Di antara kemudahan dalam syar’at Islam adalah memberi keringanan kepada
wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa. Jika wanita hamil takut
terhadap janin yang berada dalam kandungannya dan wanita menyusui takut
terhadap bayi yang dia sapih –misalnya takut kurangnya susu- karena
sebab keduanya berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, dan
hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama. Dalil yang
menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ
وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla meringankan setengah shalat untuk
musafir dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui.”
Perselisihan Ulama
Namun apa kewajiban wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa,
apakah ada qodho’ ataukah mesti menunaikan fidyah? Inilah yang
diperselisihkan oleh para ulama.
Ahkamul Qur’an, Ahmad bin ‘Ali Ar Rozi Al Jashshosh rahimahullah
mengatakan, “Para ulama salaf telah berselisih pendapat dalam masalah
ini menjadi tiga pendapat. ‘Ali berpendapat bahwa wanita hamil dan
menyusui wajib qodho’ jika keduanya tidak berpuasa dan tidak ada fidyah
ketika itu. Pendapat ini juga menjadi pendapat Ibrahim, Al Hasan dan
‘Atho’. Ibnu ‘Abbas berpendapat cukup keduanya membayar fidyah saja,
tanpa ada qodho’. Sedangkan Ibnu ‘Umar dan Mujahid berpendapat bahwa
keduanya harus menunaikan fidyah sekaligus qodho’.”
Lengkapnya dalam masalah ini ada lima pendapat.
Pendapat pertama: wajib mengqodho’ (mengganti) puasa dan memberi makan
kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat
Imam Asy Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad. Namun menurut ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah, jika wanita hamil dan menyusui takut sesuatu
membahayakan dirinya (tidak anaknya), maka wajib baginya mengqodho’
puasa saja karena keduanya disamakan seperti orang sakit.
Pendapat kedua: cukup mengqodho’ saja. Inilah pendapat Al Auza’i, Ats
Tsauriy, Abu Hanifah dan murid-muridnya, Abu Tsaur dan Abu ‘Ubaid.
Pendapat ketiga: cukup memberi makan kepada orang miskin tanpa
mengqodho’. Inilah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu ‘Umar, Ishaq, dan Syaikh Al
Albani.
Pendapat keempat: mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita
menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin
bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat Imam Malik dan ulama
Syafi’iyah.
Pendapat kelima: tidak mengqodho’ dan tidak pula memberi makan kepada orang miskin. Inilah pendapat Ibnu Hazm.
Dalil Ulama yang Mengharuskan Penunaian Fidyah
Firman Allah Ta’ala,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS.
Al Baqarah: 184). Menurut ulama yang berpendapat seperti ini, mereka
mengatakan bahwa kewajiban fidyah masih berlaku bagi orang yang sudah
tua renta, juga bagi wanita hamil dan menyusui.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
رخص للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة في ذلك وهما يطيقان الصوم أن يفطرا إن
شاءا ويطعما كل يوم مسكينا ولا قضاء عليهما ثم نسخ ذلك في هذه الاية : (
فمن شهد منكم الشهر فليصمه ) وثبت للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة لذا كانا
لا يطيقان الصوم والحبلى والمرضع إذا خافتا أفطرتا وأطعمتا كل يوم مسكينا
“Keringanan dalam hal ini adalah bagi orang yang tua renta dan wanita
tua renta, lalu mereka mampu berpuasa. Mereka berdua berbuka jika mereka
mau dan memberi makan kepada orang miskin setiap hari yang
ditinggalkan, pada saat ini tidak ada qodho’ bagi mereka. Kemudian hal
ini dihapus dengan ayat (yang artinya): “Karena itu, barang siapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. Namun hukum fidyah ini masih
tetap ada bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta jika mereka
tidak mampu berpuasa. Kemudian bagi wanita hamil dan menyusui jika
khawatir mendapat bahaya, maka dia boleh berbuka (tidak berpuasa) dan
memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.”
Dalam riwayat Abu Daud,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ
مِسْكِينٍ) قَالَ كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْمَرْأَةِ
الْكَبِيرَةِ وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا
مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا
خَافَتَا – قَالَ أَبُو دَاوُدَ يَعْنِى عَلَى أَوْلاَدِهِمَا –
أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا.
Dari Ibnu ‘Abbas, mengenai firman Allah (yang artinya), “Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin," beliau
mengatakan, “Ayat ini menunjukkan keringanan bagi laki-laki dan
perempuan yang sudah tua renta dan mereka merasa berat berpuasa, mereka
dibolehkan untuk tidak berpuasa, namun mereka diharuskan untuk memberi
makan setiap hari satu orang miskin sebagai ganti tidak berpuasa. Hal
ini juga berlaku untuk wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir
–Abu Daud mengatakan: khawatir pada keselamatan anaknya-, mereka
dibolehkan tidak berpuasa, namun keduanya tetap memberi makan (kepada
orang miskin).”
Dalam perkataan lainnya, Ibnu ‘Abbas menyamakan wanita hamil dan
menyusui dengan tua renta yaitu sama dalam membayar fidyah. Dari Ibnu
‘Abbas, beliau dulu pernah menyuruh wanita hamil untuk tidak berpuasa di
bulan Ramadhan. Beliau mengatakan,
أنت بمنزلة الكبير لا يطيق الصيام ، فأفطري وأطعمي عن كل يوم نصف صاع من حنطة
“Engkau seperti orang tua yang tidak mampu berpuasa, maka berbukalah dan
berilah makan kepada orang miskin setengah sho’ gandum untuk setiap
hari yang ditinggalkan.”
Begitu pula hal yang sama dilakukan oleh Ibnu ‘Umar. Dari Nafi’, dia berkata,
كانت بنت لابن عمر تحت رجل من قريش وكانت حاملا فأصابها عطش في رمضان فأمرها إبن عمر أن تفطر وتطعم عن كل يوم مسكينا
“Putri Ibnu Umar yang menikah dengan orang Quraisy sedang hamil. Ketika
berpuasa di bulan Ramadhan, dia merasa kehausan. Kemudian Ibnu ‘Umar
memerintahkan putrinya tersebut untuk berbuka dan memberi makan orang
miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.”
Dalil Ulama yang Mengharuskan Qodho’
Alasan pertama: Dari Anas bin Malik, ia berkata,
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
“Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa dari wanita hamil dan menyusui."
Al Jashshosh rahimahullah menjelaskan,
“Keringanan separuh shalat tentu saja khusus bagi musafir. Para ulama
tidak ada beda pendapat mengenai wanita hamil dan menyusui bahwa mereka
tidak dibolehkan mengqoshor shalat. … Keringanan puasa bagi wanita hamil
dan menyusui sama halnya dengan keringanan puasa bagi musafir. … Dan
telah diketahui bahwa keringanan puasa bagi musafir yang tidak berpuasa
adalah mengqodhonya, tanpa adanya fidyah. Maka berlaku pula yang
demikian pada wanita hamil dan menyusui. Dari sini juga menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan antara wanita hamil dan menyusui jika keduanya
khawatir membahayakan dirinya atau anaknya (ketika mereka berpuasa)
karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak merinci hal
ini.”
Perkataan Al Jashshosh ini sebagai sanggahan terhadap pendapat keempat
yaitu ulama yang berpendapat wajib mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan
bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada
orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.
Alasan kedua: Selain alasan di atas, ulama yang berpendapat cukup
mengqodho’ saja (tanpa fidyah) menganggap bahwa wanita hamil dan
menyusui seperti orang sakit. Sebagaimana orang sakit boleh tidak puasa,
ia pun harus mengqodho’ di hari lain. Ini pula yang berlaku pada wanita
hamil dan menyusui. Karena dianggap seperti orang sakit, maka mereka
cukup mengqodho’ sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)
Pendapat ini didukung pula oleh ulama belakangan semacam Syaikh ‘Abdul
‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah
berkata,
“Hukum wanita hamil dan menyusui jika keduanya merasa berat untuk
berpuasa, maka keduanya boleh berbuka (tidak puasa). Namun mereka punya
kewajiban untuk mengqodho (mengganti puasa) di saat mampu karena mereka
dianggap seperti orang yang sakit. Sebagian ulama berpendapat bahwa
cukup baginya untuk menunaikan fidyah (memberi makan kepada orang
miskin) untuk setiap hari yang ia tidak berpuasa. Namun pendapat ini
adalah pendapat yang lemah. Yang benar, mereka berdua punya kewajiban
qodho’ (mengganti puasa) karena keadaan mereka seperti musafir atau
orang yang sakit (yaitu diharuskan untuk mengqodho’ ketika tidak
berpuasa, -pen). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya),
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)
Sanggahan untuk Ulama yang Menggabungkan antara Fidyah dan Qodho’
Syaikh Musthofa Al ‘Adawihafizhohullah ketika menjelaskan perselisihan
ulama mengenai puasa wanita hamil dan menyusui, beliau mengatakan,
فمنهم من ذهب إلى أنهما تفطران وتطعمان وتقضيان من هؤلاء سفيان ومالك والشافعي وأحمد ، ولا أعلم لهذا الفريق دليلا من الكتاب والسنة
“Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa wanita hamil dan
menyusui boleh tidak puasa, namun ia harus menggantinya dengan
menunaikan fidyah dan mengqodh0’ (mengganti) puasanya. Yang berpendapat
seperti ini adalah Sufyan, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad. Aku tidak
mengetahui adanya dari Al Kitab (Al Qur’an) dan As Sunnah mengenai
pendapat ini.”
Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa diharuskannya mengqodho’ bagi
yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan
memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan,
maka disanggah oleh Ibnu Hazm rahimahullah. Beliau mengatakan,
وقال مالك: أما المرضع فتفطر وتطعم عن كل يوم مسكنا وتقضى مع ذلك، وأما
الحامل فتقضى ولا اطعام عليها ولا يحفط هذا التقسيم عن احد من الصححابة
والتابعين
“Imam Malik berpendapat bahwa adapun wanita menyusui, maka ia dibolehkan
untuk tidak berpuasa dan diharuskan untuk mengganti puasannya dengan
menunaikan fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap
hari yang ditinggalkan, dan ia juga diharuskan untuk mengqodho’
puasanya. Sedangkan untuk wanita hamil ia cukup mengqodho’, tanpa
menunaikan fidyah. Mengenai pembagian semacam ini sama sekali tidak
diketahui adanya sahabat dan tabi’in yang berpegang dengannya."
Ibnu Rusyd Al Maliki rahimahullah mengatakan,
ومن أفرد لهما أحد الحكمين أولى – والله أعلم – ممن جمع كما أن من أفردهما
بالقضاء أولى ممن أفردهما بالاطعام فقط، لكون القراءة غير متواترة فتأمل
هذا، فإنه بين.
“Barangsiapa yang memilih qodho’ saja atau fidyah saja itu lebih utama
–wallahu a’lam- daripada menggabungkan antara keduanya. Adapun memilih
mengqodho’ saja itu lebih utama daripada memilih menunaikan fidyah saja.
Alasannya karena qiro’ah (yang menyebabkan adanya hukum fidyah saja
bagi wanita hamil-menyusui) adalah riwayat yang tidak mutawatir.
Renungkanlah hal ini karena hal tersebut begitu jelas.”
Sanggahan untuk Ulama yang Menyatakan Tidak Ada Qodho’ dan Tidak Ada Fidyah
Yang berpendapat semacam ini adalah Ibnu Hazm rahimahullah. Pendapat ini
beralasan bahwa hukum asalnya adalah seseorang terlepas dari kewajiban.
Ibnu Hazm rahimahullah –nama kunyahnya Abu Muhammad- berkata,
فلم يتفقوا على ايجاب القضاء ولا على ايجاب الاطعام فلا يجب شئ من ذلك إذ لا نص في وجوبه ولا اجماع
“Para ahli fiqih pun belum sepakat adanya kewajiban qodho’ dan fidyah
(memberi makan pada orang miskin). Sehingga tidak ada sama sekali
kewajiban (bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa, -pen)
karena tidak ada satu pun dalil yang mewajibkannya dan tidak ada pula
klaim ijma’ (kesepakatan ulama) dalam hal ini.”
Namun perkataan di atas dapat saja disanggah dengan kita katakan bahwa
sesungguhnya perselisihan semata tidak bisa menggugurkan suatu dalil,
namun hendaknya mengambil pendapat dari orang yang memiliki dalil yang
lebih kuat. Seandainya setiap perselisihan yang terjadi antara ahli fiqh
itu dijadikan sebab untuk menghukumi gugurnya suatu dalil yang menjadi
sandaran hukum, niscaya tidak akan ada hukum syar’i yang bertahan
kecuali sedikit.
Pendapat Ibnu Hazm juga disanggah oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullahdalam perkataannya,
فمن المسائل المنسوبة إليكم القول بسقوط القضاء والإطعام عن الحامل والمرضع
مع أنه لا قائل من أهل العلم بسقوط القضاء والإطعام عنهما سوى ابن حزم في
المحلى ، وقوله هذا شاذ مخالف للأدلة الشرعية ولجمهور أهل العلم فلا يلتفت
إليه ولا يعول عليه ، مع العلم بأن أرجح الأقوال في ذلك وجوب القضاء عليهما
من دون إطعام لعموم الأدلة الشرعية في حق المريض والمسافر ، وهما من
جنسهما ، ولحديث أنس بن مالك الكعبي في ذلك .
“Tidak ada satu pun ulama yang berpendapat gugurnya qodho’ dan fidyah
bagi wanita hamil dan menyusui selain Ibnu Hazm dalam Al Muhalla.
Pendapatnya ini adalah pendapat yang syadz (menyimpang), yaitu
menyelisihi dalil-dalil syar’i yang digunakan oleh mayoritas ulama. Oleh
karena itu, pendapat tersebut tidak perlu diperhatikan dan tidak perlu
diikuti. Pendapat yang terkuat dalam masalah ini adalah diwajibkan untuk
qodho’ bagi wanita hamil dan menyusui, tanpa perlu menunaikan fidyah.
Hal ini berdasarkan keumuman hadits-hadits syar’i yang membicarakan
wajibnya qodho’ bagi orang yang sakit dan musafir (ketika ia tidak
berpuasa). Wanita hamil dan menyusui adalah semisal orang sakit dan
musafir. Dasar dari hal ini disebutkan dalam hadits Anas bin Malik Al
Ka’bi."
Mengkritisi Pendapat Ibnu ‘Abbas
Sebagaimana yang telah kami nukilkan di awal tulisan, Ibnu ‘Abbas
berpendapat bahwa hukum yang disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 184
belumlah dihapus yaitu masih disyariatkan fidyah pada wanita hamil dan
menyusui. Inilah alasan ulama yang menyatakan bahwa wanita hamil dan
menyusui yang tidak berpuasa cukup menunaikan fidyah saja, tanpa
mengqodho’. Ayat yang dimaksud adalah,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS.
Al Baqarah: 184).
Namun pendapat yang benar, ayat di atas telah dinaskh (dihapus) dengan ayat,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.”
(QS. Al Baqarah: 185) Surat Al Baqarah ayat 184 yang disebutkan di atas
menerangkan bahwa orang yang mampu untuk berpuasa, maka ia punya
pilihan untuk berpuasa ataukah menunaikan fidyah. Ayat ini telah dihapus
dengan ayat setelahnya, yaitu ayat 185, yang menerangkan mengenai
penegesan wajibnya puasa. Inilah yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan
Salamah bin Al Akwa’
Namun kenapa Ibnu ‘Abbas berpendapat adanya fidyah bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa?
Ini berasal dari qiro’ah ayat 184 yang dipilih oleh Ibnu ‘Abbas. Sebagaimana disebutkan riwayat dalam Shahih Al Bukhari,
حَدَّثَنِى إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ بْنُ
إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ عَطَاءٍ سَمِعَ ابْنَ
عَبَّاسٍ يَقْرَأُ ( وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ
مِسْكِينٍ ) . قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ ، هُوَ
الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ
يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
Dari ‘Atho’, ia mendengar Ibnu ‘Abbas membaca ayat tersebut dengan bacaan,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang dibebani menjalankannya
(yuthowwaquunahu) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin” Lantas Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Ayat ini tidaklah dimansukh
(dihapus). Ayat ini masih berlaku pada laki-laki yang sudah tua renta,
pada perempuan yang sudah tua renta yang tidak mampu lagi berpuasa. Maka
mereka punya kewajiban untuk menunaikan fidyah, yaitu memberi makan
pada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.
Ibnu Hajar dalam Al Fath ketika menjelaskan riwayat di atas, beliau menerangkan,
هَذَا مَذْهَب اِبْن عَبَّاس ، وَخَالَفَهُ الْأَكْثَر ، وَفِي هَذَا الْحَدِيث الَّذِي بَعْده مَا يَدُلّ عَلَى أَنَّهَا مَنْسُوخَة
“Inilah yang menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas, namun qiro’ah ini diselisihi
oleh kebanyakan ulama. Hadits yang disebutkan oleh Al Bukhari setelah
ini menunjukkan bahwa ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 184) telah
dimansukh.”
Selain berargumen dengan alasan di atas, mengenai pendapat yang
menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui cukup menunaikan fidyah saja
ketika tidak berpuasa, kita katakan bahwa pendapat tersebut hanyalah
pendapat sahabat yaitu Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar, dan bukanlah riwayat
marfu’ sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kritikan Lainnya Dari Sisi Riwayat
Terdapat riwayat dalam Al Mushannaf Abdurrazaq (4/218) bahwa Ibnu ‘Abbas
radhiallahu’anhu memiliki pendapat lain yaitu beliau mewajibkan qadha
tanpa fidyah.
عن الثوري ، وعن ابن جريج عن عطاء عن ابن عباس قال : تفطر الحامل والمرضع في رمضان ، وتقضيان صياما ولا تطعمان
“Dari Ats Tsauri, dari Ibnu Juraij, dan Atha’, dari Ibnu Abbas, beliau
berkata: ‘Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan Ramadhan,
mereka berdua wajib meng-qadha tanpa fidyah‘”
Riwayat ini sanadnya shahih, semua perawinya tsiqah dan merupakan para
perawi yang dipakai Bukhari-Muslim. Adapun Ibnu Juraij yang sering
melakukan tadlis, karena dalam riwayat ini ia meriwayatkan secara
‘an’anah dari ‘Atha, maka dianggap sebagai sima’ dan tetap diterima.
Sebagaimana diketahui dalam ilmu hadits, jika mudallis meriwayatkan
dengan ‘an’anah dari orang yang ia biasa diambil haditsnya oleh
perawinya, maka tetap diterima.
Karena tidak diketahui mana pendapat Ibnu ‘Abbas yang terakhir, maka
dapat kita katakan bahwa dalam hal ini Ibnu ‘Abbas memiliki 2
pendapat.Wallahu’alam.
Terdapat juga riwayat lain dalam Sunan Al Kubra Al Baihaqi, dari Ibnu
‘Umar bahwa beliau meralat pendapatnya. Beliau ruju’ kepada pendapat
mewajibkan qadha saja tanpa fidyah.
عن ابن عمر أن امرأة حبلى صامت في رمضان فاستعطشت ، فسئل عنها ابن عمر :
فأمرها أن تفطر وتطعم كل يوم مسكينا مدا ثم لا يجزيها فإذا صحت قضت
“Dari Ibnu Umar, ada seorang wanita hamil yang berpuasa di bulan
Ramadhan, kemudian ia kehausan. Wanita ini bertanya kepada Ibnu ‘Umar,
lalu beliau memerintahkan wanita tersebut untuk tidak berpuasa dan
membayar fidyah. Kemudian setelah itu, Ibnu ‘Umar tidak membolehkannya,
ia memerintahkan jika ia sudah sehat ia wajib meng-qadha” (HR. Al
Baihaqi dalam Sunan Al Kubra, 4/230)
Syaikh Abu ‘Umar Usamah Al’Utaibi menyatakan bahwa sanad riwayat
tersebut terdapat kritikan. Karena dalam sanadnya terdapat Muhammad bin
Abdirrahman bin Abi Labibah. Ibnu Hajar berkata: “Ia lemah, sering
memursalkan hadits” (Taqrib At Tahdzib, no.6080).
Terdapat penguat dari riwayat lain untuk riwayat Ibnu ‘Abbas dalam Al Muhalla (4/251) milik Ibnu Hazm:
كَمَا رُوِّينَا مِنْ طَرِيقِ عَبْدِ الرَّزَّاقِ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ
عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: تُفْطِرُ الْحَامِلُ، وَالْمُرْضِعُ
فِي رَمَضَانَ وَيَقْضِيَانِهِ صِيَامًا وَلا إطْعَامَ عَلَيْهِمَا
“Sebagaimana yang kami riwayatkan, dari Abdurrazaq, dari Ibnu Juraij,
dari ‘Atha, dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata: ‘Wanita hamil dan menyusui
boleh berbuka di bulan Ramadhan, mereka berdua wajib meng-qadha tanpa
fidyah‘”
Menurut Syaikh Abu ‘Umar Usamah Al’Utaibi, adanya kesamaan sanad antara
riwayat ini dengan riwayat Ibnu ‘Umar dalam Sunanul Kubra Al Baihaqi,
ada 2 kemungkinan:
Pertama, mungkin ‘Abdurrazaq salah dalam menyebut Ats Tsauri
Kedua, mungkin Ats Tsauri memiliki fatwa serupa dengan Ibnu ‘Abbas.
Ketiga. kemungkinan ini tidak menafikan keshahihan sanadnya.
Dengan demikian, pendapat yang menyatakan wajib qadha tanpa fidyah untuk
semua keadaan didukung pula oleh Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar, bahkan
Ibnu ‘Abbas menyatakan meralat pendapatnya. Ini pun sekaligus membantah
klaim sebagian ulama bahwa fatwa Ibnu Abbas dan Ibnu ‘Umar tentang wajib
fidyah saja adalah ijma’ sukuti.
Pihak – Pihak Yang Terkenai Hukum Fidyah
1. Orang yang sudah lanjut usia.
Orang yang lanjut usia, pria maupun wanita, yang masih sehat akalnya dan
tidak pikun namun tidak mampu melakukan shaum. Maka diizinkan baginya
untuk tidak bershaum pada bulan Ramadhan namun diwajibkan atasnya
membayar fidyah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh shahabat ‘Abdullah
bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, :
ابْنَ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ ( وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ
طَعَامُ مِسْكِينٍ ). قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ، هُوَ
الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ
يَصُومَا، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا.
Shahabat Ibnu ‘Abbas membaca ayat ‘Dan wajib atas orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak bershaum) membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan seorang miskin.” [Al-Baqarah : 184]; maka beliau berkata :
“Ayat tersebut tidaklah dihapus hukumnya, namun berlaku untuk pria
lanjut usia atau wanita lanjut usia yang tidak mampu lagi untuk bershaum
(pada bulan Ramadhan). Keduanya wajib membayar fidyah kepada satu orang
miskin untuk setiap hari yang ia tinggalkan (ia tidak bershaum). [HR.
Al-Bukhari 4505]
2. Sakit yang sulit diharapkan kesembuhannya
Seorang yang tidak mampu bershaum disebabkan sakit dengan jenis penyakit
yang sulit diharapkan kesembuhannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan
pula oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau juga berkata tentang
ayat di atas :
لاَ يُرَخَّصُ فِي هَذَا إِلاَّ لِلَّذِي لاَ يُطِيْقُ الصِّيَامَ أَوْ مَرِيضٌ لاَ يُشْفَى
“Tidaklah diberi keringanan pada ayat ini (untuk membayar fidyah)
kecuali untuk orang yang tidak mampu bershaum atau orang sakit yang
sulit diharapkan kesembuhannya. [An-Nasa`i]
3. Wanita hamil dan menyusui.
Para ‘ulama sepakat bahwa wanita yang sedang hamil atau menyusui
diperbolehkan baginya untuk tidak bershaum di bulan Ramadhan jika dia
tidak mampu untuk bershaum, baik ketidakmampuan tersebut kembali kepada
dirinya sendiri atau kekhawatiran terhadap janin atau anaknya. Namun
apabila dia mampu untuk bershaum maka tetap baginya kewajiban bershaum
sebagaimana dijelaskan oleh Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam fatawa
beliau jilid 1 hal. 497-498.
Sedangkan permasalahan hukum yang berlaku bagi wanita hamil atau
menyusui jika dia tidak bershaum di bulan Ramadhan maka terjadi
perbedaan pandang dikalangan para Ulama dalam beberapa pendapat :
Pendapat pertama adalah pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada
kewajiban atas wanita hamil atau menyusui kecuali mengqadha` secara
mutlak (tidak ada kewajiban atasnya membayar fidyah), baik disebabkan
ketidakmampuan atau kekhawatiran terhadap diri sendiri jika bershaum
pada bulan Ramadhan, maupun disebabkan kehawatiran terhadap janin atau
anak susuannya. Dalil Pendapat Pertama ini adalah :
1. Firman Allah subhanahu wata’ala :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا . البقرة: ١٨٤
“…Barang siapa dalam kondisi sakit …”
Bentuk pendalilan dari ayat ini adalah bahwa wanita hamil atau menyusui
yang tidak mampu untuk bershaum sama dengan orang yang tidak mampu
bershaum karena sakit. Telah kita ketahui bahwa hukum yang berlaku bagi
seorang yang tidak bershaum karena sakit adalah wajib mengqadha`. Maka
atas dasar itu berlaku pula hukum ini bagi wanita hamil atau menyusui.
2. Dalil mereka yang kedua adalah hadits yang diriwayatkan dari shahabat
Anas bin Malik Al-Ka’bi radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam berkata :
… إِنَّ اللهَ وَضَعَ شَطْرَ الصَّلاَةِ -أَوْ نِصْفَ الصّلاَةِ- وَ
الصَّومَ عَنِ الْمُسَافِرِ وَعَنِ الْمُرْضِعِ وَ الْحُبْلَى (رواه
الخمسة)
“Sesungguhnya Allah memberikan keringanan setengah dari kewajiban sholat
(yakni dengan mengqoshor) dan kewajiban bershaum kepada seorang musafir
serta wanita hamil dan menyusui.” [HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu
Majah, An Nasa’i dan Al-Imam Ahmad].
Sisi pendalilan dari hadits ini, bahwa Allah subhanahu wata’ala
mengaitkan hukum bagi musafir sama dengan wanita hamil atau menyusui.
Hukum bagi seorang musafir yang berifthar (tidak bershaum) di wajibkan
baginya qadha`, maka wanita hamil atau menyusui yang berifthar (tidak
bershaum) terkenai pada keduanya kewajiban qadha` saja tanpa fidyah
sebagaimana musafir.
Pendapat kedua : bahwa wanita hamil atau menyusui yang berifthar ( tidak
bershaum ) karena kekhawatiran terhadap janin atau anak susuannya,wajib
atasnya untuk membayar fidyah, tanpa harus mengqadha`.
Di antara dalil mereka yaitu :
1. Atsar Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa beliau berkata :
الحَامِلُ وَالمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا عَلَى أَوْلاَدِهِمَا أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا [رواه أبو داود]
“Wanita hamil atau menyusui dalam keadaan keduanya takut terhadap
anaknya boleh bagi keduanya berifthar ( tidak bershaum ) dan wajib bagi
keduanya membayar fidyah. [HR Abu Dawud]
2. Juga atsar Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwa beliau berkata :
إِذَا خَافَتِ الحَامِلُ عَلَى نَفْسِهَا وَالمُرْضِعُ عَلَى وَلَدِهَا فِي
رَمَضَانَ، قَالَ : يُفْطِرَانِ وَيُطْعِمَانِ عَلَى كُلِّ يَوْمٍ
مَسْكِيْنًا وَلاَ يَقْضِيَانِ صَوْمًا
(Ibnu Abbas ditanya), jika wanita hamil khawatir terhadap dirinya dan
wanita menyusui khawatir terhadap anaknya berifthor di bula Ramadhan )
beliai berkata : kedianya boleh berifthor dan wajib keduanya membaya
fidyah pada setiap harinya seorang miskin dan tidak ada qodho’ bagi
keduanya.[Ath-Thabari]
Juga masih dari shahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata kepada seorang wanita hamil atau menyusui :
أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الَّذِيْ لاَ يُطِيْقُ، عَلَيْكِ أَنْ تُطْعِمِي مَكَانَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْكِ
“Engkau posisinya seperti orang yang tidak mampu (bershaum). Wajib
atasmu memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari (yang engkau
tidak bershaum), dan tidak ada kewajiban qadha` atasmu.” [Ath-Thabari]
Semakna dengan atsar di atas, juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma oleh Al-Imam Ad-Daraquthni (no. 250).
3. Atsar Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata :
الحَامِلُ وَالمُرْضِعُ تُفْطِرُ وَلاَ تَقْضِي
“Wanita hamil dan menyusui berifthar (boleh tidak bershaum pada bulan
Ramadhan) dan tidak ada (kewajiban) untuk mengqadha` atasnya.”
Pendapat ketiga adalah : Wajib atas wanita hamil dan menyusui yang tidak
bershaum pada bulan Ramadhan untuk mengqadha` sekaligus membayar fidyah
apabila yang menyebabkan dia tidak bershaum adalah kekhawatiran
terhadap janin atau anak susuannya.
Namun apabila yang menyebabkan dia tidak bershaum adalah karena memang
dia sendiri (wanita hamil atau menyusui) tidak mampu bershaum tanpa
disebabkan kekhawatiran terhadap janin atau anak susuannya, maka wajib
atasnya mengqadha` tanpa membayar fidyah.
Kadar Fidyah
Para ulama berselisih pendapat ukuran/kadar fidyah menjadi tiga pendapat:
Pertama: Sebagian ulama berpendapat ½ sha’ atau 2 mud (karena 1 sha’
adalah 4 mud) yang kira-kira ½ sha’ beratnya 1,5 kg dari makanan pokok.
Kedua: Sebagian yang lain berpendapat 1 mud dari makanan, yaitu
kira-kira 750 gram menurut madzhab Malikiyah dan Syafi’iyah sebagaimana
diriwayatkan dalam atsar Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhu.
Dari Malik, dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar pernah ditanya tentang seorang
wanita hamil yang tidak berpuasa karena kuatir tentang anaknya beliau
menjawab, “Dia boleh berbuka dan memberi makan setiap harinya satu orang
miskin satu mud dari gandum.” (Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalm
Sunannya (4/230) dari jalannya Imam Syafi’e dengan sanad yang shahih)
Ketiga: Sebagian ulama lain berpendapat mengeluarkansatu porsi makanan
yang masak beserta lauk pauknya, ini adalah pendapat Anas bin Malik
Radhiyallahu 'Anhudimana ketika beliau usia lanjut memberi makan 30
fakir miskin dengan roti dan daging.
Jumhur ulama mewajibkan untuk dikeluarkan makanan berdasarkan nas
Al-Qur’an diatas, namun madzhab Hanafiyah membolehkan membayarkan
nilainya.
Lebih baik mengambil pendapat jumhur ulama, kecuali jika mengeluarkan
sejumlah nilainya lebih mendatangkan maslahat maka tidak mengapa.
Telah disebutkan dalam fatwa Lajnah Daimah (10/198): ”Kapan saja dokter
memutuskan bahwa penyakit yang diderita seseorang yang karenanya tidak
berpuasa tidak bisa diharapkan kesembuhannya, maka dia boleh tidak
berpuasa dan wajib memberi makan untuk setiap harinya satu orang miskin
sejumlah setengah sha’ dari makanan pokok suatu negeri seperti kurma
atau yang lainya, jika telah memberi makan seorang miskin sejumlah
hari-hari yang ditinggalkan maka itu telah mencukupi, adapun uang maka
tidak mencukupinya.”
Dan fidyah boleh dikeluarkan sekaligus dari awal bulan atau akhir bulan
atau setiap hari yang ia tak berpuasa padanya. Boleh juga dengan membuat
makanan lalu mengundang atau dikirimkan kepada fakir miskin sebagaimana
yang dilakukan oleh sahabat Anas bin MalikRadhiallahu ’Anhu:
أنه ضعف عن الصيام عاما فصنع جفنة ثريد ودعا ثلاثين مسكينا وأشبعهم
“Bahwa beliau tidak mampu berpuasa selama setahun lalu beliau membuat
satu nampan besar bubur dan mengundang tiga puluh orang miskin dan
mengenyangkan mereka. (HR. Ad-Daruquthni (2/207/16) dan dishahihkan
sanadnya oleh Syeikh Al-Albani dalam kitab Irwa’ (4/21).”
Dari perbedaan ulama diatas kadar fidyah paling sedikit adalah 1 mud,
tapi yang paling utama atau lebih berhati-hati kita mengeluarkan ½ sha'
atau memberi satu porsi makanan masak kepada setiap miskin.
Waktu Pembayaran Fidyah
Seseorang dapat membayar fidyah, pada hari itu juga ketika dia tidak
melaksanakan puasa. Atau diakhirkan sampai hari terakhir bulan Ramadhan,
sebagaimana dilakukan oleh sahabat Anas bin Malik ketika beliau telah
tua.
Yang tidak boleh dilaksanakan adalah pembayaran fidyah yang dilakukan sebelum Ramadhan.
Misalnya: Ada orang yang sakit yang tidak dapat diharapkan lagi
kesembuhannya, kemudian ketika bulan Sya’ban telah datang, dia sudah
lebih dahulu membayar fidyah. Maka yang seperti ini tidak diperbolehkan.
Ia harus menunggu sampai bulan Ramadhan benar-benar telah masuk,
barulah ia boleh membayarkan fidyah ketika hari itu juga atau bisa
ditumpuk di akhir Ramadhan.
Cara Pembayaran Fidyah
Inti pembayaran fidyah adalah mengganti satu hari puasa yang
ditinggalkan dengan memberi makan satu orang miskin. Namun, model
pembayarannya dapat diterapkan dengan dua cara,
Memasak atau membuat makanan, kemudian mengundang orang miskin sejumlah
hari-hari yang ditinggalkan selama bulan Ramadhan. Sebagaimana hal ini
dilakukan oleh Anas bin Malik ketika beliau sudah menginjak usia senja
(dan tidak sanggup berpuasa).
Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak.
Alangkah lebih sempurna lagi jika juga diberikan sesuatu untuk dijadikan
lauk.
Pemberian ini dapat dilakukan sekaligus, misalnya membayar fidyah untuk 20 hari disalurkan kepada 20 orang miskin.
Atau dapat pula diberikan hanya kepada 1 orang miskin saja sebanyak 20
hari. Al Mawardi mengatakan, “Boleh saja mengeluarkan fidyah pada satu
orang miskin sekaligus. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para
ulama.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar