Bahwa pada dasarnya tanah yang sudah berstatus wakaf secara hukum sudah
tidak dapat diperjual-belikan kembali, oleh karena tanah tersebut
dipergunakan untuk kepentingan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut syariah.
قال ابن حجر والاظهر ان الملك في رقبة الموقوف على معين اوجهة ينتقل الى
الله تعالى اي ينفك عن اختصاص الادميين " ( تحفة المحتاج : ج 6 ص 272
“ Telah berkata Ibnu Hajar: “sesungguhnya kepemilikan benda yang
diwaqafkan kepada orang tertentu atau untuk umum itu pindah kepada ALLAH
(lepas dari hak milik manusia) “. ( Tuhfatul Muhtaaj : Jilid. 6 hal.
272 ).
Pendapat bahwa [ Boleh menjual tanah wakaf, tapi peruntukkannya tidak
berubah. Maksudnya, umpama wakaf itu untuk masjid, jika dijual, maka
hasil harganya dibelikan utk tanah wakaf masjid lagi. Tdk boleh utk
pesantren atau lainnya, begitu juga sebaliknya. Ini bisa terjadi jika
memang lahan tanah wakafnya terlalu sempit ]
Dasar hukum penjualan aset wakaf adalah hadist Abdullah bin Umar di bawah ini :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ
أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي
أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي
مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا
وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ
وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي
الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ
وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا
بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ
“ Dari Ibnu Umar radliallahu 'anhuma bahwa Umar bin Khathab
radliallahu 'anhu mendapat bagian lahan di Khaibar lalu dia menemui Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam untuk meminta pendapat Beliau tentang
tanah lahan tersebut seraya berkata: “ Wahai Rasulullah, aku
mendapatkan lahan di Khaibar dimana aku tidak pernah mendapatkan harta
yang lebih bernilai selain itu. Maka apa yang Tuan perintahkan tentang
tanah tersebut? Maka Beliau berkata: “ Jika kamu mau, kamu tahan
(pelihara) pepohonannya lalu kamu dapat bershadaqah dengan (hasil buah)
nya.” Ibnu Umar radliallahu 'anhu berkata: Maka Umar menshadaqahkannya (
hasilnya ), dan wakaf tersebut tidak boleh dijual, tidak dihibahkan dan
juga tidak diwariskan, namun dia menshadaqahkannya untuk para faqir,
kerabat, untuk membebaskan budak, fii sabilillah, ibnu sabil dan untuk
menjamu tamu. Dan tidak dosa bagi orang yang mengurusnya untuk memakan
darinya dengan cara yang ma'ruf dan untuk memberi makan orang lain bukan
bermaksud menimbunnya.” (HR Bukhori)
Berdasarkan hadist di atas, para ulama berpendapat bahwa aset wakaf
tidak boleh dijual atau ditarik kembali oleh pemiliknya, bahkan
sebagian kalangan menyatakan bahwa hal ini merupakan kesepakatan ulama.
Berkata Imam Qurthubi : “ Pendapat yang membolehkan penarikan kembali
barang yang sudah diwakafkan adalah pendapat yang menyelesihi
kesepakatan ulama, maka tidak boleh diikuti. “Hanya saja dalam
rinciannya ternyata para ulama berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : Boleh menjual wakaf dan atau menariknya kembali.
Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Hanifah. Tetapi murid-muridnya
mengingkari hal ini, berkata Abu Yusuf : “ Seandainya hadist di atas
sampai kepada Abu Hanifah, niscaya dia akan mengikutinya dan akan
menarik pendapatnya yang membolehkan penjualan aset wakaf. “
وَلاَ يَجُوْزُ اسْتِبْدَالُ الْمَوْقُوْفِ عِنْدَنَا وَاِنْ خَرَبَ ،
خِلاَفًا لِلْحَنَفِيَّةِ . وَصُوْرَتُهُ عِنْدَهُ اَنْ يَكُوْنَ
الْمَحَلُّ قَدْ آلَ اِلَى السُّقُوْطِ فَيُبْدَلُ بِمَحَلٍّ آخَرَ
اَحْسَنَ مِنْهُ بَعْدَ حُكْمِ حَاكِمٍ يَرَى صِحَّتَهُ .
"Tidak boleh menukarkan barang wakaf menurut madzhab kami (Syafi'i),
walaupun sudah rusak. Berbeda dengan madzhab Hanafi yang membolehkannya.
Contoh kebolehan menurut pendapat mereka adalah apabila tempat yang
diwakafkan itu benar-benar hampir longsor, kemudian ditukarkan dengan
tempat lain yang lebih baik dari padanya, sesudah ditetapkan oleh Hakim
yang melihat kebenarannya". (As Syarqawi II/178)
فَاِنْ تَعَطَّلَتْ مَنَافِعُهُ بِالْكُلِّيَّةِ كَدَارٍ اِنْهَدَمَتْ اَوْ
اَرْضٍ خَرَبَتْ وَعَادَتْ مَوَاتًا لَمْ يُمْكِنْ عِمَارَتُهَا اَوْ
مَسْجِدٍ اِنْتَقَلَ اَهْلُ الْقَرْيَةِ عَنْهُ وَصَارَ فِى مَوْضِعٍ لاَ
يُصَلَّى فِيْهِ اَوْ ضَاقَ بِاَهْلِهِ وَلَمْ يُمْكِنْ تَوْسِيْعُهُ فِى
مَوْضِعِهِ ، فَاِنْ اَمْكَنَ بَيْعُ بَعْضِهِ لِيُعَمَّرَ بَقِيَّتُهُ
جَازَ بَيْعُ الْبَعْضِ وَاِنْ لَمْ يُمْكِنِ الإِنْتِفَاعُ بِشَيْءٍ
مِنْهُ بِيْعَ جَمِيْعُهُ .
"Jika manfaat dari wakat tersebut secara keseluruhan sudah tidak ada,
seperti rumah yang telah roboh atau tanah yang telah rusak dan kembali
menjadi tanah yang mati yang tidak mungkin memakmurkannya lagi, atau
masjid yang penduduk desa dari masjid tersebut telah pindah; dan masjid
tersebut menjadi masjid di tempat yang tidak dipergunakan untuk
melakukan shalat, atau masjid tersebut sempit dan tidak dapat menapung
para jama'ah dan tidak mungkin memperluasnya di tempat tersebut, ...
jika mungkin menjual sebahagiannya untuk memakmurkan sisanya, maka boleh
menjual sebahagian. Dan jika tidak mungkin memanfaatkannya sedikitpun,
maka boleh menjual seluruhnya". (Syarhul Kabir juz III /420)
Pendapat Kedua : Tidak boleh menjual wakaf sama sekali, walaupun diganti
dengan yang lebih baik atau lebih banyak manfaatnya, selama aset wakaf
tersebut tidak terputus manfaatnya. Ini adalah pendapat Imam Malik dan
Syafi’I, dan riwayat dari Imam Ahmad.
Adapun dalil pendapat ini sebagai berikut :
Dalil Pertama : Hadist Umar di atas yang menyebutkan : “ Wakaf tersebut
tidak boleh dijual “ , kalimat ini bersifat umum, dan tidak ada
pengecualian, sehingga tetap haram menjual benda wakaf dan ditukar
dengan yang lain.
Dalil Kedua : Jika dibolehkan untuk ditukar dengan yang lain, hal itu
akan menimbulkan kerusakan dimana-mana, karena setiap Nadhir wakaf,
dengan mudahnya menjual benda wakaf dan menukarnya dengan yang lain,
yang menurutnya lebih baik. Jika ini terjadi, maka akan sulit
mengontrolnya, maka hal ini dilarang untuk mencegah terjadinya kerusakan
tersebut.
Dalil ketiga : Hal ini seperti apa yang difatwakan oleh Imam Malik,
ketika Khalifah Harun Rasyid memintanya izin untuk membongkar Ka’bah
dan dikembalikan kepada pondasi yang pernah dibangun Nabi Ibrahim, maka
Imam Malik melarangnya dan mengatakan : “ Jangan sampai Ka’bah engkau
jadikan sebagai permainan para raja. “ . Padahal tujuan Khalifah Harun
Rasyid adalah kebaikan.
Tetapi dalam madzhab Maliki sendiri dibolehkan menjual tanah atau rumah
wakaf jika terkena pelebaran masjid, jalan atau kuburan umum,
sebagaimana disebutkan dalam buku Hasyiat ad-Dasyuqi.
Pendapat Ketiga : Boleh menjual wakaf jika manfaatnya hilang, atau wakaf
tidak berfungsi lagi, seperti masjid yang roboh, atau masyakat sekitar
masjid tersebut pindah tempat, sehingga tidak ada yang memanfaatkan
masjid tersebut . Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam riwayat lain.
Adapun dalilnya sebagai berikut :
Dalil Pertama : Atsar Umar bin Khattab ketika sampai kepadanya berita
bahwa Baitul Maal di Kufah telah rusak, maka beliau memerintahkan Saad
bin Abi Waqqas gubernur Kufah untuk memindahkan masjid yang berada di
Tamarin, dan memindahkan Baitul Maal di depan masjid.
Peristiwa ini diketahui oleh para sahabat, dan tidak ada satupun dari
mereka yang menolaknya, hal ini menunjukkan adanya kesepakatan mereka.
Dalil Kedua : Bahwa Syariah Islam selalu memperhatikan maslahat dan
menghilangkan mafsadah. Jika dengan menjual aset wakaf dan menggantikan
dengan lainnya membawa masalahat yang lebih banyak dan mengurangi
kerusakan yang ada, maka hal itu dibolehkan karena sesuai dengan ruh
Syariah Islam.
Berkata Ibnu Taimiyah : “ Jika kebutuhan mendesak, maka wakaf tersebut
wajib diganti dengan yang sama, jika tidak ada kebutuhan mendesak,
dibolehkan menggantikannya dengan yang lebih baik, hal itu karena ada
maslahat yang hendak dicapai. “
Berkata Ibnu Uqail : “ Wakaf itu sifatnya langgeng, jika tidak bisa
melanggengkannya secara khusus ( karena rusak dan yang lainnya ), maka
paling tidak kita menjaga maksud ( dari wakaf itu sendiri ), yaitu
pemanfaatan yang terus menerus dengan barang lain, yaitu dengan cara
diganti, karena kalau tetap mempertahankan aset wakaf yang sudah tidak
berfungsi lagi, justru malah tidak sesuai dengan tujuan ( wakaf) itu
sendiri “
Dalil Ketiga : Meng-qiyaskan kepada hadist yang membolehkan seseorang
merubah nadzarnya kepada nadzar yang lebih baik, sebagaimana dalam
hadist Jabir :
وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَوْمَ اَلْفَتْحِ يَا
رَسُولَ اَللَّهِ! إِنِّي نَذَرْتُ إِنْ فَتَحَ اَللَّهُ عَلَيْكَ مَكَّةَ
أَنْ أُصَلِّيَ فِي بَيْتِ اَلْمَقْدِسِ, فَقَالَ: صَلِّ هَا هُنَا
فَسَأَلَهُ, فَقَالَ: صَلِّ هَا هُنَا فَسَأَلَهُ, فَقَالَ: شَأْنُكَ إِذًا
(رَوَاهُ أَحْمَدُ, أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ)
“ Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa ada seseorang berkata pada waktu
penaklukan kota Mekkah: Wahai Rasulullah, aku telah bernadzar bila Allah
menaklukan kota Mekkah kepada baginda, aku akan sholat di Baitul
Maqdis. Beliau bersabda: "Sholatlah disini." Orang tersebut bertanya
lagi dan beliau bersabda: "Sholatlah disini." Orang itu masih bertanya
lagi, maka beliau bersabda: "Kalau begitu, terserah engkau." (HR Ahmad
dan Abu Daud, dan dishahihkan oleh Hakim)
Jika nadzar saja bisa dirubah dengan yang lebih baik, begitu juga wakaf, boleh dirubah dengan yang lebih baik.
Pendapat ketiga ini lebih kuat, karena sesuai dengan tujuan wakaf itu
sendiri yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin. Untuk menghindari adanya
penyelewengan, ketika menjual dan menggantikan dengan yang lebih baik,
harus di bawah pengawasan pemerintah atau lembaga sosial yang dapat
dipercaya. Wallahu A’lam
Menyewakan Benda Wakaf
Adapun menyewakan benda wakaf, sampai sekarang penulis belum menemukan
satupun ulama yang mengharamkan, artinya semua ulama membolehkannya.
Berkata Imam Nawawi : “ Pasal : Pewakaf dan siapa yang diserahi oleh pewakaf ( nadhir ) dibolehkan untuk menyewakan wakaf “
Tetapi walaupun begitu, para ulama berbeda pendapat tentang masa
penyewaan benda wakaf dan penyewaan dengan upah yang tidak standar :
Pendapat Pertama : Tidak boleh menyewakan benda wakaf dalam jangka waktu
yang lama, seperti puluhan tahun lamanya dan tidak boleh menyewakan
barang wakaf dengan harga yang tidak standar. Ini adalah pendapat Ulama
Hanafiyah Mutakhirin.
Alasannya dikhawatirkan jika disewakan dalam waktu yang lama,
keuntungannya sulit diprediksi, dan benda wakaf tersebut bisa berpindah
tangan tanpa disadari oleh para nadhirnya, apalagi kalau tidak kuat
bukti-buktinya
Ibnu Hajar al-Haitsami ketika ditanya tentang kasus seorang perempuan
yang hendak menyewakan benda wakaf selama limapuluh tahun dengan izin
pemerintah, beliau menjawab : “ Tidak boleh pemerintah mengizinkannya (
untuk menyewakan benda wakaf ) dalam waktu yang panjang, karena susah
menentukan harga sewa dalam jangka waktu tersebut. Begitu juga
dikhawatirkan benda wakaf tersebut akan rusak ( hilang ) jika disewakan
dalam jangka waktu yang panjang. “
Berkata Ibnu Nujaim al-Hanafi : “ Ketahuilah bahwa penyewaan wakaf tidak
boleh kecuali dengan harga standar, atau lebih. Jika seorang Nadhir
menyewakan wakaf dengan harga di bawah harga standar, maka tidak sah
penyewaannya, dan penyewa wajib membayar dengan harga standar. “
Sebagian pemerintah pada waktu dulu sepakat untuk tidak membolehkan
penyewaan benda wakaf lebih dari tiga tahun dengan alasan yang
disebutkan di atas.
Pendapat Kedua : Boleh menyewakan benda wakaf dalam jangka waktu yang
lama jika untuk kepentingan umum. Ini adalah pendapat Ulama Hanafiyah
terdahulu dan pendapat mayoritas ulama.
Berkata Ibnu Taimiyah : “Jika benda wakaf untuk kepentingan umum, maka
boleh untuk disewakan sesuai dengan maslahat yang ada dan tidak terbatas
waktunya menurut mayoritas ulama. “
Tapi kebolehan menyewakan wakaf dalam waktu panjang ini syaratnya jika
diprediksi wakaf tersebut akan tetap utuh, dan tidak rusak ataupun
hilang.
Berkata Bahuti : “ Jika seseorang menyewakan rumah wakaf atau
sejenisnya seperti tanah wakaf dengan waktu yang jelas, walaupun
jangkanya panjang selama diprediksi barangnya masih utuh, maka sah
penyewaannya. “
Kesimpulan :
Dari penjelasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa boleh menjual wakaf
dan menggantikannya dengan yang lebih baik, jika hal tersebut
maslahatnya lebih besar sesuai dengan tujuan wakaf itu sendiri. Begitu
juga boleh menyewakan wakaf dengan tujuan pengembangan wakaf itu
sendiri. Hendaknya pewakaf atau nadhir wakaf memilih penyewaan yang
menguntungkan untuk pengembangan wakaf dan menghindari penyewaan yang
jangkanya lama, kecuali jika keuntungannya bisa diprediksi dan bisa
dijaga keutuhan dan keselamatan aset wakaf tersebut. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar