Kamis, 27 Februari 2020

Hukum Fidyah Bagi Yang Telah Meninggal


Mayoritas ulama 4 madzhab bersepakat bahwasanya orang yang tidak berpuasa karena udzur tertentu seperti sakit atau dalam perjalanan, kemudian pada saat itu juga dia meninggal dunia maka tidak ada kewajiban apapun bagi wali atau ahli waris orang tersebut untuk mengganti puasanya atau membayarkan fidyah untuknya.
Sebab orang tadi tidak memiliki kesempatan untuk mengganti hutang puasa yang ditinggalkan sebelum meninggal dunia.
Namun mereka berbeda pendapat mengenai orang yang mempunyai hutang puasa, kemudian dia memiliki waktu untuk mengadha’ puasa tersebut, tetapi dia tidak memanfaatkan waktu itu. Dan ternyata dia meninggal sebelum sempat membayar hutang puasanya. Dalam kondisi ini apa yang wajib dilakukan oleh ahli waris orang tersebut? Berikut ini pendapat dari masing-masing ulama’ madzhab :
Pendapat dari Para Ulama Masing-Masing Madzhab
Madzhab Hanafi
Dalam madzhab Al-Hanafiyah berpendapat bahwasanya wali orang yang meninggal berkewajiban untuk membayar fidyah saja dan tidak bisa digantikan dengan qadha’.
Al-Kasani (w. 587 H) dalam Badai’ As-Shanai’ fii Tartib As-Syarai’ berkata :
 
فَإِنْ بَرِئَ الْمَرِيضُ أَوْ قَدِمَ الْمُسَافِرُ وَأَدْرَكَ مِنْ الْوَقْتِ بِقَدْرِ مَا فَاتَهُ يَلْزَمُهُ قَضَاءُ جَمِيعِ مَا أَدْرَكَ، لِأَنَّهُ قَدَرَ عَلَى الْقَضَاءِ لِزَوَالِ الْعُذْرِ، فَإِنْ لَمْ يَصُمْ حَتَّى أَدْرَكَهُ الْمَوْتُ فَعَلَيْهِ أَنْ يُوصِيَ بِالْفِدْيَةِ وَهِيَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُ لِكُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا لِأَنَّ الْقَضَاءَ قَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ ثُمَّ عَجَزَ عَنْهُ بَعْدَ وُجُوبِهِ بِتَقْصِيرٍ مِنْهُ فَيَتَحَوَّلُ الْوُجُوبُ إلَى بَدَلِهِ وَهُوَ الْفِدْيَةُ.
“Namun jika dia telah sembuh dari sakitnya atau telah datang dari berpergian, kemudian memiliki kesempatan untuk mengganti puasa yang ditinggalkan, maka dia wajib mengganti semua puasa yang ditinggalkan. Karena pada waktu itu dia telah memiliki kesempatan untuk mengadha’ karena sudah tidak ada lagi udzur.
Kemudian jika dia tidak berpuasa pada kesempatan tersebut lalu meninggal maka orang itu dihukumi wajib untuk membayar fidyah. Bentuk fidyahnya adalah dengan memberi makan satu orang miskin untuk satu hari yang ditinggalkan. Karena dia telah memiliki kesempatan untuk mengadha’, namun dia tidak mampu melakukannya karena keteledorannya, sehingga hukum wajib berpuasa berganti ke penggantinya yaitu membayar fidyah.”
Al-Marghinani (w. 593 H) dalam Al-Hidayah Syarh Bidayah Al-Mubtadi berkata :
 
( وَإِذَا مَاتَ الْمَرِيضُ أَوْ الْمُسَافِرُ وَهُمَا عَلَى حَالِهِمَا لَمْ يَلْزَمْهُمَا الْقَضَاءُ ) لأَنَّهُمَا لَمْ يُدْرِكَا عِدَّةً مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ( وَلَوْ صَحَّ الْمَرِيضُ وَأَقَامَ الْمُسَافِرُ ثُمَّ مَاتَا لَزِمَهُمَا الْقَضَاءُ بِقَدْرِ الصِّحَّةِ وَالإِقَامَةِ ) لِوُجُودِ الإِدْرَاكِ بِهَذَا الْمِقْدَارِ
“Jika ada seorang yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa) kemudian meninggal ketika masih sakit atau berpergian maka dia tidak wajib mengadha’ puasanya. Karena mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengganti puasanya di hari yang lain.
Namun jika, orang yang sakit tadi telah sembuh atau musafir tadi telah tiba di perjalanan kemudian meninggal dan belum sempat mengganti puasanya di hari yang lain maka dia wajib mengadha’nya sesuai dengan kadar waktu sehat serta waktu tiba mereka. Hal ini karena mereka memiliki kesempatan untuk mengqadha’ puasanya pada kadar waktu tersebut.
Az-Zaila’iy (w. 743 H) dalam Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzi Ad-Daqa’iq berkata : 
 
ولنا قوله - عليه الصلاة والسلام - «لا يصوم أحد عن أحد ولا يصلي أحد عن أحد ولكن يطعم عنه» رواه النسائي عن ابن عباس وعن ابن عمر أنه - عليه الصلاة والسلام - قال «من مات وعليه صوم شهر فليطعم عنه مكان كل يوم مسكينا» قال القرطبي إسناده حسن ورواه ابن ماجه أيضا ولأنه لا يصوم عنه في حالة الحياة فكذا بعد الموت كالصلاة
“Dasar yang kami jadikan dasar dalam masalah ini (pendapat yang hanya mewajibkan fidyah) adalah :
Sabda Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam-, “Tidak boleh seseorang berpuasa untuk mengganti puasa orang lain, atau sholat untuk mengganti sholat orang lain. Namun dia hanya cukup membayar fidyah untuknya.”
An-Nasa’i meriwayatkan dari jalur Ibnu Abbas dan Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda, “Orang yang meninggal dunia namun memiliki hutang puasa, maka dia wajib memberi maka satu satu miskin per-satu hari yang ditinggalkan.”
Al-Qurthubi berkata sanad hadits ini Hasan dan diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah.
Selain itu, tidak boleh seseorang mengganti hutang puasa orang lain dengan berpuasa pada saat orang itu masih hidup, maka begitu pula setelah dia meninggal dunia, sebagaimana dalam shalat.”
Madzhab Maliki
Dalam madzhab Al-Malikiyah tidak ada kewajiban apapun bagi ahli waris, baik itu mengadha’ ataupun membayar fidyah, kecuali jika orang yang meninggal tersebut berwasiat, maka harus ditunaikan. Namun bentuk penunaian wasiatnya adalah dengan membayar fidyah, bukan dengan mengadha’.
Imam Malik (w. 184 H) berkata dalam Al-Mudawwanah Al-Kubra ketika menjawab pertanyaan dalam masalah ini :
 
قُلْتُ: أَرَأَيْتَ إنْ فَرَّطَ رَجُلٌ فِي قَضَاءِ رَمَضَانَ ثُمَّ مَاتَ وَلَمْ يُوصِ بِهِ؟ فَقَالَ: قَالَ مَالِكٌ: ذَلِكَ إلَى أَهْلِهِ إنْ شَاءُوا أَطْعَمُوا عَنْهُ وَإِنْ شَاءُوا تَرَكُوا، وَلَا يُجْبَرُونَ عَلَى ذَلِكَ وَلَا يُقْضَى بِهِ عَلَيْهِمْ، قَالَ: وَكُلُّ شَيْءٍ مِمَّا أَوْجَبَ عَلَيْهِ مِنْ زَكَاةٍ أَوْ غَيْرِهِ ثُمَّ لَمْ يُوصِ بِهَا لَمْ تُجْبَرْ الْوَرَثَةُ عَلَى أَدَاءِ ذَلِكَ إلَّا أَنْ يَشَاءُوا.
“Bagaimana pendapat engkau Jika ada orang yang menyepelekan mengadha’ Ramadhan kemudian meninggal tanpa berwasiat agar dia mengganti puasa yang ditinggalkan?”
Imam Malik berkata : “Itu semua kembali kepada keluarganya, jika berkenan mereka boleh membayar fidyah untuknya dan jika berkenan mereka tidak membayarnya. Tidak ada kewajiban kepada keluarga orang yang meninggal untuk membayar fidyah maupun mengadha’ puasa untuknya.”
Al-Qarafi (w. 684 H) dalam Adz-Dzakhirah menjelaskan mengenai tidak wajibnya mengadha’ untuk orang yang sudah meninggal :
وَإِنْ مَاتَ وعَلَيْهِ صِيَامٌ لَمْ يَصُمْ عَنْهُ أَحَدٌ وَصَّى بِهِ أَمْ لَاعِنْدَ مَالِكٍ
“Jika seseorang meninggal dunia, kemudian dia memiliki tanggungan puasa maka tidak wajib untuk orang lain mengadha’ puasanya. Baik dia berwasiat untuk itu atau tidak berdasarkan pendapat Imam Malik…”
Ibnu Rusyd (w. 520 H) dalam Bidayah Al-Mujtahid menjelaskan mengenai wajibnya membayar fidyah jika orang yang meninggal berwasiat :
وَالَّذِينَ لَمْ يُوجِبُوا الصَّوْمَ قَالُوا: يُطْعِمُ عَنْهُ وَلَيُّهُ، وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَا صِيَامَ وَلَا إِطْعَامَ إِلَّا أَنْ يُوصِيَ بِهِ، وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ.
“Para ulama yang berpendapat tidak wajib bagi wali untuk mengadha’ puasa orang yang meninggal berkata, “Walinya wajib membayarkan fidyah untuknya,” sebagaimana pendapat As-Syafi’i. Dan para ulama yang lain berkata, “Wali tidak wajib untuk mengadha’ ataupun membayarkan fidyah bagi orang yang meninggal kecuali jika orang tersebut berwasiat untuk itu..”
Madzhab Syafi’i
Terjadi perbedaan pendapat dalam madzhab As-Syafi’iyyah dalam masalah ini, hal ini karena terdapat Qaul Qadim dari Imam As-Syafi’i dan Qaul Jadid. Di mana Qaul Qadim menjelaskan mengenai boleh mengganti dengan fidyah atau qadha’. Sementara Qaul Jadid menjelaskan bahwasanya yang wajib hanya membayar fidyah, dan qadha' yang dilakukan oleh wali orang yang meninggal tidak bisa mengganti hutang puasa tersebut.
An-Nawawi (w. 676 H) sebagai mujtahid tarjih dalam madzhab menjelaskan dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhaddzab mengenai perbedaan pendapat ini sekaligus merajihkan salah satu pendapat :
 
قد ذكرنا فيمن مات وعليه صوم وتمكن منه فلم يصمه حتى مات إنه علي قولين 
الجديد: المشهور في المذهب وصححه اكثر الاصحاب انه يجب الاطعام عنه لكل يوم مد من طعام ولا يجزئ الصيام عنه
“Telah kami sebutkan mengenai hukum orang yang meninggal dan memiliki hutang puasa tetapi dia tidak membayarnya meskipun mampu melakukannya sampai dia meninggal dunia, ada dua pendapat dalam madzhab :
Yang pertama : Qaul Jadid, -ini adalah pendapat masyhur di madzhab dan dishahihkan oleh mayoritas ulama madzhab- Yaitu ahli waris orang yang meninggal tadi wajib membayar fidyah untuknya, dihitung per-hari yang ditinggalkan 1 mud makanan. Dan tidak sah puasa qadha’ yang dilakukan ahli waris untuk orang itu.”
والقول الثَّانِي : وَهُوَ الْقَدِيمُ أَنَّهُ يَجُوزُ لِوَلِيِّهِ أَنْ يَصُومَ عَنْهُ وَلَا يَلْزَمُهُ ذَلِكَ، وَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ لَوْ أَطْعَمَ عَنْهُ جَازَ
Pendapat kedua : Qaul Qadim, Bahwasanya boleh bagi ahli waris untuk berpuasa qadha’ untuk orang yang meninggal, namun hukumnya tidak wajib. Sehingga menurut pendapat ini jika ahli waris menggantinya dengan memberi makan orang miskin hal tersebut dibolehkan.”
Kemudian beliau memilih merajihkan pendapat kedua :
قُلْتُ الصَّوَابُ الْجَزْمُ بِجَوَازِ صَوْمِ الْوَلِيِّ عَنْ الْمَيِّتِ سَوَاءٌ صوم رمضان والنذر وغيره من الصوم الواحب لِلْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ السَّابِقَةِ وَلَا مُعَارِضَ لَهَا وَيَتَعَيَّنُ أَنْ يَكُونَ هَذَا مَذْهَبَ الشَّافِعِيِّ لِأَنَّهُ قَالَ إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَاتْرُكُوا قَوْلِي الْمُخَالِفَ لَهُ
Aku katakan bahwasanya pendapat yang paling benar dalam masalah ini adalah pendapat yang membolehkan seorang wali untuk berpuasa qadha’ untuk orang yang telah meninggal. Baik itu puasa Ramadhan, puasa nadzar dan puasa wajib yang lain.
Dalilnya adalah hadits-hadits shahih yang baru saja kami sebutkan, dan tidak ada dalil yang bertentangan dengannya. Sehingga pendapat inilah yang terpilih sebagai pendapat madzhab As-Syafi’i.
Sebab beliau telah berkata, “Jika hadits itu shahih maka itu adalah madzhabku, sehingga tinggalkanlah pendapatku yang bertentangan dengannya.”
Adapun di antara para ulama madzhab As-Syafi’iyyah yang merajihkan qaul qadim adalah :
Zakariya Al-Anshari (w. 926 H) dalam Asna Al-Mathalib berpendapat :
 
(فمن مات وعليه صوم قضاء أو نذرا أو كفارة بعد التمكن منه وجبت الفدية في تركته) سواء أترك الأداء بعذر أم بغيره
“…..Orang yang memiliki tanggungan puasa qadha’, nadzar atau kaffarah kemudian meninggal setelah memiliki kesempatan untuk mengganti (tetapi dia tidak menggantinya pada waktu itu) maka dia wajib membayar fidyah, baik dia meninggalkan puasa tadi karena udzur atau tidak.”
Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974) dalam Tuhfatul Muhtaj fi Syarh Al-Minhaj berkata :
 
.... فَإِذَا مَاتَ قَبْلَ تَمَكُّنِهِ مِنْ قَضَائِهِ فَلَا تَدَارُكَ وَلَا إثْمَ إنْ فَاتَ بِعُذْرٍ، أَوْ بَعْدَهُ فَاتَ بِعُذْرٍ أَمْ لَا وَجَبَ لِكُلِّ يَوْمٍ مُدٌّ يُخْرِجُ عَنْهُمَا ...
“…Jika seseorang meninggalkan puasa karena udzur kemudian meninggal dunia sebelum dia memiliki waktu untuk mengadha’ puasa yag ditinggalkan maka dia tidak wajib mengganti puasanya dan tidak berdosa.
Namun jika dia meninggal setelah memiliki kesempataan untuk mengganti puasa yang ditinggalkan –baik sebab meninggalkan puasa karena udzur atau tidak- maka dia wajib membayar fidyah untuk setiap hari satu mud.”‎
Madzhab Hanbali
Pendapat dari madzhab Al-Hanabilah hampir senada dengan madzhab Al-Hanafiyah, yaitu tidak ada kewajiban bagi ahli waris untuk mengadha’ puasa yang ditinggalkan, melainkan hanya dengan membayar fidyah bagi orang yang meninggal di waktu dia memiliki kesempatan untuk mengadha’. Namun ada sedikit perbedaan pendapat dari Ibnu Tamiyah.
Ibnu Qudamah (w. 620 H) dalam Al-Mughni berkata :
 
وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ مِنْ رَمَضَانَ، لَمْ يَخْلُ مِنْ حَالَيْنِ؛ أَحَدُهُمَا، أَنْ يَمُوتَ قَبْلَ إمْكَانِ الصِّيَامِ، إمَّا لِضِيقِ الْوَقْتِ، أَوْ لِعُذْرٍ مِنْ مَرَضٍ أَوْ سَفَرٍ، أَوْ عَجْزٍ عَنْ الصَّوْمِ، فَهَذَا لَا شَيْءَ عَلَيْهِ فِي قَوْلِ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ
“...Penjelasan hal tersebut adalah bahwa orang yang meninggal dunia dan memiliki tanggungan puasa terdapat dua kondisi :
Kondisi pertama : dia meninggal sebelum mampu mengganti puasa yang ditinggalkan baik karena sempitnya waktu atau udzur seperti sakit, safar atau tidak mampu berpuasa. Untuk kondisi ini menurut pendapat mayoritas ulama dia tidak wajib mengganti dengan apapun.”
 
الْحَالُ الثَّانِي، أَنْ يَمُوتَ بَعْدَ إمْكَانِ الْقَضَاءِ، فَالْوَاجِبُ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُ لِكُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينٌ. وَهَذَا قَوْلُ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ.
Kondisi Kedua : dia meninggal setelah memiliki kesempatan untuk mengadha’, maka wajib baginya untuk memberi makan satu orang miskin per-hari yang ditinggalkan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.”‎
Ibnu Taimiyah (w. 728 H) dalam Majmu’ Al-Fatawa berkata ketika menjawab sebuah pertanyaan mengenai orang yang meninggal dunia karena sakit di bulan Ramadhan, sehingga memiliki hutang puasa :
إذَا اتَّصَلَ بِهِ الْمَرَضُ وَلَمْ يُمْكِنْهُ الْقَضَاءُ فَلَيْسَ عَلَى وَرَثَتِهِ إلَّا الْإِطْعَامُ عَنْهُ.
“Jika orang (yang meninggal) tersebut mengalami (sebelum meninggal) sakit terus menerus dan belum memiliki kesempatan untuk mengadha maka bagi para ahli warisnya hanya berkewajiban untuk menggantinya dengan memberi maka orang miskin.”
Dari jawaban di atas bisa dipahami bahwa Ibnu Taimiyah tidak membedakan antara orang yang memiliki kesempatan untuk mengganti dengan orang yang tidak memiliki kesempatan.
Al-Mardawi (w. 885 H) dalam Al-Inshaf berkata :
قَوْلُهُ (وَإِنْ أَخَّرَهُ لِعُذْرٍ، فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، وَإِنْ مَاتَ) . هَذَا الْمَذْهَبُ بِلَا رَيْبٍ
“Perkataan beliau “Jika seseorang mengakhirkan untuk mengadha’ puasa yang ditinggalkan karena sebuah udzur kemudian dia meninggal sebelum qadha’ maka dia tidak wajib menggantinya dengan apapun.” Tanpa diragukan lagi ini adalah pendapat resmi madzhab.”
وظاهر قوله (وَإِنْ أَخَّرَ لِغَيْرِ عُذْرٍ فَمَاتَ قَبْلَ رَمَضَانَ آخَرَ أُطْعِمَ عَنْهُ لِكُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينٌ) أَنَّهُ لَا يُصَامُ عَنْهُ، وَهُوَ صَحِيحٌ، وَهُوَ الْمَذْهَبُ
“ Makna yang terlihat dari perkataan beliau (Ibnu Qudamah) “Jika dia mengakhirkan puasa tanpa udzur kemudian meninggal sebelum datang Ramadhan yang lain maka harus ada yang mengganti puasa yang ditinggalkan dengan membayar fidyah memberikan makan satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan.”
Ini berarti tidak ada kewajiban untuk mengadha’ puasa orang tersebut bagi walinya. Dan ini adalah pendapat yang shahih dan pendapat resmi madzhab.”
Madzhab Dhahiri
Ibnu Hazm (w. 456 H) dalam Al-Muhalla memiliki pendapat yang berbeda dari para ulama lainnya, yaitu beliau berpendapat bahwasanya bagi orang yang memiliki tanggungan puasa tidak boleh membayar fidyah, dan hanya wajib mengadha’nya, berikut kutipan perkataannya:
ومن مات وعليه صوم فرض من قضاء رمضان، أو نذر أو كفارة واجبة ففرض على أوليائه أن يصوموه عنه هم أو بعضهم، ولا إطعام في ذلك أصلا - أوصى به أو لم يوص به - فإن لم يكن له ولي استؤجر عنه من رأس ماله من يصومه عنه ولا بد - أوصى بكل ذلك أو لم يوص - وهو مقدم على ديون الناس. المحلى بالآثار
“Orang yang meninggal dunia dan memiliki tanggungan puasa fardhu baik puasa Ramadhan, nadzar atau kaffarah wajib, maka wajib bagi para walinya -baik sebagian atau seluruhnya- untuk mengadha’ puasanya. Tidak ada kewajiban sama sekali bagi mereka untuk menggantinya dengan fidyah, baik orang yang meninggal berwasiat untuk itu atau tidak.
Jika dia tidak memiliki waku maka harus ada yang menyewa orang untuk mengadha’ puasa untuknya diambil dari harta orang yang meninggal. Dan ini wajib dilakukan baik dia berwasiat untuk itu atau tidak, dan wajib didahulukan sebelum membayar hutangnya.‎
Sebab Perbedaan Pendapat
Sebab perbedaan pendapat yang terjadi adalah karena ada dua teks yang seakan-akan bertentangan maknanya, sehingga para ulama memiliki penafsiran yang berbeda dalam memahami hal tersebut.
Yang pertama adalah hadits riwayat ‘Aisyah dan Ibnu Abbas bahwasanya Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda :
«مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ، صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ» . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَرُوِيَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ نَحْوَهُ.
“Orang yang meninggal dan memiliki hutang puasa, maka wali orang tersebut harus mengadha’ puasanya.” (HR. A-Bukhari dan Muslim)
Hadits kedua adalah hadits riwayat Ibnu Umar bahwasanya Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda :
«مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرٍ، فَلْيُطْعِمْ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا»
“Orang yang meninggal dunia dan memiliki hutang puasa satu bulan, maka walinya wajib memberi makan satu orang miskin per-hari yang ditiggalkan.” (HR. Ibnu Majah At-Tirmidzi)
Bagi yang berpendapat bolehnya mengadha’ untuk orang yang meninggal berdalil dengan hadits pertama, adapun hadits ke dua berdasarkan riwayat yang shahih adalah hadits mauquf, yaitu perkataan Ibnu Umar sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
Adapun yang berpendapat tidak boleh mengadha’ dan cukup dengan fidyah berpendapat bahwa hadits ‘Aisyah di atas berkenaan dengan masalah puasa nadzar. Atau makna“Hendaknya walinya berpuasa untuknya” diartikan sebagai membayar fidyah sebagai ganti dari puasa.‎
Demikian pendapat para ulama beserta sebab perbedaan mereka dalam masalah ini. Semoga bermanfaat.
HUKUM MENGQADHA (QODHO) SHALAT ORANG SUDAH MENINGGAL DUNIA (WAFAT)
من مات وعليه صلاة فرض لم تقض ولم تفد عنه
Barangsiapa yang meninggal dunia dan mempunyai tanggungan sholat, maka sholat tersebut tidak dapat di qadha dan dibayarkan fidyahnya.
Sering kita jumpai di dalam sebuah keluarga yang salahsatu anggota keluarganya meninggal dunia. Sebelum si mayyit dimakamkan ada suatu diskusi antar mereka soal berapa fidyah yang harus dibayarkan pihak keluarga atas kelalaian si mayyit ketika masih hidupnya.
وفي قول أنها تفعل عنه – أوصى بها أم لا ما حكاه العبادي عن الشافعي لخبر فيه،
Dalam sebuah pendapat yang dikatakan oleh al-Imam al-‘Ubadi dari al-Imam asy-Syafi’i bahwa ;
"Shalat tersebut harus diqodlo’ oleh orang lain, baik si mayat berwasiat agar mengerjakan atau pun tidak (berwasiat). Hal ini didasarkan pada sebuah hadits."
وفعل به السبكي عن بعض أقاربه.
Al-Imam as-Subki juga melakukan hal yang demikian pada kerabat-kerabatnya beliau yang meninggal dunia.
Orang yang meninggalkan shalat karena sakit kemudian dia mati, maka menurut pendapat dalam madzhab Hanafi, hukumnya wajib membayar fidyah untuk setiap shalat yang ditinggalkan. Besarnya adalah 1 mud (1 mud = 675 gram atau 0.688 liter).
Berdasarkan hadits Nabi :
 لَا يَصُومُ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلَا يُصَلِّي أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلَكِنْ يُطْعِمُ
Artinya: Seseorang tidak harus berpuasa atau shalat untuk orang lain, akan tetapi hendaknya ia memberi makan (fidyah).
As-Sarakhsi dalam Al-Mabsuth mengatakan,
إذا مات وعليه صلوات يطعم عنه لكل صلاة نصف صاع من حنطة، وكان محمد بن مقاتل يقول أولا: يطعم عنه لصلوات كل يوم نصف صاع على قياس الصوم، ثم رجع فقال: كل صلاة فرض على حدة بمنزلة صوم يوم وهو الصحيح
 
Arti kesimpulan: Kalau orang meninggal punya hutang shalat, maka wajib membayar fidyah untuk setiap shalat yang ditinggalkan.
Abu Bakar Al-Ibadi Al-Hanafi mengatakan dalam Al-Jauharah
والصلاة حكمها حكم الصيام على اختيار المتأخرين، وكل صلاة بانفرادها معتبرة بصوم يوم هو الصحيح احترازا عما قاله محمد بن مقاتل أنه يطعم لصلوات كل يوم نصف صاع على قياس الصوم، ثم رجع عن هذا القول وقال: كل صلاة فرض على حدة بمنزلة صوم يوم هو الصحيح
 
Arti kesimpulan: Hukumnya shalat sama dengan hukumnya puasa. Yakni, harus membayar fidyah apabila ditingalkan.
Sebagian ulama madzhab Syafi'i juga berpendapat serupa. Dimyathi dalam Hasyiah I'anah at-Talibin mengatana
من مات وعليه صلاة فلا قضاء ولا فدية.. وفي وجه عليه كثيرون من أصحابنا أنه يطعم عن كل صلاة مدا
Artinya: Barangsiapa meninggal dunia dan punya hutang shalat maka tidak wajib qadha dan fidyah, akan tetapi menurut pendapat banyak ulama Syafi'i, wajib membayar fidyah 1 mud untuk setiap shalat yang ditinggalkan.
PENDAPAT YANG MEMBOLEHKAN QADHA SHALAT
Mayoritas ulama tidak membolehkan mengqadha-kan shalat orang yang meninggal. Namun sebagian ulama membolehkan berdasarkan pada hadits sahih riwayat Bukhari sbb:
أن ابن عمر رضى الله عنهما أمر امرأة جعلت أمها
على نفسها صلاة بقباء - يعنى ثم ماتت -فقال : صلى عنها
Artinya: Ibnu Umar pernah memerintahkan seorang perempuan yang bernadzar untuk shalat di Quba' kemudian meninggal (sebelum melaksanakan nadzar tersebut). Ibnu berkata: Shalatlah untuknya. 
Penjelasan:
Masalah qodlo terhadap shalat yang ditinggalkan mayyit terdapat Khilafiyah (perbedaan pendapat) dikalangan Ulama. Orang yang mati (mayyit) dan masih memiliki tanggungan shalat fardlu, maka shalat tersebut tidak bisa di qodlo dan tidak bisa dibayarkan fidyah, sebagaimana yang disebutkan diatas. Namun, di Indonesia ini Ahlusshunnah Waljama'ah yang bermadzhab Imam Syafi'i, dikatakan bahwa terdapat sebuah pendapat bahwa :
"Shalat harus diqadha' oleh orang lain, baik si mayyit berwasiat maupun tidak," berdasarkan pada sebuah hadits. Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Ubadi dari Al-Imam Asy-Syafi'i.
Demikian juga Al-Imam As-Subki melakukan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh Al-Imam Ubadi dari Al-Imam Asy-Syafi'i kepada kerabat-kerabatnya yang meninggalkan. Jadi, ketika kerabat Al-Imam As-Subki meninggal, beliau mengqodlo' sholat yang pernah di tinggalkan oleh kerabatnya.
Dijelaskan dalam Syarah kitab Fathul Mu'in ini (I'anah Tholibin), sebagai berikut.
وفي قول – كجمع مجتهدين – أنها تقضى عنه لخبر البخاري وغيره، ومن ثم اختاره جمع من أئمتنا، وفعل به السبكي عن بعض أقاربه
Dan menurut pendapat sebagian besar para Mujtahid bahwa bagi keluarganya tetap terkena beban (kewajiban membayar) karena ada hadits riwayat Imam Bukhari dan yang lainnya. Dan ternyata pendapat yang terakhir ini yang dipilih (diikuti) oleh ulama-ulama kami (Syafi'iyah) dan Al-Imam as-Subki juga melakukan hal yang demikian pada kerabat-kerabatnya beliau yang meninggal dunia.
. ونقل ابن برهان عن القديم أنه يلزم الولي إن خلف تركة أن يصلى عنه، كالصوم. وفي وجه ـ عليه كثيرون من أصحابنا ـ أنه يطعم عن كل صلاة مداً
Telah dinukil dari Ibnu Burhan dari Qoul Qadim (Madzhab Asy-Syafi'i) bahwa wajib bagi wali menshalatkan (mengqadha' sholat) yang ditinggalkan mayyit, seperti halnya puasa. Menurut sebagian besar Ashab kami (ulama-ulama Syafi'iiyah) bahwa sesungguhnya (mengganti dengan) memberi makan, untuk  setiap shalat dibayarkan satu mud (6 Ons).
Dari penjelasan diatas dapat kita disimpulkan bahwa sholat yang ditinggalkan mayyit dapat di bayar dengan beberapa cara, pertama ; Menggantinya dengan shalat (mengqadha' shalatnya) oleh keluarga mayyit, Sedangkan yang kedua ; dengan membayar fidyah (memberi makan) kepada faqir miskin, untuk setiap satu shalat maka dendanya satu Mud (6 Ons beras).
Didalam kitab Syarahnya juga dikatakan bahwa Al-Imam Ath-Thobari mengatakan.
يصل للميت كل عبادة تفعل، واجبة أو مندوبة
Setiap ibadah-ibadah yang dikerjakan akan sampai kepada mayyit baik ibadah wajib maupun ibadah sunnah
Dalam Madzhab Ahlus sunnah wal jamaah, (qoul) pendapat yang telah dipilih (Mukhtar), bahwa pahala dari amal, shalat dan yang lainnya yang diberikan akan sampai kepada mayyit. Sebab masalah sampai atau tidaknya pahala shalat, demikian juga membaca Al-Qur'an dan sebagainya adalah pembahasan yang panjang. 
Namun, untuk sekedar diketahui bahwa pahala dari semua itu sampai menurut pendapat yang lebih muktamad (kuat), agar lebih ahsan (bagus) kiranya sambil menghaturkan do'a memohon kepada Allah supaya pahalanya disampaikan kepada mayyit.
Wallahu a’lam bishshowab ‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hukum Vareasi Bercinta Dalam Islam

Setiap agama pastinya memiliki hukumnya sendiri-sendiri dalam hal bercinta. Beberapa agama mungkin memiliki beberapa hukum yang sama,...