pernah salam pada raka’at ketiga dalam shalat ashar, lalu
beliau berdiri dan masuk kamar. Maka berdirilah Al Khirbaq, seorang
laki-laki yang tangannya lebar, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah
shalatnya diringkas?” beliau pun keluar dan marah sambil menyeret kain
sarungnya, beliau bertanya tentang hal itu hingga beliau diberitahu
tentang hal itu. Kemudian beliau melaksanakan raka’at yang tertinggal
lalu salam, kemudian beliau sujud dua kali dan salam kembali. “(H.R.Ibnu
Majah)
Mustahil Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melakukan Isbal -meski
hanya sekali- jika Isbalhukumnya haram secara mutlak. Seandainya
Isbalmemang haram secara mutlak sebagaimana haramnya berzina atau
mencuri, maka satu kalipun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
tidak akan pernah melakukannya karena seluruh Nabi Ma’shum (terjaga dari
dosa). Isbal yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
menunjukkan bahwa larangan Isbal itu tidak mutlak, tetapi Muqoyyad
(diikat kondisi tertentu) yaitu kesombongan. ArtinyaIsbal hukumnya haram
jika dilakukan karena sombong, tetapi tidak haram jika dilakukan tidak
karena sombong sebagaimana Isbal yang dilakukan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam.
Seandainyapun ada yang memahami bahwa IsbalRasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam adalah dalam kondisi khusus yaitu dalam kondisi Faza’
(takut) seperti Isbal beliau saat terjadi gerhana matahari, atau dalam
kondisi Ghodhob (marah) seperti Isbalbeliau saat peristiwa shalat kurang
rakaatnya, maka kesimpulan itu justru semakin menguatkan bahwaIsbal
tanpa sombong tidak haram. Karena takut dan marah bermakna selain
kesombongan. Ketika Nabi melakukan Isbal bukan karena sombong misalnya
saat takut dan saat marah, maka Isbal demikian hukumnya Mubah dan tidak
tercakup dalam laranganIsbal karena sombong.
Ketiga; Taqrir (sikap diam) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terhadap Isbal Abubakar.
Terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam mendiamkan Abubakar melakukan Isbal. Bukhari meriwayatakan;
صحيح البخاري (11/ 500)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ
ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا
أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ
Dari Abdullah bin ‘Umar radliallahu ‘anhu berkata; Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang menyeret pakaiannya
karena kesombongan maka Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari
qiyamat”. Kemudian Abu Bakr berkata; “Sesungguhnya sebelah dari
pakaianku terjulur kecuali bila aku memeganginya (mengangkatnya) “. Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Sesungguhnya kamu
melakukan itu bukan bermaksud sombong”.(H.R.Bukhari)
Riwayat lain berbunyi;
صحيح البخاري (18/ 84)
عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ جَرَّ
ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
قَالَ أَبُو بَكْرٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ إِزَارِي
يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ
Dari Salim bin Abdullah dari Ayahnya radliallahu ‘anhu dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Siapa yang menyeret
pakaiannya (hingga ke bawah mata kaki) dengan sombong, maka Allah tidak
akan melihatnya pada hari Kiamat kelak.” Lalu Abu Bakar berkata; “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya salah satu dari sarungku terkadang turun
sendiri, kecuali jika aku selalu menjaganya?” lalu Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Engkau bukan termasuk orang yang melakukan
hal itu karena sombong.” (H.R.Bukhari)
Dalam riwayat di atas, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mencela
dan mengancam orang yang menyeret pakaiannya karena sombong. Ancamannya
adalah tidak dilihat Allah pada hari kiamat, artinya tidak dikasihi dan
dirahmati tetapi dibenci dengan kebencian yang amat sangat. Ancaman yang
menakutkan ini membuat Abubakar menjadi khawatir jika larangan Isbal
tersebut adalah larangan yang mutlak. Maka beliau menanyakan kondisi
pakaiannya yag selalu terjulur/Isbal kecuali Abubakar benar-benar
menjaganya. Kekhawatiran ini tentu beralasan, karena jika memang benar
Isbal itu haram secara mutlak tentu kondisi apapun tidak akan
ditoleransi. Jika memang Isbal memang haram secara mutlak, maka sengaja
maupun tidak sengaja tetap haram sehingga harus dijauhi dan tidak boleh
didekati. Namun ternyata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
mengatakan bahwa Abubakar melakukanIsbal itu tidak karena sombong. Dan
dalam riwayat yang lain dikatakan bahwa Abubakar itu ketika melakukan
Isbal, beliau tidak termasuk golongan yang melakukannya kerena sombong.
Oleh karena itu hadis ini menunjukkan dua hal; pertama; Taqrir Nabi
terhadap Isbal Abubakar, kedua; Isbal itu hanya dilarang karena sombong.
Riwayat yang kedua malah menunjukkan bahwa yang melakukan Isbal Mubah
itu bukan hanya Abubakar tetapi juga kaum Muslimin yang lain. Lafadz
yang berbunyi;
لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ
“Engkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.”
Menunjukkan bahwa di zaman Nabi pelaku Isbal itu ada dua golongan yaitu;
golongan yang melakukannya karena sombong dan golongan yang tidak
melakukannya karena sombong. Hal itu dikarenakan Harf “Min” pada lafadz
مِمَّنْ adalah Min Lit Tab’idh (Harf Min yang bermakna sebagian).
Ketika Abubakar dikatakan bahwa beliau tidak termasuk diantara yang
melakukannya karena sombong, berarti yang melakukannya tidak karena
sombong bukan hanya Abubakar. Jika yang melakukannya hanya Abubakar maka
tidak ada maknanya menyebut Harf Min tersebut. Penyebutan Harf Min Lit
-Tab’idh menunjukkan bahwa pelakuIsbal yang tidak karena sombong bukan
hanya Abubakar saja tetapi juga kaum Muslimin yang lain. Abubakar
didiamkan melakukan Isbal karena tidak termasuk golongan yang
melakukannya karena sombong. Karena itu riwayat ini memberi penguatan
lebih dalam tentang kebolehan Isbal yang tidak dilakukan karena sombong.
Tidak bisa mengatakan bahwa Isbal Abubakar itu dilakukan secara tidak
sengaja sehingga Isbal tetap haram secara mutlak. Argumentasi ini tidak
bisa diterima berdasarkan empat alasan;
Satu; Seandainya larangan Isbal bersifat mutlak seharusnya Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersikukuh melarang secara mutlak
sebagaimana bersikukuhnya beliau melarang jual beli lemak bangkai dalam
riwayat berikut ini;
سنن أبى داود (9/ 357)
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ
أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
عَامَ الْفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ
وَالْمَيْتَةَ وَالْخِنْزِيرَ وَالْأَصْنَامَ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهُ يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ
وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ فَقَالَ لَا
هُوَ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ لَمَّا
حَرَّمَ عَلَيْهِمْ شُحُومَهَا أَجْمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا
ثَمَنَهُ
Dari Jabir bin Abdullah bahwa saat ia sedang berada di Makkah ia
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada saat
penaklukan Makkah: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan penjualan
arak, bangkai, babi, serta berhala.” Kemudian beliau ditanya, “Wahai
Rasulullah, bagaimana pendapat anda tentang lemak bangkai, sesungguhnya
lemak biasa digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit dan
menyalakan lampu?” Beliau bersabda: “Tidak boleh, karena ia adalah
haram.” Beliau menambahkan: “Semoga Allah memerangi orang-orang Yahudi,
ketika Allah mengharamkan lemak, mereka mencairkannya kemudian
menjualnya dan memakan hasil penjualannya.” (H.R.Abu Dawud)
Maknanya, jika memang sesuatu itu haram secara mutlak maka tidak ada
alasan apapun untuk yang memberikan toleransi untuk dilanggar. Hal ini
berbeda jika sesuatu itu dilarang tidak secara mutlak, tetapi
dikecualikan hal/kondisi tertentu sebagaimana toleransi memotong
“Idzkhir” pada hadis berikut ini;
صحيح البخاري (6/ 367)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ افْتَتَحَ
مَكَّةَ لَا هِجْرَةَ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ
فَانْفِرُوا فَإِنَّ هَذَا بَلَدٌ حَرَّمَ اللَّهُ يَوْمَ خَلَقَ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ وَإِنَّهُ لَمْ يَحِلَّ الْقِتَالُ فِيهِ لِأَحَدٍ قَبْلِي
وَلَمْ يَحِلَّ لِي إِلَّا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ
اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا يُعْضَدُ شَوْكُهُ وَلَا يُنَفَّرُ
صَيْدُهُ وَلَا يَلْتَقِطُ لُقَطَتَهُ إِلَّا مَنْ عَرَّفَهَا وَلَا
يُخْتَلَى خَلَاهَا قَالَ الْعَبَّاسُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِلَّا
الْإِذْخِرَ فَإِنَّهُ لِقَيْنِهِمْ وَلِبُيُوتِهِمْ قَالَ قَالَ إِلَّا
الْإِذْخِرَ
Dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda pada hari pebebasan kota Makkah: “Tidak ada lagi
hijrah tetapi yang ada adalah jihad dan niat dan jika kalian
diperintahkan berangkat perang maka berangkatlah. Sesungguhnya negeri
ini telah Allah Ikrarkan kesucikannya sejak hari penciptaan langit dan
bumi. Maka dia akan terus suci dengan pensucian dari Allah itu hingga
hari qiyamat sehingga tidak dibolehkan perang didalamnya buat seorangpun
sebelum aku dan tidak dihalalkan pula buatku kecuali sesaat dalam suatu
hari. Maka dia suci dengan pensucian dari Allah itu hingga hari
qiyamat, dan tidak boleh ditebang pepohonannya dan tidak boleh diburu
hewan buruannya dan tidak ditemukan satupun barang temuan kecuali harus
dikembalikan kepada yang mengenalnya (pemiliknya) dan tidak boleh
dipotong rumputnya”. Berkata, Al ‘Abbas radliallahu ‘anhu: “Wahai
Rasulullah, kecuali pohon idzkhir yang berguna untuk wewangian tukang
besi mereka dan rumah-rumah mereka”. Dia berkata,, maka Beliau bersabda:
“Ya, kecuali pohon idzkhir”. (H.R.Bukhari)
Maknanya, persetujuan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terhadap
Abubakar yang berisbal semakna dengan persetujuan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam kepad Al-‘Abbas bahwa Idzkhir boleh dipotong, yang
menunjukkan larangan Isbal bukan larangan mutlak sebagaimana larangan
memotong tumbuhan Mekah bukan larangan mutlak.
Dua; Tidak bisa dibuktikan bahwa Abubakar tidak berisbal sepanjang
hidupnya. Seandainya IsbalAbubakar adalah sebuah ketidaksengajaan maka
seharusnya itu hanya terjadi sekali atau dua kali dalam hidupnya.
Sesudah itu seharusnya ada riwayat yang jelas bahwa beliau tidak
berisbal dan selalu menaikkan pakaiannya setinggi tengah betis
Tiga: Pembiaran Nabi atas Isbalnya Abubakar bukan disebabkan karena
masalah sengaja atau tidak sengaja, tetapi sebabnya diterangkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri dengan terang –seterang
sinar matahari– bahwa sebabnya adalah karena Abubakar tidak
melakukannya karena sombong. Seandainya kebolehan Isbal adalah karena
masalah tidak sengaja seharusnya Nabi mengatakan; “Engkau melakukannya
tanpa sengaja“. Namun bukan alasan itu yang diucapkan Nabi. Nabi malah
menegaskan kebolehan Isbal terhadap Abubakar adalah karena ketiadaan
sombong.
Empat; Dalam Thobaqot Ibnu sa’ad dinyatakan bahwa Isbal Abubakar adalah ciri pakaian beliau. Ibnu Sa’d menyatakan;
الطبقات الكبرى (3/ 188)
أجنأ لا يستمسك إزاره يسترخي عن حقوته
“Beliau berdahi menonjol (nonong), Izarnya (kain bawahannya) tidak
terikat, terjuntai dari pinggangnya (At-Thobaqot-Al-Kubro, vol.3, hlm
1288)
Riwayat ini menunjukkan bahwa Isbal Abubakar adalah sesatu yang menonjol
dan menjadi ciri berpakaian beliau yang berkesan dalam memori orang
yang melihatnya. Jika memang Isbal itu haram mutlak, mustahil Abubakar
bermain-main dengan area yang dekat dengan kaharaman. Bukankah bukan
suatu hal yang sulit jika Abubakar menaikkan ujung pakaiannya hingga
tengah betis sehingga tidak perlu lagi berpayah-payah menjaga agar
pakaiannya tidak Isbal?bukankah suatu hal yang tidak sulit memutuskan
agar pakaian tdk terjulur dan tidak perlu selalu diawasi dengan cara
memotongnya hingga tengah betis?
Tidak bisa pula Isbal Abubakar ini difahami Tazkiyah (penyucian) khusus
dari Nabi kepada Abubakar. Klaim ini terbantahkan dengan riwayat yang
berbunyi
لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ
“Engkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.”
yang mana riwayat ini menunjukkan bahwa pelakuIsbal bukan hanya Abubakar
tetapi juga sebagian kaum Muslimin yang lain. Hal iu dikarenakan Nabi
menyebut Abubakar bukan satu-satunya yang berisbal tidak karena sombong,
tetapi disebut Nabi tidak termasuk yang melakukannya karena sombong
sehingga bermakna bahwa pelaku Isbal di zaman itu ada dua kelompok,
pelaku yang melakukannya karena sombong dan pelaku yang melakukannya
tidak karena sombong dan Abubakar termasuk golongan yang terakhir.
Lagipula, syariat itu berlaku umum bagi seluruh umat, tidak bisa
dikhususkan pada individu tertentu. Tidak bisa dikhususkan hanya kepada
Abubakar dan tidak bisa pula dikhususkan kepada selainnya. Tambahan
lagi, klaim bahwa hal itu Tazkiyah khusus terhadap Abubakar akan membuat
Nash-Nash Muqoyyad terkait Isbal ini menjadi sia-sia.
Tidak bisa pula menuduh orang yang mengulurkan pakaian tidak karena
sombong bahwa dia mensucikn dirinya sendiri. Tidak bisa dikatakan
demikian, karena mensifati keadaan diri adalah sesuatu yang wajar
sebagaimana orang yang mensifati dirinya “saya melompat-lompat karena
gembira” atau “saya memukul kaca karena sedih” dan semisalnya. Orang
yang sakit diabetes dan memiliki borok pada kakinya, kemudian berisbal
untuk menutupi luka boroknya dari gangguan lalat tidak boleh dituduh
secara semena-mena bahwa dia berisbal karena sombong dan mensucikan
dirinya.
Aturan yang mengharuskan orang yang ingin berisbalmaka harus ada yang
mentazkiyah sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
mentazkiyah Abubakar, maka aturan ini tidak bisa dipakai karena tidak
diperintahkan Allah dan RasulNya, tidak terkandung dalam riwayat Isbal
Abubakar baik secara implisit maupun eksplisit, dan bertentangan dengan
mafhum riwayat Isbal Abubakr yang menunjukkan izin Isbal dar Nabi secara
mutlak jika tidak dikarenkan karena sombong.
Alasan bahwa Abubakar diizinkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
berisbal karena imannya tinggi juga tidak dapat diterima, karena jika
sesuatu memang haram secara mutlak maka iman yang tinggi tidaklah
mengubah status keharaman sesuatu tersebut. Zina yang hukumnya haram
secara mutlak, keharamannya berlaku baik bagi orang yang imannya tinggi
maupun rendah. Lagipula, izin Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
kepada Abubakar untuk berisbal bukan karena imannya yang tinggi karena
tidak ada satu lafadzpun yang menunjukkan hal itu. Izin Isbal Abubakar
adalah karena Isbal beliau dilakukan tidak karena sombong. Itulah yang
dinyatakan dengan jelas oleh Nash.
Alasan bahwa izin Isbal yang diberikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam kepda Abubakar adalah termasuk Fadhoil (keutamaan) Abubakar
juga tidak dapat diterima, karena ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam kepada beliau dalam riwayat adalah dalam konteks menjelaskan
hukum, bukan sedang memuji atau memberi kabar gembira kepada individu
tertentu.
keempat (yakni argumentasi keempat yang menunjukkan Mubahnya Isbal tanpa
sombong): Praktek sejumlah shahabat yang dikuatkan sejumlah Tabi’in
besar.
Terdapat sejumlah riwayat yang menunjukkan bahwaIsbal dilakukan sejumlah
shahabat dan Tabiin. Diantaranya isbal Ibnu Mas’ud. Ibnu Abi Syaibah
meriwayatkan;
مصنف ابن أبي شيبة (8/ 202)
عَنْ أَبِي وَائِلٍ ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ ؛ أَنَّهُ كَانَ يُسْبِلُ
إِزَارَهُ ، فَقِيلَ لَهُ ، فَقَالَ : إِنِّي رَجُلٌ حَمِشُ السَّاقَيْنِ.
Dari Abu Wail, dari Ibnu Mas’ud bahwasanya ia menjulurkan sarungnya.
Lalu ditanyakan kepadanya perihal Isbalnya, ia pun menjawab, “Aku adalah
seorang yang kecil kedua betisnya.” (H.R.Ibnu Abi Syaibah)
Cukup jelas dalam riwayat diatas bahwa Ibnu Mas’ud melakukan Isbal.
Seandainya Isbal memang haram secara mutlak, maka tidak mungkin Ibnu
Mas’ud melakukannya meski dengan alasan menutupi betisnya yang kecil.
Tidak bisa menafsirkan bahwa Isbalnya ibnu Mas’ud bermakna Isbalnya
tidak melewati matakaki. Karena jika pakaian tidak melewati mata kaki,
maka menurut yang mengharamkan secara mutlak hal itu bukan tercela,
bukan barang yang aneh sehingga tidak perlu ditanyakan. Ketika Isbal
ibnu Mas’ud ditanyakan dan dipandang aneh karena bertentangan dengan
sejumlah Nash yang melarang dan mungkin juga dengan fatwa beliau, maka
hal ini menunjukkan bahwa Isbal beliau adalah melewati mata kaki.
Lagipula, penyebutan Isbal hukum asalnya harus difahami yang melewati
matakaki, karena kondisi itulah yang dicela dalm sejumlah Nash.
MenafsirkanIsbal Ibnu Mas’ud hanya dalam kondisi darurat juga tidak bisa
diterima, karena kaki kecil bukan kondisi darurat. Apalagi ada riwayat
yang menunjukkan Nabi tetap melarang Isbal pada orang yang berkaki
bengkok ketika ditemukan kondisi sombong padanya. Riwayat ini mnunjukkan
bahwa kaki bengkok apalagi sekedar betis kecil bukanlah kondisi
darurat.
Shahabat lain yang diriwayatkan melakukan Isbaladalah Ibnu Abbas. At-Thobaroni meriwayatkan;
المعجم الكبير للطبراني (9/ 89، بترقيم الشاملة آليا)
عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، قَالَ:رَأَيْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ أَيَّامَ مِنًى
طَوِيلَ الشَّعْرِ، عَلَيْهِ إِزَارٌ فِيهِ بَعْضُ الإِسْبَالِ، وَعَلَيْهِ
رِدَاءٌ أَصْفَرُ.
Dari Abu Ishaq, ia berkata, “Aku melihat Ibnu Abbas pada hari Mina
beliau berambut panjang, mengenakan sarung yang mencapai sebagian Isbal,
dan mengenakan mantel berwarna kuning.” (H.R.At-Thobaroni)
Riwayat yang lain berbunyi;
سنن النسائي الكبرى (5/ 484)
عن مولى بن عباس : أن بن عباس كان إذا اتزر أرخى مقدم إزاره حتى تقع حاشيته على ظهر قدمه
Dari budak ibnu Abbas, bahwasanya ibnu Abbas jika mengenakan sarung
beliau menjulurkan bagian depan sarungnya hingga ujung sarungnya
menyentuh punggung kakinya. (H.R.An-Nasai)
Lafadz yang berbunyi
حتى تقع حاشيته على ظهر قدمه
“hingga ujung sarungnya menyentuh punggung kakinya”
Menunjukkan bahwa pakaian Ibnu Abbas melebihi mata kaki. Tidak perlu
terlalu memaksa diri dengan menafsirkan bahwa Hasyiyah adalah Ahdab
(rumbai-rumbai), bukan ujung pakaian. Betapapun ditafsirkan
rumbai-rumbai, maka hal itu tetap bermakna Isbalyang melebihi mata kaki.
Apalagi secara bahasa Hasyiyah dengan rumbai-rumbai (Ahdab) itu
berbeda. Ahdab adalah ujung Hasyiyah, bukan Hasyiyah itu sendiri.
Menurut Ibnu Sidah dalam Al-Muhkam Hasyiyah malah dijelaskan tidak ada
rumbai-rumbainya.
Di kalangan Tabi’in, yang diriwayatkan melakukanIsbal adalah Umar bin Abdul Aziz. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;
مصنف ابن أبي شيبة (8/ 208)
عَنْ عَمْرِو بْنِ مُهَاجِرٍ ، قَالَ : كَانَتْ قُمُصُ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ
الْعَزِيزِ وَثِيَابُهُ مَا بَيْنَ الْكَعْبِ وَالشِّرَاكِ.
Dari Amr bin Muhajir, ia berkata, “Jubah-jubah Umar bin Abdul Aziz,
serta pakaian-pakaiannya menjulur hingga antara mata kaki dan tali
sandalnya.” (H.R.Ibnu Abi Syaibah)
Pakaian yang ujungnya berada di antara mata kaki dengan tali sandal
menunjukkan dengan jelas bahwa pakaian Umar bin Abdul Aziz melewati mata
kaki.
Tabi’in yang lain adalah Ibrohim An-Nakho’i. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;
مصنف ابن أبي شيبة (8/ 209)
حَدَّثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ ، عَنْ أَبِي عَوَانَةَ ، عَنْ مُغِيرَةَ ،
قَالَ : كَانَ إِبْرَاهِيمُ قَمِيصُهُ عَلَى ظَهْرِ الْقَدَمِ.
Dari Mughiroh, ia berkata, “Ibrohim An-Nakho’I, jubahnya menjulur hingga punggung telapak kakinya.” (H.R.Ibnu Abi Syaibah)
Tabi’in yang lain adalah Ayyub bin Abi Tamimah As-Sikhtiyani.
أخرج الإمام أحمد في (( العلل )) – رواية ابنه عبد الله – ( رقم : 841 )
قال :حدثنا سليمان بن حرب ، قال : حدَّثنا حماد بن زيد ، قال :”أمرَنِي
أيّوب أن أقطعَ له قميصاً قال : اجعلْه يضرِبُ ظَهْرَ القدم ، و اجعَلْ
فَمَ كُمِّهِ شبراً “.
إسنادهٌ صحيحٌ .
Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab al-‘Ilal – riwayat putranya,
Abdullah – nomor 841Suliman bin Harb memberitahu aku, Hammad bin Zaid
berkata, “Ayub memerintahkanku untuk memotong sebuah jubah untuknya. Ia
berkata, ‘Jadikan jubahku (sepanjang) hingga menyentuh punggung kakiku.
Dan jadikan lebar lengannya sejengkal.” (H.R.Ahmad dalam Al-‘Ilal)
Semua riwayat di atas semakin menguatkan bahwaIsbal yang dilakukan tidak
karena sombong adalah Mubah dan dipraktekkan shahabat besar termasuk
Tabi’in-Tabi’in yang keshalihannya tidak diragukan lagi.
Catatan Kritis Terhadap Dalil-Dalil Pendapat Yang Mengharamkan Isbal Secara Mutlak
Terdapat sejumlah dalil yang dipakai pendapat yang mengharomkan Isbal
secara mutlak baik dilakukan kerena sombong maupun tidak karena sombong.
Berikut ini akan dipaparkan dalil-dalil yang menjadi dasar pendapat
yang mengharomkan Isbal secara mutlak tersebut. Masing-masing dalil yang
dipakai akan disajikan dan diulas secukupnya.
Pertama; Adanya Nash-Nash yang melarang Isbal secara mutlak.
Diantara Nash yang menunjukkan larangan Isbalsecara mutlak adalah hadis riwayat Bukhari berikut;
صحيح البخاري (18/ 89)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam beliau bersabda: “Barangsiapa menjulurkan kain sarungnya hingga
dibawah mata kaki, maka tempatnya adalah Neraka.”(H.R.Bukhari)
juga hadis riwayat Muslim;
صحيح مسلم (1/ 277)
عَنْ أَبِي ذَرٍّ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثَةٌ لَا
يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ
وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ قَالَ فَقَرَأَهَا رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَ مِرَارًا قَالَ أَبُو
ذَرٍّ خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْمُسْبِلُ
وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
Dari Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Tiga golongan manusia yang Allah tidak akan mengajak mereka bicara pada
hari kiamat, tidak melihat mereka, tidak mensucikan dosanya dan mereka
akan mendapatkan siksa yang pedih.” Abu Dzar berkata lagi, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam membacanya tiga kali. Abu Dzar berkata,
“Mereka gagal dan rugi, siapakah mereka wahai Rasulullah?” Beliau
menjawab, “Orang yang melakukan Isbal (memanjangkan pakaian), orang yang
suka memberi dengan menyebut-nyebutkannya (karena riya’), dan orang
yang membuat laku barang dagangan dengan sumpah palsu.” (H.R.Muslim)
juga riwayat Ibnu Majah;
سنن ابن ماجه – مكنز (11/ 68، بترقيم الشاملة آليا)
عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- « يَا سُفْيَانَ بْنَ سَهْلٍ لاَ تُسْبِلْ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ
يُحِبُّ الْمُسْبِلِينَ ».
Dari Al Mughirah bin Syu’bah dia berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai Sufyan bin Sahl, janganlah kamu
memanjangkan kain sarung atau celana melebihi mata kaki, karena Allah
membenci orang-orang yang memanjangkan kain sarung atau celananya
melebihi mata kaki.” (H.R.Ibnu Majah)
juga riwayat At-Tirmidzi;
سنن الترمذى (6/ 427)
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ
أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَضَلَةِ
سَاقِي أَوْ سَاقِهِ فَقَالَ هَذَا مَوْضِعُ الْإِزَارِ فَإِنْ أَبَيْتَ
فَأَسْفَلَ فَإِنْ أَبَيْتَ فَلَا حَقَّ لِلْإِزَارِ فِي الْكَعْبَيْنِ
Dari Hudzaifah Rhadhiyallaahu ‘Anhu berkata; Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam memegang betisku dan bersabda: “Ini adalah batas
pakaian, jika engkau tidak mau (ingin menambah panjangnya) maka boleh
dibawahnya sedikit, dan jika engkau tidak mau, maka tidak diperbolehkan
pakaian melebihi mata kaki.” (H.R.At-Tirmidzi)
Dari riwayat-riwayat yang seperti ini dan yang semakna dengannya ditarik
kesimpulan bahwa Isbaldilarang Nabi secara mutlak tanpa membedakan
apakah dilakukan karena sombong ataukah dilakukkan tanpa disertai
kesombongan. Hal itu dikarenakan lafadz yang menunjukkan larangan
semuanya dinyatakan dalam bentuk mutlak tanpa disertai penjelasan
sebabnya. Oleh karena lafadz larangan Isbal bersifat mutlak, hal itu
bermakna keharaman Isbal tidak diikat kondisi tertentu, tetapi berlaku
secara mutlak yang mencakup kondisi sombong maupun tidak sombong.
Jawaban terhadap argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Memang benar ada lafadz-lafadz Muthlaq terkait larangan Isbal, namun
juga tidak dapat diingkari adalnya lafadz-lafadz Muqoyyad (terikat) yang
mengikat larangan Isbal dengan kondisi tertentu yaitu kesombongan. Dari
sini berlaku kaidah ushul Fikih; Jika ada lafadz Muthlaq yang
berhadapan dengan lafadz Muqoyyad sementara dua macam lafadz tersebut
memiliki Hukum (الحُكْمُ) dan Sabab (السَّبَبُ) yang sama, maka
diterapkanlah kaidah;
حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلى الْمُقَيَّدِ
“Membawa (lafadz) yang Muthlaq pada (lafadz) yang Muqoyyad”
Artinya, lafadz yang Muthlaq difahami, bahwa hukum yang dimaksud pembuat
Syariat adalah adalah kondisi yang dijelaskan dalam lafadz Muqoyyad.
Kaidah ini dipakai untuk mengakomodasi penerapan kedua macam Nash
tersebut. Hal itu dikarenakan jika hanya lafadz Muthlaq saja yang
diterapkan maka hal itu bermakna diabaikannya lafadz Muqoyyad, namun
jika lafadz Muqoyyad yang diterapkan, maka lafadz Muthlaq tetap
terterapkan.
Contoh penerapannya adalah pada hadis kokokan ayam jantan berikut ini;
صحيح البخاري (11/ 82)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا
سَمِعْتُمْ صِيَاحَ الدِّيَكَةِ فَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ
فَإِنَّهَا رَأَتْ مَلَكًا وَإِذَا سَمِعْتُمْ نَهِيقَ الْحِمَارِ
فَتَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ رَأَى شَيْطَانًا
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Jika kalian mendengar suara kokok ayam mohonlah
kepada Allah karunia-Nya karena saat itu ayam itu sedang melihat
malaikat dan bila kalian mendengar ringkik suara keledai mohonlah
perlindungan kepada Allah karena saat itu keledai itu sedang melihat
setan”. (H.R.Bukhari)
مسند أحمد (14/ 370)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَمِعْتُمْ نُهَاقَ الْحَمِيرِ بِاللَّيْلِ
فَتَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنْ شَرِّهَا فَإِنَّهَا رَأَتْ شَيْطَانًا
وَإِذَا سَمِعْتُمْ صُرَاخَ الدِّيَكَةِ بِاللَّيْلِ فَاسْأَلُوا اللَّهَ
مِنْ فَضْلِهِ فَإِنَّهَا رَأَتْ مَلَكًا
Dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Jika kalian mendengar ringkih keledai di malam hari maka
berlindunglah kepada Allah dari kejelekannya karena sesungguhnya ia
melihat setan, dan jika kalian mendengar ayam berkokok di malam hari
maka mintalah kepada Allah akan karuinia-Nya karena sesungguhnya dia
melihat malaikat.”.” (H.R.Ahmad)
Dalam riwayat Bukhari di atas tidak ada keterangan waktu berkokoknya
ayam jantan dan ringkikan keledai. Namun pada riwayat Ahmad terdapat
keterangan waktu penjelasan hukum, yaitu di malam hari. Jadi, riwayat
Bukhari termasuk lafadz Muthlaq, sementara riwayat Ahmad lafadz
Muqoyyad. Oleh karena hukum pada dua riwayat ini sama, yaitu sunnahnya
berdoa saat mendengar kokokan ayam jantan dan berta’awwudz saat
mendengar ringkikan keledai, sementara Sabab hukumnya juga sama yaitu
mendengar kokokan ayam atau keledai, maka berlakulah kaidah;
حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلى الْمُقَيَّدِ
“Membawa (lafadz) yang Muthlaq pada (lafadz) yang Muqoyyad”
Yakni , lafadz yang Muthlaq difahami, bahwa hukum yang dimaksud pembuat
Syariat adalah kondisi yang dijelaskan dalam lafadz Muqoyyad. Hal ini
bermakna, hukum sunnahnya berdoa dan berta’awwudz saat mendengar kokokan
ayam jantan dan ringkikan keledai adalah dalam kondisi kokokan dan
ringkikan itu di dengar di malam hari. Jika kokokan dan ringkikan itu
didengar di siang hari, maka hukum sunnah itu tidak berlaku.
Hal yang sama berlaku dalam maslah Isbal. Memang benar ada Nash-Nash
Muthlaq, namun juga tidak dapat dibantah adanya Nash-Nash Muqoyyad. Oleh
karena itu berlakulah kaidah;
حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلى الْمُقَيَّدِ
“Membawa (lafadz) yang Muthlaq pada (lafadz) yang Muqoyyad”
maknanya , lafadz yang Muthlaq difahami, bahwa hukum yang dimaksud
pembuat Syariat adalah adalah kondisi yang dijelaskan dalam lafadz
Muqoyyad. Hal ini bermakna,haromnya Isbal adalah dalam kondisi dilakukan
karena sombong. Jika dilakukan tidak karena sombong maka hukum haramnya
Isbal tidak berlaku.
Adapun gugatan terhadap penggunaan kaidah ini, yakni klaim bahwa dalam
kasus Isbal, hukum dan Sababnya berbeda dengan mengatakan; untuk
Isbalhukumannya adalah Neraka sementara meyeret pakaian hukumannya
adalah tidak dilihat Allah. Oleh karena Sabab dan Hukumnya berbeda maka
kaidah maka;
حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلى الْمُقَيَّدِ
“Membawa (lafadz) yang Muthlaq pada (lafadz) yang Muqoyyad”
tidak dapat diterapkan.
Kami katakan; gugatan ini tidak dapat diterima karena menunjukkan
kekurangcermatan dalam mengidentifikasi hukum dan Sabab dalam kasus
Isbal.
Yang dimaksud hukum, dalam pembahasan Muthlaq-Muqoyyad adalah hukum
syara’ yang lima yaitu; Wajib, Sunnah, Makruh, Haram, dan Mubah. Adapun
yang dimaksud Sabab adalah sesuatu/perbuatan mukallaf yang membuat
hukum syara ditetapkan oleh pembuat syariat. Dalam kasus Isbal, hukum
antara lafadz yang Muthlaq dengan Muqoyyad sama, yaitu haramnya Isbal.
Sababnya juga sama yaitu perbuatan Isbal. Perbedaannya, lafadz yang satu
diikat kondisi yaitu kesombongan sementara lafadz yang lain dinyatakan
secara mutlak. Ancaman Neraka dan tidak dilihat Allah pada hari kiamat
bukan hukum (الحُكْمُ) dalam pembahasan Muthlaq-Muqoyyad tetapi hukuman
(العقوبات). Tentu saja ada perbedaan yang jauh antara hukum dengan
hukuman. Ancaman siksa atau murka termasuk janji surga atau ridha adalah
Qorinah untuk memahami status hukum, bukan hukum itu sendiri. Jadi
hukum pada kasus Isbal adalah haromnya Isbal, dengan qorinah ancaman
Neraka dan tidak dilihat Allah pada hari kiamat. Isbal dengan menyeret
pakaian juga tidak perlu dibedakan kerena keduanya semakna, karena Nabi
ketika mencela Isbal itu maksudnya adalah mencela orang yang mengulurkan
pakaiannya sehingga sampai menyeretnya ketika berjalan dengan disertai
kesombongan.
Penerapan yang benar atas perbedaan Sabab yang membuat tidak bisa diterapkan kaidah
حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلى الْمُقَيَّدِ
Adalah seperti dalam ayat berikut;
{وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ} [المجادلة: 3]
orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik
kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan
seorang budak (Al-Mujadilah; 3)
{وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ} [النساء: 92]
dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman (An-Nisa; 92)
Hukum wajibnya membebaskan budak dalam surat Al-Mujadilah di atas
bersifat Muthlaq karena hanya diungkapkan dengan lafadz “Roqobah”
(seorag budak) sementara hukum wajibnya membebaskan budak dalam surat
An-Nisa bersifat Muqoyyad karena diungkapkan dengan lafadz “Roqobah
Mukminah” (seorang budak mukmin). Namun pada dua yat ini tidak bisa
diterapkan kaidah
حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلى الْمُقَيَّدِ
Karena Sabab hukumnya yang berbeda. Pada surat Al-Mujadilah Sabab
hukumnya adalah perbuatan Dhihar, sementara pada suarat An-Nisa’ Sabab
hukumnya adalah pembunuhan tidak sengaja. Oleh karena sabab hukumnya
pada dua Nash ini berbeda, maka hukum Syara masing-masing diterapkan
pada wilayahnya. Artinya, Nash Muthlaq dibiarkan dalam kemuthlaqannya
dalam wilayah topik hukumnya sementara Nash Muqoyyad juga dibiarkan
dalam kemuqoyyadannya dalam wilayah topik hukumnya. Kesimpulannya,
Kaffarot untuk perbuatan Dhihar adalah membebaskan budak secara Muthlaq
baik budak mukmin maupun budak kafir, sementara Kaffarot pembunuhan
tidak sengaja adalah membebaskan budak mukmin saja dan tidak sah jika
yang dibebaskan budak kafir.
Terdapat banyak ulama yang meyetujui bahwa kaidah
حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلى الْمُقَيَّدِ
Dalam kasus Isbal ini bisa diterapkan. Mereka bukanlah ulama-ulama
sembarangan, tetapi ulama-ulama yang memiliki reputasi tinggi dalam
bahasa Arab dan ushul Fiqih. Justru menjadi sesuatu yang mengherankan
jika ada ulama kontemporer yang menolak penerapan kaidah ini pada kasus
Isbaldengan alasan beda Hukum dan beda Sabab. Berikut kami daftarkan
sejumlah statemen ulama salaf yang kredibel yang menunjukkan kaidah ini
bisa diterima dalam Isbal.
Diantara mereka adalah imam As-Syafi’i. As-Syaukani berkata dalam Nail Al-Author;
نيل الأوطار (2/ 112)
قال البويطي في مختصره عن الشافعي : لا يجوز السدل في الصلاة ولا في غيرها
للخيلاء ولغيرها خفيف لقول النبي صلى الله عليه وآله وسلم لأبي بكر انتهى
Al-Buwaithi berkata dalam kitabnya Almukhtashor, dari as-Syafi’I, “Tidak
boleh Isbal di dalam sholat dan di luar sholat dalam rangka sombong.
Sementara untuk yang tidak sombong hal itu adalah sesuatu yang ringan
(diperbolehkan) dengan dasar perkataan Nabi kepada Abu Bakr. (Nail
Al-Author, vol 2, hlm 112)
Termasuk juga Ibnu Taimiyyah dalam Syarhu Al-‘Umdah;
شرح العمدة (ص: 364)
وهذه منصوص صريحة في تحريم الإسبال على وجه المخيلة والمطلق منها محمول على المقيد وإنما أطلق ذلك لأن الغالب أن ذلك إنما يكون مخيلة
Ini adalah nash-Nash yang lugas tentang pengharaman Isbal terkait
dengan kesombongan. Nash yang mutlak dibawa pada yang muqoyyad.
Disebutkan demikian karena umumnya, Isbal itu adalah karena kesombongan.
(Syarhu Al-‘Umdah, hlm; 364)
Termasuk juga Ibnu Hajar dalam Fathu Al-Bari;
فتح الباري – ابن حجر (10/ 263)
وأما الإسبال لغير الخيلاء فظاهر الأحاديث تحريمه أيضا لكن استدل بالتقييد
في هذه الأحاديث بالخيلاء على أن الإطلاق في الزجر الوارد في ذم الإسبال
محمول على المقيد هنا فلا يحرم الجر والاسبال إذا سلم من الخيلاء
Adapun Isbal tanpa kesombongan, maka Dhohirhadits-hadits bermakna ia
juga diharamkan. Akan tetapi bisa juga berdalil dengan adanya Taqyid
pada hadis-hadis dengan kondisi sombong untuk disimpulkan bahwa larangan
isbal yang ada saat mencela isbal dibawa apada nash yang Muqoyyad,
sehingga tidaklah haram menyeret pakaian dan Isbaljika aman dari
kesombongan. (Fathu Al-Bari, vol.10, hlm 264)
Termasuk juga An-Nawawi dalam Syarah Shaih Muslim;
شرح النووي على مسلم (14/ 63)
وأما الأحاديث المطلقة بأن ما تحت الكعبين فى النار فالمراد بها ما كان للخيلاء لانه مطلق فوجب حمله على المقيد والله أعلم
Adapun hadits-hadits yang bersifat mutlak terkait bahwa apa yang dibawah
mata kaki adalah Neraka, maksudnya adalah selama itu untuk kesombongan.
Oleh karena sifat hadits itu adalah mutlak, maka wajib untuk dibawa
kepada yang muqoyyad. (Syarah An-Nawawi ‘Ala Muslim, vol.14 hlm 63)
Termasuk juga As-Syaukani dalam Nail Al-Author;
نيل الأوطار (2/ 112)
وأما حديث أبي أمامة فغاية ما فيه التصريح بأن الله لا يحب المسبل وحديث الباب مقيد بالخيلاء وحمل المطلق على المقيد واجب
Adapun hadits Abu Umamah, maksimal maksudnya adalah penjelasan
bahwasanya Allah tidak suka orang yang Isbal. Dan hadits dalam bab
tersebut dibatasi dengan kesombongan. Sementara membawa yang mutlak
kepada yang muqoyyad adalah wajib. (Nail Al-Author, vol.2 hlm 112)
Termasuk juga Al-‘Iroqi dalam Thorhu At-Tatsrib;
طرح التثريب (9/ 34)
وَأَمَّا الْأَحَادِيثُ الْمُطْلَقَةُ بِأَنَّ مَا تَحْتَ الْكَعْبَيْنِ
فِي النَّارِ فَالْمُرَادُ بِهِ مَا كَانَ لِلْخُيَلَاءِ ؛ لِأَنَّهُ
مُطْلَقٌ فَوَجَبَ حَمْلُهُ عَلَى الْمُقَيَّدِ
Adapun hadits-hadits yang bersifat mutlak terkait bahwa apa yang dibawah
mata kaki adalah Neraka, maksudnya adalah selama itu untuk kesombongan.
Oleh karena sifat hadits itu adalah mutlak, maka wajib untuk dibawa
kepada yang muqoyyad. (Thorhu At-Tatsrib, vol.9 hlm 34)
Termasuk juga Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid;
التمهيد لما في الموطأ من المعاني والأسانيد (3/ 244)
وهذا الحديث يدل على أن من جر إزاره من غير خيلاء ولا بطر أنه لا يلحقه الوعيد المذكور
Ibnu Abdil Barr berkata, “Pemahamannya adalah bahwa orang yang menyeret
pakaian tanpa kesombongan tidak terkena oleh ancaman adzab.”
(At-Tamhid, vol.3 hlm 244)
Ini adalah catatan kritis terhadap argumentasi pertama pendapat yang
mengatakan Isbal haram secara mutlak yaitu; Adanya Nash-Nash yang
melarang Isbal secara mutlak. Pembahasan dilanjutkan dengan catatan
kritis atas argumentasi yang lain.
Kedua; Washf yang “Khoroja Makhroja Al-Gholib” tidak bisa menjadi Qoid
Diantara argumen pendapat yang mengharamkan secara Muthlaq adalah
memandang bahwa Nash-Nash Muqoyyad tentang larangan Isbal, semua
Taqyidnya (pengikatnya) seperti lafadz “Khuyala” (kesombongan) atau
“Bathor” (keangkuhan) adalah bentuk “Washf” (deskripsi) yang “Khoroja
Makhroja Al-Gholib” (diungkapkan untuk menunjukkan kebiasaan pada
umumnya). Washf yang “Khoroja Makhroja Al-Gholib” dipandang tidak bisa
menjadi Qoid (pengikat) yang membatasi kondisi keharamanIsbal
sebagaimana lafadz ” Fii Hujurikum” dalam ayat berikut;
{وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ} [النساء: 23]
Dan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu -haram kau nikahi- (An-Nisa; 23)
tidak bisa menjadi Qoid keharaman anak tiri karana termasuk Washf yang “Khoroja Makhroja Al-Gholib”
Jawaban terhadap argumentasi ini adalah; Qoid sombong terhadap larangan
Isbal bukan termasuk Washf yang “Khoroja Makhroja Al-Gholib”, tetapi
Ta’lil (penjelasan alasan) yang dinyatakan lugas dalam riwayat Isbal
Abubakar. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyatakan
alasan kebolehan IsbalAbubakar dengan lafadz;
لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ
“Engkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.”
Maka ini menjadi dalil yang jelas, bahwa larangan tersebut disebabkan
karena sebab tertentu, yaitu kesombongan. Hal ini berbeda dengan ayat
dalam surat An-Nisa diatas, karena pengasuhan bukanlah Ta’lil dari
keharoman menikahi anak tiri.
Lagipula, kesombongan yang menjadi Qoid dalam larangan Isbal didapatkan dari Manthuq Nash, yakni ucapan Nabi yang berbunyi;
لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ
“Engkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.”
Bukan dari mafhumnya. Oleh karena itu argumen Washf yang “Khoroja
Makhroja Al-Gholib” tidak bisa menjadi Qoid tidak bisa diterima.
Tambahan lagi, memahami Washf yang “Khoroja Makhroja Al-Gholib” tidak
bisa menjadi Qoid sehinggaIsbal haram secara mutlak bertentangan dengan
praktek Isbal yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
Abubakar, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Umar bin Abdul Aziz, Ibrahim
An-Nakho’I, Ayyub Assikhtiyani, dll.
Ketiga; mengompromikan Nash yang Muthlaq dengan Nash Muqoyyad dalam
larangan Isbal adalah dengan memahami; Isbal tanpa sombong haram, jika
dengan sombong maka lebih haram lagi.
Catatan terhadap argumen ini adalah; cara kompromi dengan teknik
pembedaan seperti diatas tersebut tidak memiliki landasan Nash yang
kokoh, karena larangan Isbal dalam Nash Muthlaq maupun Muqoyyad tidak
dinyatakan dalam gradasi ancaman. Malah Nash-Nash yang ada menunjukkan
adanya penyamaan. Ancaman dalam Nash Muthlaq adalah di Neraka dan tidak
dilihat Allah pada hari kiamat, sementara ancaman dalam Muqoyyad juga
Neraka dan tidak dilihat Allah. Jadi pembedaan tersebut tidak bisa
dipegang, kompromi yang tidak memuaskan, dan tidak mendapatkan dalil
pengukuh untuk membuktikan kebenarannya. Lagipula, jika Isbal tanpa
sombong memang harom maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
Abubakar, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Umar bin Abdul Aziz, Ibrahim
An-Nakho’I, Ayyub Assikhtiyani, dll tidak akan berani melakukannya.
Kompromi yang lebih tepat terhadap Nash-Nash Muthlaq dan Muqoyyad dalam
kasus larangan Isbal yang sesuai dengan Nash-Nash yang lain adalah
menerapkan kaidah;
حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلى الْمُقَيَّدِ
“Membawa (lafadz) yang Muthlaq pada (lafadz) yang Muqoyyad”
Keempat; Adanya Nash-Nash yang melarang individu tertentu melakukan Isbal yang menunjukkan larangan mutlak.
Terdapat sejumlah Nash yang mengesankan bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam melarang individu-individu tertentu melakukan Isbal
secara mutlak tanpa membedakan apakah dlakukan dengan sombong ataukah
tidak. Diantara riwayat jenis ini misalnya kisah lelaki Ahnaf (berkaki
bengkok) berikut;
مسند أحمد (32/ 223)
عَنْ يَعْقُوبَ بْنِ عَاصِمٍ أَنَّهُ سَمِعَ الشَّرِيدَ يَقُولُ أَبْصَرَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا يَجُرُّ
إِزَارَهُ فَأَسْرَعَ إِلَيْهِ أَوْ هَرْوَلَ فَقَالَ ارْفَعْ إِزَارَكَ
وَاتَّقِ اللَّهَ قَالَ إِنِّي أَحْنَفُ تَصْطَكُّ رُكْبَتَايَ فَقَالَ
ارْفَعْ إِزَارَكَ فَإِنَّ كُلَّ خَلْقِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَسَنٌ
فَمَا رُئِيَ ذَلِكَ الرَّجُلُ بَعْدُ إِلَّا إِزَارُهُ يُصِيبُ أَنْصَافَ
سَاقَيْهِ أَوْ إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ
Dari Ya’qub bin Ashim, bahwa ia mendengar Asy Syarid berkata; Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam melihat seorang laki-laki yang ,menyeret
kainnya, maka beliau pun segera menyusulnya dan bersabda: “Angkatlah
kainmu dan takutlah kepada Allah.” Laki-laki itu berkata, “Saya adalah
seorang yang kaki dan kedua lututnya bengkok.” Beliau bersabda:
“Angkatlah kainmu, karena setiap ciptaan Allah ‘azza wajalla adalah
baik.” Maka laki-laki itu tidak pernah lagi dilihat, kecuali panjang
kainnya hanya sebatas setengah betisnya hingga mati. (H.R.Ahmad)
Demikian pula kisah Isbal ibnu Umar berikut;
صحيح مسلم (10/ 455)
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ
مَرَرْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي
إِزَارِي اسْتِرْخَاءٌ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ ارْفَعْ إِزَارَكَ
فَرَفَعْتُهُ ثُمَّ قَالَ زِدْ فَزِدْتُ فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا بَعْدُ
فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ إِلَى أَيْنَ فَقَالَ أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ
Dari Ibnu ‘Umar ia berkata; “Aku pernah melewati Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, sementara kain (pakaian) saya terjurai sampai ke
tanah.” Maka beliau berkata; ‘Hai Abdullah, naikkan kainmu! ‘ lalu
akupun langsung menaikkan kainku. Setelah itu Rasulullah berkata;
‘Naikkan lagi.’ Maka akupun menaikan lagi. Dan setelah itu aku selalu
memperhatikan kainku. Sementara itu ada beberapa orang yang bertanya;
‘Sampai di mana batasnya? ‘ Ibnu Umar menjawab; ‘Sampai pertengahan
kedua betis.’ (H.R.Muslim)
Lafadz lain dalam Musnad Ahmad berbunyi;
مسند أحمد (13/ 93)
عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يَقُولُ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ
جَرَّ إِزَارَهُ مِنْ الْخُيَلَاءِ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ زَيْدٌ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُحَدِّثُ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَآهُ وَعَلَيْهِ
إِزَارٌ يَتَقَعْقَعُ يَعْنِي جَدِيدًا فَقَالَ مَنْ هَذَا فَقُلْتُ أَنَا
عَبْدُ اللَّهِ فَقَالَ إِنْ كُنْتَ عَبْدَ اللَّهِ فَارْفَعْ إِزَارَكَ
قَالَ فَرَفَعْتُهُ قَالَ زِدْ قَالَ فَرَفَعْتُهُ حَتَّى بَلَغَ نِصْفَ
السَّاقِ قَالَ ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ فَقَالَ مَنْ جَرَّ
ثَوْبَهُ مِنْ الْخُيَلَاءِ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّهُ يَسْتَرْخِي إِزَارِي
أَحْيَانًا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَسْتَ
مِنْهُمْ
dari Zaid bin Aslam saya mendengar Ibnu Umar berkata, “Siapa yang
menjulurkan kainnya melebihi mata kaki karena sombong, Allah tidak
melihatnya pada hari kiamat.” Telah berkata Zaid, Ibnu Umar menceritakan
kisah, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam pernah melihatnya memakai
kain baru dan terdengar suara gemerisik kainnya. Kontan beliau berkata,
“Siapakah ini?” Ibnu Umar menjawab, “Saya Abdullah bin Umar.” Beliau
berkata, “Jika kamu benar-benar Abdullah bin Umar, angkatlah kainmu.”
Ibnu Umar berkata, “Saya pun mengangkatnya.” Beliau berkata, “Tambah
(angkat lagi).” Ibnu Umar berkata, “Saya pun mengangkatnya lagi hingga
pertengahan betis.” Kemudian dia menoleh kepada Abu Bakar dan berkata,
“Barangsiapa yang menjulurkan kainnya karena sombong, Allah tidak
melihatnya kelak pada hari kiamat.” Lalu Abu Bakar berkata, “, kainku
terkadang merosot.” Maka Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Kamu tidaklah termasuk dari mereka.” (H.R.Ahmad)
Demikian pula kisah Khuroim Al-Asadi berikut;
مسند أحمد (36/ 15)
قَالَ
ثُمَّ مَرَّ بِنَا يَوْمًا آخَرَ فَقَالَ لَهُ أَبُو الدَّرْدَاءِ كَلِمَةً
تَنْفَعُنَا وَلَا تَضُرُّكَ فَقَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَ الرَّجُلُ خُرَيْمٌ الْأَسَدِيُّ
لَوْلَا طُولُ جُمَّتِهِ وَإِسْبَالُ إِزَارِهِ فَبَلَغَ ذَلِكَ خُرَيْمًا
فَجَعَلَ يَأْخُذُ شَفْرَةً يَقْطَعُ بِهَا شَعَرَهُ إِلَى أَنْصَافِ
أُذُنَيْهِ وَرَفَعَ إِزَارَهُ إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ
قَالَ فَأَخْبَرَنِي أَبِي قَالَ دَخَلْتُ بَعْدَ ذَلِكَ عَلَى مُعَاوِيَةَ
فَإِذَا عِنْدَهُ شَيْخٌ جُمَّتُهُ فَوْقَ أُذُنَيْهِ وَرِدَاؤُهُ إِلَى
سَاقَيْهِ فَسَأَلْتُ عَنْهُ فَقَالُوا هَذَا خُرَيْمٌ الْأَسَدِيُّ
Masih melalui jalur periwayatan yang sama seperti hadits sebelumnya,
dari Sahal bin Amru; berkata, “Kemudian pada hari yang lain, (Ibnu
Hanzhaliyah) melewati kami, maka Abu Darda berkata kepadanya,
“(Berbicalah) satu kata yang bermanfaat bagi kami dan tidak memberikan
mudlarat kepadamu.” Ibnu Hanzhaliyah berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Sekiranya bukan karena rambutnya yang
panjang hingga bahu dan kain sarungnya yang Isbal, maka sebaik-baik
lelaki adalah Khuraim Al Asadi.” Maka hal itu pun sampai kepada Khuraim,
sehingga ia pun mengambil gunting dan memangkas rambutnya hingga
pertengahan kedua telinganya dan memotong kainnya hingga setengah
betisnya. Ia berkata, “Bapakku mengabarkan kepadaku, ia mengatakan,
“Setelah itu aku menemui Mu’awiyah, ternyata di sisinya ada seorang
syaikh yang panjang rambutnya di atas kedua telinganya, sedangkan
kainnya terangkat hingga pertengahan kedua betisnya. Maka aku pun
bertanya siapakah ia, orang-orang menjawab, “Ini adalah Khuraim Al
Asadi.” (H.R.Ahmad)
Demikian pula kisah ‘Amr bin Zuroroh berikut;
المعجم الكبير (8/ 232)
عن أبي أمامة قال : بينما نحن رسول الله صلى الله عليه و سلم إذ لحقنا عمرو
بن زرارة الأنصاري في حلة إزار ورداء قد أسبل فجعل النبي صلى الله عليه و
سلم يأخذ بناحية ثوبه ويتواضع لله ويقول : اللهم عبدك وابن عبدك وابن أمتك
حتى سمعها عمرو بن زرارة فالتفت إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقال : يا
رسول الله إني أحمس الساقين فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : يا عمرو
بن زرارة إن الله عز و جل قد أحسن كل خلقه يا عمرو بن زرارة إن الله لا يحب
المسبلين ثم قال رسول الله صلى الله عليه و سلم بكفه تحت ركبة نفسه فقال :
يا عمرو بن زرارة هذا موضع الإزار ثم رفعها ثم وضعها تحت ذلك فقال : يا
عمرو بن زرارة هذا موضع الإزار ثم رفعها ثم وضعها تحت ذلك فقال : يا عمرو
بن زرارة هذا موضع الإزار
Dari Abu Umamah, ia berkata “ketika kami bersama Rasulullah, tiba-tiba
Amr bin Zuroroh al-Anshori menyusul kami dengan menggunakan sarung dan
mantel yang Isbal. Lalu Nabi menggamit ujung pakaiannya dan merendahkan
diri kepada Allah seraya berdoa’ Hingga Amr bin Zuroroh mendengarnya dan
menoleh kepada Nabi lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, sungguh aku ini
kecil betisnya.’ Rasulullah berkata, ‘Wahai Amr bin Zuroroh.
Sesungguhnya Allah telah membaguskan setiap ciptaanNya. Wahai Amr bin
Zuroroh, sungguh Allah tidak suka orang-orang yang Isbal.
Kemudianmeletakkan telapak tangannya dibawah lututnya Dan berkata
‘Wahai Amr bin Zuroroh. Inilah posisi sarung.’ Lalu mengangkatnya, dan
meletakkannya di bawahnya. (H.R.At-Thobaroni)
Jawaban terhadap argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Nash-Nash larangan Isbal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
terhadap individu-individu tertentu yang mengesankan larangan Isbal
secara mutlak harus difahami bahwa larangan Nabi terhadap mereka untuk
melakukan Isbal adalah dikarenakan Nabi tahu berdasrkan Qorinah bahwa
mereka melakukannya karena sombong.
Kesombongan seseorang dalam gerak-geriknya memang bisa dibaca dari
Qorinah yang tampak, misalnya tahunya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam atas kesombongan seorang lelaki yang makan dengan tangan kiri
dalam hadis berikut;
صحيح مسلم (10/ 297)
إِيَاسُ بْنُ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ
أَنَّ رَجُلًا أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِشِمَالِهِ فَقَالَ كُلْ بِيَمِينِكَ قَالَ لَا أَسْتَطِيعُ
قَالَ لَا اسْتَطَعْتَ مَا مَنَعَهُ إِلَّا الْكِبْرُ قَالَ فَمَا
رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ
Dari Iyas bin Salamah bin Al Akwa’; Bapaknya telah menceritakan
kepadanya, bahwa seorang laki-laki makan di samping Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tangan kirinya, Lalu Rasulullah
bersabda: “Makanlah dengan tangan kananmu! Dia menjawab; ‘Aku tidak
bisa.’ Beliau bersabda: “kalau begitu kamu benr-benar tidak akan bisa”
dia menolaknya karena sombong. Setelah itu tangannya tidak bisa sampai
ke mulutnya. (H.R.Muslim)
Jadi larangan Isbal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada
lelaki yang berkaki bengkok, ibnu Umar, Khuroim al-Asadi, ‘Amr bin
Zuroroh dan yang semisal dengan mereka adalah dikarenakan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengetahui selinapan rasa Khuyala yang ada
pada mereka sebagimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tahu
kesombongan seorang lelaki yang makan dengan tangan kiri. Rasulullah
melarang Isbalkepada orang-orang yang beliau ketahui sombong, tetapi
membolehkan Isbal kepada orang yang beliau ketahui tidak melakukannya
karena sombong. Pembedaan perlakuan ini sama seperti pembedaan beliau
terhadap seorang pemuda dan orangtua dalam kisah yang disebutkan dalam
hadis berikut;
سنن أبى داود – م (2/ 285)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه
وسلم- عَنِ لِلصَّائِمِ لِلصَّائِمِ فَرَخَّصَ لَهُ وَأَتَاهُ آخَرُ
فَسَأَلَهُ فَنَهَاهُ. فَإِذَا الَّذِى رَخَّصَ لَهُ شَيْخٌ وَالَّذِى
نَهَاهُ شَابٌّ.
dari Abu Hurairah bahwa seoerang laki-laki bertanya kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai cumbuan orang yang berpuasa, lalu
beliau memberikan keringanan kepadanya. Dan orang yang lain datang
kepada beliau dan bertanya mengenainya, lalu beliau melarangnya.
Ternyata orang yang beliau beri keringanan adalah orang yang sudah tua,
sedangkan orang yang beliau larang adalah orang yang masih muda.
(H.R.Abu Dawud)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengizinkan lalaki tua mencumbu
istrinya dalam keadaan berpuasa karena beliau tahu lelaki tua tersebut
sanggup menahan syahwatnya sehingga tidak sampai jimak yang membatalkan
puasa, namun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang seorang
pemuda untuk mencumbu istrinya dalam keadaan berpuasa karena beliau tahu
sang pemuda tersebut tidak akan sanggup menahan syahwatnya sehingga
tidak sampai jimak yang membatalkan puasa. Pembedaan perlakuan ini
menunjukkan bahwa rekomendasi Nabi itu disebabkan karena pengetahuan
terhadap kondisi mukallaf yang berbeda.
Dalam kasus Isbal ini juga bisa difahami demikian. Oleh karena
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tahu individu-individu tertentu
melakukan Isbalkarena sombong maka beliau melarangnya, semntara individu
yang beliau tahu dia melakukannya tidak karena sombong, beliau
membolehkannya.
Yang menguatkan hal ini adalah adanya Qorinah hal dalam sebagian
riwayat tersebut yang menunjukkan pengetahuan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam bahwa shahabat yang dilarang Isbal itu mereka
melakukannya karena disisipi perasaan yang tidak benar. Misalnya ibnu
umar yang masih remaja dan sedang memakai pakaian baru, atau Amr bin
Zuroroh yang Nabi memagang sebagian pakaiannya sambil merendahkan diri.
Kelima; hadis Jabir bin Sulaim menunjukkan bahwaIsbal itu termasuk kesombongan.
Ada sebuah hadis yang diriwayatakan Abu Dawud dari Jabir bin Sulaim yang memiliki redaksi sebagai berikut;
سنن أبى داود (11/ 121)
عَنْ أَبِي جُرَيٍّ جَابِرِ بْنِ سُلَيْمٍ قَالَ
رَأَيْتُ رَجُلًا يَصْدُرُ النَّاسُ عَنْ رَأْيِهِ لَا يَقُولُ شَيْئًا
إِلَّا صَدَرُوا عَنْهُ قُلْتُ مَنْ هَذَا قَالُوا هَذَا رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ عَلَيْكَ السَّلَامُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ مَرَّتَيْنِ قَالَ لَا تَقُلْ عَلَيْكَ السَّلَامُ فَإِنَّ
عَلَيْكَ السَّلَامُ تَحِيَّةُ الْمَيِّتِ قُلْ السَّلَامُ عَلَيْكَ قَالَ
قُلْتُ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَنَا رَسُولُ اللَّهِ الَّذِي إِذَا
أَصَابَكَ ضُرٌّ فَدَعَوْتَهُ كَشَفَهُ عَنْكَ وَإِنْ أَصَابَكَ عَامُ
سَنَةٍ فَدَعَوْتَهُ أَنْبَتَهَا لَكَ وَإِذَا كُنْتَ بِأَرْضٍ قَفْرَاءَ
أَوْ فَلَاةٍ فَضَلَّتْ رَاحِلَتُكَ فَدَعَوْتَهُ رَدَّهَا عَلَيْكَ قَالَ
قُلْتُ اعْهَدْ إِلَيَّ قَالَ لَا تَسُبَّنَّ أَحَدًا قَالَ فَمَا سَبَبْتُ
بَعْدَهُ حُرًّا وَلَا عَبْدًا وَلَا بَعِيرًا وَلَا شَاةً قَالَ وَلَا
تَحْقِرَنَّ شَيْئًا مِنْ الْمَعْرُوفِ وَأَنْ تُكَلِّمَ أَخَاكَ وَأَنْتَ
مُنْبَسِطٌ إِلَيْهِ وَجْهُكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ الْمَعْرُوفِ وَارْفَعْ
إِزَارَكَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَإِلَى الْكَعْبَيْنِ
وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنْ الْمَخِيلَةِ وَإِنَّ
اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ وَإِنْ امْرُؤٌ شَتَمَكَ وَعَيَّرَكَ
بِمَا يَعْلَمُ فِيكَ فَلَا تُعَيِّرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فِيهِ فَإِنَّمَا
وَبَالُ ذَلِكَ عَلَيْهِ
Dari Abu Jurai Jabir bin Sulaim ia berkata, “Aku melihat seorang
laki-laki yang fikirannya dijadikan sandaran oleh orang banyak, dan ia
tidak mengatakan sesuatu kecuali orang-orang akan mengikutinya. Aku lalu
bertanya, “Siapakah dia?” orang-orang menjawab, “Ini adalah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam.” maka aku pun berkata, ‘Wahai Rasulullah,
‘Alaika As Salam (semoga keselamatan bersamamu) ‘ wahai Rasulullah,
sebanyak dua kali. Beliau bersabda: “Jangan engkau ucapkan ‘Alaika As
Salam’, karena ‘Alaika As Salam adalah penghormatan dan salam untuk
mayit. Tetapi ucapkanlah ‘As Salamu ‘Alaika’.” Jabir bin Sulaim berkata,
“Aku lalu bertanya, “Apakah engkau utusan Allah?” beliau menjawab: “Ya,
aku adalah utusan Allah, Dzat yang jika engkau tertimpa musibah, lalu
engkau berdoa kepada-Nya, maka Dia akan menghilangkannya darimu. Jika
kamu tertimpa paceklik, lalu engkau berdoa maka Dia akan menumbuhkan
(tanaman) bagi kamu. Jika engkau berada di suatu tempat yang luas hingga
kendaraanmu hilang, lalu engkau berdoa kepada-Nya, maka Dia akan
mengembalikannya kepadamu.” Jabir bin Sulaim berkata, “Lalu aku berkata,
“Berilah kami perjanjian.” Beliau bersabda: “Jangan sekali-kali engaku
cela orang lain.” Jabir bin Sulaim berkata, “Setelah itu aku tidak
pernah mencela seorang pun; orang merdeka atau budak, unta atau
kambing.” Beliau bersabda lagi: “Janganlah engkau remehkan perkara
ma’ruf, berbicaralah kepada saudaramu dengan wajah yang penuh senyum dan
berseri, sebab itu bagian dari perkara yang ma’ruf. Angkatlah sarungmu
hingga setengah betis, jika tidak maka hingga kedua mata kaki. Dan
janganlah engkau julurkan sarungmu karena itu bagian dari sifat sombong,
sesungguhnya Allah tidak menyukai sifat sombong. Jika ada seseorang
yang mencela dan memakimu karena cela yang ia ketahui darimu, maka
janganlah engkau balas memaki karena cela yang engkau ketahui padanya,
karena hal itu akan memberatkannya (pada hari kiamat).” (H.R.Abu Dawud)
lafadz yang berbunyi;
وَارْفَعْ إِزَارَكَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَإِلَى
الْكَعْبَيْنِ وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنْ
الْمَخِيلَةِ وَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ
Angkatlah sarungmu hingga setengah betis, jika tidak maka hingga kedua
mata kaki. Dan janganlah engkau julurkan sarungmu karena itu bagian dari
sifat sombong, sesungguhnya Allah tidak menyukai sifat sombong
Difahami bahwa Isbal termasuk kesombongan, dengan makna; orang yang
berisbal pasti sombong. Oleh karena itu Isbal berdasarkan hadis Jabir
bin Sulaim ini difahami haram secara mutlak, karena meskipun dilakukan
karena sombong Nabi sendiri menyebut Isbal sudah merupakan kesombongan.
Jawaban terhadap argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Mengatakan bahwa orang melakukan Isbal pasti sombong bertentangan dengan
pemahaman yang sehat sebagaimana tidak bisa diterima oleh realitas. Hal
ini mirip seperti ungkapan; orang yang menangis pasti bersedih padahal
realitasnya tidak selalu demikian. Secara realita, ada sebagian orang
yang melakukan Isbal tidak karena sombong misalnya orang yang kakinya
luka kemudian ditutupi dengan kain panjang, atau memakai kaki palsu,
atau kaki cacat dan semisalnya. Secara Nash, Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam sendiri dan Abubakar juga melakukan Isbal. Seandainya
Isbal pasti menimbulkan kesombongan, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam dan Abubakar termasuk shahabat-shahabat yang lain dan Tabi’in
yang shalih adalah orang-orang yang jauh dari hal tersebut.
Statemen Nabi yang berbunyi;
وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنْ الْمَخِيلَةِ وَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ
Dan janganlah engkau julurkan sarungmu karena itu bagian dari sifat sombong, sesungguhnya Allah tidak menyukai sifat sombong
Maknanya adalah; Umumnya Isbal itu didorong perasaan sombong. Sesuatu
yang berlaku secara umum memang secara bahasa boleh diungkapkan secara
mutlak untuk menunjukkan keberlakuannya yang terjadi secara merata dan
umum. Sebagaimana Alah melaknat dan mencela orang Yahudi yang disebutkan
secara umum, hal ini tidak bermakna seluruh keturunan Yahudi dilaknat
Alah, karena ada orang-orang tertentu yang dikecualikan dari kondisi
umum itu karena mereka berbeda dengan kondisi umum, yakni memilih
beriman kepada Allah dan RasulNya seperti sejumlah Shahahabat yang
berasal dari Yahudi: Abdullah bin Salam, Ubay bin Ka’ab, dll. Allah
berfirman;
{وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا بِمَا قَالُوا} [المائدة: 64]
orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, sebenarnya
tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dila’nat disebabkan
apa yang telah mereka katakan itu. (Al-Maidah; 64)
maknanya bukan semua Yahudi pasti mengucapkan perkataan keji tersebut, tetapi sebagian dari mereka.
Hal yang sama ketika Nabi mengatakan bahwa Isbaltermasuk kesombongan.
Maknanya; umumnya Isbaldi zaman beliau adalah dilakukan karena sombong,
jadi jangan mengikuti mereka.
Keenam; Hadis ‘Alal Khobir Saqoth-ta menunjukkan bahwa larangan Isbal tidak memebedakan antara yang Muthlaq dengan Muqoyyad.
Abu Dawud meriwayatakan Hadis yang mengandung lafadz ‘Alal Khobir Saqoth-ta sebagai berikut;
سنن أبى داود (11/ 131)
عَنْ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
سَأَلْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ عَنْ الْإِزَارِ فَقَال عَلَى
الْخَبِيرِ سَقَطْتَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِزْرَةُ الْمُسْلِمِ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ وَلَا حَرَجَ أَوْ
لَا جُنَاحَ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ مَا كَانَ أَسْفَلَ
مِنْ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ
يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ
Dari Al ‘Ala bin ‘Abdurrahman dari Bapaknya ia berkata, “Aku bertanya
kepada Abu Sa’id Al Khudri tentang kain sarung, lalu ia berkata, “Engkau
bertanya kepada orang yang tepat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Kain sarung seorang Muslim sebatas setengah betis,
dan tidak berdosa antara batas setengah betis hingga dua mata kaki.
Adapun apa yang ada di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka.
Barangsiapa menjulurkan kain sarungnya karena sombong, maka Allah tidak
akan melihatnya pada hari kiamat.” (H.R.Abu Dawud)
Riwayat Imam Malik berbunyi;
موطأ مالك (5/ 416)
عَنْ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ
عَنْ الْإِزَارِ فَقَالَ أَنَا أُخْبِرُكَ بِعِلْمٍ سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِزْرَةُ الْمُؤْمِنِ
إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ لَا جُنَاحَ عَلَيْهِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ
الْكَعْبَيْنِ مَا أَسْفَلَ مِنْ ذَلِكَ فَفِي النَّارِ مَا أَسْفَلَ مِنْ
ذَلِكَ فَفِي النَّارِ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى
مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
Dari Al ‘Ala bin Abdurrahman dari Bapaknya berkata; Aku bertanya kepada
Abu Sa’id Al Khudri tentang pakaian. Dia menjawab; “Aku akan mengabarkan
kepadamu dengan berdasarkan ilmu. Aku mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam beliau bersabda: ‘Panjang sarung seorang mukmin adalah
setengah betisnya, dan tidak mengapa jika panjangnya antara betis hingga
kedua mata kaki. Jika di bawah itu maka tempatnya adalah Neraka, jika
di bawah itu maka tempatnya adalah Neraka. Pada hari kiamat Allah tidak
akan melihat orang yang menjulurkan sarungnya karena sombong.”
(H..Malik)
lafadz yang berbunyi;
مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ
apa yang ada di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka. Barangsiapa
menjulurkan kain sarungnya karena sombong, maka Allah tidak akan
melihatnya pada hari kiamat
Difahami bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak membedakan
keharaman Isbal baik karena sombong maupun tidak, kerena lafadz;
مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ
apa yang ada di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka
Lafadz ini menunjukkan ancaman Isbal secara mutlak termasuk Isbal tanpa sombong, sementara lafadz;
مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ
Barangsiapa menjulurkan kain sarungnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat
Menunjukkan ancaman Isbal karena sombong.
Disatukannya dua ancaman tersebut dalam satu lafadz difahami berarti
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak membedakan celaan terhadap
Isbalbaik dilakukan karena sombong maupun tidak.
Jawaban atas argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Disatukannya lafadz;
مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ
Dengan lafadz;
مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ
Tidak menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang
Isbal secara mulak. Hal itu dikarenakan antara dua lafadz tersebut
tidak disambung oleh Harf ‘Athof, sehingga tidak bisa difahami dua hal.
Lafadz kedua sejatinya adalah penjelas dari lafadz pertama, artinya,
lafadz;
مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ
Barangsiapa menjulurkan kain sarungnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat
Menjelaskan lafadz;
مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ
apa yang ada di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka
Jadi yang dicela Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terkait dengan
pakaian di bawah matakaki adalah mereka yang melakukannya kerana
sombong. Redaksi semacam ini semakna dengan ayat dalam surat Al-Luqman
berikut;
{وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ } [لقمان: 19]
dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (Luqman;19)
artnya; lafadz;
إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai Menjelaskan lafadz;
وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ
lunakkanlah suaramu
Yang melarang bersuara keras. Dua hal tersebut tidak bisa difahami dua
hal karena lafadz kedua menerangkan dan membuat lebih jalas lafadz
sebelumnya.
Ketujuh; hadis Ummu Salamah menunjukkan Ummu Salamah memahami larang Isbal itu mutlak.
At-Tirmidzi meriwayatkan;
سنن الترمذى (6/ 343)
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ
ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ
قَالَ يُرْخِينَ شِبْرًا فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ قَالَ
فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لَا يَزِدْنَ عَلَيْهِ
قَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Dari Ibnu Umar ia berkata, “Rasulullah bersabda: “Barangsiapa
menjulurkan kainnya dengan rasa sombong, maka Allah tidak akan
melihatnya pada hari kiamat.” Ummu Salamah bertanya, “Lalu apa yang
harus dilakukan kaum wanita dengan dzail (lebihan kain bagian bawah)
mereka?” beliau menjawab: “Mereka boleh memanjangkannya satu jengkal.”
Ummu Salamah kembali menyelah, “Kalau begitu kaki mereka akan terlihat!”
beliau bersabda: “Mereka boleh memanjangkannya sehasta, dan jangan
lebih.” Abu Isa berkata, “Hadits ini derajatnya hasan shahih.”
(H.R.At-Tirmidzi)
Argumen yang dipakai dengan memahami hadis di atas; Sendainya larangan
Isbal tidak secara mutlak, tidak ada maknanya Ummu Salamah meminta
penjelasan panjang pakaian wanita. Pertanyaan Ummu Salamah menunjukkan
bahwa beliau memahami larangan Isbal itu mutlak yang berlaku bagi lelaki
maupun wanita.
Jawaban terhadap argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Hadis Ummu Salamah tidak menunjukkan bahwa Nabi melarang Isbal secara
mutlak,karena maksud pertanyaan Ummu Salamah adalah permintaan solusi
terkait wanita yang berisbal karena sombong dikaitkan dengan perintah
Syara untuk menjaga kehormatan wanita. Jadi ada dua problem yang ingin
dipecahkan; menghilangkan kesombongan karenaIsbal dan menjaga aurot.
Solusi dari Nabi adalah memberi izin Isbal sejengkal dari tengah betis
dan maksimal sedepa dari tengah betis. Yang menguatkan pemahaman ini
adalah adanya lafadz “Khuyala” pada hadis tersebut. Oleh karena itu
pertanyaan Ummu Salamah bermakna permintaan solusi terhadap wanita yang
berisbal yang disisipi sombong sementara pada sisi yang lain dia juga
harus menjaga kehormatannya sebagai wanita, dengan semaksimal mungkin
berusaha menutupi tubuh.
Adapun alasan bahwa Isbal itu haram secara mutlak karena termasuk
Madhinah Khuyala’ (area yang menjadi tempat dugaan adanya kesombongan),
Isrof(melampaui batas) Madhinnah Najasat (area yang menjadi tempat
dugaan adanya najis), danTasyabbuh terhadap wanita, maka alasan-alasan
ini tidak bisa diterima karena bukan alasan yang dinyatakan oleh Nash
terkait dengan topik Isbal, bukan yang dimaksud Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam, Ta’lil yang tidak ditopang dalil, dan tidak sesuai
dengan maksud Nash yang dijadikan dasar. Semua alasan ini terbantahkan
dengan izin Isbal terhadap Abubakar dan Isbal Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam sendiri, termasuk shahabat-shahabat dan Tabi’in besar
yang lain.
Sampai disini, kembali pada kesimpulan awal, yakni;Isbal yang dilakukan
tanpa sombong hukumnya Mubah berdasarkan sejumlah argumentasi yang telah
dipaparkan di atas. Pendapat yang mengatakan Isbal haram secara mutlak
meski tanpa sombong telah ditunjukkan sisi-sisi kelamahannya.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa Isbaltanpa sombong hukumnya Makruh
dengan mendasarkan hadis Abubakar, maka penjelasan ini sulit diterima,
karena jika memang Isbal tanpa sombong hukumnya Makruh, tentu Nabi tidak
akan merekomendasikan Makruh kepada Abubakar. Izin Nabi kepada Abubakar
untuk berisbal tanpa sombong menunjukkan hukum Mubah bukan Makruh.
Demikian pula jika dalil yang dipakai adalah Hadis Jabir bin Sulaim
untuk menunjukkan makruhnya Isbaltanpa sombong. Penjelasan ini juga
sulit diterima, karena jika kita penerimaan kandungan hadis Jabir bin
Sulaim jika difahami larangan Muthlaq, maka penerimaan tersebut
mengharuskan penerimaan bahwa Isbal haram secara Muthlaq. Sementara jika
memahami hadis tersebut adalah Nash Muthlaq yang ditaqyid kesombongan,
maka hal ini mengharuskan penerimaan bahwa Isbal tanpa sombong dihukumi
Mubah bukan Makruh. Lagipula, memahami Makruh bertentangan dengan
praktek yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
Abubakar, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Umar bin Abdul Aziz, Ibrahim
An-Nakho’I, Ayyub Assikhtiyani, dll
Jika Isbal dilakukan karena sombong maka jelas tanpa ada perselisihan
berdasarkan Nash-Nash sebelumnya hukumnya haram. Sebagian ulama seperti
Ad-Dzahabi dalam Al-Kaba-ir, Ibnu Hajar Al-‘Asqolani dalam Fathul Bari,
dan Ibu Hajar Al-Haitami dalam Azzawajir ‘An Iqtirof Al-Kabair malah
menggolongkannya dalam dosa besar (Al-Kaba-ir). Adapun yang berpendapat
bahwa Isbal dengan sombong hanya Makruh saja, maka pendapat ini
terbantahkan dengan ancaman Neraka yang begitu jelas dalam Nash yang
tidak bermakna lain selain haram.
Isbal yang disertai kesombongan haram bukan hanya pada Izar (sarung/kain
bawahan), tetapi berlaku juga pada gamis, sorban dan semua asesoris
tubuh yan memicu munculnya perasaan sombong. Ibnu Majah meriwayatkan;
سنن ابن ماجه (10/ 427)
عَنْ ابْنِ أَبِي رَوَّادٍ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْإِسْبَالُ فِي
الْإِزَارِ وَالْقَمِيصِ وَالْعِمَامَةِ مَنْ جَرَّ شَيْئًا خُيَلَاءَ
لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
قَالَ أَبُو بَكْرٍ مَا أَغْرَبَهُ
Dari Ibnu Abu Rawwad dari Salim dari Ayahnya dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Isbal itu terdapat juga pada kain
sarung (celana), pakaian (gamis) dan surban. Barangsiapa memanjangkan
sesuatu (seperti tadi) dengan sombong, niscaya Allah tidak akan melihat
kepadanya pada hari Kiamat kelak.” Abu Bakar berkata; “Husain bin Ali
tidak menganggap asing hadits di atas.” (H.R.Ibnu Majah)
Bukhari juga meriwayatkan;
صحيح البخاري (18/ 94)
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ لَقِيتُ مُحَارِبَ بْنَ دِثَارٍ عَلَى فَرَسٍ
وَهُوَ يَأْتِي مَكَانَهُ الَّذِي يَقْضِي فِيهِ فَسَأَلْتُهُ عَنْ هَذَا
الْحَدِيثِ فَحَدَّثَنِي فَقَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ
ثَوْبَهُ مَخِيلَةً لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
فَقُلْتُ لِمُحَارِبٍ أَذَكَرَ إِزَارَهُ قَالَ مَا خَصَّ إِزَارًا وَلَا
قَمِيصًا
Telah menceritakan kepada kami Syu’bah dia berkata; saya berjumpa
Muharib bin Ditsar di atas kudanya, ketika ia datang di tempat untuk
memutuskan suatu perkara, lalu aku bertanya tentang suatu hadits, maka
dia menceritakan kepadaku, katanya; saya mendengar Abdullah bin Umar
radliallahu ‘anhuma berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Barangsiapa menjulurkan kainnya karena sombong, maka Allah
tidak akan melihatnya pada hari Kiamat kelak.” Lalu tanyaku kepada
Muharib; “Apakah beliau menyebutkan kain sarung?” dia menjawab; “Beliau
tidak mengkhususkan kain sarung ataukah jubah.”(H.R.Bukhari)
Pengecualian kebolehan bersikap sombong hanya dalam satu kondisi yaitu saat perang berdasarkan hadis berikut;
مسند أحمد (48/ 261)
عَنِ ابْنِ جَابِرِ بْنِ عَتِيكٍ عَنْ أَبِيهِ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ
الْغَيْرَةِ مَا يُحِبُّ اللَّهُ وَمِنْهَا مَا يُبْغِضُ اللَّهُ وَإِنَّ
مِنْ الْخُيَلَاءِ مَا يُحِبُّ اللَّهُ وَمِنْهَا مَا يُبْغِضُ اللَّهُ
وَأَمَّا الْغَيْرَةُ الَّتِي يُحِبُّ اللَّهُ فَالْغَيْرَةُ الَّتِي فِي
الرِّيبَةِ وَأَمَّا الْغَيْرَةُ الَّتِي يُبْغِضُ اللَّهُ فَالْغَيْرَةُ
فِي غَيْرِ الرِّيبَةِ وَأَمَّا الْخُيَلَاءُ الَّتِي يُحِبُّ اللَّهُ
فَاخْتِيَالُ الرَّجُلِ بِنَفْسِهِ عِنْدَ الْقِتَالِ وَاخْتِيَالُهُ
عِنْدَ الصَّدَقَةِ وَالْخُيَلَاءُ الَّتِي يُبْغِضُ اللَّهُ فَاخْتِيَالُ
الرَّجُلِ فِي الْفَخْرِ وَالْبَغْيِ
Dari Ibnu Jabir bin ‘Atik dari ayahnya bahwa Rasulullah Shallalahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya diantara cemburu itu ada yang
disukai Allah dan ada yang dibenci Allah dan diantara sikap sombong itu
ada yang disukai Allah dan ada yang dibenci Allah, cemburu yang disukai
Allah adalah cemburu dalam keraguan dan yang dibenci Allah adalah
cemburu diluar keraguan, sedangkan sikap sombong yang disukai Allah
sombongnya seorang hamba untuk Allah saat perang dan sombong dengan
sedekah, sedangkan sombong yang dibenci Allah adalah sombongnya
seseorang dalam kebanggaan dan kekejian.” (H.R.Ahmad)
Ulama-Ulama Yang Berpendapat Isbal Tanpa Sombong Hukumnya Mubah
Berikut ini didaftarkan nama-nama ulama yang berpendapat bahwa Isbal
tanpa sombong hukumnya Mubah. Diantara mereka adaah Abu Hanifah. Ibnu
Muflih berkata dalam Al-Adab As-Syar’iyyah;
الآداب الشرعية (4/ 226)
قَالَ صَاحِبُ الْمُحِيطِ مِنْ الْحَنَفِيَّةِ وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا
حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ ارْتَدَى بِرِدَاءٍ ثَمِينٍ قِيمَتُهُ
أَرْبَعُمِائَةِ دِينَارٍ وَكَانَ يَجُرُّهُ عَلَى الْأَرْضِ فَقِيلَ لَهُ
أَوَلَسْنَا نُهِينَا عَنْ هَذَا ؟ فَقَالَ إنَّمَا ذَلِكَ لِذَوِي
الْخُيَلَاءِ وَلَسْنَا مِنْهُمْ ، وَاخْتَارَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ
رَحِمَهُ اللَّهُ عَدَمَ تَحْرِيمِهِ وَلَمْ يَتَعَرَّضْ لِكَرَاهَةٍ وَلَا
عَدَمِهَا
Penulis kitab al Muhith dari ulama Hanafiyah menyatakan; telah
diriwayatkan bahwasanya Abu Hanifah mengenakan mantel yang mahal seharga
400 dinar. Dan beliau memanjangkannya hingga terseret di atas tanah.
Lalu ditanyakan kepadanya, “Bukankah kita dilarang untuk itu?” Ia
berkata, “Larangan itu hanyalah untuk yang memiliki kesombongan. Dan
kami bukan termasuk dari mereka.” Dan syaikh Taqiyuddin memilih
ketiadaan pengharamannya. Beliau tidak berani untuk memakruhkannya
maupun tidak memakruhkannya. (Al-Adab As-Syar’iyyah vol.4 hlm 226)
Termasuk juga (konon) Imam Ahmad dalam satu riwayat;
الآداب الشرعية (4/ 226)
وَقَالَ-يقصد أحمد بن حنبل- فِي رِوَايَةِ حَنْبَلٍ : جَرُّ الْإِزَارِ
إذَا لَمْ يُرِدْ الْخُيَلَاءَ فَلَا بَأْسَ بِهِ وَهَذَا ظَاهِرُ كَلَامِ
غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ الْأَصْحَابِ رَحِمَهُمُ اللَّهُ وَقَالَ أَحْمَدُ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَيْضًا { مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فِي
النَّارِ } لَا يَجُرُّ شَيْئًا مِنْ ثِيَابِهِ وَظَاهِرُ هَذَا
التَّحْرِيمُ ، فَهَذِهِ ثَلَاثُ رِوَايَاتٍ
Ahmad bin Hanbal berkata dalam suatu riwayatHanbal, “Menyeret sarung,
jika tidak karena sombong, maka tidak mengapa.” Dan ini adalah perkataan
yang jelas dari banyak dari para Ulama semadzhab. Ahmad berkata, “[Apa
yang berada di bawah mata kaki, adalah di Neraka.] Maksudnya adalah
tidak menyeret suatu apapun dari pakaiannya. Ini jelas pengharaman.
Inilah tiga riwayat. (Al-Adab As-Syar’iyyah vol.4 hlm 226)
Termasuk pula Al-Baji, ulama bermadzhab maliki;
المنتقى – شرح الموطأ (4/ 310)
وَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم الَّذِي يَجُرُّ ثَوْبَهُ
خُيَلَاءَ يَقْتَضِي تَعَلُّقَ هَذَا الْحُكْمِ بِمَنْ جَرَّهُ خُيَلَاءَ
أَمَّا مَنْ جَرَّهُ لِطُولِ ثَوْبٍ لَا يَجِدُ غَيْرَهُ أَوْ عُذْرٍ مِنْ
الْأَعْذَارِ فَإِنَّهُ لَا يَتَنَاوَلُهُ الْوَعِيدُ
Perkataan Nabi “Orang yang menyeret pakaiannya karena sombong”
meniscayakan kaitan antara hukum ini dengan orang yang melakukannya
karena sombong. Adapun orang yang menyeretnya karena panjangnya pakaian
karena tak punya pakaian selain itu, atau karena suatu udzur, maka ia
tidak akan mendapat adzab. (Al-Muntaqo, Syarah Al-Muwattho, vol.4
hlm.310)
Termasuk pula Ar-Ruhaibani;
مطالب أولي النهى (2/ 363)
( فَإِنْ أَسْبَلَ ) ثَوْبَهُ ( لِحَاجَةٍ : كَسِتْرِ ) سَاقٍ ( قَبِيحٍ ،
وَلَا خُيَلَاءَ وَلَا تَدْلِيسَ ) عَلَى النِّسَاءِ : ( أُبِيحَ )
(dan jika ia menjulurkan) pakaiannya (untuk kebutuhan tertentu: seperti
menutupi) betis (yang buruk, tidak dalam rangka sombong atau
menyembunyikan sesuatu) dari wanita: maka boleh (Matholib Uli An-Nuha,
vol.2 hlm 363)
Termasuk pula Al-Hakim At-Tirmidzi;
المنهيات (ص: 7، بترقيم الشاملة آليا)
وعامة الأحاديث التى جاءت عن جر الإزار، إنما تدل على أن النهى مع الشرط،
قال:)من جر الإزار خيلاء(؛ فدل هذا على أن النهى عن جر الإزار إذا كان
خيلاء.
Umumnya hadits yang ada terkait dengan menyeret sarung, hanyalah
menunjukkan atas larangan dengan syarat [Barang siapa yang menyeret
sarung karena sombong]. Dan ini menunjukkan bahwa larangan tersebut
adalah larang untuk menyeret sarung jika dalam rangka kesombongan.
(Al-Manhiyyat, hlm 7)
Termasuk pula Abu ‘Awanah;
مسند أبي عوانة (5/ 244)
بيان الأخبار الناهية عن جر الرجل إزاره بطرا وخيلاء والتشديد فيه والدليل على أن من لم يرد به خيلاء لم تكن عليه تلك الشدة
Penjelasan hadits-hadits yang melarang para lelaki untuk menyeret
sarungnya dalam rangka sombong dan angkuh serta penyangatan di dalam
pelarangannya, menunjukkan bahwa orang yang melakukannya tidak dalam
rangka sombong, tidak termasuk dalam pelarangan yang sangat tersebut
(Musnad Abu ‘Awanah, vol.5 hlm 244)
Termasuk Abu Hatim sang kritikus hadis;
صحيح ابن حبان (2/ 282)
قال أبو حاتم الأمر بترك استحقار المعروف أمر قصد به الإرشاد والزجر عن
إسبال الإزار زجر حتم لعلة معلومة وهي الخيلاء فمتى عدمت الخيلاء لم يكن
بإسبال الإزار بأس
Abu Hatim berkata, “Perintah untuk meninggalkan menganggap remeh hal
yang ma’ruf adalah perintah yang bermaksud untuk mendidik. Dan larangan
untuk tidak mengIsbalkan sarung adalah larangan yang pasti karena sebab
yang telah diketahui, yakni kesombongan. Oleh karena itu, jika
kesombongan itu tidak ada, maka tidaklah mengapa Isbal sarung.” (Shahih
Ibnu Hibban)
Termasuk pula As-Syaukani;
نيل الأوطار (2/ 112)
وظاهر التقييد بقوله ( خيلاء ) يدل بمفهومه أن جر الثوب لغير الخيلاء لا يكون داخلا في هذا الوعيد
Pembatasan yang jelas dengan perkataan “kesombongan” menunjukkan bahwa
pemahamannya adalah menyeret pakaian tanpa disertai kesombongan tidak
termasuk dalam ancaman ini. (Nail Al-Author, vol.2 hlm 112)
نيل الأوطار (2/ 112)
وبهذا يحصل الجمع بين الأحاديث وعدم إهدار قيد الخيلاء المصرح به في الصحيحين
Dan dengan inilah telah terjadi pengkompromian antara hadits-hadits
tanpa perlu menyia-nyiakan Qoid sombong yang dinyatakan dengan jelas
dalam Shahih Bukhari dan Muslim (Nail Al-Author, vol.2 hlm 112)
Termasuk pula Al-Munawi;
فيض القدير (3/ 436)
(والمسبل إزاره) الذي يطول ثوبه ويرسله إذا مشى تيها وفخرا (خيلاء) أي يقصد
الخيلاء بخلافه لا بقصدها ولذلك رخص المصطفى صلى الله عليه وسلم في ذلك
لأبي بكر حيث كان جره لغير الخيلاء
(والمسبل إزاره) adalah orang yang memanjangkan pakaiannya dan
menjulurkannya ketika ia berjalan dengan kesombongan dan kebanggaan.
(خيلاء) maksudnya adalah melakukannya dengan sombong yang berbeda dengan
tidak dalam rangka sombong, oleh karena itu Nabi telah memberikan
keringanan kepada Abu Bakr ketika menyeretnya bukan karena kesombongan.
(Faidh Al-Qodir, vol.3 hlm 436)
Termasuk pula Al-Iroqi;
طرح التثريب (9/ 34)
وَأَمَّا الْأَحَادِيثُ الْمُطْلَقَةُ بِأَنَّ مَا تَحْتَ الْكَعْبَيْنِ
فِي النَّارِ فَالْمُرَادُ بِهِ مَا كَانَ لِلْخُيَلَاءِ ؛ لِأَنَّهُ
مُطْلَقٌ فَوَجَبَ حَمْلُهُ عَلَى الْمُقَيَّدِ
Adapun hadits-hadits yang mutlak bahwasanya apa yang di bawah kedua mata
kaki adalah di Neraka, maksudnya adalah selama itu dalam rangka
kesombongan; Karena mutlak, maka harus dibawa kepada yang muqoyyad
(Thorhu At-Tatsrib, vol.9, hlm 34)
Termasuk pula Assindy;
حاشية السندي على النسائي (5/ 81)
لا يكلمهم الله الخ كناية عن عدم الالتفات إليهم بالرحمة والمغفرة المسبل
من الإسبال بمعنى الارخاء عن الحد الذي ينبغي الوقوف عنده والمراد إذا كان
عن مخيلة والله تعالى أعلم
Allah tidak mengajak bicara (hingga akhir hadits) merupakan kinayah
tentang ketiadaan pandangan terhadap mereka dengan pandangan kasih
sayang dan ampunan. Musbil adalah dari kata Isbal yang artinya
penjuluran yang melebihi batas yang seharusnya. Maksudnya adalah jika
hal itu karena kesombongan. Allahu a’lam. (Hasyiyah As-Sindy, vol.5 hlm,
51)
Termasuk pula As-Suyuthi;
الديباج على مسلم (1/ 120)
المسبل إزاره المرخي له الجار طرفيه خيلاء فهو مخصص بالحديث الآخر لا ينظر
الله إلى من جر ثوبه خيلاء وقد رخص صلى الله عليه وسلم في ذلك لابي بكر حيث
كان جره لغير الخيلاء
المسبل إزاره adalah yang menjulurkannya dan menyeret kedua ujungnya
dalam rangka kesombongan. Dan ini dikhususkan oleh hadits yang lain
“Allah tidak akan melihat kepada orang yang menyeret pakaiannya karena
sombong” dan Rasulullah memberikan keringanan dalam hal itu untuk Abu
Bakr karena ia menyeretnya bukan karena kesombongan. (Ad-Dibaj ‘Ala
Muslim, vol.1 hlm 120)
Termasuk pula Abdurrahman Al-Bassam;
قال الشيخ عبد الرحمن بن عبد الله البسام رحمه الله : ” ( إن القاعدة
الأصولية هي حمل المطلق على المقيد وهي قاعدة مطردة في عموم نصوص الشريعة.
والشارع الحكيم لم يقيد تحريم الإسبال – بالخيلاء – إلا لحكمة أرادها ولولا
هذا لم يقيده. والأصل في اللباس الإباحة ، فلا يحرم منها إلا ما حرمه الله
ورسوله صلى الله عليه وسلم . والشارع قصد من تحريم هذه اللبسة الخاصة قصد
الخيلاء من الإسبال وإلا لبقيت اللبسة المذكورة على أصل الإباحة. وإذا
نظرنا إلى عموم اللباس وهيئاته وأشكاله لم نجد منه شيئاً محرماً إلا
وتحريمه له سبب وإلا فما معنى التحريم وما الغرض منه ، لذا فإن مفهوم
الأحاديث أن من أسبل ولم يقصد بذلك الكبر والخيلاء ، فإنه غير داخل في
الوعيد “.اهـ من ( توضيح الأحكام من بلوغ المرام 6/246 )
Syaikh ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah al bassam berkata, “Sesungguhnya
Kaidah Ushul Hamlul Muthlaq ‘alal Muqoyyad adalah kaidah umum yang
terdapat pada Nash-Nash syara’. Asy-syari’ (Allah) yang Mahabijak tidak
membatasi pengharaman Isbal dengan kesombongan kecuali karena hikmah
yang dikehendaki. Andaikan tidak ada hikmah yang dikehendaki, tentu Dia
tidak akan membatasinya. Hukum asal pakaian adalah Mubah. Tidak ada yang
haram darinya kecuali bila Allah dan RasulNya mengharamkannya.
As–Syari’ memaksudkan pengharaman cara berpakaian khusus ini adalah pada
kesombongan pada Isbal. Jika tidak, maka cara berpakaian yang
disebutkan seharusnya tetap dalam kemubahannya. Dan jika kita melihat
pada umumnya pakaian serta model dan bentuknya, kita tidak menemukan
adanya sesuatu yang diharamkan kecuali pengharamannya karena sebab
tertentu. Jika tidak, maka apalah artinya pengharamannya dan apa tujuan
pengharamannya. Oleh sebab itu, maka pemahaman terhadap hadits ini
adalah barangsiapa yang Isbal dan tidak dalam rangka sombong dan angkuh,
maka ia tidak masuk dalam ancaman.”(Taudhih Al-Ahkam min Bulughi
Al-marom)
Demikian pula Bukhari sebagaimana tercermin dari penempatan judul khusus
tentang Isbal tanpa sombong, Yusuf Al-Qordhowi, dll. Imam As-Syafi’I
dan Ibnu Hajar memungkinkan pula ditafsiri condong dengan pendapat ini
dilihat dari statemen beliau berdua.
Penutup
Dari sini jelaslah bahwa Isbal tanpa sombong hukumnya Mubah, dan jika
disertai kesombongan maka termasuk haram bahkan dosa besar. Pendapat
bahwa Isbal tanpa sombong dihukumi Mubah dianut oleh sejumlah ulama
besar yang termasuk bukan ulama sembarangan dan menjadi rujukan umat
sepanjang masa.
Namun hal ini tidak berarti bolehnya mengejek pendapat yang mengatakan
bahwa Isbal haram secara mutlak,karena pendapat ini juga dinyatakan oleh
ulama-ulama berilmu juga seperti Ad-Dhohiry, Qodhi ‘Iyadh, Ibnu
Al-‘Aroby, Ad-Dzahaby,As-Shon’ani yang diikuti oleh sejumlah ulama
kontemporer bin Baz, Al-Albani, dan Ibnu ‘Utsaimin. Pendapat yang
mengharamkan Isbal secara mutlak harus dihormati sebagai salah satu
ijtihad dalam ijtihad Fikih.
Penghormatan yang sama juga diberikan kepada yang berpendapat bahwa
Isbal tanpa sombong dihukumi makruh. Pendapat ini juga dinyatakan
ulama-ulama besar seperti Ibnu Abdil Barr, An-Nawawi, Ibnu Qudamah dll.
Pendeknya, tidak ada celaan dalam ijtihad selama ijtihad itu dilakukan
dengan kaidah-kaidah Istinbath (penggalian hukum) yang Shahih. Semua
ijtihad terpuji meskipun salah. Namun ijtihad yang benar tetap lebih
utama daripada ijtihad yang salah. Manapun dari penjelasn hukum tentang
Isbal tanpa sombong yang benar di sisi Allah, baik yang berpendapat
haram mutlak, makruh maupun Mubah semuanya terpuji dan setiap mukallaf
hendaknya memilih pendapat yang dipandangnya paling kuat dan paling
dekat dengan kebenaran. Serta berpakaian sesuai kebiasaan, yang perlu
diperhatikan adalah kelayakan dan pantas dalam pergaulan. Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar