Hewan-hewan hasil buruan itu pada dasarnya halal dimakan, kecuali hewan
yang aslinya tidak boleh dimakan seperti biawak karena termasuk hewan
buas.
Selebihnya, ayam hutan, kelinci, rusa dan lainnya pada dasarnya memang
hewan halal, maka kalau mati dengan cara diburu dengan sengaja dan
memenuhi ketentuan syariat Islam, hukum dagingnya halal dimakan, meski
tidak lewat penyembelihan.
Dalam syariat Islam, sesungguhnya berburu adalah salah satu cara untuk
mendapatkan makanan yang halal, selain lewat penyembelihan yang syar'i.
Cara kematian hewan yang menjadi syarat kehalalannya dibedakan antara
yang jinak dan yang liar. Untuk hewan jinak, kematiannya harus dengan
disembelih secara syar’i, sedangkan untuk hewan liar, kematiannya boleh
dengan dua cara: pertama, dengan melepaskan anjing pemburu yang sudah
terlatih; kedua, dengan lemparan.
Dasar Kebolehan Menurut Al-Quran dan As-Sunnah
Bahkan Al-Quran Al-Karim sendiri tegas menghalalkan hewan yang didapat
dari hasil berburu. Tentu saja hewan itu mati ketika diburu, sehingga
tidak perlu lagi disembelih secara syar'i, karena penyembelihan
syar'inya digantikan dengan perburuan.
وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا
Apabila kalian telah bertahallul (selesai dari ihram), silahkan berburu (QS. Al-Maidah : 2)
Bahkan yang lebih menarik lagi, Al-Quran dengan tegas membolehkan kita
berburu hewan dengan menggunakan hewan pemburu. Dan hewan pemburu itu
sendiri tidak lain adalah hewan buas, yang umumnya pandai berburu hewan
lain untuk dimangsa dan dijadikan makanan. Dan salah satu hewan pemburu
yang dibolehkan adalah anjing pemburu.
أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ
مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا
مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ
Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh
binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu;
kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka
makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah
atas binatang buas itu waktu melepaskannya. (QS. Al-Maidah :4)
Selain Al-Quran, As-Sunnah pun juga tegas menghalalkan kita memakan
hewan hasil buruan. Ada begitu banyak hadits yang bisa kita jadikan
acuran, diantaranya hadits-hadits berikut :
مَا صِدْتَ بِقَوْسِكَ فَاذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ ثُمَّ كُل ومَا صِدْتَ
بِكَلْبِكَ الْمُعَلَّمِ فَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُل وَمَا صِدْتَ
بِكَلْبِكَ غَيْرِ مُعَلَّمٍ فَأَدْرَكْتَ ذَكَاتَهُ فَكُل
Hewan-hewan yang kamu buru dengan menggunakan panahmu dan melafadzkan
nama Allah, makanlah. Dan hewan-hewan yang kamu buru dengan menggunakan
anjingmu yang terlatih dan melafazkan nama Allah, makanlah. Sedangkan
hewan-hewan yang kamu buru dengan menggunakan anjingmu yang belum
terlatih, bila kamu dapati maka sembelihlah dan makanlah. (HR. Bukhari
Muslim)
عن عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَال : قُلْتُ : يَا
رَسُول اللَّهِ إِنَّا قَوْمٌ نَتَصَيَّدُ بِهَذِهِ الْكِلاَبِ فَمَا يَحِل
لَنَا مِنْهَا ؟ فَقَال : إِذَا أَرْسَلْتَ كِلاَبَكَ الْمُعَلَّمَةَ
وَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُل مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكَ إِلاَّ أَنْ
يَأْكُل الْكَلْبُ فَلاَ تَأْكُل فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ إِنَّمَا
أَمْسَكَ عَلَى نَفْسِهِ وَإِنْ خَالَطَهَا كَلْبٌ مِنْ غَيْرِهَا فَلاَ
تَأْكُل .
Dari Adi bin Hatim radhiyalahuanhu berkata,”Aku bertanya,”Ya Rasulallah,
kami adalah kaum yang biasa berburu dengan menggunakan anjing, apakah
halal hasil buruannya?”. Rasulullah SAW menjawab,”Bila kamu melepaskan
anjingmu yang sudah terlatih dengan menyebut nama Allah, maka makanlah
dari hasil buruannya. Namun bila anjing itu ikut memakannya, maka jangan
dimakan, karena aku khawatir anjing itu berburu untuk dirinya sendiri.
Dan bila ada anjing lain yang ikut makan, janganlah dimakan. (HR.
Bukhari)
Intinya, hewan yang mati karena sengaja kita berburu adalah hewan yang
halal dimakan. Termasuk bila berburu menggunakan hewan buas yang sudah
dilatih.
Melihat bahwa perburuan menggunakan senapan tergolong mematikan hewan
dengan lemparan atau lontaran, maka jawaban dari pertanyaan di atas
lebih spesifik pada sifat lemparan. Sebelumnya, berikut ini nash yang
menunjukkan kehalalan hewan yang mati karena lemparan.
عن أبي ثعلبة الخشني قال قلت يا نبي الله إنا بأرض قوم من أهل الكتاب
أفنأكل في آنيتهم وبأرض صيد أصيد بقوسي وبكلبي الذي ليس بمعلم وبكلبي
المعلم فما يصلح لي قال أما ما ذكرت من أهل الكتاب فإن وجدتم غيرها فلا
تأكلوا فيها وإن لم تجدوا فاغسلوها وكلوا فيها وما صدت بقوسك فذكرت اسم
الله فكل وما صدت بكلبك المعلم فذكرت اسم الله فكل وما صدت بكلبك غير معلم
فأدركت ذكاته فكل . رواه البخاري
Dari Abu Tsa’labah Al Khusyani, beliau berkata: Wahai Nabi Allah saw,
sesungguhnya kami tinggal di lingkungan Ahli Kitab, apakah boleh kami
makan dengan menggunakan bejana mereka? dan kami juga di wilayah
perburuan dengan berburu menggunakan busur panah, anjing yang tidak
terlatih, dan anjing yang sudah terlatih, apa yang boleh bagiku?. Beliau
menjawab: “Adapun yang engkau sebutkan mengenai Ahli Kitab tadi, maka
jika kalian menemukan bejana selain itu maka jangan kalian makan
menggunakan bejana itu, jika kalian tidak menemukan selain itu maka
cucilah terlebih dahulu kemudian makanlah kalian dengannya, adapun apa
yang engkau buru menggunakan busur panahmu dan engkau sebut nama Allah
swt (saat memanah) maka makanlah, adapun apa yang engkau buru dengan
anjingmu yang terlatih dan engkau sebut nama Allah swt saat
melepaskannya maka makanlah, dan adapun apa yang engkau buru dengan
anjingmu yang tidak terlatih dan kamu masih sempat menyembelih hewan
buruan tersebut maka makanlah.” (HR Bukhari)
Nash di atas ini menunjukkan kebolehan membunuh hewan buruan dengan
menggunakan benda yang dilemparkan, dilontarkan, atau ditembakkan. Tanpa
melihat bagian mana dari tubuh hewan tersebut yang terkenai lemparan
(tidak harus mengenai leher dan memutus saluran makanan, pernafasan, dan
darah), asalkan saat melempar disertai dengan menyebut nama Allah swt.
Selanjutnya terkait dampak lemparan, paling tidak ada tiga kemungkinan:
lemparan yang mematikan, lemparan yang melumpuhkan, dan lemparan yang
melukai.
Untuk lemparan yang mematikan, harus menggunakan benda tajam/runcing. Berdasarkan hadits:
عن عدي بن حاتم رضي الله عنه قال سألت النبي صلى الله عليه وسلم عن المعراض
فقال إذا أصاب بحده فكل وإذا أصاب بعرضه فقتل فلا تأكل فإنه وقيذ قلت يا
رسول الله أرسل كلبي وأسمي فأجد معه على الصيد كلبا آخر لم أسم عليه ولا
أدري أيهما أخذ قال لا تأكل إنما سميت على كلبك ولم تسم على الآخر . رواه
البخاري
Dari ‘Adi bin Hatim ra, berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah saw
tentang mi’radh (tongkat yang di ujungnya dipasang benda tajam untuk
berburu), Beliau menjawab: “Apabila yang mengenai (hewan buruan) bagian
yang tajam maka makanlah, tapi apabila yang mengenai tongkatnya (bukan
bagian yang tajam) dan menjadikannya mati maka janganlah kamu makan,
karena dia termasuk waqiydz (hewan yang mati karena pukulan benda
tumpul).”, Aku berkata: Wahai Rasulullah saw, aku melepaskan anjingku
dengan menyebut nama Allah swt, kemudian aku melihat ada anjing lain
yang menyertainya yang aku tidak menyebut nama Allah swt atasnya, dan
aku tidak tahu mana di antara dua anjing tersebut yang berhasil
menangkap (hewan buruan), Beliau berkata: “Jangan kamu makan, karena
kamu hanya menyebut nama Allah swt atas anjingmu saja bukan atas anjing
yang lain.” (HR. Al-Bukhari)
Secara sharih hadits tersebut berisi larangan memakan hewan yang mati
akibat benturan benda tumpul. Lafazh al-waqidz di situ adalah apa yang
dimaksud al-mauqudzah dalam ayat berikut ini.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا
أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ
وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا
ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا
بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ … [المائدة/3]
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)
yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul
(benda tumpul), yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas,
kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang
disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan
anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. …”
(QS. Al-Maidah [5]: 3)
Jadi peluru senapan yang digunakan untuk berburu haruslah peluru tajam,
bukan peluru tumpul, meskipun sama-sama berpotensi mematikan. Karena
yang menjadi perhitungan di sini adalah sifat tajamnya peluru, bukan
sifat bisa mematikan nya. Terbukti Rasulullah saw melarang memakan
binatang yang mati terkena bagian tumpul dari mi’radh, dan membolehkan
jika kematiannya karena terkena bagian tajamnya. Sebagai contoh, di
antara peluru senapan angin pada gambar berikut ini, yang memenuhi
syarat untuk menjadikan hewan buruan menjadi halal adalah peluru nomor
satu dan dua dari kanan saja, sedangkan enam lainnya tidak karena
berpenampang tumpul.
Untuk lemparan yang melumpuhkan, maka penggunaan peluru tumpul
dibolehkan asalkan secara ghalabatu-zh-zhann (dugaan kuat) lemparan
tersebut melumpuhkan. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi
berikut ini.
ومن ذلك رمى الطيور الكبار بالبندق اذا كان لا يقتلها غالبا بل تدرك حية وتذكى فهو جائز
Dan diantaranya adalah melempar burung-burung besar dengan peluru (baik
dari batu, tanah yang keras, atau besi), jika pada umumnya tidak
mematikannya melainkan dia masih bisa ditemukan hidup kemudian
disembelih, maka dia boleh (hukumnya mubah). (Syarah Shahih Muslim,
13/106)
Kehalalan hewan di atas karena kematiannya dengan cara disembelih
(setelah sebelumnya dilumpuhkan), bukan dikarenakan tembakannya. Adapun
jika peluru tumpul tersebut pada umumnya atau diduga kuat mematikan,
maka lebih baik dia dihindari penggunaannya, karena hanya akan
menghasilkan hewan buruan yang terhitung bangkai (haram dimakan), dan
dalam penggunaannya terdapat kesia-siaan. Kecuali jika memang untuk
mencari hewan buruan tidak untuk dimakan manusia, seperti mencari burung
untuk makanan kucing piaraan, untuk makanan ikan, dan semacamnya, maka
tidak masalah menggunakan peluru tumpul.
Untuk jenis terakhir, yaitu lemparan yang melukai, hukumnya terlarang berdasarkan hadits Nabi saw:
عن عبد الله بن مغفل المزني قال نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن الخذف
وقال إنه لا يقتل الصيد ولا ينكأ العدو وإنه يفقأ العين ويكسر السن . رواه
البخاري
Dari Abdullah bin Mughaffal Al-Muzani berkata: Nabi saw melarang
Khadzaf, Beliau berkata: “Khadzaf itu tidak mematikan binatang buruan,
tidak pula membunuh musuh, ia hanya melepaskan mata dan memecahkan
gigi.” (HR. Al-Bukhari)
Khadzaf adalah melempar batu kecil dengan jemari tangan. Dikatakan
terlarang karena lemparan semacam ini tidak mematikan, yang ada hanya
menyakiti atau menyiksa (melepaskan mata dan memecahkan gigi).
Jika suatu bentuk lemparan atau tembakan yang pada umumnya hanya melukai
namun digunakan untuk mematikan hewan buruan, maka yang semacam ini
bertentangan dengan perintah agar memperbagus pembunuhan tanpa boleh ada
unsur penyiksaan.
عن شداد بن أوس قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله كتب الإحسان على
كل شيء فإذا قتلتم فأحسنوا القتلة وإذا ذبحتم فأحسنوا الذبح وليحد أحدكم
شفرته فليرح ذبيحته . رواه مسلم
Dari Syaddad bin Aus, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah
menetapkan kebagusan pada setiap sesuatu, apabila kalian membunuh maka
perbaguslah pembunuhannya, dan apabila kalian menyembelih maka
perbaguslah penyembelihan, dan hendaknya salah seorang dari kalian
mempertajam senjatanya dan membuat senang binatang sembelihannya.” (HR.
Muslim)
Adapun memperjualbelikan peluru, baik itu peluru tumpul maupun peluru
tajam, maka boleh-boleh saja. Karena meskipun peluru tumpul, dia bisa
juga digunakan untuk tujuan yang dibolehkan syara’, seperti mencari
burung untuk makanan kucing piaraan atau ikan, mencari belalang. Atau
bahkan untuk tujuan yang disunnahkan, seperti untuk membunuh cicak atau
tokek, untuk membunuh tikus, untuk membunuh ular, dsb.
Penjelasan Lebih Dalam
Namun tidak cukup kita hanya membaca dalil Al-Quran dan Hadits saja.
Kita perlu membaca lebih dalam tentang detail teknis dari berburu,
sebagaimana yang telah dituliskan oleh para ulama. Misalnya tentang
syarat apa saja yang wajib terpenuhi bagi seorang pemburu, agar hewan
hasil buruannya menjadi halal. Selain itu hewan yang diburu pun harus
memenuhi syarat tertentu.
Dan apabila kita berburu dengan menggunakan hewan pemburu, juga ada syarat dan ketentuannya.
A. Syarat Pemburu
Agar hasil buruannya menjadi halal untuk dimakan, syarat yang harus
dipenuhi oleh seorang yang berburu hewan adalah sebagai berikut :
1. Aqil dan Mumayyiz
Jumhur ulama seperti mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, satu pendapat
dari mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah mensyaratkan pemburu harus
aqil dan mumayyiz.
Maka agar hasil hewan buruannya halal dimakan, syarat pertama adalah
bahwa pemburu harus orang yang berakal dan bukan orang gila atau tidak
waras. Orang gila meski pintar berburu, hasil buruannya haram dimakan.
Demikian juga anak kecil yang belum mumayyiz, mungkin saja dia mampu
berburu dan berhasil mendapatkan hasil buruan. Namun hasil buruannya
belum boleh dimakan, karena ada syarat minimal, bahwa seorang anak harus
sudah mumayyiz untuk dibolehkan berburu.
Namun pendapat yang lain dari mazhab Asy-Syafi’iyah tidak mensyaratkan
pemburu harus aqil dan baligh. Maka dalam pendapat yang lainnya dari
mazhab Asy-Syafi’iyah, hasl buruan orang gila dan anak kecil hukumnya
halal dan boleh dimakan.
2. Tidak Dalam Keadaan Berihram
Orang yang sedang melakukan ibadah haji atau umrah diharuskan berihram.
Dan di antara larangan daam berihram adalah tidak boleh menyembelih atau
berburu hewan. Maka bila seorang yang sedang berihram melakukannya, dia
berdosa dan wajib membayar kaffarah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu berburu dalam keadaan berihram.(QS. Al-Maidah : )
Lalu bagaimana dengan hewan hasil buruannya?
Para ulama mengatakan hewan hasil buruannya itu tidak sah sebagai hasil
berburu yang sesuai dengan syariat. Karena itu hukumnya pun tidak halal
dimakan, karena kedudukannya sama seperti bangkai hewan umumnya.
Mungkin di masa sekarang ini tidak terbayang bagaimana jamaah haji masih
sempat berburu hewan. Tetapi di masa lalu, dimana haji masih dilakukan
dengan berjalan kaki melintasi alam liar atau padang pasir, kebutuhan
untuk makan salah satunya didapat dengan cara berburu hewan. Namun
jamaah haji tidak boleh berburu hewan.
3. Muslim atau Ahli Kitab
Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya tentang faktor agama penyembelih
hewan, maka faktor agama yang dianut oleh orang yang berburu sangat
berpengaruh pada kehalalan hewan buruannya. Hanya mereka yang beragama
Islam atau ahli kitab (Nasrani dan Yahudi) yang dianggap sah
perburuannya dan halal hasilnya.
Demikian juga dengan hasil buruan orang yang beragama Nasrani atau
Yahudi (ahlul kitab) dihalalkan dalam syariat Islam karena Allah SWT
berfirman:
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ
Makanan (sembelihan) ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) itu halal bagimu,
dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (QS. Al-Maidah: 5).
Tidak perlu ada ukuran tentang sejauh mana seseorang ahli kitab aktif
menjalankan ritus-ritus keagamaan yang dianutnya. Cukup secara formal
seseorang mengakui agama yang dianutnya. Sebagai contoh, hewan hasil
buruan orang yang mengaku beragama Islam dianggap halal, meskipun
barangkali dia sering meninggalkan shalat, puasa, atau melanggar
perintah-perintah agama. Karena yang dibutuhkan hanya status dan bukan
kualitas dalam menjalankan perintah-perintah agama.
Demikian juga dengan kaum Nasrani. Tidak menjadi ukuran apakah dia taat
dan rajin menjalankan ritual keagamaannya, sebab yang menjadi ukuran
adalah formalitas pengakuan atas agama yang dianutnya. Kualitas dalam
menjalankan agamanya tidak dijadikan patokan.
Kesimpulannya, orang yang beragama Hindu, Budha, Konghuchu, Majusi,
Shinto dan lain-lain, tidak sah jika berburu dan hasil buruannya haram
dimakan.
4. Membaca Basmalah
Membaca lafadz basmalah (بسم الله) merupakan hal yang umumnya dijadikan
syarat sahnya penyembelihan oleh para ulama. Dalilnya adalah firman
Allah:
وَلاَ تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama
Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu
adalah suatu kefasikan.” (QS. Al-An’am: 121)
Begitu juga hal ini berdasarkan hadis Rafi’ bin Khudaij bahwa Nabi SAW bersabda:
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ
Segala sesuatu yang dapat mengalirkan darah dan disebut nama Allah ketika menyembelihnya, silakan kalian makan. (HR. Bukhari)
Jumhur ulama seperti mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah
menetapkan bahwa membaca basmalah merupakan syarat sah penyembelihan.
Sehingga hewan yang pada saat penyembelihan tidak diucapkan nama Allah
atau diucapkan basmalah, baik karena lupa atau karena sengaja, hukumnya
tidak sah.
Sedangkan Imam Asy Syafi’i dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad
menyatakan bahwa hukum tasmiyah (membaca basmalah) adalah sunah yang
bersifat anjuran dan bukan syarat sah penyembelihan. Sehingga sembelihan
yang tidak didahului dengan pembacaan basmalah hukumnya tetap sah dan
bukan termasuk bangkai yang haram dimakan.
Setidaknya ada tiga alasan mengapa mazhab ini tidak mensyaratkan basmalah sebagai keharusan dalam penyembelihan.
Pertama, mereka beralasan dengan hadis riwayat ummul-mukminin ‘Aisyah radhiyallahuanha :
أَنَّ قَوْمًا قَالُوا لِلنَّبِىِّ إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَا بِاللَّحْمِ
لاَ نَدْرِى أَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لاَ فَقَالَ : سَمُّوا
عَلَيْهِ أَنْتُمْ وَكُلُوهُ . قَالَتْ وَكَانُوا حَدِيثِى عَهْدٍ
بِالْكُفْرِ .
Ada satu kaum berkata kepada Nabi SAW, “Ada sekelompok orang yang
mendatangi kami dengan hasil sembelihan. Kami tidak tahu apakah itu
disebut nama Allah ataukah tidak. Nabi SAW mengatakan, “Kalian hendaklah
menyebut nama Allah dan makanlah daging tersebut.” ’Aisyah berkata
bahwa mereka sebenarnya baru saja masuk Islam.(HR. Bukhari)
Hadits ini tegas menyebutkan bahwa Rasulullah SAW tidak terlalu peduli
apakah hewan itu disembelih dengan membaca basmalah atau tidak oleh
penyembelihnya. Bahkan jelas sekali beliau memerintahkan untuk
memakannya saja, dan sambil membaca basamalah.
Seandainya bacaan basmalah itu syarat sahnya penyembelihan, maka
seharusnya kalau tidak yakin waktu disembelih dibacakan basmalah apa
tidak, Rasulullah SAW melarang para shahabat memakannya. Tetapi yang
terjadi justru sebaliknya, beliau SAW malah memerintahkan untuk memakan
saja.
Kedua, mazhab ini beralasan bahwa dalil ayat Quran yang melarang memakan
hewan yang tidak disebut nama Allah di atas (ولا تأكلوا مما لم يذكر اسم
الله عليه), mereka tafsirkan bahwa yang dimaksud adalah hewan yang niat
penyembelihannya ditujukan untuk dipersembahkan kepada selain Allah.
Maksud kata "disebut nama selain Allah" adalah diniatkan buat sesaji
kepada berhala, dan bukan bermakna "tidak membaca basmalah".
Ketiga, halalnya sembelihan ahli kitab yang disebutkan dengan tegas di dalam surat Al-Maidah ayat 5.
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ
Dan sembelihan ahli kitab hukumnya halal bagimu. (QS. Al-Maidah : 5)
Padahal para ahli kitab itu belum tentu membaca basmalah, atau malah
sama sekali tidak ada yang membacanya. Namun Al-Quran sendiri yang
menegaskan kehalalannya.
Namun demikian, mazhab Asy-Syafi'iyah tetap memakruhkan orang yang
menyembelih hewan bila secara sengaja tidak membaca lafadz basmalah.
Tetapi walau pun sengaja tidak dibacakan basmalah, tetap saja dalam
pandangan mazhab ini sembelihan itu tetap sah.
5. Bukan Niat Untuk Yang Selain Allah
Seorang pemburu hewan tidak boleh berniat ketika berburu untuk
dipersembahkan kepada apapun selain Allah. Tidak boleh diniatkan buruan
itu untuk dipersembahkan kepada berhala, roh, arwah, jin, setan dan
sebagainya.
Hewan hasil buruan ahlul kitab bisa halal selama diketahui dengan pasti
mereka tidak menyebut nama selain Allah. Jika diketahui mereka menyebut
nama selain Allah ketika berburu, semisal menyebut nama Isa Almasih,
‘Udzair, atau berhala, maka saat itu hasil buruan mereka menjadi tidak
halal, berdasarkan firman Allah:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)
yang disembelih atas nama selain Allah. (QS. Al-Ma-idah: 3)
6. Melakukannya Dengan Tangannya Sendiri
Seorang pemburu harus menggunakan tangannya sendiri ketika berburu,
meski dengan memanfaatkan alat seperti panah, tombak, pisau, senapan,
dan lainnya.
Tidak boleh menggunakan tangan orang lain, seperti budak, pembantu,
asisten, pemburu bayaran, kecuali mereka adalah orang-orang yang memang
telah memenuhi syarat untuk berburu.
7. Bukan Hewan Salah Sasaran
Ketika seorang berburu dan melepaskan anak panah atau menembakkan
senjatanya, sejak awal maksud yang ada di dalam hatinya harus
benar-benar berburu, bukan untuk maksud yang lain atau karena tidak
sengaja, atau juga bukan karena salah sasaran.
Umpamanya ada seseorang yang sedang belajar atau latihan menambak.
Sasarannya adalah botol-botol kosong yang ditumpuk sekian meter jauhnya.
Ketika peluru dilepaskan, tak ada satu pun dari peluru itu yang
mengenai sasaran, tetapi tiba-tiba ayam tetangga jatuh tergeletak tak
berdaya dan mati. Ternyata ayam itu mati menjadi korban salah sasaran
tembakan yang melenceng. Maka kalau ayam itu langsung mati mendadak,
otomatis berubah jadi bangkai.
Tetapi bila sebelum menghembuskan ajalnya, ayam itu sempat diberi
pertolongan terakhir, alias disembelih secara syar’i, maka ada harapan
untuk makan sate ayam mendadak. Tentu dengan kewajiban membayar kerugian
harga seekor ayam.
Berdosa saja agar yang kena peluru salah sasaran itu hanya sebatas ayam
tetangga, dan jangan sampai burung perkutut yang baru memenangkan
kejuaraan tingkat nasional.
Kenapa?
Karena harganya bisa sampai 1 milyar rupiah. Kalau sampai hal itu yang
terjadi, maka kita rugi dua kali. Selain perkutut yang mati ketembak itu
berubah jadi bangkai tidak bisa dimakan, harga uang penggantiannya pun
bisa langsung mengubah seseorang jadi kere alias gelandangan untuk
beberapa keturunan, karena harus menjual seluruh rumah warisan dari
nenek moyang.
8. Tidak Buta
Syarat terakhir yang harus dipenuhi oleh seorang yang berburu hewan
haruslah orang yang masih bisa melihat dengan baik dan tidak buta.
Syarat ini diajukan oleh mazhab Asy-Syafi’iyah, dimana mereka
mengharamkan orang buta untuk melepaskan anak panah untuk berburu hewan,
atau dengan memanfaatkan hewan pemburu.
B. Syarat Hewan Yang Diburu
Tidak semua hewan halal untuk dimakan dengan cara diburu. Ada sejumlah
persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu, di antarnya :
1. Halal Dagingnya
Seluruh ulama menegaskan bahwa syarat yang paling utama dalam hal
kehalalan hewan yang matinya dengan cara diburu adalah hewan itu sendiri
harus termasuk jenis hewan yang halal daging sejak semula. Seperti
rusa, kijang, kelinci, ayam, itik, atau pun hewan-hewan yang hidup di
dalam air.
Sedangkan hewan-hewan yang hukum aslinya sudah haram dimakan, maka memburunya pun haram, apabila niatnya untuk dimakan.
Namun bila berburu hewan yang niatnya bukan untuk dimakan, maka para
ulama berbeda pendapat, apakah boleh memburu hewan yang haram dimakan
atau tidak tetap tidak boleh.
a. Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah : Syarat Berburu
Mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menegaskan haramnya berburu bila daging hewan itu tidak halal untuk dimakan.
Dan pendapat itu tercermin dengan jelas pada definisi berburu yang mereka kemukakan, yaitu :
حَيَوَانٌ مُقْتَنَصٌ حَلاَلٌ مُتَوَحِّشٌ طَبْعًا غَيْرُ مَمْلُوكٍ وَلاَ مَقْدُورٍ عَلَيْهِ
Hewan yang halal dagingnya yang hidup di alam liar secara alami, yang bukan milik perorangan dan tidak bisa dipelihara
b. Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah : Bukan Syarat
Mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah dalam hal ini berpendapat bahwa
hukumnya boleh dan tidak mengapa. Mereka memandang hukum memburunya
kembali kepada hukum dasar, yaitu boleh atau halal. Sebab bisa saja
manfaat yang ingin didapat bukan untuk memakan dagingnya, melainkan
untuk diambil kulitnya.
Dan kulit hewan yang haram dimakan bisa menjadi suci asalkan disamak, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
Dari Abdullah bin Abbas dia berkata,"Saya mendengar Rasulullah SAW
bersabda,"Apabila kulit telah disamak, maka sungguh ia telah suci." (HR.
Muslim)
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ
Semua kulit yang telah disamak maka kulit itu telah suci. (HR. An-Nasai)
Selain boleh diburu untuk diambil manfaatnya secara syar’i, kebolehannya
untuk diburu juga atas sebab bila untuk menolak bahaya dan ancaman dari
hewan itu sendiri.
2. Mutawahhisy
Yang dimaksud hewan mutawahhisy adalah hewan yang hidup secara liar di
alam bebas, dimana cirinya tidak bisa ditangkap begitu saja kecuali
dengan perangkap khusus atau diburu dengan senjata.
Meski kalau dikejar-kejar bisa berlari menghindar, tetapi ayam
peliharaan bukan termasuk hewan mutawahhisy, sebab ayam bisa ditangkap
dengan mudah. Apalagi ayam broiler yang sama sekali tidak bisa
mempertahankan diri.
Oleh karena itu berburu ayam kampuang, ayam negri atau ayam broiler
dengan cara ditembak hanya akan menyebabkan ayam-ayam itu jadi bangkai.
Tetapi ayam hutan yang hidup liar di tengah belantara, tidak bisa
ditangkap pakai tangan. Harus digunakan perangkap tertentu untuk bisa
mendapatkannya, karena sifatnya yang liar atau mutawahhisy itu. Ayam
hutan itu layak untuk diburu hingga mati dan dagingnya halal dimakan.
3. Bukan Hewan Tanah Haram
Hewan yang menjadi penghuni tanah haram hukumnya haram untuk diburu. Dasarnya adalah hadits berikut ini :
إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ مَكَّةَ فَلَمْ تَحِل لأَِحَدٍ قَبْلِي وَلاَ تَحِل
لأَِحَدٍ بَعْدِي إِنَّمَا حُلَّتْ لِي سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ لاَ يُخْتَلَى
خَلاَهَا وَلاَ يُعْضَدُ شَجَرُهَا وَلاَ يُنَفَّرُ صَيْدُهَا
Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan tanah Mekkah, maka tidak halal
bagi siapa pun sebelum Aku dan sesudahku untuk menebang pohonnya dan
memburu hewan-hewannya. (HR. Bukhari)
4. Matinya Karena Terkena Peluru Senjata
Disyaratkan agar hewan yang diburu itu menjadi halal dagingnya, ketika
ditembakkan dengan senjata, baik anak panah, tombak atau peluru panas,
hewan itu mati saat itu juga atau beberapa saat namun tidak terlalu
lama.
Bila hewan itu masih hidup terus dalam waktu yang lama, dengan hidup
yang normal, baru kemudian mati, ada kemungkinan hewan itu tidak mati
karena sebab panah si pemburu. Maka hewan itu tidak halal dimakan dan
statusnya menjadi bangkai
5. Tidak Menghilang Terlalu Lama
Syarat lainnya adalah hewan yang sudah terkena tembakan itu tidak
menghilang dalam waktu yang lama. Sebab bila hewan yang sudah kena
tembak itu sempat menghilang dalam waktu lama, dan pemburunya sudah
menyelesaikan perburuannya, baru kemudian hewan itu ditemukan dalam
keadaan mati, ada keraguan bahwa hewan itu mati bukan karena peluru,
tetapi juga ada unsur pembunuh yang lain.
C. Syarat Berburu Menggunakan Senjata
Senjata yang dibenarkan dalam perburuan hewan intinya harus tajam dan
bisa melukai atau merobek kulit hewan buruan, sehingga terjadi luka dan
menyemburkan darah dari luka itu.
Senjata itu bisa saja berupa anak panah, pedang, pisau, belati, tombak
atau pun peluru tajam yang ditembakkan dari senapan modern, tapi intinya
bagaimana peluru itu bisa menembus kulit hewan sehingga melukai dan
keluar darah dari lukanya.
Sedangkan senjata yang sifatnya tidak tajam dan tidak sampai merobek
kulit hingga mengeluarkan darah, meski mematikan, tetapi tidak halal
untuk digunakan.
Maka berburu dengan batu yang bulat, tongkat yang tidak tajam, cakram,
palu godam atau martil, hukumnya haram. Karena meski bisa mematikan,
namun tidak mampu mengoyak kulit hewan buruannya.
Demikian juga berburu dengan katapel, bila peurunya berupa batu atau
kelereng, meski hewan itu mati, tetapi bila tidak ada koyak pada kulit
hewan itu hingga mengeluarkan darah, hukumnya tidak sah.
D. Syarat Berburu Menggunakan Hewan
Selain menggunakan senjata, berburu juga bisa menggunakan hewan pemburu.
Tentunya hewan pemburu adalah hewan yang buas dan punya kemampuan dasar
berburu. Hewan-hewan jinak atau ternak biasanya tidak punya kemampuan
itu.
Yang dimaksud dengan berburu dengan hewan pemburu adalah membunuh hewan
buruan itu dengan dikejar dan diterkam mati oleh hewan pemburu. Jadi
intinya, hewan yang diburu itu memang mati semata-mata oleh sebab
dilukai dan diterkam oleh hewan pemburu.
Fungsi dan peran hewan pemburu itu memang untuk membunuh buruannya, dan
bukan sekedar untuk menangkap hidup-hidup lalu disembelih oleh manusia.
Dan hukum memakan hasil buruan ini halal dimakan dalam pandangan
syariat, sehingga sudah tidak perlu lagi dilakukan penyembelihan.
Dasarnya adalah firman Allah SWT :
فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ
Makanlah hewan yang diburu oleh hewan pemburu untukny dan sebutlah nama
Allah (ketika melepas hewan pemburu). (QS. Al-Maidah : 4)
Namun ada syarat dan ketentuan yang berlaku sebagai hewan pemburu yang harus dipenuhi dalam syariat Islam, antara lain :
1. Hewan Pemburu Harus Terlatih
Di dalam istilah Al-Quran, istilahnya adalah mu’allam (مُعُلُّم),
artinya hewan itu sudah diajarkan tata cara berburu dan terlatih untuk
melakukanya dengan benar, serta taat dan patuh pada perintah pemiliknya.
Dasar dari syarat ini adalah firman Allah SWT :
وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ
Dan hewan-hewan yang kamu ajarkan (QS. Al-Maidah : 4)
Dan juga didasarkan kepada hadits nabi SAW :
مَا صِدْتَ بِكَلْبِكَ الْمُعَلَّمِ فَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُل وَمَا
صِدْتَ بِكَلْبِكَ غَيْرِ مُعَلَّمٍ فَأَدْرَكْتَ ذَكَاتَهُ فَكُل
Hewan-hewan yang kamu buru dengan menggunakan anjingmu yang terlatih dan
melafazkan nama Allah, makanlah. Sedangkan hewan-hewan yang kamu buru
dengan menggunakan anjingmu yang belum terlatih, bila kamu dapati maka
sembelihlah dan makanlah. (HR. Bukhari Muslim)
Mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menyebutkan bahwa
bila bahwa syarat dari hewan yang terlatih adalah bila diperintah, dia
mengerjakan. Sebaliknya, bila dilarang, dia pun tidak mengerjakan.
Mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menambahkan lagi syaratnya, yaitu
bila hewan itu memburu hewan lain, tidak sama sekali tidak ikut memakan
hewan buruannya itu. Hal itu didasari oleh hadits nabi :
إِلاَّ أَنْ يَأْكُل الْكَلْبُ فَلاَ تَأْكُل فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ إِنَّمَا أَمْسَكَ عَلَى نَفْسِهِ
Kecuali bila anjing pemburu itu ikut memakannya, maka janganlah kamu
makan (hewan burua itu), sebab aku khawatir anjing itu berburu untuk
dirinya sendiri. (HR. Bukhari)
Namun syarat ini tidak berlaku bila hewan pemburunya berupa burung
pemburu, karena sulitnya mengajarkan hal itu. Syarat ini juga tidak
termasuk bila hewan pemburu itu meminum darahnya tapi tidak memakan
dagingnya. Maksudnya, bila hewan pemburu itu hanya meminum darah
korbannya tanpa memakan dagingnya, maka hewan buruan itu masih halal
untuk dimakan manusia.
2. Kulit Buruan Harus Luka dan Terkoyak
Syarat kedua dalam masalah ini adalah dari segi teknik membunuh, yaitu
hewan pemburu itu harus dapat sampai mengoyak kulit hewan buruannya,
sehingga dari lukanya itu keluar darah segar. Dan matinya hewan buruan
itu semata-mata karena luka dan kehabisan darah.
Posisi letak luka yang mengeluarkan darah segara itu sendiri tidak harus
di leher seperti ketika menyembelih. Posisinya bisa dimana saja dari
tubuhnya. Sebab intinya bagaimana caranya agar hewan buruan itu mati
karena kehabisan darah, akibat keluar lewat luka-luka yang menganga.
Maka bila hewan buruan itu ditemukan mati setelah diburu dan
dikejar-kejar, tetapi tidak ada luka menganga dan tidak ada darah yang
keluar, berarti boleh jadi hewan itu mati oleh sebab lain. Hewan buruan
yang terbukti mati karena tercekik, terantuk batu, jatuh dari
ketinggian, atau luka dalam, terpukul, terbanting dan sebagainya, maka
hukumnya tidak halal dimakan. Dan statusnya adalah bangkai. Baik hal itu
disebabkan atau dikerjakan oleh hewan pemburu atau pun hewan itu
mengalami sendiri.
Syarat ini diajukan oleh Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah secara
resmi, dan juga oleh sebagian dari para ulama di dalam lingkup mazhab
As-Syafi’iyah. Istilahnya versi muqabilul adhzar.
Sedangkan versi al-ahdzhar dari mazhab As-Syafi’iyah tidak mensyaratkan
masalah ini. Demikian juga pendapat Abu Yusuf yang termasuk berada di
dalam jajaran para ulama dari mazhab Al-Hanafiyah, tidak mengajukan
syarat ini. Dasar pendapat mereka adalah umumnya ayat, dimana Allah SWT
mempersilahkan kita makan dari apa yang diburu oleh hewan pemburu, tanpa
menyebutkan syarat harus ada luka di tubuh hewan itu yang mengeluarkan
darah dan mati karena hal itu.
فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ
Makanlah dari apa yang telah diburu oleh hewan pemburu itu untukmu. (QS. Al-Maidah : 4)
3. Tuannya Harus Muslim atau Ahli Kitab
Syarat ketiga adalah bahwa hewan pemburu itu tidak berburu untuk dirinya
sendiri, melainkan bekerja atas perintah dan komando dari tuannya. Dan
syarat yang berlaku dalam hal ini, tuannya harus seorang muslim, atau
setidak-tidaknya dia seorang ahli kitab, baik memeluk agama Kristen dan
Yahudi.
Bila hewan itu tanpa dikomando telah melakukan perburuan sendiri, meski
tidak dimakannya, tetap saja hasil buruannya itu haram dimakan.
Sebaliknya, meski hewan itu berburu lewat perintah tuannya, tapi bila
tuannya bukan seorang muslim atau ahli kitab, tetap saja hewan buruan
itu haram dimakan.
Dasar dari syarat ini dari firman Allah SWT di dalam Al-Quran Al-Kariem surat Al-Maidah :
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ
Sembelihan ahli kitab itu halal bagimu dan sembelihanmu halal bagi mereka. (QS. Al-Maidah : 5)
Meski ayat ini bicara tentang sembelihan, namun menurut para ulama, ayat
ini juga mencakup masalah berburu hewan menggunakan hewan pemburu.
4. Hewan Itu Tidak Mengerjakan Hal Lain
Syarat yang keempat dari berburu dengan memanfaatkan hewan pemburu
adalah ketika diperintah oleh tuannya, hewan itu tidak mengerjakan
perbuatan yang lain, tetapi langsung berburu. Syarat ini dinashkan di
dalam mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah.
Sebab kalau hewan itu mengerjakan perbuatan yang lain dulu baru berburu,
maka langkahnya dalam berburu bukan lagi atas dasar perintah tuannya,
melainkan karena keinginannya sediri.
Maka bila setelah diperintah dan dilepakan hewan pemburu itu sempat
makan roti terlebih dahulu, atau menunaikan hajatnya seperti kencing
atau buang air besar, maka ketika dia meneruskan berburunya, diaggap
sudah bukan lagi atas dasar perintah tuannya.
Hal yang sama juga berlaku manakala setelah dilepas tuannya lalu tidak
berhasil dan kembali lagi kepada tuannya, lantas tiba-tiba hewan itu
kembali lagi mengejar buruannya semula namun tanpa perintah dari
tuannya, maka hukumnya hasil buruannya juga tidak halal.
Demikian penjelasan singkat terkait dengan ketentuan berburu hewan dalam syariat Islam. Semoga bermanfaat, amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar