Sebagian orang dengan mudahnya mengucapkan nadzar. Perlu diketahui,
nadzar adalah bagian dari ibadah, bukan hanya sekadar ucapan tanpa
konsekuensi apa-apa. Oleh karena itu penting untuk diketahui tentang
hukum-hukum terkait nadzar. Dalam edisi ini, pembaca bisa menyimak
hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan masalah nadzar.
Nadzar adalah ucapan seseorang yang mewajibkan kepada dirinya sendiri
untuk melakukan suatu aktifitas ibadah yang hukum asalnya ibadah
tersebut bukan merupakan kewajiban. Ucapan nadzar dan penunaiannya
termasuk ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah Ta’ala saja.
Nazar adalah Janji seseorang kepada Allah untuk melakukan suatu amalan
yang hukum sebenarnya tidak wajib. Jika harapannya terpenuhi atau
dikabulkan oleh Allah SWT, maka seseorang tersebut wajib menjalankan
amalan ibadah yang telah dijanjikannya kepada Allah. Sesuatu hal yang
dinazarkan haruslah sesuai dengan kebaikan dan tidak bertentangan dengan
ajaran agama.
Nadzar secara bahasa adalah janji secara mutlak baik berupa perbuatan
baik atau buruk. Sedangkan menurut syara’ adalah mewajibkan diri untuk
melaksanakan suatu qurbah (ibadah) yang bukan fardhu ‘ain dengan sighat
tertentu. Nadzar hanya berlaku pada ibadah sunnah (seperti shalat/puasa
sunnah) atau fardhu kifayah (seperti shalat jenazah, jihad fi
sabilillah, dll), sehingga tidak sah nadzar pada ibadah fardhu ‘ain
(seperti shalat 5 waktu, puasa ramadhan, dll) atau yang bukan ibadah,
baik pekerjaan mubah (seperti makan, tidur,dll), makruh (seperti puasa
dahr bagi orang yang khawatir sakit) ataupun haram (seperti minum khomr,
berjudi, dll).
Nazar hanya sah apabila ia diucapkan dengan lisan. Hal ini menjadi
kaedah am dalam hukum dan amalan. Sebagaimana hadis Nabi sallallahu
alaihi wasallam:
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا وَسْوَسَتْ بِهِ صُدُورُهَا مَا لم تعْمل بِهِ أَو تَتَكَلَّم
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengampuni umatku apa yang dibisikkan
dalam hati selama mana ia tidak dilaksanakan atau diucapkan” (Riwayat
Bukhari dan Muslim).
Tidak ada lafaz yang khusus buat nazar. Cukup dengan lafaz yang menunjukkan ke arah melazimkan diri dengan sesuatu.
Nazar tidak sah jika hanya sebatas niat atau belum diucapkan. Misalnya
seseorang berniat, jika dia lulus ujian tahun ini, akan berpuasa daud
selama sebulan lillahi ta’ala. Sebatas niat semacam ini, belum dianggap
nazar yang sah, yang wajib dia laksanakan.
Fairuz Abadzi – ulama syafiiyah – menegaskan,
ولا يصح النذر إلا بالقول
“Nazar tidak sah, kecuali diucapkan.” (Al-Muhadzab, 1/440) .
An-Nawawi dalam syarah Muhadzab memberikan penjelasan,
وهل يصح بالنية من غير قول … (الصحيح) باتفاق الأصحاب أنه لا يصح إلا بالقول ولا تنفع النية وحدها
Apakah nazar sah semata dengan niat, tanpa diucapkan…(yang kuat)
berdasarkan sepakat ulama madzhab Syafii, bahwa tidak sah nazar kecuali
diucapkan. Niat semata, tidak bermanfaat (tidak dianggap). (Al-Majmu’
Syarh Muhadzab, 8/451)
Hal yang sama juga dinyatakan Al-Mardawi – ulama hambali – dalam Al-Inshaf,
ولا يصح (النذر) إلا بالقول ، فإن نواه من غير قول : لم يصح بلا نزاع
Nazar tidak sah kecuali dengan diucapkan. Jika dia hanya berniat, namun
tidak dia ucapkan, tidak sah nazarnya, tanpa ada perbedaan pendapat.
(Al-Inshaf, 11/118)
Nazar berarti mewajibkan pada diri sendiri suatu perkara yang sebenarnya
tidak wajib. Penjelasan nazar secara detail dapat ditelusuri dalam
artikel sederhana berikut ini.
Dalil yang Menunjukkan Terlarangnya Memulai Bernadzar
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
نَهَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَنِ النَّذْرِ قَالَ « إِنَّهُ
لاَ يَرُدُّ شَيْئًا ، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ »
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk bernazar, beliau
bersabda: ‘Nazar sama sekali tidak bisa menolak sesuatu. Nazar hanyalah
dikeluarkan dari orang yang bakhil (pelit)’.” (HR. Bukhari no. 6693 dan
Muslim no. 1639)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَنْذُرُوا فَإِنَّ النَّذْرَ لاَ يُغْنِى مِنَ الْقَدَرِ شَيْئًا وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
“Janganlah bernazar. Karena nazar tidaklah bisa menolak takdir sedikit
pun. Nazar hanyalah dikeluarkan dari orang yang pelit.” (HR. Muslim no.
1640)
Juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ النَّذْرَ لاَ يُقَرِّبُ مِنِ ابْنِ آدَمَ شَيْئًا لَمْ يَكُنِ
اللَّهُ قَدَّرَهُ لَهُ وَلَكِنِ النَّذْرُ يُوَافِقُ الْقَدَرَ فَيُخْرَجُ
بِذَلِكَ مِنَ الْبَخِيلِ مَا لَمْ يَكُنِ الْبَخِيلُ يُرِيدُ أَنْ
يُخْرِجَ
“Sungguh nazar tidaklah membuat dekat pada seseorang apa yang tidak
Allah takdirkan. Hasil nazar itulah yang Allah takdirkan. Nazar hanyalah
dikeluarkan oleh orang yang pelit. Orang yang bernazar tersebut
mengeluarkan harta yang sebenarnya tidak ia inginkan untuk dikeluarkan. ”
(HR. Bukhari no. 6694 dan Muslim no. 1640)
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa nazar itu terlarang. Demikianlah
pendapat jumhur (mayoritas ulama) yang memakruhkan bernazar. Akan
tetapi, jika terlanjur mengucapkan, maka nazar tersebut tetap wajib
ditunaikan.
Dalil yang Menunjukkan Wajibnya Menunaikan Nazar
Allah Ta’ala berfirman,
ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ
“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan
mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka.” (QS. Al
Hajj: 29)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ نَفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُمْ مِنْ نَذْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُهُ
“Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Al Baqarah: 270)
Allah Ta’ala memuji orang-orang yang menunaikan nazarnya,
إِنَّ الأبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا
(٥)عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا عِبَادُ اللَّهِ يُفَجِّرُونَهَا تَفْجِيرًا
(٦)يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا
(٧)
“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas
(berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur, (yaitu) mata air
(dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka
dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. Mereka menunaikan nazar dan
takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS. Al Insan:
5-7)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
“Barangsiapa yang bernazar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nazar
tersebut. Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka
janganlah memaksiati-Nya. ” (HR. Bukhari no. 6696)
Dari ‘Imron bin Hushoin radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
خَيْرُكُمْ قَرْنِى ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ – قَالَ عِمْرَانُ لاَ أَدْرِى ذَكَرَ ثِنْتَيْنِ أَوْ
ثَلاَثًا بَعْدَ قَرْنِهِ – ثُمَّ يَجِىءُ قَوْمٌ يَنْذُرُونَ وَلاَ
يَفُونَ ، …
“Sebaik-baik kalian adalah orang-orang yang berada di generasiku,
kemudian orang-orang setelahnya dan orang-orang setelahnya lagi. -‘Imron
berkata, ‘Aku tidak mengetahui penyebutan generasi setelahnya itu
sampai dua atau tiga kali’-. Kemudian datanglah suatu kaum yang bernazar
lalu mereka tidak menunaikannya, …. ” (HR. Bukhari no. 2651). Hadits
ini menunjukkan berdosanya orang yang tidak menunaikan nazar.
Dari ayat dan hadits di atas, kebanyakan ulama Malikiyah dan sebagian
ulama Syafi’iyah –seperti Imam Nawawi dan Al Ghozali- berpendapat bahwa
hukum nazar adalah sunnah.
Kompromi Pendapat
Jika kita melihat dua pendapat di atas, yang satu mengatakan makruh dan
yang lainnya sunnah. Pendapat jumhur (mayoritas ulama) juga ada sedikit
problema. Padahal kita ketahui bersama ada kaedah, wasilah (perantara)
kepada ketaatan, maka bernilai ketaatan dan wasilah pada maksiat, maka
bernilai maksiat. Lalu kenapa berniat nazar bisa jadi makruh, padahal
penunaiannya wajib?!
Cara kompromi yang lebih baik sehingga tidak muncul problema seperti di atas adalah kita katakan bahwa nazar itu ada dua macam:
Pertama, nazar mu’allaq untuk memperoleh manfaat. Maksud nazar ini
adalah dengan bersyarat, yaitu jika permintaannya terkabul, barulah ia
akan melakukan ketaatan. Contohnya, seseorang yang bernazar, “Jika Allah
menyembuhkan saya dari penyakit ini, maka saya akan bersedekah sebesar
Rp.2.000.000.”
Kedua, nazar muthlaq, artinya tidak menyebutkan syarat. Contohnya,
seseorang yang bernazar, “Aku ikhlas pada Allah mewajibkan diriku
bersedekah untuk masjid sebesar Rp.2.000.000”.
Kita katakan bahwa hadits-hadits yang menjelaskan larangan untuk
bernazar dimaksudkan untuk nazar macam yang pertama. Karena nazar macam
pertama sebenarnya dilakukan tidak ikhlas pada Allah, tujuannya hanyalah
agar orang yang bernazar mendapatkan manfaat. Orang yang bernazar
dengan macam yang pertama hanyalah mau bersedekah ketika penyakitnya
sembuh. Jika tidak sembuh, ia tidak bersedekah. Itulah mengapa dalam
hadits disebut orang yang pelit (bakhil).
Perlu juga diketahui bahwa kenapa dilarang untuk bernazar sebagaimana
disebut dalam hadits-hadits larangan? Jawabnya, agar jangan disangka
bahwa tujuan nazar itu pasti terwujud ketika seseorang bernazar atau
jangan disangka bahwa Allah pasti akan penuhi maksud nazar karena nazar
taat yang dilakukan. Sebagaimana dikatakan dalam hadits bahwa nazar sama
sekali tidak menolak apa yang Allah takdirkan. Dalam hadits Ibnu ‘Umar
yang lainnya disebutkan,
النَّذْرُ لاَ يُقَدِّمُ شَيْئًا وَلاَ يُؤَخِّرُهُ وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
“Nazar sama sekali tidak memajukan atau mengakhirkan apa yang Allah
takdirkan. Sungguh nazar hanyalah keluar dari orang yang pelit.” (HR.
Muslim no. 1639)
Jadi larangan yang dimaksudkan dalam hadits-hadits yang melarang nazar
adalah larangan irsyad (alias: makruh) untuk memberi petunjuk bahwa ada
cara yang lebih afdhol, yaitu sedekah dan amalan ketaatan bisa dilakukan
tanpa mesti mewajibkan diri dengan bernazar. Atau kita bisa bernazar
dengan nazar yang tanpa syarat seperti kita katakan ketika penyakit kita
sembuh, “Aku ingin bernazar dengan mewajibkan diriku untuk berpuasa.”
Di sini tidak disebutkan syarat, namun dilakukan hanya dalam rangka
bersyukur pada Allah.
Macam Nazar dan Hukumnya
Nazar dilihat dari hal yang dinazari (al mandzur) dibagi menjadi dua macam:
Pertama, nazar taat.
Seperti seseorang mewajibkan pada dirinya untuk melakukan amalan yang
sunnah (seperti shalat sunnah, puasa sunnah, sedekah sunnah, i’tikaf
sunnah, haji sunnah) atau melakukan amalan wajib yang dikaitkan dengan
sifat tertentu (seperti bernazar untuk melaksanakan shalat lima waktu di
awal waktu).
Adapun jika seseorang bernazar untuk melakukan shalat lima waktu atau
melakukan puasa Ramadhan, maka bentuk semacam ini tidak dianggap nazar
karena hal tersebut sudah wajib. Hal yang telah Allah wajibkan tentu
lebih agung daripada hal yang diwajibkan lewat nazar.
Hukum penunaian nazar taat
Hukum penunaiannya adalah wajib, baik nazar tersebut nazar mu’allaq atau nazar muthlaq. Dalil yang menunjukkan wajibnya adalah,
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ
“Barangsiapa yang bernazar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nazar tersebut.” (HR. Bukhari no. 6696)
Dalil lainnya, dari Ibnu ‘Umar, beliau berkata,
أَنَّ عُمَرَ – رضى الله عنه – نَذَرَ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَعْتَكِفَ
فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ – قَالَ أُرَاهُ قَالَ – لَيْلَةً قَالَ لَهُ
رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « أَوْفِ بِنَذْرِكَ »
“Dahulu di masa jahiliyah, Umar radhiyallahu ‘anhu pernah bernazar untuk
beri’tikaf di masjidil haram –yaitu i’tikaf pada suatu malam-, lantas
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya, ‘Tunaikanlah
nazarmu’.” (HR. Bukhari no. 2043 dan Muslim no. 1656)
Jika nazar tidak mampu ditunaikan
Jika nazar yang diucapkan mampu ditunaikan, maka wajib ditunaikan. Namun
jika nazar yang diucapkan tidak mampu ditunaikan atau mustahil
ditunaikan, maka tidak wajib ditunaikan. Seperti mungkin ada yang
bernazar mewajibkan dirinya ketika pergi haji harus berjalan kaki dari
negerinya ke Makkah, padahal dia sendiri tidak mampu. Jika nazar seperti
ini tidak ditunaikan lantas apa gantinya?
Barangsiapa yang bernazar taat, lalu ia tidak mampu menunaikannya, maka
nazar tersebut tidak wajib ditunaikan dan sebagai gantinya adalah
menunaikan kafaroh sumpah. Kafaroh sumpah adalah:
Memberi makan kepada sepuluh orang miskin, atau
Memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau
Memerdekakan satu orang budak
Jika tidak mampu ketiga hal di atas, barulah menunaikan pilihan berpuasa selama tiga hari. (Lihat Surat Al Maidah ayat 89)
Kedua, nazar yang bukan bentuk taat.
Nazar jenis kedua ini dibagi menjadi dua macam: (1) nazar mubah, (2) nazar maksiat.
(1) Nazar mubah
Seperti seseorang bernazar, “Jika lulus ujian, saya akan berenang selama
lima jam.” Nazar seperti ini bukanlah nazar taat, namun nazar mubah.
Untuk penunaiannya tidaklah wajib. Bahkan jumhur (mayoritas ulama)
menyatakan bahwa bentuk seperti ini bukanlah nazar.
(2) Nazar maksiat
Seperti seseorang bernazar, “Jika lulus ujian, saya akan traktir
teman-teman mabuk-mabukan.” Nazar seperti ini tidak boleh ditunaikan
berdasarkan hadits,
وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
“Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya. ” (HR. Bukhari no. 6696)
Lalu apakah ada kafaroh? Jawabnya, tetap ada kafaroh berdasarkan hadits.
النذر نذران : فما كان لله ؛ فكفارته الوفاء وما كان للشيطان ؛ فلا وفاء فيه وعليه كفارة يمين
“Nazar itu ada dua macam. Jika nazarnya adalah nazar taat, maka wajib
ditunaikan. Jika nazarnya adalah nazar maksiat -karena syaithon-, maka
tidak boleh ditunaikan dan sebagai gantinya adalah menunaikan kafaroh
sumpah.” (HR. Ibnu Jarud, Al Baihaqi. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 479)
Semoga sajian singkat ini bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar