Manakala musibah ini menimpa, banyak orang mengungkapkan perasaan
berkabungnya dengan berbagai cara. Di antaranya, ada yang berkabung
dengan menaikkan bendera setengah tiang karena wafatnya seorang pemimpin
atau tokoh besar. Atau kaum laki-laki berkabung atas kematian salah
seorang keluarga atau kerabatnya. Ada yang mengungkapkannya dengan
mengenakan pakaian serba hitam sebagai simbol duka. Bagaimanakah dengan
Islam?
Islam telah menetapkan, bahwa berkabung hanyalah untuk wanita jika
suaminya atau salah satu keluarganya meninggal dunia, dengan cara-cara
yang telah ditetapkan syari’at.
MAKNA BERKABUNG DALAM ISLAM
Berkabung, dalam bahasa Arabnya adalah al hadaad ( الْحَدَادُ ).
Maknanya, tidak mengenakan perhiasan baik berupa pakaian yang menarik,
minyak wangi atau lainnya yang dapat menarik orang lain untuk
menikahinya. Pendapat lain menyatakan, al hadaad adalah sikap wanita
yang tidak mengenakan segala sesuatu yang dapat menarik orang lain untuk
menikahinya seperti minyak wangi, celak mata dan pakaian yang menarik
dan tidak keluar rumah tanpa keperluan mendesak, setelah kematian
suaminya.
JENIS BERKABUNG
Al hadaad, terbagi menjadi dua. Pertama, berkabung dari kematian suami
selama empat bulan sepuluh hari. Kedua, berkabung dari kematian salah
satu anggota keluarganya, selain suami selama tiga hari.
Pembagian ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salllam :
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ
تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجِهَا رواه مسلم
"Tidak boleh seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir
untuk berkabung atas kematian melebihi tiga hari, kecuali atas kematian
suaminya"
Dan dalam riwayat Bukhari terdapat tambahan lafazh :
فَإِنَّهَا تُحِدُّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
"Maka ia berkabung atas hal tersebut selama empat bulan sepuluh hari"
HUKUM BERKABUNG ATAS KEMATIAN SUAMI
Ulama ahlu sunnah sepakat, kecuali Al Hasan Al Bashri, Al Hakam bin
Utaibah dan Asy Sya’bi, menyatakan bahwa hukum berkabung dari kematian
suami selama empat bulan sepuluh hari adalah wajib.
Wanita muslimah yang ditinggal wafat suaminya wajib melakuakan tiga hal;
pertama: Menjalani masa Iddah yaitu masa menunggu dalam waktu tertentu
sebelum boleh menikah lagi, kedua; Menjalani Ihdad yaitu masa berkabung
dengan cara tidak berhias selama masa Iddah, ketiga; Tinggal di rumah
peninggalan suami selama masa Iddah.
Untuk kewajiban yang pertama, yaitu menjalani masa Iddah, maka hal
tersebut dilakukan selama empat bulan ditambah sepuluh hari terhitung
semenjak tanggal wafatnya suami. Dalilnya adalah Firman Allah;
{وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ
أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ } [البقرة: 234]
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber’Iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis
‘Iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat
terhadap diri mereka menurut yang patut (Al-Baqoroh; 234)
Ayat di atas cukup jelas menjelaskan bahwa wanita yang ditinggal wafat
suaminya wajib menunggu selama empat bulan lebih sepuluh hari, artinya
menjalani masa Iddah selama masa tersebut. Selama masa Iddah ini wanita
haram dilamar secara terang-terangan, diberi janji untuk dinikahi,
apalagi menjalankan Akad nikah. Allah berfirman;
{وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ
النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ
سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ
تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا} [البقرة: 235]
Tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau
kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah
mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu
janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia,
kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang
ma’ruf.(Al-Baqoroh;235)
Dalam ayat di atas, Allah mengizinkan mengkhitbah/melamar wanita yang
sedang di masa Iddah karena ditinggal wafat suaminya secara sindiran.
Mafhumnya (makna implisitnya), melamar secara terang-terangan hukumnya
haram. Memberi janji untuk menikahi juga dilarang secara tegas dalam
ayat ini. Oleh karena itu, ayat ini menunjukkan wanita yang sedang dalam
masa Iddah karena ditinggal wafat suaminya haram dipinang
terang-terangan, diberi janji dinikahi, apalagi melangsungkan Akad
Nikah. Semua Akad Khitbah dan Akad nikah yang dilakukan dalam masa Iddah
adalah Akad fasid (rusak) yang harus difasakh (dibatalkan).
Jika wanita yang ditinggal wafat itu hamil, maka masa Iddahnya adalah sampai dia melahirkan. Allah berfirman;
{وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ} [الطلاق: 4]
Perempuan-perempuan yang hamil, waktu Iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya (At-Tholaq;4)
Untuk kewajiban kedua, yakni kewajiban Ihdad maka yang dimaksud Ihdad
adalah berkabung dengan cara menghindari semua hal yang terkategori
aktifitas berhias. Hal itu dikarenakan makna Ihdad secara bahasa adalah
Al-Man’u (hal mencegah), maksudnya mencegah diri dari semua perhiasan.
An Nawawi berkata dalam kitabnya “Tahriru Alfadhi At-Tanbih”
تحرير ألفاظ التنبيه (ص: 285)
الإحداد من الحد وهو المنع لأنها تمنع الزينة
“Ihdad berasal dari kata Haddun maknanya mencegah/menghalangi karena
wanita yang berIhdad mencegah (dirinya) untuk berhias” (Tahriru Alfadhi
At-Tanbih, hlm;285)
Hukum menjalani Ihdad bagi wanita yang ditinggal wafat suaminya adalah
wajib, sementara jika yang wafat selain suami, Ihdad hukumnya mubah saja
tidak sampai wajib. Ihdad bagi wanita yang ditinggal wafat suami
dilakukan selama waktu Iddah yaitu selama empat bulan ditambah sepuluh
hari, sementara jika yang wafat selain suami Ihdad maksimal dilakukan
selama tiga hari.
Dalil yang menunjukkan Ihdad bagi wanita yang ditinggal suami hukumnya wajib adalah hadis berikut;
صحيح البخاري (16/ 406)
قَالَتْ زَيْنَبُ وَسَمِعْتُ أُمَّ سَلَمَةَ
تَقُولُ جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنَتِي تُوُفِّيَ عَنْهَا
زَوْجُهَا وَقَدْ اشْتَكَتْ عَيْنَهَا أَفَتَكْحُلُهَا فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا
كُلَّ ذَلِكَ يَقُولُ لَا ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا هِيَ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ وَقَدْ
كَانَتْ إِحْدَاكُنَّ فِي الْجَاهِلِيَّةِ تَرْمِي بِالْبَعْرَةِ عَلَى
رَأْسِ الْحَوْلِ
قَالَ حُمَيْدٌ فَقُلْتُ لِزَيْنَبَ وَمَا تَرْمِي بِالْبَعْرَةِ عَلَى
رَأْسِ الْحَوْلِ فَقَالَتْ زَيْنَبُ كَانَتْ الْمَرْأَةُ إِذَا تُوُفِّيَ
عَنْهَا زَوْجُهَا دَخَلَتْ حِفْشًا وَلَبِسَتْ شَرَّ ثِيَابِهَا وَلَمْ
تَمَسَّ طِيبًا حَتَّى تَمُرَّ بِهَا سَنَةٌ ثُمَّ تُؤْتَى بِدَابَّةٍ
حِمَارٍ أَوْ شَاةٍ أَوْ طَائِرٍ فَتَفْتَضُّ بِهِ فَقَلَّمَا تَفْتَضُّ
بِشَيْءٍ إِلَّا مَاتَ ثُمَّ تَخْرُجُ فَتُعْطَى بَعَرَةً فَتَرْمِي ثُمَّ
تُرَاجِعُ بَعْدُ مَا شَاءَتْ مِنْ طِيبٍ أَوْ غَيْرِهِ سُئِلَ مَالِكٌ مَا
تَفْتَضُّ بِهِ قَالَ تَمْسَحُ بِهِ جِلْدَهَا
Zainab berkata; Aku mendengar Ummu Salamah berkata; Seorang wanita
pernah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan
berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak perempuanku ditinggal mati
oleh suaminya, sementara ia mengeluhkan matanya. Bolehkah ia
bercelak?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:
“Tidak.” Beliau mengulanginya dua atau tiga kali. Kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Masa berkabungnya hanyalah empat
bulan sepuluh hari (kenapa tidak sanggup bersabar?). Sesungguhnya pada
masa jahiliyah dulu, salah seorang dari kalian melempar kotoran setelah
satu tahun.” Humaid berkata; Aku bertanya kepada Zainab, “Apa maksud
dari pernyataan bahwa, ia melempar kotoran setelah setahun?” Zainab
menjawab, “Maksudnya, bila seorang wanita ditinggal mati oleh suaminya,
ia masuk ke dalam gubuk, dan memakai pakaian yang paling lusuh miliknya.
Ia tidak boleh menyentuh wewangian hingga berlalu satu tahun. Kemudian
keledai, kambing atau sebangsa burung didatangkan kepada wanita itu agar
ia Tanfadldlu bihi. Dan amat jarang ia mengusap suatu pun kecuali
sesuatu itu akan mati. Setelah itu, ia keluar lalu diberi kotoran hewan
dan ia lemparkan, setelah itu ia bebas menyentuh kembali sekehendaknya
berupa wewangian atau pun yang lainnya.” Malik ditanya, “Apa makna
Tanfadldlu bihi?” Ia menjawab, “Yaitu, mengusap kulitnya dengannya.”
(H.R.Bukhari)
Bersikukuhnya Nabi melarang wanita yang ditinggal wafat suaminya untuk
memakai celak padahal alasan wanita tersebut bukan untuk berhias tetapi
sekedar meringankan sakit pada matanya menunjukkan bahwa Ihdad hukumnya
wajib. Seandainya tidak wajib seharusnya Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi
Wasallam mengizinkan wanita itu untuk memakai celak.
Adapun dalil bahwa Ihdad karena wafatnya kerabat (yang bukan suami)
hukumnya Mubah saja tidak sampai wajib adalah hadis berikut;
صحيح البخاري (16/ 404)
عَنْ زَيْنَبَ بِنْتِ أَبِي سَلَمَةَ أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ هَذِهِ
الْأَحَادِيثَ الثَّلَاثَةَ قَالَتْ زَيْنَبُ دَخَلْتُ عَلَى أُمِّ
حَبِيبَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
حِينَ تُوُفِّيَ أَبُوهَا أَبُو سُفْيَانَ بْنُ حَرْبٍ فَدَعَتْ أُمُّ
حَبِيبَةَ بِطِيبٍ فِيهِ صُفْرَةٌ خَلُوقٌ أَوْ غَيْرُهُ فَدَهَنَتْ مِنْهُ
جَارِيَةً ثُمَّ مَسَّتْ بِعَارِضَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ وَاللَّهِ مَا لِي
بِالطِّيبِ مِنْ حَاجَةٍ غَيْرَ أَنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثِ
لَيَالٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
dari Zainab binti Abu Salamah bahwa ia telah mengabarkan tiga hadits ini
kepadanya. Zainab berkata; Aku menemui Ummu Habibah isteri Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam saat bapaknya, Abu Sufyan bin Harb, wafat.
Lalu Ummu Habibah meminta wewangian yang di dalamnya terdapat minyak
wangi kuning yang sudah usang. Kemudian dari wewangian itu, ia meminyaki
seorang budak wanita lalu memegang kedua belah pipinya seraya berkata,
“Demi Allah, aku tidak berhajat sedikitpun terhadap wewangian, hanya
saja aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: ‘Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan
hari akhir, untuk berkabung lebih dari tiga hari, kecuali karena
kematian suaminya, yaitu selama empat bulan sepuluh hari.'”
(H.R.Bukhari)
Izin Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam kepada wanita untuk
melakukan Ihdad karena wafatnya kerabat selain suami dengan lama
maksimal tiga hari menunjukkan Ihdad tersebut bukan kewajiban.
Seandainya Ihdad wajib seharusnya ada lafadz yang menunjukkan perintah
Ihdad atau Qorinah lain yang bisa difahami perintah wajib. Pengecualian
dari sesuatu yang dilarang hukum asalnya bermakna Mubah kecuali ada
qorinah lain yang menujukkan makna lain. Dalam hadis ini, Rasulullah
Shallalahu ‘Alaihi Wasallam mengecualikan dua hal dari keharaman Ihdad,
pertama; wanita yang ditinggal wafat kerabat dan berIhdad selama tiga
hari, kedua; wanita yang ditinggal wafat suami dan berIhdadempat bulan
sepuluh hari. Pemaknaan asalnya, karena dua macam wanita ini keduanya
dikecualikan dari sebuah pengharaman, berarti Ihdad mereka hukumnya
mubah saja. Namun terkait Ihdad wanita yang ditinggal wafat suami ada
Nash lain yang menunjukkan Ihdad itu bukan sekedar mubah, tetapi wajib.
Oleh karena itu bisa disimpulkan berdasarkan hadis ini, Ihdad wanita
yang ditinggal wafat kerabat hukumnya mubah, sementara Ihdad wanita yang
ditinggal wafat suami hukumnya wajib karena ada qorinah kewajiban dari
hadis yang lain.
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ
تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجِهَا رواه مسلم
"Tidak boleh seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir
untuk berkabung atas kematian melebihi tiga hari, kecuali atas kematian
suaminya.
Adapun dalil durasi Ihdad wanita yang ditinggal wafat suami yaitu empat
bulan ditambah sepuluh hari, maka dalilnya adalah hadis Ummu Habibah di
atas, yaitu lafadz;
إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
kecuali karena kematian suaminya, yaitu selama empat bulan sepuluh hari
Lafadz ini cukup lugas menjelaskan masa durasiIddah wanita yang
ditinggal wafat suami, yaitu empat bulan ditambah sepuluh hari.
Perbedaan lafadz dalam hadis ini dengan lafadz yang ada dalam Al-Qur’an;
Lafadz empat bulan sepuluh hari dalam Al-Quran mengatur batasan waktu
masa Iddah, sementara lafadz dalam hadis mengatur batasan waktu
masaIhdad. Hadis ini sekaligus memberi petunjuk bahwa masa Iddah empat
bulan ditambah sepuluh hari bagi wanita yang ditinggal wafat suami itu
bermakna sekaligus menjadi batasan waktu masa Ihdad.
Untuk batasan berhias yang dilarang selama masaIddah, prinsipnya secara
umum adalah semua hal yang biasa digunakan untuk berhias bagi wanita
yang memicu hasrat lelaki. Hal-hal yang menjadi perhiasan dalam satu
negeri bisa berbeda dengan negeri yang lain. Kebiasaan tersebut diikuti
selama merealisasikan sifat perhiasan, yaitu membuat wanita menjadi
lebih cantik dan menarik yang memicu hasrat lelaki secara alami.
Diantara berhias yang dilarang syariat ketika wanita dalam masa Ihdad
adalah;
1.Memakai pakaian menarik. Misalnya sutra, warna merah menyala atau
warna-warna lain yang diketahui secara kebiasaan mempercantik dan
membuat wanita kelihatan lebih menarik. Namun tidak ada keharusan
memakai warna hitam atau warna gelap bagi wanita yang berIhdad. Warna
apapun asalkan tidak menarik hukumnya mubah dipakai
2.Memakai perhiasan. Misalnya gelang, cincin dan sebagainya dari apapun
bahannya baik emas,perak, permata, intan,dsb . Namun
perhiasan-perhiasan yang tersembunyi, seperti kalung, anting-anting, dan
semisalnya boleh dipakai. Jam tangan juga boleh dipakai jika memang
diperlukan untuk mengontrol waktu
3.Mewarnai tubuh. Misalnya memakai Hinna’/pacar pada jari, melukis tangan dengan pacar dll.
4.Merias wajah misalnya memakai celak, lipstik (meski tipis-tipis), bedak,perona pipi, dan sebagainya
Dalil larangan empat hal ini adalah hadis berikut;
سنن أبى داود – م (2/ 261)
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ
النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا
زَوْجُهَا لاَ تَلْبَسُ الْمُعَصْفَرَ مِنَ الثِّيَابِ وَلاَ
الْمُمَشَّقَةَ وَلاَ الْحُلِىَّ وَلاَ تَخْتَضِبُ وَلاَ تَكْتَحِلُ ».
Dari Ummu Salamah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau berkata: “Seorang wanita yang
ditinggal mati suaminya tidak boleh memakai pakaian yang diwarnai dengan
warna kuning kemerahan, pakaian yang diberi parfum merah, perhiasan,
serta tidak tidak boleh memakai pewarna dan celak.”(H.R.Abu Dawud)
صحيح البخاري (16/ 413)
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ
قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ
لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ فَوْقَ
ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ فَإِنَّهَا لَا تَكْتَحِلُ وَلَا تَلْبَسُ
ثَوْبًا مَصْبُوغًا إِلَّا ثَوْبَ عَصْبٍ
Dari Ummu ‘Athiyah ia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
bersabda kepadaku: “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada
Allah dan hari akhir untuk berkabung lebih dari tiga hari kecuali
terhadap suaminya. Maka ia tidak boleh bercelak, tidak boleh memakai
pakaian yang berwarna (bercorak) kecuali pakaian buatan
Yaman.”(H.R.Bukhari)
Larangan memakai pakaian yang dicelup dengan Ushfur (tumbuhan berwarna
merah) dan pakaian yang dilumuri Misyq (parfum berwarna merah)
menunjukkan wanita yang berIhdad tidak boleh memakai pakaian yang
menarik. Larangan memakai perhiasan menunjukkan tidak boleh memakai
perhiasan apapun secara mutlak. Larangan memakai pewarna menunjukkan
larangan melukis tangan dan memakai pacar. Larangan memakai celak
menunjukkan larangan merias wajah. Riwayat Bukhari menguatkan larangan
yang tercantum dalam riwayat Abu Dawud.
5.Memakai parfum. Parfum apapun tidak boleh dipakai, kecuali sedikit
sekedar menghilangkan bau sisa haid ketika wanita selesai berhaid dan
hendak bersuci. Parfum tetap tidak diizinkan meski dengan alasan
menghilangkan bau badan. Untuk menghilangkan bau badan hendaknya wanita
cukup rajin mandi. Penggunaan Shampo dan sabun mandi yang mengandung bau
wangi diizinkan karena Shampo dan sabun dibuat bukan untuk parfum, dan
tidak bisa digolongkan ke dalam parfum. Demikian pula wanita yang
berprofesi menjual parfum. Profesinya tetap bisa dilakukan karena parfum
yang mengenainya terjadi secara tidak sengaja. Namun hendaknya sedapat
mungkin dihindari dan dicuci bagian yang terkena parfum setelah selesai
berjualan.
Dalil larangan memakai parfum adalah hadis berikut;
صحيح البخاري (16/ 413)
عن أُمُّ عَطِيَّةَ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَلَا تَمَسَّ طِيبًا إِلَّا أَدْنَى طُهْرِهَا إِذَا طَهُرَتْ نُبْذَةً
مِنْ قُسْطٍ وَأَظْفَارٍ
Ummu ‘Athiyyah ia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang:
“Dan janganlah ia memakai wewangian kecuali pada akhir masa sucinya. Dan
jika ia telah suci, ia boleh memakai potongan kecil dari dahan yang
dibuat kemenyan dan obat yang sering disebut qusth atau minyak wangi
azhfar.”.(H.R.Bukhari)
Berhias yang dilarang disini hanyalah berhias pada tubuh wanita yang
berkabung. Hiasan pada rumah, perabot, asesoris tidak termasuk di sini
sehingga hukumnya mubah.
Adapun larangan-larangan seperti tidak boleh bersisir, menjahit, melihat
bulan, keluar ke loteng rumah, melihat dan dilihat orang lain,
berbicara dengan lelaki, memotong daging merah, keluar rumah karena
suatu keperluan, menjawab telephon, melihat mayat suami, melihat foto
almarhum suami, termasuk keyakinan seperti jika almarhum suami punya dua
istri maka masa Iddah dibagi menjadi dua, jika ada dua istri sementara
salah satu istri hamil lalu melahirkan anak lelaki maka anak lelaki itu
menggugurkan masa Iddah istri yang tidak hamil…dst maka kami katakan,
larangan-larangan dan keyakinan-kayakinan ini adalah sesuatu yang tidak
berdasar. Karenanya, aturan tersebut tidak boleh dituruti dan
keyakinan-keyakinan tersebut tidak boleh dipercayai.
Untuk kewajiban yang ketiga, yaitu tinggal di rumah almarhum suami
selama masa Iddah maka yang dimaksud adalah rumah tempat pasangan suami
istri tersebut tinggal saat suami masih hidup. Baik rumah tersebut
milik suami sendiri maupun bukan dimiliki tetapi diperoleh dengan cara
syar’I seperti mengontrak, Hibah Intifa’ (hibah pemanfaatan) dll. Dalil
wajibnya tinggal di rumah almarhum suami adalah hadis berikut;
سنن أبى داود – م (2/ 259)
عَنْ سَعْدِ بْنِ إِسْحَاقَ بْنِ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ عَنْ عَمَّتِهِ
زَيْنَبَ بِنْتِ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ أَنَّ الْفُرَيْعَةَ بِنْتَ مَالِكِ
بْنِ سِنَانٍ – وَهِىَ أُخْتُ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ – أَخْبَرَتْهَا
أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَسْأَلُهُ
أَنْ تَرْجِعَ إِلَى أَهْلِهَا فِى بَنِى خُدْرَةَ فَإِنَّ زَوْجَهَا
خَرَجَ فِى طَلَبِ أَعْبُدٍ لَهُ أَبَقُوا حَتَّى إِذَا كَانُوا بِطَرَفِ
الْقَدُّومِ لَحِقَهُمْ فَقَتَلُوهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- أَنْ أَرْجِعَ إِلَى أَهْلِى فَإِنِّى لَمْ يَتْرُكْنِى فِى
مَسْكَنٍ يَمْلِكُهُ وَلاَ نَفَقَةٍ. قَالَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- « نَعَمْ ». قَالَتْ فَخَرَجْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِى
الْحُجْرَةِ أَوْ فِى الْمَسْجِدِ دَعَانِى أَوْ أَمَرَ بِى فَدُعِيتُ لَهُ
فَقَالَ « كَيْفَ قُلْتِ ». فَرَدَدْتُ عَلَيْهِ الْقِصَّةَ الَّتِى
ذَكَرْتُ مِنْ شَأْنِ زَوْجِى قَالَتْ فَقَالَ « امْكُثِى فِى بَيْتِكِ
حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ ». قَالَتْ فَاعْتَدَدْتُ فِيهِ
أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا. قَالَتْ فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ بْنُ
عَفَّانَ أَرْسَلَ إِلَىَّ فَسَأَلَنِى عَنْ ذَلِكَ فَأَخْبَرْتُهُ
فَاتَّبَعَهُ وَقَضَى بِهِ.
Dari Sa’d bin Ishaq bin Ka’bin bin ‘Ajrah dari bibinya yaitu Zainab
binti Ka’bin bin ‘Ajrah bahwa Al Furai’ah binti Malik bin Sinan yang
merupakan saudari Abu Sa’id Al Kudri telah mengabarkan kepadanya bahwa
ia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta izin
kepada beliau untuk kembali kepada keluarganya di antara Bani Khudrah,
karena suaminya keluar mencari beberapa budaknya yang melarikan diri
hingga setelah mereka berada di Tharaf Al Qadum ia bertemu dengan mereka
lalu mereka membunuhnya. Aku meminta izin kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam untuk kembali kepada keluargaku, karena suamiku tidak
meninggalkanku tinggal di tempat tinggal yang ia miliki dan tidak
memberikan nafkah. Ia berkata; kemudian aku keluar hingga setelah sampai
di sebuah ruangan atau di masjid, beliau memanggilku dan memerintahkan
agar aku datang. Kemudian aku beliau berkata: “Apa yang engkau katakan?”
kemudian aku kembali menyebutkan kisah yang telah saya sebutkan,
mengenai keadaan suamiku. Ia berkata; lalu beliau berkata: “Tinggallah
di rumahmu hingga selesai masa ‘Iddahmu.” Ia berkata; kemudian aku
ber’Iddah di tempat tersebut selama empat puluh bulan sepuluh hari. Ia
berkata; kemudian tatkala Utsman mengirimkan surat kepadaku, ia bertanya
mengenai hal tersebut, lalu aku khabarkan kepadanya, lalu ia
mengikutinya dan memberikan keputusan dengannya. (H.R.Abu Dawud)
Perintah Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam kepada Furoi’ah agar
tetap tinggal dirumah suami padahal rumah yang selama ini ditinggali
bukan rumah milik almarhum suami menunjukkan tinggal dirumah suami
selama masa Iddah hukumnya wajib bagi wanita yang ditinggal wafat
suaminya. Namun, jika ada udzur untuk tinggal di rumah almarhum suami,
seperti rumah terbakar, berbahaya bagi keamanan, masa kontrak habis,
diminta keluar oleh ahli waris suami dan semisalnya, maka wanita
tersebut boleh berpindah ke tempat tinggal manapun yang dikehendakinya.
Namun rumah keluarganya yang paling afdhol.
Atas dasar ini, wanita yang ditinggal wafat suaminya wajib melakukan
tiga hal; menjalani masa Iddah yaitu selama empat bulan ditambah sepuluh
hari terhitung dari hari wafatnya suami, menjalani Ihdad yaitu tidak
berhias selama masa Iddah, dan tinggal di rumah suami selama masa Iddah.
Di masa Iddah tersebut, wanita tidak boleh dilamar/dipinang secara
terang-terangan, diberi janji untuk dinikahi, apalagi melakukan Akad
Nikah.
Perkataan Ulama Dalam Hal Ini :
Ibnu Qudamah (wafat tahun 620 H) menyatakan: Kami tidak mengetahui
perbedaan pendapat di antara para ulama tentang kewajiban Al hadaad
(berkabung) atas wanita yang suaminya meninggal kecuali dari Al Hasan,
beliau menyatakan tidak wajib. Namun pendapat ini adalah pendapat yang
syadz (aneh, menyelisihi) pendapat para ulama dan menyelisihi sunnah
sehingga pendapat tersebut tidak signifikan.
Ibnu Al Qayyim (wafat tahun 751H) berkata : Umat telah berijma’ tentang
kewajiban Ahdaad bagi wanita yag ditinggal mati suaminya, kecuali yang
diriwayatkan dari Al Hasan dan Al Hakam bin Utaibah.
HUKUM BERKABUNG ATAS KEMATIAN SALAH SATU KELUARGA SELAIN SUAMI
Bekabung atas kematian salah seorang kerabat atau keluarga selain suami
diperbolehkan selama tiga hari saja dan tidak boleh lebih. Walaupun
diperbolehkan, namun bila suami mengajak berhubungan intim, maka wanita
tersebut tidak boleh menolaknya.
Ibnu Hajar (wafat tahun 852 H) menegaskan: Syari’at memperbolehkan
seorang wanita untuk berkabung atas kematian selain suaminya selama tiga
hari, karena kesedihan yang mendalam dan penderitaan yang mendera
karena kematian orang tersebut. Hal itu tidak wajib menurut kesepakatan
para ulama. Namun seandainya suami mengajaknya berhubungan intim (jima’)
maka ia tidak boleh menolaknya.
Ibnu Hazm (wafat tahun 456 H) menyatakan: Seandainya seorang wanita
berkabung selama tiga hari atas kematian bapak, saudara, anak, ibu atau
kerabat lainnya, maka hal itu mubah.
Ibnu Al Qayyim (wafat tahun 751 H) juga menyatakan: Berkabung atas
kematian suami hukumnya wajib dan atas kematian selainnya boleh saja.
SYARAT-SYARAT DIWAJIBKANNYA AL-HADAAD
1). Wanita tersebut berakal dan baligh. Para ulama telah bersepakat
bahwa wanita yang baligh dan berakal diwajibkan melewati masa al hadaad.
Namun mereka masih berselisih pendapat tentang wanita yang belum
memasuki masa baligh atau gila. Pendapat yang rajih adalah pendapat
mayoritas ulama yang mewajibkannya
2). Beragama Islam. Syarat ini juga telah disepakati para ulama.
Perbedaan pendapat terjadi pada wanita ahli kitab apakah dikenakan
kewajiban ini atau tidak ? Pendapat yang rajih adalah pendapat mayoritas
ulama yang menyatakan hal itu diwajibkan atas wanita ahli kitab yang
menikah dengan muslim, lalu suaminya meninggal dunia.
3). Menikah dengan akad yang shahih.
MASA WAKTU BERKABUNG DAN CARA MENGHITUNG HARINYA
Masa berkabung bagi wanita adalah empat bulan sepuluh hari. Ini berlaku
pada semua wanita, kecuali yang hamil. Wanita hamil yang ditinggal mati
suaminya, berkabung sampai melahirkan, berdasarkan firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala :
"Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada
Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya" [Ath
Thalaaq :)
Juga hadits Subai’ah yang berbunyi:
كَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَرْقَمِ الزُّهْرِيِّ إِلَى
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ يُخْبِرُهُ أَنَّ سُبَيْعَةَ أَخْبَرَتْهُ
أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ سَعْدِ بْنِ خَوْلَةَ وَهُوَ فِي بَنِي عَامِرِ
بْنِ لُؤَيٍّ وَكَانَ مِمَّنْ شَهِدَ بَدْرًا فَتُوُفِّيَ عَنْهَا فِي
حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَهِيَ حَامِلٌ فَلَمْ تَنْشَبْ أَنْ وَضَعَتْ
حَمْلَهَا بَعْدَ وَفَاتِهِ فَلَمَّا تَعَلَّتْ مِنْ نِفَاسِهَا
تَجَمَّلَتْ لِلْخُطَّابِ فَدَخَلَ عَلَيْهَا أَبُو السَّنَابِلِ بْنُ
بَعْكَكٍ رَجُلٌ مِنْ بَنِي عَبْدِ الدَّارِ فَقَالَ لَهَا مَا لِي أَرَاكِ
مُتَجَمِّلَةً لَعَلَّكِ تَرْجِينَ النِّكَاحَ إِنَّكِ وَاللَّهِ مَا
أَنْتِ بِنَاكِحٍ حَتَّى تَمُرَّ عَلَيْكِ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ
قَالَتْ سُبَيْعَةُ فَلَمَّا قَالَ لِي ذَلِكَ جَمَعْتُ عَلَيَّ ثِيَابِي
حِينَ أَمْسَيْتُ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ فَأَفْتَانِي بِأَنِّي قَدْ حَلَلْتُ
حِينَ وَضَعْتُ حَمْلِي وَأَمَرَنِي بِالتَّزَوُّجِ إِنْ بَدَا لِي
"Umar bin Abdillah bin Al Arqam Az Zuhri menulis surat kepada Abdullah
bin ‘Utbah memberitahukan kepadanya, bahwa Subai’ah telah menceritakan
kepadanya bahwa ia (Subai’ah) adalah istri Sa’ad bin Khaulah yang
berasal dari Bani ‘Amir bin Lu’ai dan dia ini termasuk orang yang ikut
perang Badr. Lalu Sa’ad meninggal dunia pada haji wada’ sedangkan
Subai’ah dalam keadaan hamil. Tidak lama kemudian setelah suaminya
wafat, ia melahirkan. Ketika selesai nifasnya, maka Subai’ah berhias
untuk dinikahi. Abu Sanaabil bin Ba’kak seorang dari Bani Abduddar
menemuinya sembari berkata: “Mengapa saya lihat kamu berhias, tampaknya
kamu ingin menikah? Tidak demi Allah! Kamu tidak boleh menikah sampai
selesai empat bulan sepuluh hari.” Subai’ah berkata: “Ketika ia bicara
demikian kepadaku, maka aku memakai pakaianku pada sore harinya, lalu
aku mendatangi Rasulullah dan menanyakan hal tersebut. Kemudian
Rasulullah memberikan fatwa kepadaku, bahwa aku telah halal dengan
melahirkan dan memerintahkanku menikah bila kuinginkan.”
Oleh karena itu Imam Ibnu Al Qayyim menyatakan: ‘Adapun orang yang
hamil, jika telah melahirkan, maka gugurlah kewajiban berkabungnya
tersebut menurut kesepakatan mereka (para ulama), sehingga ia boleh
menikah, berhias dan memakai wangi-wangian untuk suaminya (yang baru)
dan berhias sesukanya.
Sedangkan Ibnu Hajar menyatakan: Mayoritas ulama dari para salaf dan
imam fatwa di berbagai egeri berpendapat bahwa orang yang hamil jika
wafat suaminya menjadi halal (boleh menikah) dan selesai masa iddahnya
dengan melahirkan.
Masa berkabung ini dimulai dari hari kematian suami, walaupun berita
kematiannya terlambat ia dengar. Demikianlah pendapat mayoritas para
sahabat, para imam empat madzhab, Ishaq bin Rahuyah, Abu Ubaid dan Abu
Tsaur.
Perhitungannya dengan menggunakan bulan Hijriyah. Sebagai contoh,
seorang wanita ditinggal mati suaminya pada lima hari sebelum bulan
Dzulhijjah, maka ia hitung sisa Dzulhijah tersebut dan melihat hilal
Muharram, Shafar, Rabi’ul awal dan Robi’u Al Tsani, bila telah genap
empat bulan, maka ia gabungkan sisa hari dalam bulan Dzulhijah yang
telah dilewati sebelumnya dengan menambahinya sampai genap sepuluh hari
empat bulan. Setelah itu, ia boleh berhias sebagaimana wanita lainnya.
HAL-HAL YANG DILARANG DALAM MASA BERKABUNG
Secara ringkas, wanita yang sedang menjalani masa berkabung, tidak boleh
melakukan segala sesuatu yang diharamkan pada wanita yang sedang
menunggu masa iddah seperti berhias atau hal-hal lain yang dapat menarik
perhatian lelaki untuk menikahinya.
Diharamkan pada wanita yang berkabung ini semua yang diharamkan pada
orang yang menunggu masa iddah dari berhias atau yang lainnya yang dapat
menarik untuk menikahinya.
Wallahua’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar