Islam merupakan sekumpulan aturan sebagai petunjuk bagi umatnya untuk
menjalani kehidupan ini. Sehingga setiap laku manusia pasti ada hukumnya
termasuk menciptakan atau mendengarkan musik. Musik adalah sebuah karya
seni tempat mencurahkan hasil olah cipta rasa dan karsa. Oleh karenanya
tentu ada hukumnya.
Definisi Seni
”Seni adalah keindahan. Ia merupakan ekspresi ruh dan budaya manusia
yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Ia lahir dari sisi terdalam
manusia didorong oleh kecenderungan seniman kepada yang indah, apa pun
jenis keindahan itu. Dorongan tersebut merupakan naluri manusia atau
fitrah yang dianugrahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Di sisi lain
al-Qur’an memperkenalkan agama yang lurus sebagai agama yang sesuai
dengan fitrah manusia. Sebagaimana firman Allâh,
ƒ .
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا فِطْرَتَ اللهِ الَّتِى فَطَرَ
النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّيْنُ
اْلقَيِّمُ وَلاَكِنَّ أَكْثَرَالنَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ (۳۰)
”Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S. al-Rûm [30]: 30)
Merupakan suatu hal yang mustahil, bila Allah menganugerahkan manusia
potensi untuk menikmati dan mengekspresikan keindahan, kemudian Dia
melarangnya. Bukankah Islam adalah agama fitrah? Segala yang
bertentangan dengan fitrah ditolaknya, dan mendukung kesuciannya
ditopangnya. Kemampuan berseni merupakan salah satu perbedaan manusia
dengan makhluk lain. Jika demikian, Islam pasti mendukung kesenian
selama penampilan lahir dan mendukung fitrah manusia yang suci itu, dan
karena itu pula Islam bertemu dengan seni dalam jiwa manusia,
sebagaimana seni ditemukan oleh jiwa manusia di dalam Islam.
Tetapi mengapa selama ini ada kesan bahwa Islam menghambat perkembangan
seni dan memusuhinya? Jawabannya boleh jadi ilustrasi berikut.
Diriwayatkan bahwa Umar Ibn al-Khaththab pernah berkata, ”Umat Islam
meninggalkan dua pertiga dari transaksi ekonomi karena khawatir
terjerumus ke dalam haram –riba-.” ucapan ini benar adanya, dan agaknya
ia juga dapat menjadi benar jika kalimat ”transaksi ekonomi” diganti
dengan ”kesenian”. Boleh jadi problem yang paling menonjol dalam
hubungan dengan seni budaya dan Islam, sekaligus kendala utama
kemajuannya adalah kekhawatiran tersebut.
Karena bernyanyi dan bermain musik adalah bagian dari seni, maka kita
akan meninjau lebih dahulu definisi seni, sebagai proses pendahuluan
untuk memahami fakta (fahmul waqi’) yang menjadi objek penerapan hukum.
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa seni adalah penjelmaan rasa
indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan
perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh
indera pendengar (seni suara), indera pendengar (seni lukis), atau
dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama).
Adapun seni musik (instrumental art) adalah seni yang berhubungan dengan
alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat-alat musik tersebut.
Seni musik membahas antara lain cara memainkan instrumen musik, cara
membuat not, dan studi bermacam-macam aliran musik. Seni musik ini
bentuknya dapat berdiri sendiri sebagai seni instrumentalia (tanpa
vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni vokal. Seni instrumentalia,
seperti telah dijelaskan di muka, adalah seni yang diperdengarkan
melalui media alat-alat musik. Sedang seni vokal, adalah seni yang
diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui perantaraan oral (suara
saja) tanpa iringan instrumen musik. Seni vokal tersebut dapat
digabungkan dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano, dan
lain-lain) atau dengan alat-alat musik majemuk seperti band, orkes
simfoni, karawitan, dan sebagainya. Inilah sekilas penjelasan fakta seni
musik dan seni vokal yang menjadi topik pembahasan.
Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian:
Berdasarkan firman Allah, “Dan di antara manusia ada orang yang
mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwa al-hadits) untuk
menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan
jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang
menghinakan.” (Q.S. Luqmân [31]: 6).
Beberapa ulama menafsirkan maksud “lahwa al-hadits” ini sebagai
nyanyian, musik atau lagu, di antaranya al-Hasan, al-Qurthubi, Ibnu
Abbas dan Ibnu Mas’ud. Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman
nyanyian adalah Q.S. al-Najm [53]: 59-61; dan Q.S. al-Isrâ’ [17]: 64.
Hadits Abu Malik al-Asy’ari r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda,
“Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan
zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-Ma’azif).” (H.R. Bukhari)
Hadits Aisyah r.a. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Sesungguhnya Allah
mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya,
mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau membacakan ayat
di atas. (HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih).
Hadits dari Ibnu Mas’ud r.a. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Nyanyian itu
bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.” (HR. Ibnu Abi
Dunya dan al-Baihaqi, hadits mauquf).
Hadits dari Abu Umamah r.a. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Orang yang
bernyanyi, maka Allah S.W.T. mengutus padanya dua syaitan yang
menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si
penyanyi sampai dia berhenti.” (HR. Ibnu Abid Dunya).
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf r.a. bahwa Rasulullah s.a.w.
bersabda, “Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat,
yaitu: 1. Alunan suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling
syaitan (mazamirus syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat musibah
sehingga menampar wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan
ratapan syetan (rannatus syaithan).”
Dalil-Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian:
Firman Allah S.W.T., “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan
janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang
yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
Hadits dari Nafi’ r.a. katanya, aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar
r.a. Dalam perjalanan kami mendengar suara seruling, maka dia menutup
telinganya dengan telunjuknya terus berjalan sambil berkata; “Hai Nafi,
masihkah kau dengar suara itu?” sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia
lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang dilakukan Rasulullah
s.a.w.” (HR. Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi).
Ruba’i Binti Mu’awwidz bin Afra berkata, Nabi s.a.w. mendatangi pesta
perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku,
lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan
mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar.
Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata, “Di antara kita ada
Nabi s.a.w. yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi
s.a.w. bersabda, “Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu
(nyanyikan) tadi.” (HR. Bukhari)
Dari Aisyah r.a. dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda
Anshar. Tiba-tiba Rasulullah s.a.w. bersabda, “Mengapa tidak kalian
adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.” (HR.
Bukhari).
Dari Abu Hurairah r.a., sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan
sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan
mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata, “Aku pernah bersyi’ir di masjid
dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah
s.a.w.)” (HR. Muslim)
Musik adalah nada atau suara yang disusun demikian rupa sehingga
mengandung irama, lagu dan keharmonisan. Musik telah lama dikenal
manusia dan digunakan untuk berbagai keperluan selain hiburan, seperti
pengobatan, mengobarkan semangat, bahkan menidurkan bayi.
Tinjauan Hukum
Tinjauan hukum nyanyian dan musik dari sudut Islam, bagi kaum Muslimin
bahwa Syari’at Islam itu mempunyai koridor / batasan-batasan mana yang
boleh dan mana yang terlarang terhadap suatu acara Hiburan. Jangan
sampai seorang Muslim menganggap bahwa acara-acara Hiburan itu tidak ada
kaitannya sama sekali (dikotomi) dengan dien (agama); karena anggapan
yang demikian itu adalah dianggap Sekulerisme.
I. Hukum tentang Nyanyian dan Musik
Bila diadakan penelitian, mungkin hanya segelintir orang saja yang tidak
suka dengan Nyanyian dan Musik. Marilah kita coba telusuri status
perkara “Nyanyian dan Musik” (yang di zaman sekarang ini oleh sebagian
kalangan dianggap sebagai “gaya hidup modern”) apabila ia ditinjau dari
Syari’at Islam berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah Rosulullah yang
shohiihah serta berdasarkan pemahaman 3 generasi terbaik ummat Islam
yang telah mendapat rekomendasi langsung dari Rosulullah sendiri, yakni:
para Sahabat, At Taabi’in, dan Taabi’ut Taabi’in. Merekalah 3 (tiga)
generasi yang dikatakan Rosulullah sebagai “sebaik-baik manusia”.
Allah berfirman dalam QS. At Taubah (9) ayat 100:
وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ
وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ
عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya :“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk
Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshor dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allooh ridho kepada mereka dan merekapun
ridho kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.”
Kemudian dalam Hadits Riwayat Al Imaam Al Bukhary no: 2652 dan Al Imaam
Muslim no: 6635, dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’uud, ia berkata bahwa
Rosulullah bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Artinya :“Sebaik-baik manusia adalah (orang yang hidup) pada masaku ini
(yaitu generasi Sahabat), kemudian yang sesudahnya (generasi At
Taabi’iin), kemudian yang sesudahnya (generasi Taabi’ut Taabi’iin).”
Dengan demikian kita dapat mengetahui hakekat perkara “Nyanyian dan
Musik” secara benar, berdasarkan Iman dan ‘Ilmu; bukan diatas hawa
nafsu, emosi serta ‘ashobiyyah yang merupakan ciri-ciri orang yang
Jaahil dan Taqlid. Oleh karena ciri orang beriman itu adalah senantiasa
memiliki sikap “sami’na wa atho’na” terhadap dalil yang didasarkan atas
pemahaman yang benar dari kalangan Pendahulu Ummat yang shoolih. Bukan
diatas hawa nafsu orang-orang di zaman sekarang yang notabene mereka itu
tidak mendapat rekomendasi sebagai “calon surga” ataupun “generasi
terbaik”, sebagaimana Pendahulu Ummat yang shoolih mendapatkan
rekomendasi itu langsung dari Allah dan Rosul-Nya.
Apabila kaum Muslimin hendak mengetahui kebenaran, maka carilah
kebenaran itu dari orang yang “sudah pasti jaminannya” dari Allah dan
Rosul-Nya, jangan mengambil ‘ilmu (dien) dari orang-orang yang
mengutamakan hawa nafsu atau orang-orang yang berbicara tanpa ‘ilmu;
karena sikap yang demikian itu hanya akan membawanya pada kesesatan.
Allah berfirman dalam QS. Al Baqoroh (2) ayat 285:
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ
كُلٌّ آمَنَ بِاللّهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ
بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا
غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
Artinya :“Rosuul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan
kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman.
Semuanya beriman kepada Allooh, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya
dan rosuul-rosuul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan
antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rosul-rosul-Nya”, dan mereka
mengatakan: “Kami dengar dan kami ta`at”. (Mereka berdo`a): “Ampunilah
kami ya Robb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali”.
Juga firman-Nya dalam QS. Al Mu’minuun (23) ayat 71 :
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ
وَالْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُم بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن
ذِكْرِهِم مُّعْرِضُونَ
Artinya :“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti
binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Bahkan
Kami telah memberikan peringatan kepada mereka, tetapi mereka berpaling
dari peringatan itu.”
Sebelum memulai bahasan tentang Nyanyian dan Musik, hendaknya kita
meletakkan landasan yang benar dalam memandang kehidupan kita di dunia
ini terlebih dahulu, yakni bahwa:
1) Setiap Muslim semestinya menyadari bahwa hidupnya di dunia ini adalah serius, bukan perkara main-main belaka.
Jikalau seorang Muslim memahami ‘aqiidah ini, maka ia akan menyadari
bahwa kehidupannya di dunia ini bukan untuk tertawa-tawa, bukan untuk
bermain-main serta banyak menghibur diri belaka; tetapi hidupnya di
dunia ini adalah sesuatu perkara yang serius yang kelak akan dimintai
pertanggungjawabannya oleh Allah. Adakah ia tergolong orang yang beriman
ataukah orang yang kafir.
Allah berfirman dalam QS. Al Qiyamah (75) ayat 36 sebagai berikut:
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
Artinya : “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung-jawaban)?”
Hidup ini adalah untuk mujaahadah, untuk mengabdi sesuai dengan kehendak
Allooh Robbul ‘alamiin; dan bukan sekedar sesuai selera, kepuasan serta
kesenangan diri semata-mata.
Allah berfirman dalam QS. Adz Dzaariyat (51) ayat 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
2) Setiap Muslim hendaknya sadar bahwa hidup di dunia yang fana ini
adalah merupakan jembatan baginya menuju kehidupan akhirat yang abadi
kelak.
Bila hal ini tidak disadari oleh seorang Muslim, maka tidak aneh jika
kehidupannya itu tidak jauh berbeda dengan kehidupan hewan. Hewan itu
rotasi kehidupannya hanya sekedar memenuhi pencariannya atas materi
antara lain berupa makanan–minuman–tempat tinggal–bermain-main, lalu
mencari pasangan (jantan / betina) untuk melepas syahwat serta
beranak-pinak. Setelah materi itu didapatnya, maka dinikmatinya lah
sampai kenyang, lalu tidurlah dia, dan apabila bangun dan sudah lapar
lagi, maka dicarinyalah lagi materi itu. Demikian terus-menerus rotasi
kehidupan hewan.
Apabila seorang Muslim hanya mempunyai tujuan sebatas mencari materi
berupa makanan, minuman, rumah / tempat tinggal, kesenangan duniawi,
mencari pasangan hidup dan memiliki keturunan belaka; maka apa beda
kehidupannya dengan kehidupan hewan?
Agar tidak menjadi demikian; hendaknya kita menjadikan apa yang
dituntunkan oleh Allah dan Rosul-Nya sebagai bagian dari kehidupan kita,
yaitu jadikanlah dunia ini sebagai ladang untuk hari akherat kelak.
Ladang adalah tempat kita menanam, tempat dimana kita berusaha agar
tanaman yang kita tanam itu dapat tumbuh dengan subur dan baik. Jadi
dunia ini hanyalah tempat bagi kita untuk menanam amalan-amalan yang
shoolih agar ketika kita mati kelak maka kita akan menuai balasan
kebajikan sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah dan Rosuul-Nya.
Berarti bukan di dunia ini balasannya, melainkan kelak di hari akherat
lah kita berharap balasan tersebut dari Allah.
Allah berfirman dalam QS. Al Hadiid (57) ayat 20:
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ
وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ
كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ
مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ
وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا
إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Artinya : “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah
permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara
kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti
hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman
itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi
hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari
Allooh serta keridhoan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu.”
Juga sebagaimana dikatakan oleh Ali bin Abi Tholib (yang dapat kita
temui dalam Shohiih Al Bukhoory, Kitab “Ar Riqooq” Bab ke-4. “Fii Al
Amaali Wa Thuulihii”) :
وَقَالَ عَلِيٌّ ارْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً وَارْتَحَلَتِ
الآخِرَةُ مُقْبِلَةً وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ فَكُونُوا
مِنْ أَبْنَاءِ الآخِرَةِ ، وَلاَ تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا
فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ ، وَلاَ حِسَابَ وَغَدًا حِسَابٌ ، وَلاَ عَمَلَ
Artinya :“Dunia pergi membelakangi, sedangkan akhirat datang menyambut,
dan bagi masing-masingnya ada anak-anak (pecinta)-nya. Maka jadilah
kalian termasuk ahli akhirat dan jangan menjadi ahli dunia. Hari ini
(kehidupan dunia) adalah tempat beramal, bukan hisab; dan besok (kiamat)
hanyalah ada hisab, tidak ada amal.”
3) Tuntunan Rosulullah itu harus dihidupkan, didzohirkan di muka bumi dan disemarakkan.
Di zaman ini, Sunnah Rosulullah justru terasing ditengah-tengah kaum
Muslimin itu sendiri. Hal ini akibat merebaknya kejaahilan (kebodohan)
kaum Muslimin atas ‘ilmu dien. Maka janganlah aneh kalau orang-orang
kaafir tahu bagaimana mengeksploitasi titik-titik kelemahan manusia itu,
lalu membidiknya secara tepat dengan menyajikan berbagai perkara yang
memang disukai hawa nafsu dan syahwat manusia.
Laki-laki suka perempuan, maka disuguhkanlah wanita-wanita yang semakin
hari dihias semakin cantik (tabarruj) dan diberikanlah mode-mode yang
semakin terbuka aurotnya untuk meruntuhkan iman laki-laki. Manusia suka
bersantai-santai, bermalas-malasan, terbuai dengan syahwat dan
kenikmatan; maka diberilah berbagai perkara seperti musik,
nyanyian-nyanyian yang melalaikan, khamr, dan lain sebagainya.
Namun dibalik semua itu, ada misi tersembunyi untuk meruntuhkan ‘aqiidah
dan akhlaq kaum Muslimin. Maka bila kaum Muslimin itu sendiri lengah,
dan tidak sadar-sadar juga; jangan heran kalau kemudian kaum Muslimin
menjadi kalah dan harus menyerah. Na’uudzu billaahi min dzaalik.
Setelah memahami tiga perkara diatas, marilah kita perhatikan berbagai dalil berkenaan dengan “Nyanyian dan Musik” berikut ini:
Dalil berupa Ayat-Ayat Al Qur’an
1) Perhatikan firman Allah dalam QS. Al Israa’ (17) ayat 64 :
وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ وَأَجْلِبْ عَلَيْهِم
بِخَيْلِكَ وَرَجِلِكَ وَشَارِكْهُمْ فِي الأَمْوَالِ وَالأَوْلادِ
وَعِدْهُمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلاَّ غُرُوراً
Artinya : “Dan perdayakanlah siapa saja diantara mereka yang engkau
(iblis) sanggup dengan suaramu (yang memukau), dan kerahkanlah terhadap
mereka, pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki, dan
bersekutulah dengan mereka pada harta dan anak-anak lalu beri janjilah
kepada mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaithoon kepada
mereka melainkan tipuan belaka.”
Al Imaam Ibnu Katsir didalam Kitab Tafsiir-nya Jilid 9 halaman 40 mengatakan:
“Dan perdayakanlah siapa saja diantara mereka yang engkau (iblis)
sanggup, dengan suaramu (yang memukau) – maknanya adalah Nyanyian (Al
Ghinaa).”
Al Imaam Mujaahid bin Jabr, seorang ‘Ulama Ahlus Sunnah dari kalangan
Taabi’iin (beliau hidup setelah masa Sahabat) mentafsirkan kata
“bishoutika” (بِصَوْتِكَ) sebagai Al Ghinaa wal Mazamir (nyanyian dan
seruling), dan ayat tersebut menurut beliau adalah berkenaan dengan
Laghwun wa Ghinaa (sesuatu yang melalaikan dan Nyanyian). Sehingga
sepertiga awal ayat itu (Nyanyian, seruling dan sesuatu yang melalaikan /
lahwun) bila dikaitkan dengan sepertiga ayat terakhirnya adalah
tergolong “Apa yang dijanjikan oleh Syaithoon, yang tidak lain hanyalah
merupakan suatu tipudaya”.
Demikianlah tafsiir QS. Al Israa’ (17) ayat 64 menurut para ‘Ulama Ahlus Sunnah.
Kata orang zaman sekarang, bahwa musik itu menjadikan dirinya tenang,
tentram dan puas. Bahkan sampai ada pernyataan bahwa menyiapkan bayi
cerdas itu adalah dengan memperdengarkan alunan musik dekat kandungan
ibunya. Padahal itu semua tidak lain hanyalah tipudaya syaitan.
Semestinya, seorang wanita Muslimah itu justru banyak membaca ayat-ayat
Al Qur’an dan mentadaburrinya ketika ia mengandung. Adapun perasaan
tenang –tentram–puas ketika mendengarkan alunan musik itu justru
merupakan perangkap syaithoon untuk mengalihkan manusia dari
mendengarkan firman Allah. Seorang yang beriman itu tidak mungkin bisa
ia merasa tenang–tentram–puas–bahagia dengan cara berma’shiyat kepada
Allah. Hatinya justru akan tenang dan tentram bila ia berdzikir.
Hal ini adalah sebagaimana firman Allah dalam QS. Ar Ro’d (13) ayat 28:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
Artinya :“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi
tenteram dengan berdzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan
berdzikir (mengingat) Allah-lah hati menjadi tenteram.”
2) Perhatikan firman Allah dalam QS. Luqman (31) ayat 6:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ
اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ
مُّهِينٌ
Artinya :“Tidak halal mengajari para penyanyi wanita, tidak boleh pula
menjualnya, dan uang hasil penjualannya adalah Haram. Pada mereka lah
Allah turunkan ayat: “Dan diantara manusia (ada) orang yang
mempergunakan perkataan yang tidak berguna” (Wa minannaasi man yasytarii
lahwal haditsi / وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ).”
Betapapun Al Imaam Ibnu Katsir men-dho’if-kan Hadits ini karena Ali bin
Yazid, dan gurunya yaitu Al Qosim bin ‘Abdurohman, dan perawi darinya
bernama ‘Ubaidullah bin Zahr semuanya adalah dho’iif.
Kemudian Al Imaam Ibnu Katsiir membawakan perkataan Al Imam Adh Dhohaaq
tentang “Wa minannaasi man yasytarii lahwal hadiitsi” (وَمِنَ النَّاسِ
مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ), yang mana beliau (Al Imam Adh Dhohaaq)
mengartikannya sebagai syirik.
Dimana penafsiran ini juga ditafsirkan oleh ‘Abdurrohman bin Zaid bin Aslaam.
Sedangkan Ibnu Jariir mengartikannya sebagai “Setiap perkataan yang
menghalangi manusia dari ayat Allah dan dari mengikuti jalan-Nya”.
Sampai disini adalah apa yang dapat disimpulkan dari tafsir Al Imam Ibnu Katsiir dari QS. Luqman (31) ayat 6 ini.
Dengan demikian, maksud Hadits Abi Umamah diatas adalah bahwa mengajari
menyanyi, mengajari musik dan lagu, menyelenggarakan pertunjukan musik
dan lagu, menjualnya sehingga orang-orang pun menikmatinya, lalu ia
memperoleh keuntungan daripada penjualannya tersebut; maka itu adalah
Harom.
Dan jelaslah pula bahwa yang dimaksud sebagai “Yasytari lahwal hadiitsi”
(يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ) dalam ayat tersebut juga adalah membeli
Al Qiyaan (para biduanita / penyanyi perempuan) dan Al Mughanni (para
penyanyi laki-laki).
Kata “Yasytari” (يَشْتَرِي) artinya adalah ‘membeli’, yaitu mendapatkan
sesuatu dengan membayar sebagai imbalannya. Maksud “membeli” dalam hal
ini contohnya adalah membayar karcis untuk mendengarkan dan menonton
pertunjukan lagu-lagu nyanyian, konser-konser musik (music concerts),
atau membeli kaset-kaset lagu / piringan hitam, dan sejenisnya. Itulah
yang dimaksud dengan “membeli” biduan dan biduanita.
Berarti ayat itu turun berkaitan dengan larangan Nyanyian. Hal ini
dikarenakan manusia mengganti Al Qur’an dengan nyanyian dan seruling
serta alat-alat musik yang lainnya. Al Qur’an ditinggalkan, sementara
nyanyian dan musik dijadikan sebagai bagian dari kehidupannya.
Lalu ayat tersebut diakhiri dengan kalimat “Liyudhilla ‘an sabiilillaahi
bi ghoiri ‘ilmin” (لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ), yang
maknanya adalah: untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa
ilmu.
Sebagian orang di zaman ini ada yang berdalih dengan menyatakan bahwa
nyanyian yang didengarnya itu adalah “Nyanyian Islami”. Yang patut
direnungkan oleh orang tersebut adalah adakah ia dapat memahami Al Islam
dari suatu nyanyian? Tentu tidak. Bila ia jujur pada dirinya maka ia
akan mengakui bahwa yang lebih membekas dalam dirinya sebenarnya adalah
dentingan nada-nada musik yang didengarnya; dan tidaklah ia bisa
memahami tafsiir Al Qur’an melalui suatu nyanyian, tidaklah ia bisa
memahami Al Hadiits melalui suatu nyanyian, dan tidaklah pula ia bisa
memahami Hukum-Hukum / Syari’at Allah melalui suatu nyanyian / musik.
Al Imaam Ibnu Katsiir didalam Kitab Tafsiir-nya banyak menukil dari
para ‘Ulama Ahlus Sunnah terdahulu dari kalangan Shohabat dan Tabi’iin
yang pemahamannya terhadap ayat-ayat Al Qur’an adalah lebih jernih dan
lebih bersih, karena mereka itu adalah berasal dari Generasi Terbaik
Ummat yang merupakan kader-kader didikan langsung Rosulullah.
Berbeda dengan ‘Ulama-‘Ulama zaman sekarang yang tidak mendapat
rekomendasi dari Rosulullah sebagai “sebaik-baik manusia”, yang mana
pemahamannya terhadap suatu ayat telah berpotensi tercampur oleh Hawa
Nafsunya. Oleh karena itu Al Imaam Ibnu Katsiir tidak menukil dari
‘Ulama-‘Ulama zaman sekarang.
Dari Shohabat ‘Abdullooh bin Abbas, yang muridnya antara lain adalah
Ikrimah, beliau menterjemahkan “Lahwal Hadiitsi” (لَهْوَ الْحَدِيثِ)
sebagai “Al Ghinaa’u Wa Asbaabuhu” (الغناء وأسبابه),yaitu: Nyanyian dan
yang sejenisnya.
Ada lagi dengan sanad yang lain dari Shohabat ‘Abdullooh bin Abbas رضي
الله عنه, bahwa maksudnya adalah: Al Ghinaa Wanahwuuhu (الغناء ونحوه),
yaitu: Nyanyian dan yang sejenis dengannya.
Juga Al Ghinaa Wa Al Istima’ ilaihi (الغناء والاستماع إليه), yaitu Nyanyian dan yang mendengarkan nyanyian.
Adapun dari Shohabat Jaabir bin ‘Abdillaah, beliau mengatakan bahwa yang
dimaksud “Lahwal Hadiitsi” (لَهْوَ الْحَدِيثِ) adalah “Al Ghinaa Wal
Istima’u Ilaihi” (الغناء والاستماع إليه), yaitu: Nyanyian dan yang
mendengarkan nyanyian. Sama dengan penafsiran diatas. Kemudian beliau
juga menjelaskannya sebagai Al Ghinaa Wa Kullu Lahwin (الغناء كله لغو),
yaitu: Nyanyian dan setiap sesuatu yang melalaikan.
Sedangkan Shohabat ‘Abdullooh bin Mas’uud, beliau mengatakan bahwa:
الغناء ينبت النفاق في القلب
Artinya : “Nyanyian dan musik itu menumbuhkan kemunafikan di hati orang“.
Perkataan beliau tersebut adalah sebagaimana dinukil oleh Al Imaam Ibnu Qoyyim Al Jauziyah dalam Kitab “Ighotsaatul Lahafan”.
Kemudian ‘Ulama Ahlus Sunnah lainnya yakni Ibrohiim An Nakhoo’i dalam
Kitab “Adduur Al Mantsuur”, beliau juga mengatakan perkataan yang sama
seperti ‘Abdullooh bin Mas’uud diatas.
Munaafiq itu bukan saja berarti orang yang bermuka-dua, akan tetapi juga
meninggalkan sholat Shubuh dan Sholat ‘Isya berjama’ah tanpa udzur yang
syar’ie, seperti yang disabdakan oleh Rosulullah dalam Hadits Riwayat
Al Imaam Muslim no: 651, dari Shohabat Abu Hurairah :
أَثْقَلُ الصَّلاَةِ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلاَةُ الْعِشَاءِ وَصَلاَةُ
الْفَجْرِ, وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا, َلأَتَوْهُمَا وَلَوْ
حَبْوًا, وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ الْمُؤَذِّنَ فَيُؤَذِّنَ ثُمَّ
آمُرَ رَجُلاً يُصَلِّي بِالنَّاسِ ثُمَّ أَنْطَلِقَ مَعِي بِرِجَالٍ
مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لاَ يَشْهَدُوْنَ الصَّلَاةَ
فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ
Artinya :“Sholat yang paling berat atas orang munaafiq adalah shalat
‘Isya’ dan sholat Shubuh. Seandainya mereka mengetahui (keutamaan) yang
ada pada keduanya, niscaya mereka menghadirinya, meski dengan merangkak.
Sungguh aku berkeinginan untuk memerintahkan sholat, lalu ia
ditegakkan, kemudian aku perintahkan seseorang mengimami manusia,
kemudian aku pergi bersama sekelompok orang yang membawa beberapa ikat
kayu mendatangi kaum yang tidak mengerjakan sholat (berjama’ah), lalu
aku bakar rumah-rumah mereka dengan api.”
Maka di zaman sekarang, orang yang menonton pertunjukan / konser musik,
lalu misalnya ia meninggalkan / tidak sholat ‘Isya berjama’ah, maka yang
demikian itu adalah bagian dari Nifaq (kemunafikan).
Kata beliau (‘Abdullah bin Mas’uud) selanjutnya bahwa: “Nyanyian merupakan ruqyatuzzina”.
Jadi, nyanyian dan musik itu dapat menggiring manusia kearah zina,
campur aduknya laki-laki dan perempuan, seperti contohnya: dalam
pertunjukan / konser-konser musik, dunia gemerlap (dugem/night-club),
dunia joget; semuanya itu dari awal hingga akhirnya adalah zina. Zinanya
mata karena saling memandang antar laki-laki dan perempuan yang bukan
mahromnya, zinanya telinga karena mendengarkan musik dan nyanyian,
zinanya kaki dan tangan dengan berjoget mengikuti alunan musik. Apalagi
bila redaksi nyanyian itu ada yang bernada pornography, mengajak kepada
perbuatan ma’ksiyat dan sejenisnya.
Hal ini adalah sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imam Muslim no: 2657, dari Shohabat Abu Hurairoh, bahwa Rosulullah bersabda :
كُتِبَ على بن آدَمَ نَصِيبُهُ من الزِّنَا، مُدْرِكٌ ذلك لا مَحَالَةَ،
فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا
الاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلامُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا
الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى
وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذلك الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
Artinya :“Telah ditentukan atas setiap anak Adam bagiannya dari
perbuatan zina, ia pasti melakukannya. Zina kedua mata adalah dengan
memandang, zina kedua telinga adalah dengan mendengarkan, zina lisan
adalah dengan berbicara, zina kedua tangan adalah dengan menggenggam,
dan zina kedua kaki adalah dengan melangkah, sedangkan hati berkeinginan
dan berangan-angan, dan kemaluan mempraktekkan keinginan untuk berzina
itu ataukah menolaknya.”
Al Imam Ibnu Katsiir berkata pula, bahwa yang disebut “Lahwal Hadiitsi”
(لَهْوَ الْحَدِيثِ) itu termasuk alat musik yang dipukul, misalnya :
genderang (drum).
Sangat disayangkan di negeri kita Indonesia, bahkan ada sekolah-sekolah
Islam yang menyelenggarakan Drumband sebagai pelajaran
ekstrakurikuler-nya.
Kalau kita teruskan lagi, dalam Tafsir Al Imaam Ibnu Katsiir sebagai
kelanjutan dari penjelasan beliau tentang QS. Luqman (31) ayat 6 diatas,
maka beliau ketika menerangkan firman Allah “Wa yattahidzuhaa huzuwaa”
(وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً), beliau menukil perkataan Al Imam Mujaahid
yang mengatakannya sebagai: “Dan menjadikan jalan Allah sebagai
olok-olok dan ejekan.”
Sedangkan Qotaadah mengatakannya sebagai, “Ayat Allah (dijadikan) sebagai olok-olok.”
Qotaadah Ibnu Da’amah As Sadusi juga mengatakan bahwa yang disebut
“Lahwal Hadiitsi” (لَهْوَ الْحَدِيثِ) itu adalah: Seseorang membeli
permainan dan kebatilan. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Al Imaam
As Suyuthi dalam Kitab “Adduurul Mantsuur”
Bahkan Al Imaam Mujaahid berkata bahwa “Lahwal Hadiitsi” (لَهْوَ
الْحَدِيثِ) itu adalah: Nyanyian dan Setiap permainan yang melalaikan.
Hal ini sebagaimana terdapat dalam Tafsiir ‘Abdur Rozaaq Ash Shon‘aany.
“Setiap permainan yang melalaikan” berarti ini lebih umum lagi, bukan hanya sekedar nyanyian dan musik saja.
Demikianlah pemahaman para ‘Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah dari
kalangan Sahabat dan Tabi’in yang merupakan generasi didikan terdekat
dari Rosulullah berkenaan dengan Hukum Nyanyian dan Musik.
Berbeda dengan kita kaum Muslimin di Indonesia yang hidup di zaman
sekarang, yang pola hidupnya kebanyakan berkiblat ke Barat dan ke Timur,
yang notabene kebanyakan orang-orang Indonesia (bahkan sejak sebelum
zaman kemerdekaan) itu belajarnya ke negeri Belanda–Amerika–Inggris–
Perancis bahkan ke Cina ; yang semua itu adalah negeri-negeri sekuler,
bahkan komunis, atheis dan kapitalis. Sehingga wajar lah jika
teori-teori yang berkembang kebanyakan berasal dari orang-orang yang
tidak beriman kepada Allah. Maka, ketika disampaikan Wahyu dari Allah
dan Rosul-Nya berdasarkan pemahaman yang benar dari kalangan Shohabat
dan Taabi’iin berkenaan dengan Hukum Nyanyian dan Musik, maka tidak
jarang orang Indonesia yang merasa aneh atau keberatan, karena hal itu
diluar dari apa yang mereka pelajari selama ini.
Tetapi dengan mengambil ‘ilmu dien dari “pintu-ilmu” yang benar seperti
contohnya dari Tafsiir Ibnu Katsiir (yang seringkali juga disebut
Tafsiir Klasik) ini, yang merupakan Kitab Tafsiir Al Qur’an yang banyak
dijadikan pedoman oleh ummat Islam (antara lain oleh madzab Asy
Syaafi’iy yang kebanyakan dianut oleh kaum Muslimin di Indonesia); maka
diharapkan kejanggalan / perasaan aneh tersebut dapat ditepis.
Apalagi Kitab Tafsiir Ibnu Katsiir adalah salah satu kitab tafsiir
terbaik karena ia mentafsirkan ayat Al Qur’an dengan satu atau lebih
ayat Al Qur’an lainnya. Bila tidak memungkinkan, maka ditafsirkan dengan
Hadits Rosulullah yang shahih. Jika tidak ditemukan Hadits yang
menjelaskannya, maka ditafsirkan dengan ucapan Shohabat yang telah
menerima Al Qur’an langsung dari Rosulullah secara bacaan maupun
pemahaman, dimana mereka itu lah yang mengetahui makna-makna,
maksud-maksud dan rahasia-rahasianya, karena kedekatan mereka dengan
Rosulullah. Jika ucapan Shohabat tidak ditemukan, maka dengan ucapan
Taabi’iin. Dan terakhir adalah ditafsirkan dengan menggunakan kaidah
Bahasa Arab.
Sebagai tambahan, ‘Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah lainnya yakni Al Imaam
Ibnul Qoyyim Al Jauziyah didalam Kitabnya “Ighotsah Al-Luhfan” Jilid 1
halaman 350 mengatakan, “Hendaknya diketahui bahwa jika rebana, penyanyi
wanita, dan nyanyian sudah berkumpul maka mendengarnya adalah Haram
menurut semua Imam mazhab dan selain mereka dari para ‘Ulama kaum
muslimin.”
Beliau juga berkata, “Asy-Syaafi’iy dan murid-murid seniornya serta
orang-orang yang mengetahui mazhabnya, termasuk dari ‘Ulama yang paling
keras ibaratnya dalam hal ini (terhadap pengharoman nyanyian dan musik -
pent).”
3) Perhatikan firman Allah dalam QS. Al Furqon (25) ayat 72 :
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
Artinya :“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan
apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan
menjaga kehormatan dirinya.”
Al Imaam Ibnu Katsiir didalam Kitab Tafsiir-nya menyebutkan bahwa
Muhammad Al Hanafiyah mengatakan bahwa “Azzuur” (الزُّورَ) yang
dimaksudkan dalam QS. Al Furqon (25) ayat 72 itu adalah perkara yang
melalaikan dan Nyanyian.
Sedangkan orang-orang yang dimaksudkan dalam ayat ini yang disebut
dengan ‘Abdullah dan ‘Ibadurrohman, maka mereka itu adalah hamba Allah
yang patuh beribadah. Mereka itu apabila melewati lahwun (perkara yang
tidak berfaedah / tidak berguna) maka mereka tidak mau menyaksikan /
mendengarkannya dan diantara perkara yang lahwun adalah Nyanyian.
Sedangkan didalam Tafsiir Ath Thobari, dikatakan bahwa yang dimaksud
dengan “Azzuur” (الزُّورَ) adalah Nyanyian. Dijelaskan bahwa hukum asal
dari “Azzuur” adalah menghias, memperindah sesuatu sehingga tidak sesuai
dengan aslinya. Dan termasuk dalam perkara tersebut adalah Nyanyian,
karena diperindah suaranya sehingga menawan pendengarnya.
Di dalam Kitab Tafsiir Ath Thobari, ketika menafsirkan “Dan orang-orang
yang tidak memberikan persaksian palsu” {وَالّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ
الزّورَ}, maka Al Imam Mujaahid berkata, “(yaitu) orang-orang yang tidak
mendengarkan Nyanyian {لا يسمعون الغِناء}.”
Dalil berupa Hadiits-Hadiits
1) Rosulullah bersabda dalam suatu Hadits Shahih yang diriwayatkan oleh
Al Imam Al Bukhary dalam Shahih-nya no: 5268, dari Sahabat Abu Maalik
Al Asy’ary sebagai berikut:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
Artinya : “Akan dijadikan halal oleh ummatku emas, sutera, khamr dan Al Ma’aazif.”
Sebagian orang men-dho’if-kannya karena menganggap hadits tersebut
adalah hadits mu’allaq (tergantung), padahal telah diwashulkan
(disambungkan) oleh Al Imaam Ath Thobronyه serta dishahih-kan oleh
Syaikh Nashiruddin Al Albany dalam Kitab “Tahriim Allaati Ath Thorbi”.
Dengan demikian Hadits ini memiliki banyak penguat.
Dalam bahasa Arab, kalau orang mendengar kata ‘Aazif, maka artinya adalah: Alat musik dan penyanyinya.
Al Imam Ibnu Hibban, Al Imam Isma’iily, Al Imam Ibnush Sholah, Al Imam
Ibnu Hajar Al Asqolany, Al Imam Ibnu Taimiyah, Al Imam Ibnul Qoyyim, Al
Imam Ash Shon’aany dan para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah, mereka
mengatakan bahwa yang dimaksud dalam Hadits diatas adalah Musik dan
Nyanyian.
“Akan dijadikan halal oleh ummatku…..” sebagaimana dikatakan dalam
Hadits Shohiih diatas itu menjelaskan bahwa dahulunya di masa Rosulullah
Al Ma’aazif (musik, alat musik) itu adalah Harom; namun ummat Islam di
zaman kita inilah yang menganggapnya halal.
Al Imam Ibnu Hajar Al Asqolany dalam Kitabnya Fathul Bari, yang
merupakan penjelas dari Kitab Shohiih Imaam Al Bukhoory, menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan kata “Al Ma’aazif” dalam Hadits ini adalah:
1) Alat-alat Lahwun, yakni sesuatu yang tidak berfaedah dalam pandangan Syar’ie atau dalam pandangan Wahyu.
2) Dan dikatakan juga bahwa makna lain dari “Al Ma’aazif” adalah Aswat
‘alaa Malaahi, yaitu suara yang tidak ada faedahnya atau tidak terpuji.
3) Makna ketiga, adalah: Duf (rebana) dan selainnya yang dipukul (antara
lain : genderang, drum, dll), yang selanjutnya dikenal sebagai
Nyanyian.
Kata “Al Ma’aazif” yang kita kenal dalam Hadits tersebut adalah
berkaitan dengan sabda Rosuulullsh dalam Hadits Riwayat Al Imam Al
Bukhoory no: 5590, dari Sahabat Abu Maalik Al Asy’ary :
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ
“Layakununna min ummati aqwaamun yastahillun”.
Artinya :“Akan terjadi pada ummatku dimana mereka menghalalkan yang Haram”.
“Yastahillun” dalam ilmu Shorof bermakna “Menghalalkan”. Kalimat “Menghalalkan”, bisa dipahami dengan dua perkara:
- Pertama: Meyakini halalnya
- Kedua: Membiasakan dalam hidupnya bahwa seolah-olah itu halal
Jadi pengertian yang dapat dipetik dari Hadits tersebut adalah: “Ummatku
kelak akan menganggap halal, apakah menganggap halal itu dengan
keyakinannya bahwa itu adalah tidak harom, diyakini kehalalannya;
ataukah ia tahu bahwa hal itu haram tetapi ia membiasakannya, karena
menganggapnya boleh-boleh saja.”
Kedua pemahaman tersebut adalah menyimpang dari yang benar. Bahkan
pemahaman pertama adalah sangat keliru dan bathil, karena apabila ada
suatu nash yang mengharomkan perkara tersebut, lalu ia menyatakan
halalnya, maka berarti ia telah mengubah hukum Allah dari Haram menjadi
Halal. Dan itu menyebabkan seseorang menjadi Kufur. Hal ini bukan
masalah yang kecil, karena berarti telah melanggar apa-apa yang telah
diharamkan oleh Allah dan Rosulullah.
2) Dalam Hadits Riwayat Al Imam At Turmudzy no: 1005, Hadits ini Hasan, dari Shohabat Jaabir bin ‘Abdillah, beliau berkata :
أخذ النبي صلى الله عليه و سلم بيد عبد الرحمن بن عوف فانطلق به إلى ابنه
إبراهيم فوجده يجود بنفسه فأخذه النبي صلى الله عليه و سلم فوضعه في حجره
فبكى فقال له عبد الرحمن أتبكي ؟ أولم تكن نهيت عن البكاء ؟ قال لا ولكن
نهيت عن صوتين أحمقين فاجرين صوت عند مصيبة خمش وجوه وشق جيوب ورنة شيطان
Artinya : Bahwa Rosulullah keluar bersama ‘Abdurrohman bin ‘Auf ke
sebuah kebun kurma. ‘Ibrohim (putra beliau) diletakkan di pangkuan
beliau, lalu mata beliau pun berlinang menangis.
‘Abdurrohman bin ‘Auf bertanya, “Ya Rosulullah, mengapa engkau menangis, padahal engkau melarang menangis?”
Beliau menjawab :
“Aku tidak melarang menangis, aku melarang dua suara yang dungu dan
berdosa, yaitu suara saat ditimpa musibah sambil memukul wajah dan
merobek baju, dan nada (suara) syaitan.”
3) Diriwayatkan oleh Al Imam At Turmudzy di dalam Sunannya, kitab “Al
Fitan” Jilid 4/495 melalui salah seorang Shahabat bernama ‘Imron bin
Husain. Juga Ibnu Abid Dunya, dalam kitabnya “Dzammul Malaa’hi”
(“Tercelanya berbagai alat lahwun/alat-alat yang melalaikan”) melalui
salah seorang Shohabat yakni Anas bin Malik, dan haditsnya dishahih-kan
oleh syaikh Nasiruddin Al Albany dalam Silsilah Hadits Shahih no: 2203;
bahwa Rosul Muhammad bersabda:
في هذه الأمة خسف ومسخ وقذف ” فقال رجل من المسلمين : يا رسول الله ، ومتى ذلك ؟ قال : ” إذا ظهرت المعازف وكثرت القيان وشربت الخمور
Artinya : “Di tengah-tengah ummat ini akan terjadi tanah longsor, tsunami dan lemparan dari atas langit.”
Salah seorang sahabat lalu bertanya, “Wahai Rosul, kapankah itu?”
Rosul menjawab, “Jika telah nampak musik, semakin banyak penyanyi wanita dan khomr (minuman keras) telah diminum.”
4) Dalam Hadits Riwayat Al Imam Ibnu Maajah no: 4020 , dishohiih-kan
oleh Syaikh Nashiruddin Al Albaany, dari Sahabat Abu Maalik Al Asy’ary,
bahwa Rosulullah bersabda:
لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ ، يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ
اسْمِهَا ، يُعْزَفُ عَلَى رُؤُوسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ ، وَالْمُغَنِّيَاتِ
، يَخْسِفُ اللَّهُ بِهِمُ الأَرْضَ ، وَيَجْعَلُ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ
وَالْخَنَازِيرَ
Artinya : “Sungguh akan ada orang-orang dari ummatku yang meminum khamr,
yang mana mereka menamakannya dengan selain namanya. Mereka dihibur
dengan musik dan (alunan suara) biduanita, maka Allooh akan membenamkan
mereka ke dalam bumi dan Dia akan mengubah bentuk sebagian mereka
menjadi kera dan babi.”
5) Dalam Hadits Riwayat Al Imam Al Baihaqy dalam As Sunnan Al Kubro no:
21518, dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas, bahwa Rosulullah bersabda:
إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْخَمْرَ
وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ وَهُوَ الطَّبْلُ وَقَالَ كُلُّ مُسْكِرٍ
حَرَامٌ
Artinya :“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan kepada mereka khamr, judi, dan al-kuubah yaitu kendang.”
Dan kemudian beliau bersabda : “Setiap hal yang memabukkan adalah haram.”
6) Dalam Hadits Riwayat Al Imaam Ahmad no : 4535, di-Hasan-kan oleh Syaikh Syuaib Al Arnaa’uth :
عن نافع مولى بن عمر : أن بن عمر سمع صوت زمارة راع فوضع إصبعيه في أذنيه
وعدل راحلته عن الطريق وهو يقول يا نافع أتسمع فأقول نعم فيمضي حتى قلت لا
فوضع يديه وأعاد راحلته إلى الطريق وقال رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم
وسمع صوت زمارة راع فصنع مثل هذا
Artinya :Dari Nafi’ yang berkata bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar suatu hari
mendengar suara seruling yang ditiup oleh seorang penggembala, lalu
beliau pun meletakkan kedua telunjuknya pada kedua telinganya (menutup
telinganya), kemudian membelokkan untanya dari jalan tersebut (mencari
jalan lain).
‘Abdullah bin ‘Umar berkata, “Wahai Nafi’, apakah engkau masih mendengarnya?”
Maka aku (Nafi’) berkata, “Ya.”
Maka ia (‘Abdullah bin ‘Umar) terus berlalu hingga aku menjawab, “Aku tidak mendengarnya lagi.”
Maka ‘Abdullah bin ‘Umarpun melepaskan kedua telunjuknya dari kedua
telinganya dan kembali ke jalan tersebut sambil berkata, “Aku melihat
Rosulullah ketika mendengar suara seruling, maka beliau melakukannya
demikian (seperti yang aku lakukan tadi).”
Al Imam Al Qurthubi memberikan komentar atas Hadits diatas ini dalam
Kitab Tafsiir beliau yang berjudul “Al Jaami’u Li Ahkaamil Qur’an”
sebagai berikut, “’Ulama-‘ulama Ahlus Sunnah mengatakan bahwa jika hal
ini yang mereka (Rosulullah dan Shahabatnya) kerjakan disaat menghadapi
suara yang tidak keluar dari pertengahan (maksudnya : suara musik /
nyanyian yang masih merupakan perkara yang biasa dibandingkan dengan
yang ada di zaman Al Imam Al Qurthubi–pent.), maka bagaimana lagikah
(sikap) mereka terhadap nyanyian yang ada pada zaman sekarang?”
Bayangkan, komentar ini diberikan masih di zaman Al Imam Al Qurthubi,
(sekitar tahun 600-an Hijriyah / 1200-an Masehi), dimana beliau saja
sudah mengeluhkan keadaan nyanyian yang ada di zaman beliau; apalagi
kita kaum Muslimin yang hidup di zaman sekarang dimana suara nyanyian
dan musik bahkan ditawarkan hingga ke handphone-handphone kita. Tentu
kita harus lebih waspada lagi.
Perkataan Para ‘Ulama Ahlus Sunnah
1) Berkata ‘Abdullah bin Mas’uud :
“Menyanyi itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air
menumbuhkan tanam-tanaman; dan dzikir itu menumbuhkan iman dalam hati
sebagaimana air menumbuhkan tanam-tanaman.”
(Diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqy dalam Kitab “As Sunanul Kubro”)
2) ‘Umar bin Abdul ‘Aziiz (yang oleh Al Imam Asy Syaafi’iy dikatakan
sebagai Khalifah yang kelima setelah Ali bin Abi Tholib) berkata sebagai
berikut:
“Permulaan Nyanyian adalah dari Syaitan, dan akan berakhir dengan murka dari Ar Rahman (Allah).”
Telah merupakan kesepakatan para ‘Ulama Ahlus Sunnah antara lain: Al
Imam Al Qurthubi, Al Imam Ibnush Sholah dan Al Imam Ibnu Rojab Al
Hambali tentang Haram-nya mendengarkan nyanyian dan alat-alat musik.
3) Al Imam Al Qurthubi berkata sebagai berikut, “Nyanyian adalah terlarang berdasarkan al Kitab (Al Qur’an) dan As Sunnah.”
Dan dalam Kitab “Azzawajir An Ittirofil Kabaa’ir” yang ditulis oleh Al
Imam Ibnu Hajar Al Haitsami, Al Imam Al Qurthubi berkata sebagai
berikut,
“Adapun seruling, gitar dan kendang, tidak ada perselisihan diantara
para ‘Ulama tentang keharaman mendengarkannya. Dan aku tidak mendengar
seorang pun yang bisa dianggap mu’tabar dari kalangan Pendahulu Ummat
ini dan para Imam yang datang belakangan yang membolehkan hal itu.
Bagaimana tidak disebut Haram, karena ia (Nyanyian dan Musik) menjadi
ciri bagi mereka yang pekerjaannya minum khamr, orang yang fasiq, orang
yang tenggelam dalam syahwat, orang yang tenggelam dalam kerusakan dan
orang yang selalu menghindar dan menyelisihi Syari’at Allah. Yang
demikian itu tidak diragukan lagi keharomannya. Dan tidak diragukan
bahwa orang yang melakukannya adalah orang faasiq dan berdosa.”
4) Al Imam Ibnush Sholah , beliau adalah seorang yang terkenal dari
kalangan Ahli Hadiits, dan bagi seorang yang membidangi ilmu dien maka
nama beliau ini tidak asing lagi. Beliau berkata sebagai berikut,
“Sudah merupakan ijma’ terhadap Haramnya Nyanyian dan Musik. Tidak ada
seorang pun yang kokoh yang bisa diambil perkataannya yang mengatakan
bahwa Haramnya itu bukan merupakan Ijma’.”
5) Al Imam Al Hasan Al Bashri, beliau adalah Sayyidut Taabi’iin, berkata sebagai berikut,
“Kalau seandainya dalam Walimah (pernikahan) terdapat Nyanyian dan Musik, maka tidak perlu dihadiri undangan itu.”
6) Al Imam Ath Thobari , beliau adalah seorang Ahli Tafsiir Al Qur’an, berkata sebagai berikut,
“Telah sepakat para ‘Ulama dari berbagai penjuru (negeri), bahwa Nyanyian dan Musik adalah dibenci dan dilarang.”
7) Al Imam Al Auzaa’i, ‘Ulama Ahlus Sunnah dari kalangan Taabi’iin, berkata :
“Janganlah kalian masuk kedalam suatu Walimah, yang didalam Walimah itu terdapat kendang dan musik.”
8) Al Imam Abu Yusuf, murid dari Al Imaam Abu Hanifah, ketika ditanya tentang suara seruling maka beliau berkata,
“Kalau sebuah rumah dimasuki oleh seruling, maka masuklah engkau kedalam
rumah itu tanpa izin lalu ingkarilah kemungkaran itu; karena
mengingkari kemungkaran adalah fardhu.”
9) Al Imam Malik bin Anas melarang mendengarkan Nyanyian dan ketika
beliau ditanya tentang Nyanyian dan memukul alat musik, maka beliau
berkata,
“Apakah ada orang berakal yang mengatakan bahwa Nyanyian itu adalah
kebenaran? Orang yang melakukan seperti itu adalah orang yang fasiq.”
10) Al Imam Asy Syaafi’iy berkata, “Barangsiapa yang sering
mendengarkan nyanyian, maka dia itu bodoh dan tidak diterima
persaksiannya.”
Berarti madzab Asy Syaafi’iy mengingkari orang-orang yang menyatakan
bahwa madzab Asy Syaafi’iy membolehkan Nyanyian. Yang mengingkari
Nyanyian dari kalangan madzab Asy Syaafi’iy antara lain adalah Al Imam
Aq Qodhi Abu Thoyib, Al Imam Ath Thobari, Syaikh Abu Ishaq dan masih
banyak ‘Ulama Ahlus Sunnah lainnya.
Sebenarnya di dalam Kitab “Kifayatul Ahyar” halaman: 447 yang mendekati
madzab Asy Syaafi’iy yang banyak dipelajari dan digunakan oleh sebagian
kalangan pesantren di Indonesia, didalam Kitab itu pun telah dinyatakan
bahwa Musik itu adalah Harom; namun sayangnya hal ini banyak dilanggar.
Adapun berbagai madhorot, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allah tentang masalah Nyanyian dan Musik, adalah sebagai berikut:
1. Mukholafatul Qur’aani Was Sunnah, bukan lagi merupakan suatu Bid’ah,
melainkan terang-terangan melawan apa yang telah diharomkan oleh Allah
dan yang diharamkan oleh Rosulullah.
2. Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati manusia. Nyanyian
mengganggu para ahli ibadah. Mengganggu orang-orang yang tadinya tidak
tergiur dengan masalah dunia, lalu karena mendengar suara musik dan
nyanyian tersebut, maka mereka menjadi tergoda dan terpukau; lalu pada
akhirnya menjadi orang yang tertarik dan cinta pada dunia dan melalaikan
untuk mempelajari Al Qur’an dan hukum-hukum Allah. Dan ini adalah
berbahaya.
3. Menjauhkan manusia dari jalan Allah. Orang yang tadinya mendengar dan
betah terhadap Al Qur’an, maka dengan Nyanyian ia pun menjadi lebih
terlena dengan suara musik dan nyanyiannya, lebih dekat pada hawa
nafsunya. Sementara dalam Al Qur’an itu ada aturan kehidupan, tetapi
manusia lalu menjadi tidak mau diatur oleh Allah dan lebih cenderung
untuk mengikuti Hawa Nafsu dirinya.
4. Menjauhkan manusia dari keseriusan (Serius dalam ibadah, serius dalam
mencari kebaikan dunia dan akhirat, serius berjihad, dsbnya). Tetapi
Nyanyian itu akan membawa kepada ma’shiyat, dan ini seharusnya tidak
boleh terjadi.
Karena besarnya kemadhorotan Nyanyian dan Musik, maka para ‘Ulama Ahlus
Sunnah Wal Jamaa’ah sejak zaman dahulu sudah mewanti-wanti, memberi
peringatan keras kepada kita agar tidak tergiur dengan Nyanyian dan
Musik.
Maka waspadalah wahai kaum muslimin, bila kalian hendak menjaga dien
kalian, hendaknya kalian mengikuti apa yang telah dinasehatkan baik
didalam Al Qur’an dan Sunnah Rosulullah serta oleh para ‘Ulama Ahlus
Sunnah yang muk’tabar.
II. Jawaban Terhadap Kebolehan Nasyid (Nyanyian) dan Memukul Rebana disaat Walimah
Berikut ini akan kita pelajari bagaimana kaidah “Dunia Hiburan dan
Bersenang-senang” dalam koridor Al Islam, agar kaum Muslimin paham
bagaimana Dunia Hiburan itu diletakkan dalam manhaj Rosulullah. Ada
saat-saat dimana kaum Muslimin itu diperbolehkan mendengarkan Nasyid dan
Memukul Rebana, dan hal ini adalah pada Hari-Hari Raya (‘Ied) serta
ketika mengadakan Walimah.
Jadi memang ada Hiburan dalam Al Islam, tapi kaum Muslimin harus tahu
kapan waktu-waktunya; karena kenyataannya di zaman kita sekarang ini
bisa dikatakan persentase hiburannya adalah jauh lebih besar
dibandingkan keseriusan dalam menjalani kehidupan yang semestinya
dipersiapkannya sebagai ladang menanam amal shoolih untuk kehidupan
Akherat serta ladang untuk berjuang menolong Al Islam agar Al Islam
dzohir di muka bumi ini. Kenyataannya, kaum Muslimin kebanyakan
bersenang-senangnya sehingga lalai dalam memperjuangkan Al Islam, maupun
lalai dalam mempersiapkan diri bagi kehidupannya yang abadi di Akherat
kelak.
Hadits-Hadits berikut ini menjadi penjelas bahwa di Hari-Hari Raya
(‘Ied) kaum Muslimin, maupun ketika Walimah; maka diperbolehkan menabuh
rebana dan ber-nasyid:
1) Dalam Hadits Riwayat Al Imam Al Bukhury no: 3529, dari ‘A’isyah, beliau berkata :
أن أبا بكر رضى الله تعالى عنه دخل عليها وعندها جاريتان في أيام منى
تدففان وتضربان والنبي صلى الله عليه وسلم متغش بثوبه فانتهرهما أبو بكر
فكشف النبي صلى الله عليه وسلم عن وجهه فقال دعهما يا أبا بكر فإنها أيام
عيد وتلك الأيام أيام منى وقالت عائشة رأيت النبي صلى الله عليه وسلم
يسترني وأنا أنظر إلى الحبشة وهم يلعبون في المسجد فزجرهم عمر فقال النبي
صلى الله عليه وسلم دعهم أمنا بني أرفدة يعني من الأمن
Artinya : “Bahwa Abu Bakar As Siddiq masuk menemuinya, dan disaat itu
disamping ‘Aa’isyah ada dua orang anak perempuan yang sedang memukul
duff (rebana) di hari Mina.
Adapun Nabi waktu itu dalam keadaan menutup wajahnya dengan bajunya.
Ketika melihat hal tersebut, maka Abu Bakar As Siddiq membentak kedua
anak perempuan tadi.
Nabi kemudian membuka bajunya yang menutup wajahnya dan berkata :
“Biarkan mereka wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya
Mina”.
Pada waktu itu adalah hari-hari Mina.”
Dari Hadits diatas dapatlah dipetik pelajaran bahwa ketika bertepatan
dengan Hari Raya yaitu Hari Mina, yang berlangsung selama 3 atau 4 hari
mulai dari tanggal 10 Dzul Hijjah (‘Iedul Adha), kemudian 11,12 dan 13
Dzul Hijjah (Hari Tasyriq) maka diperbolehkan memukul rebana.
Kejadian diatas berlangsung ketika Rosulullah sedang berada di Madinah,
bertepatan dengan tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzul Hijjah di tahun ketika
Rosulullah sedang tidak ber-Haji.
Al Imam At Turmudzy yang meriwayatkan Hadits tersebut dan meletakkan
Hadits tersebut dalam Kitab Sunan At Turmudzy dengan mengatakan:
“Keringanan dalam mendengarkan nyanyian (nasyid) dan memukul rebana pada
hari ‘Ied.”
Jadi menurut Al Imam At Turmudzy diperbolehkan, dan ada keringanan bagi
orang Islam untuk mendengarkan nasyid (nyanyian) dan memukul rebana di
Hari Raya kaum Muslimin (Hari ‘Ied), karena sebagaimana Hadits diatas
bahwa Rosulullah dan ‘A’isyah membiarkannya serta membolehkannya.
2) Dalam Hadits Riwayat Al Imam Al Bukhary no: 953 dan Al Imam Muslim no: 892 :
عَنْ عَائِشَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، قَالَتْ دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ
وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا
تَقَاوَلَتِ الأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ- قَالَتْ وَلَيْسَتَا
بِمُغَنِّيَتَيْنِ – فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ فِي
بَيْتِ رَسُولِ اللهِ : وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ
صلى الله عليه وسلم يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا
عِيدُنَا
Artinya : Dari ‘Aa’isyah , beliau berkata: “Telah masuk kerumahku Abu
Bakar As Siddiq . Disampingku ada dua orang perempuan dari kalangan
Anshor yang sedang menyanyi.
Abu Bakar pun mengingkarinya seraya berkata, “Apakah ada seruling syaitan di rumah Rosuulullah?”
Dan itu terjadi pada Hari Raya ‘Iedul Fithr.
Rosulullah pun menjawab, “Wahai Abu Bakar, setiap kaum punya hari raya dan ini hari raya kita.”
Dari Hadits diatas dapatlah diambil pelajaran bahwa Rosulullah
membolehkan dan membiarkan orang menyanyi (bernasyid) disaat Hari Raya
‘Iedul Fithr. Bahkan ketika Abu Bakar As Siddiq hendak mengingkari
nyanyian itu sebagai seruling syaithoon, maka hal itu ditepis oleh
Rosulullah, dengan memberi pernyataan bahwa menyanyi (ber-nasyid) di
Hari Raya kaum Muslimin (‘Iedul Fithr) adalah diperbolehkan.
Dari dua Hadits diatas jelaslah bahwa ada Hiburan didalam Al Islam.
Alatnya adalah Rebana, dan ada pula unsur Nasyid (Nyanyian). Hanya
waktunya hendaknya pada Hari Raya kaum Muslimin (‘Iedul Fithr, ‘Iedul
Adha beserta Hari-Hari Tasyriq).
3) Al Imam Al Bukhary didalam Kitab Sahih-nya tentang masalah Khithbah
yang diberi judul : “Bab ke-49. Memukul Rebana pada saat Menikah dan
Walimah”.
Adapun judul Bab yang ditulis oleh Al Imam Al Bukhary , sebagaimana yang
dikatakan para ‘Ulama, adalah merupakan Istinbath Fiqih Al Imam Al
Bukhary.
Hal ini menunjukkan bahwa perkara ini yang didalamnya menjelaskan
tentang memukul Rebana disaat Menikah dan Walimah, merupakan Hujjah bagi
bolehnya kaum Muslimin melakukan hal tersebut.
Dan untuk lebih jelasnya tentang hal ini, maka dapat dijadikan rujukan
Fatwa Lajnah Daa’imah untuk Pembahasan Ilmiyyah dan Fatwa yang
dikeluarkan pada tahun 1421 H dengan no: 2/277, pada saat menjawab
pertanyaan seseorang yang meminta Fatwa kepada Lajnah Daa’imah berkaitan
dengan adanya paham yang tersebar di kalangan masyarakat akibat dari
tulisan seorang Penulis yang menyatakan bahwa Rosulullah menganjurkan
mendengarkan musik dan nyanyian; maka dalam Fatwa itu disebutkan jawaban
sebagai berikut :
قد كذب الكاتب على النبي صلى الله عليه وسلم حيث نسب إليه أنه كان يستمع
إلى الغناء والموسيقى ويأمر بهما في الأعياد والمناسبات كالزواج والأفراح،
فإن الثابت عنه صلى الله عليه وسلم أنه رخص للنساء خاصة فيما بينهن بضرب
الدف والإنشاد المجرد من التطريب وذكر العشق والغرام والموسيقى وآلات اللهو
مما تشمل عليه الأغاني الماجنة المعروفة الآن ، وإنما رخص بالإنشاد المجرد
عن هذه الأوصاف القبيحة مع ضرب الدف خاصة دون الطبول وآلات المعازف لإعلان
النكاح بل صح في الحديث عنه صلى الله عليه وسلم كما في صحيح البخاري أنه
حرم المعازف بجميع أنواعها وتوعد عليها بأشد الوعيد ، كما في صحيح البخاري …
وقرن ذلك مع الزنا والخمر ولبس الرجال للحرير مما يدل على شدة تحريم الغناء وتحريم آلات اللهو
Artinya : “Setelah menjelaskan tentang Harom-nya Nyanyian dan Musik dalam poin ke-3, maka pada poin ke-4 dinyatakan:
“Sungguh Penulis telah berdusta terhadap Nabi, bahwa Nabi mendengarkan
pada Nyanyian dan Musik dan menganjurkannya dalam Hari-Hari Raya,
perayaan-perayaan tertentu seperti menikah dan hari bahagia lainnya.
Justru yang shohiih dari Rosulullah adalah bahwa beliau memberi
KERINGANAN KHUSUS diantara para WANITA untuk MEMUKUL REBANA dan NASYID
yang BERSIH DARI IRAMA YANG DI DALAMNYA TERDAPAT MUSIK, lantunan suara
yang memukau, termasuk alat-alat yang melalaikan yang didalamnya
meliputi nyanyian-nyanyian yang tidak patut yang dikenal pada zaman
sekarang.
Yang diperbolehkan adalah sekedar nasyiid yang bersih dari
gambaran-gambaran yang buruk disertai dengan memukul rebana, TANPA
KENDANG DAN ALAT-ALAT MUSIK LAINNYA dalam rangka mengiklankan nikah; hal
ini karena shohiihnya Hadits dari Nabi, sebagaimana terdapat dalam
shohiih Al Imam Al Bukhary bahwa beliau meng-Haramkan Al Ma’aazif
(nyanyian beserta alat-alat musik / alat-alat nyanyian) dengan seluruh
jenisnya, dan mengancam dengan ancaman yang keras….
Bahkan disebutkan disana bahwa Haramnya Nyanyian dan Musik disetarakan
dengan Zina, dengan Khamr dan Haramnya laki-laki memakai sutra; untuk
menunjukkan bahwa Nyanyian dan Alat-Alat yang melalaikan adalah sangat
di-Haromkan.”
Dari penjelasan Lajnah Daa’imah diatas, maka jelaslah bahwa yang
diperbolehkan dalam Walimah itu hanyalah sekedar memukul rebana dan
melakukan nasyid diantara para Wanita untuk mengiklankan pernikahan.
Dimana nasyid-nya pun harus bersih / terbebas dari kendang dan alat-alat
musik lainnya, serta terbebas dari lagu-lagu yang kata-katanya
menggambarkan perkara-perkara yang tidak patut seperti percintaan, dll;
yang seringkali justru hal ini lah yang banyak dilanggar oleh kaum
Muslimin di zaman kita sekarang ini.
Kontroversi Suara dan Nyanyian
Nyaris tidak ada yang mempermasalahkan suara laki-laki. Namun, begitu
suara itu dinisbatkan pada perempuan, timbul berbagai pendapat ulama.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa suara perempuan adalah aurat, sementara
mazhab Syafi’i tidak menganggapnya aurat. Demikian pula, suara perempuan
menurut jumhur ulama bukanlah aurat, berdasarkan beberapa peristiwa
yang menunjukkan bahwa istri-istri Nabi pun sering berbicara di hadapan
para shahabat dalam rangka ta’lim atau keperluan lainnya yang dibolehkan
oleh syara’.
Lain hukum suara, lain pula hukum nyanyian, walaupun nyanyian lahir dari
suara. Dalam bab nyanyian, ikhtilaf lebih kentara. Pendapat para ulama
pun terbagi dua, antara yang mengharamkan dan yang membolehkan. Ikhtilaf
ini terjadi karena ada nash yang mencela nyanyian perempuan sementara
ada juga nash yang menunjukkan kebolehan perempuan bernyanyi.
Sebuah hadits yang diriwayatkan dari Imam Thirmidzi berbunyi, “Akan
terjadi (di akhir zaman) penenggelaman bumi, hujan batu, dan pengubahan
rupa. Ada seseorang dari umat Islam (sahabat) yang bertanya, “Kapankah
hal itu akan terjadi? Maka beliau menjawab, “Apabila musik dan biduanita
telah merajalela dan khamer telah dianggap halal.”
Qur’an juga berbicara tentang suara perempuan, “Maka janganlah kamu
tunduk (melemah lembutkan suara) dan berbicara sehingga bangkit nafsu
orang yang ada penyakit dalam hatinya.” (QS: al-ahzab:32).
Sementara itu, ada pula hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan
Muslim dari Aisyah ra : “Aku telah diziarahi oleh Abu Bakar r.a di
rumahku. Ketika itu di sampingku ada dua orang jariah yaitu gadis dari
golongan Anshar, sedang mendendangkan syair golongan Anshar pada Hari
Bu’as yaitu hari tercetusnya peperangan antara golongan Aus dan Khazraj.
Aisyah berkata: ‘Sebenarnya mereka berdua bukanlah penyanyi.’ Abu Bakar
r.a berkata: ‘Patutkah ada nyanyian syaitan di rumah Rasulullah s.a.w
dan pada Hari Raya pula?’ Lalu Rasulullah s.a.w bersabda: ‘Wahai Abu
Bakar! Sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai Hari Raya dan ini adalah
Hari Raya kami.’”
Selain nash di atas, beberapa riwayat juga memperlihatkan penunjukkan yang sekilas kontradiktif.
Maka, para ulama pun terbagi dua. Imam Al Suddi, Ibnu Manzur, Ibnu Athir
berpendapat bahwa suara perempuan adalah aurat jika digunakan untuk
bernyanyi, bernasyid atau melunakkan suara di hadapan lelaki yang bukan
mahram.
Dalam Adwaul Bayan, dijelaskan bahwa para ulama tafsir menyebut, suara
perempuan yang dilagukan adalah termasuk dari kecantikan-kecantikan
(yang tidak harus dipertonton dan diperdengarkan kepada lelaki bukan
mahram), tiada khilaf dalam hal ini. Menurut Ibnu Katsir dalam Al-Jami’
Li Ahkam al-Qur’an, Imam al Qurthubi berpendapat, kerana suara yang
seperti ini akan menjadikan orang-orang lelaki munafiq dan ahli maksiat
berfikir jahat (oleh karenanya nyanyian dilarang—pen).
Sedangkan beberapa ulama kontemporer membolehkan nyanyian perempuan
dengan syarat. Dr Yusuf Qaradhawi dalam fatwanya membolehkan perempuan
bernanyi dengan catatan harus berada dalam kerangka hukum Islam yang
menjamin diterimanya bernyanyi tanpa adanya praktik yang dilarang
seperti menari, meminum alkohol, dan mengumbar nafsu belaka Secara
terpisah.
Ibrahim Salah al-Din al-Houdhud, cendikiawan lain asal Universitas
Al-Azhar mengatakan aturan tentang diizinkannya Muslimah bernyanyi telah
disahkan dengan sejumlah catatan seperti tidak boleh melakukan hal yang
melanggar agama, tidak boleh bernyanyi ketika ada tarian dan alkohol
dan tidak boleh ada kamera yang merekam. Sementara itu, cendekiawan
lainnya mengatakan Muslimah harus bernyanyi dalam lingkungan jender non
campuran.
Abdurrahman al-Baghdadi dalam bukunya “Seni dalam Pandangan Islam”
membolehkan nyanyian perempuan berdasarkan riwayat bahwa Rasulullah
mengizinkan dua perempuan budak bernyanyi di rumahnya (HR Bukhari).
Asy Syeikh Ahmad asy Syarbashi, salah seorang syeikh di Universitas al
Azhar didalam bukunya “Mereka Bertanya Kepada Anda” menulis, “Hukum
mendengar suara penyanyi perempuan bergantung keadaan suaranya. Apabila
suaranya digetarkan dan dapat membangkitkan syahwat maka hal itu haram,
diharamkan mendengarkannya”. Selain itu, kekhawatiran akan adanya fitnah
akibat nyanyian juga dapat menjadi dasar pelarangan. Syeikh as-Shobuni
berpendapat : sebaiknya kaum lelaki mencegah perempuan2 dari melakukan
perkara yg membangkitkan fitnah dan tipu daya seperti memakai pakaian
sempit, meninggikan suara, dan memakai wangi-wangian.
Ala kulli hal, pendapat-pendapat tersebut dapat kita pertemukan di satu
titik yaitu nyanyian perempuan dapat jatuh kepada keharaman jika memang
di dalamnya mengandung keharaman, karena pada asalnya suara perempuan
itu sendiri bukanlah aurat.
Lirik yang mungkar dan mengajak maksiat menjadikan nanyian menjadi
haram. Pakaian yang mengumbar aurat atau suara yang mendayu nan menggoda
menjadikan nyanyian itu tidak boleh disimak. Sebaliknya, jika liriknya
mengajak kepada kebaikan, mengingat Allah, suaranya wajar tidak mendayu,
apalagi menyemangati jihad dan si penyanyi berpakaian syar’i serta
tidak menggoyangkan tubuhnya untuk menarik perhatian lawan jenis, maka
nyanyian tersebut menjadi boleh.
Persoalan Ikhtilat
Disamping permalasahan suara, pakaian dan lirik lagu, hendaknya kita
tidak melupakan fakta sebenarnya dari pertunjukan-pertunjukan lagu pada
hari ini, yaitu fakta konser musik yang di dalamnya ada sekumpulan
penonton yang berkumpul di waktu dan tempat yang sama.
Dalam Islam, bercampur baurnya laki-laki dan perempuan dalam waktu dan
tempat yang sama disebut ikhtilat. Para ulama mengharamkan ikhtilat ini,
kecuali yang dibolehkan oleh syara’. Kebolehan tersebut jika kita
teliti lebih karena kedaruratannya, dalam arti urgensi adanya pertemuan
antara laki-laki dan perempuan yang sulit dihindari, misalnya dalam jual
beli di pasar, di aktivitas pendidikan, pengadilan dan pengobatan.
Taqiyuddin an Nabhani menulis, “Adapun dalam kehidupan umum, hukum
asalnya adalah terpisah dan tidak boleh ada interaksi antara pria dan
perempuan. Kecuali pada perkara-perkara yang telah dibolehkan syariah,
di mana syariah telah membolehkan, atau mewajibkan, atau menyunnahkan
suatu aktivitas untuk perempuan; serta pelaksanannya menuntut adanya
interaksi dengan pria. Baik interaksi ini terjadi dengan tetap adanya
pemisahan, seperti di dalam masjid, atau dengan adanya ikhtilâth
(campur-baur), sebagaimana dalam aktivitas ibadah haji atau jual-beli.”
(Sistem Pergaulan dalam Islam, hal. 55)
Sedang dalam hal menyimak lagu atau menonton, tidak kita temukan rukhsah
satu pun untuk berikhtilat. Semestinya ini membuat kita berhati-hati
dalam menyikapi fakta pertunjukkan musik, konser, kontes dan sebagainya.
Jika faktor pakaian, penyanyi, suara, lirik dan ikhtilat menentukan
penilaian kita terhadap acara kontes musik, maka “kebolehan bernyanyi
asalkan pakaiannya syar’i” akan tampak pincang jika pada saat yang sama
ia bernyanyi di hadapan orang-orang yang berikhtilat.
Belum lagi jika kita tengok lirik lagunya, apakah ia mencerminkan ajakan
kepada kebaikan? Padahal dalam acara-acara tersebut sudah dianggap
biasa jika sang penyanyi membawakan lagu-lagu yang, bukannya berlirik
mengingat Allah atau menyemangati ibadah dan amal sholeh, justru malah
membawakan lagu-lagu dari Barat.
Satu lagi, faktor suara : betapa sulitnya kita menemukan kontes yang
memenangkan kontestan perempuan dengan suara datar dan tidak menarik
perhatian. Justru sebaliknya, kemenangan ditentukan oleh penilaian juri
terhadap ‘keindahan’ suara si kontestan. Nah, jika keindahan suara itu
dinilai, dinikmati oleh juri dan penonton yang notabene banyak yang
bukan mahram, justru saat itulah fitnah yang dikhawatirkan oleh para
ulama.
Mencermati fakta yang ada, tentu akan sangat sulit bagi kita memberi
justifikasi syar’i dari keikutsertaan seorang muslim/muslimah dalam
kontes-kontes musik di acara-acara televisi hari ini. Barangkali, hanya
dalam kontes nasyid yang diselenggarakan oleh event organizer yang cukup
memahami syariah untuk menyeleksi pakaian dan lirik yang dibawakan
kontestan serta memisahkan tempat duduk perempuan dan laki-laki, maka
justifikasi syar’i itu akan mudah diberikan. Namun, tentu konser-konser
semacam itu tidak laku dijual di publik alias tidak bernilai komersil.
Sayang, di zaman ketika pelaksanaan syariah nyaris dilupakan, kita
seringkali terjebak pada kompromi fikih: membolehkan sesuatu hanya dari
satu sisi aktivitas saja, tanpa melihat ada sisi kemungkaran yang
mengiringi aktivitas tersebut. Gejala kompromi fikih ini, adalah buah
dari diterapkannya sekulerisme oleh negara yang memberikan pandangan
dikotomis antara kehidupan agama dan kehidupab dunia. Sekali lagi,
penulis tidak hendak menghakimi niat baik dari Pak Kiayi dan siapapun
yang consern terhadap penjagaan moral generasi muda. Hanya saja,
alangkah baiknya jika nasehat tersebut bersifat menyeluruh, meninjau
juga faktor-faktor lain dari acara-acara konser dan kontes. Wallahu
a’lam.*
Pendapat Ulama.
Ibnu Taimiyah: “Seorang hamba jika sebagian waktunya telah tersibukkan
dengan amalan yang tidak disyari’atkan, dia pasti akan kurang
bersemangat dalam melakukan hal-hal yang disyari’atkan dan bermanfaat.
Oleh karena itu, kita dapati pada orang-orang yang kesehariannya dan
santapannya tidak bisa lepas dari nyanyian, mereka pasti tidak akan
begitu merindukan lantunan suara Al Qur’an. Mereka pun tidak begitu
senang ketika mendengarnya. Mereka tidak akan merasakan kenikmatan
tatkala mendengar Al Qur’an dibanding dengan mendengar bait-bait sya’ir
(nasyid). Bahkan ketika mereka mendengar Al-Qur’an, hatinya pun menjadi
lalai.”
Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik dalam kitab Mughni al-Muhtaj
berpendapat bahwa mendengarkan musik hukumnya adalah makruh.
Imam As-Syaukani dalam Naylul Authar menyebutkan, masyarakat Madinah dan
para ulama yang sependapat dengan mereka, serta ahli sufi, memberikan
keringanan dalam hal lagu, meski menggunakan alat musik.
Abu Mansour al-Baghdadi al-Syafi’i dalam bukunya As-Simaa’ menyebutkan,
Sahabat Abdullah bin Ja’far berpendapat tidak ada masalah dengan lagu,
ia mendengarkan lagu-lagu yang dipetik hambanya. Hal itu Ia lakukan pada
masa kekhalifahan Ali ra. Begitu juga sahabat lainnya, Kadhi Syureih,
Sa’id bin al-Musayyab, Atha’ bin Abi Rabah, Az-Zuhri dan al-Sya’bi.
Imam al-Ghazali berpendapat: mendengarkan musik atau nyanyian tidak
berbeda dengan mendengarkan perkataan atau bunyi-bunyian yang bersumber
dari makhluk hidup atau benda mati. Setiap lagu memiliki pesan yang
ingin disampaikan. Jika pesan itu baik dan mengandung nilai-nilai
keagamaan, maka tidak jauh berbeda seperti mendengar
ceramah/nasihat-nasihat keagamaan. Juga sebaliknya.
Al Qarafi (wafat 684H)
Ulama Malikiyah, beliau berkata,
وَلَا بَأْسَ بِالدُّفِّ وَالْكَبَرِ وَلَا يَجُوزُ الْغِنَاءُ فِي
الْعُرْسِ وَلَا غَيْرِهِ إِلَّا كَمَا كَانَ يَقُولُ نسَاء الْأَنْصَار
أَو الرجز الْخَفِيف مِنْ غَيْرِ إِكْثَارٍ
“Tidak mengapa duff (rebana) dan al kabar di acara pernikahan, dan tidak
diperbolehkan alat musik baik di acara pernikahan maupun di luar acara
pernikahan. Yang dibolehkan hanyalah apa yang dilakukan oleh sebagian
wanita Anshar (yaitu bersyair) ataurajaz (semacam syair) yang ringan
tanpa terlalu sering” (Adz Dzakhirah, 4/400)
Imam Ibnu Hazm mengatakan, “Jika belum ada perincian dari Allah S.W.T.
maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini [dalam
hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah
terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak."
Analisa.
Al-Quran tidak menjelaskan hukum mendengarkan lagu atau musik secara
tegas. Dalam hal muamalah, kaidah dasarnya adalah: al-ashlu fi al-asyaa
al ibahah (segala sesuatu hukumnya adalah boleh). Batasan dari kaidah
tersebut adalah selama hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum
Islam (syariat).
Para ulama yang mengharamkan musik mendasarkan argumennya pada surat
Luqman ayat (6) yang menyebutkan bahwa orang yang mengucapkan perkataan
yang tidak bermanfaat akan mendapatkan adzab yang pedih. Artinya, bahwa
musik yang berupa suara yang keluar dari alat musik dan ber-ritme secara
teratur bukanlah merupakan ucapan yang mengandung perkataan jelek. Yang
mengandung perkataan adalah lagu. sedangkan lagu tidak semuanya
mengandung kata-kata yang jelek atau mengarah pada perbuatan maksiat.
Untuk lagu yang mengandung kata-kata yang tidak baik dan mengarah pada
perbuatan maksiat tentu hukumnya haram, sedangkan lagu yang berisi lirik
yang baik apalagi bernada syiar, maka hukumnya boleh. Jadi yang
mempengaruhi hukum musik itu bukan musiknya, melainkan sesuatu yang lain
di luar musik, seperti lirik lagu yang berisi kata-kata yang tidak
baik.
Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali, larangan tersebut tidak
ditunjukkan pada alat musiknya (seruling atau gitar), melainkan
disebabkan karena “sesuatu yang lain” (amrun kharij). Di awal-awal
Islam, kata al-Ghazali, kedua alat musik tersebut lebih dekat dimainkan
di tempat-tempat maksiat, sebagai musik pengiring pesta minuman
keras.Hal ini tentu dilarang.
Musik juga dapat menjadi makruh bahkan bisa haram ketika membuat orang
yang membuat atau mendengarkannya menjadi lalai akan kewajibannya kepada
Allah swt. Sama halnya dengan bermain game, jalan-jalan, nonton TV
bahkan bekerja akan menjadi haram jika menjadikan seseorang lalai akan
kewajibannya kepada Allah. Berbeda dengan judi, yang meskipun tidak
mengganggu waktu shalat misalnya, tapi tetap diharamkan. Karena
sekalipun al-Quran tidak menyatakan hukum judi secara tegas, tentu
dilihat dari madharatnya, hukumnya adalah haram.
Di sisi lain, kita tidak dapat menghentikan arus globalisasi. Musik
sudah terdengar di setiap sudut ruang kehidupan kita. Jika kita tidak
membuat musik alternative yang dapat mendekatkan diri kepada Allah swt,
seperti yang dilakukan oleh Opick,Wali dkk serta dari kalangan
Pesantren, maka generasi kita hanya akan mendengarkan lagu-lagu cinta
dan bahkan lagu-lagu dengan lirik yang tidak mendidik.
Kesimpulan.
Musik tidak haram, yang membuat haram adalah amrun khorij (faktor di
luar) musik, seperti sebagai pengiring pesta miras, musik erotis, musik
dengan lirik lagu porno. Jadi substansinya tidak haram.
Hukum mendengarkan musik adalah kondisional, tergantung dari untuk apa
dan bagaimana efeknya. Jika dengan mendengarkan musik menjadi lupa
shalat, membaca al-Qur’an dsb yang bisa mendekatkan diri kepada Allah,
maka hukumnya adalah haram. Tapi mubah jika sebaliknya.
Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum
dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada
saat itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil
yang mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.
Demikianlah penjelasan singkat tentang bagaimana hukum mendengarkan lagu atau musik dalam Islam. Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar