Di antara masalah hukum yang masih ramai dibicarakan adalah mengenai
hukum makan kepiting. Apakah makan kepiting itu halal atau haram?
Belakangan ini, semakin banyak muncul pertanyaan seputar masalah seafood
khususnya kepiting, seiring dengan munculnya wirausaha retoran seafood
dan budi daya kepiting. Penjelasan tentang hukum makan kepiting sering
membuat sebagian umat muslim ragu-ragu untuk menyantapnya.
Persoalan ini mungkin jarang dibahas dalam buku-buku fiqh sementara pada
realitasnya, banyak persoalan yang muncul dalam keseharian, baik dari
sisi konsumsi, produksi maupun distribusi penjualannya.
Di kalangkan umat Islam Indonesia, status hukum mengkonsumsi kepiting
masih di pertanyakan kehalalannya. Hal tersebut berawal dari kesadaran
umum akan pentingnya sikap berhati-hati menghindari barang yang haram
dan hanya mengkonsumsi barang yang halal.
Allah SWT mewajibkan umat Islam untuk mengkonsumsi yang halal dan
thoyyibah, baik dalam mengkonsumsi jenis makanan hewani dan jenis-jenis
lainnya. Dalam hadits yang di riwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan
bahwa “Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas, dan di
antara keduanya ada hal-hal yang musytabihat (syubhat, samar-samar,
tidak jelas halal haramnya), kebanyakan manusia tidak mengetahui
hukumnya. Barang siapa hati-hati dari perkara syubhat, sungguh ia telah
menyelamatkan agama dan dirinya,,,”.
Hukum memakan kepiting masih terdapat perbedaan pendapat diantara para
ulama’. Ada yang berpendapat bahwa memakan kepiting hukumnya haram
sementara yang lain menyatakan halal. Perbedaan seperti ini sangat wajar
dan sering terjadi di kalangan para ulama dalam menyikapi suatu masalah
mengingat cara menganalisa dan pengambilan kesimpulan yang tidak sama.
Para ulama yang menyatakan bahwa kepiting tidak boleh dimakan (haram)
berasumsi bahwa hewan ini bisa hidup di dua alam (laut dan darat).
Sementara ulama yang berpendapat bahwa kepiting halal untuk dikonsumsi
berhujjah bahwa hewan ini tidak dapat hidup di darat. Ia hanya bisa
hidup di air (laut) saja.
Selain itu ada qaul dhaif yang bersumber dari al-Halimi sebagaimana
diceritakan oleh al-Baghawi yang berpendapat bahwa hewan ini tetap
dihukumi halal, meskipun bisa hidup di dua alam. Masing-masing dari
kedua pendapat ini tentunya telah melalui uji materi serta lapangan yang
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Referensi yang kami jadikan rujukan adalah kitab al-Maj’mu’ Syarah al-Muhaddzab:
وَعَدَّ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ وَإِمَامُ الْحَرَمَيْنِ مِنْ هَذَا
الضَّرْبِ الضِّفْدَعَ وَالسَّرَطَانَ وَهُمَا مُحَرَّمَانِ عَلَى
الْمَذْهَبِ الصَّحِيحِ الْمَنْصُوصِ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُورُ
وَفِيهِمَا قول ضعيف انهما حَلَالٌ وَحَكَاهُ الْبَغَوِيّ فِي السَّرَطَانِ
عَنْ الْحَلِيمِيِّ.
Artinya: Dari bagian ini (hewan yang dapat hidup di dua tempat),
asy-Syekh Abu Hamid dan imam al-Haramain memasukkan katak dan ketam
(jenis kepiting). Dua hewan tersebut diharamkan menurut ketetapan
madzhab yang shahih (benar). Mayoritas ulama juga mengacu pada pendapat
ini. Ada pendapat dhaif yang diceritakan oleh al-Baghawi bersumber dari
al-Halimi yang mengatakan bahwa kedua hewan ini halal.
Perselisihan Ulama
Para ulama madzhab memiliki silang pendapat dalam masalah hewan yang
hidup di dua alam (air dan darat). Rinciannya sebagai berikut.
Ulama Malikiyah: Membolehkan secara mutlak, baik itu katak, kura-kura (penyu), dan kepiting.
Ulama Syafi’iyah: Membolehkan secara mutlak kecuali katak. Burung air dihalalkan jika disembelih dengan cara yang syar’i.
Ulama Hambali: Hewan yang hidup di dua alam tidaklah halal kecuali
dengan jalan disembelih. Namun untuk kepiting itu dibolehkan karena
termasuk hewan yang tidak memiliki darah.
Ulama Hanafiyah: Hewan yang hidup di dua alam tidak halal sama sekali karena hewan air yang halal hanyalah ikan.
Hukum asal semua binatang laut adalah halal. Sebagaimana firman Allah,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ
“Dihalalkan bagi kalian untuk memburu hewan laut (ketika ihram) dan
bangkai hewannya, sebagai kenikmatan bagi kalian dan sebagai (bekal)
bagi para musafir…” (Q.s. Al-Maidah: 96)
Imam Bukhari menyebutkan satu riwayat dari beberapa sahabat:
Abu Bakr radliallahu ‘anhu mengatakan, “Bangkai ikan halal.” Ibn Abbas
mengatakan: “Yang dimaksud kata ‘tha’amuhu‘ = bangkainya, kecuali yang
kotor.” Syuraih – salah seorang sahabat – mengatakan, “Segala sesuatu
yang di laut, (jika mati) sudah (dianggap) disembelih.” (Shahih Bukhari,
5/2091)
Dalil lain adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang hukum wudhu dengan air laut, beliau menjawab,
هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (H.r. Turmudzi 69, Abu Daud 83 dan dishahihkan Al-Albani dalam Al-Irwa’, 1/42)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apa yang Allah
halalkan dalam kitab-Nya maka itu halal, dan apa yang Dia haramkan maka
itu haram. Adapun benda yang didiamkan (tidak dijelaskan hukumnya) maka
itu adalah ampunan, karena itu terimalah ampunan dari Allah. Karena
Allah tidak lupa.” (H.r. Baihaqi 20216 dan dishahihkan Al-Albani dalam
As-Shahihah 2256)
Kepiting meskipun dia mampu bertahan di daratan, namun dia termasuk
hewan laut, hewan air. Dan hewan air yang disebutkan oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa 'ala 'alihi wa Sallam:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قال : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ - صلى
الله عليه و سلم - فِي البَحْرِ : ((هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ الحِلُّ
مَيْتَـتُهُ)) أخرجه الأربعة و ابن أبي شيبة, واللفظ له, وصححه ابن خزيمة و
الترمذي, و رواه مالك و الشافعي و أحمد.
Dari Abu Hurairoh radiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda tentang laut, “Thohur (suci dan mensucikan)
airnya dan halal bangkai (di dalam)-nya”. (Dikeluarkan oleh imam yang
empat dan Ibnu Abi Syaibah, lafadz tersebut darinya, dan hadits ini
dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan At Tirmidzi, juga diriwayatkan oleh
Imam Malik, Imam As Syafi'i, dan Imam Ahmad)
Oleh karena itu, yang hidup di laut, hukumnya tidak sama dengan yang ada
di daratan. Yang disyaratkan harus disembelih. Disembelih dengan
bismillah. Adapun yang di lautan, bangkaipun tidak jadi masalah.
Dan apa yang sudah menjadi kebiasaan manusia secara umum, dalam
memanfaatkan makanan tersebut, dan itu juga merupakan kemaslahatan
mereka, tidak mengapa Insya Allahu Ta'ala dan tidak termasuk penyiksaan.
Seorang makan kadang-kadang pengennya yang segar. Datang ke restoran,
ikannya hidup semua. Kadang-kadang ada yang tidak suka kalau sudah
dikasih es, apalagi kalau sudah bertahan selama sehari. Ini langsung
ditangkap, langsung dipotong. Apakah itu penyiksaan? Ya iya, tidak
termasuk penyiksaan, naam.
Berdasarkan keterangan di atas maka makan udang, kepiting, semuanya
adalah halal dan tidak ada halangan, berdasarkan keumuman dalil yang
menunjukkan bolehkan makan hewan buruan laut. Namun jika hewannya
beracun atau bisa membahayakan bagi orang yang mengkonsumsinya maka
hukumnya haram, karena makan hewan ini berbahaya bukan karena haram
zatnya.
Ibnu Qudamah dalam Al Mughni menyatakan, “Setiap hewan air yang bisa
hidup di daratan, maka tidak halal kecuali dengan disembelih. Contohnya
adalah burung air, kura-kura, dan anjing laut. Kecuali jika hewan
tersebut tidak memiliki saluran darah seperti kepiting. Kepiting itu
dihalalkan walaupun tidak dengan cara penyembelihan. Imam Ahmad pernah
ditanya,
السَّرَطَانُ لَا بَأْسَ بِهِ .قِيلَ لَهُ : يُذْبَحُ ؟ قَالَ : لَا
“Kepiting itu tidak mengapa dimakan (baca: halal), lantas bagaimana ia
disembelih? Imam Ahmad menjawab, “Tidak perlu disembelih.”
Demikian karena memang penyembelihan itu berlaku bagi hewan yang
mengeluarkan darah. Dagingnya bisa jadi halal dengan cara mengeluarkan
darah dari tubuhnya. Hewan yang tidak ada mengalir darah dalam tubuhnya
tidak butuh untuk disembelih.”
Artinya, kepiting disembelih di daerah mana pun yang membuat ia mati, tetap membuatnya halal.
Seperti itulah Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan itu semua untuk manusia:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَىٰ
إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ
عَلِيمٌ
Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia
berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan
Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al Baqarah: 29)
Yang ada di laut bangkai, bangkainya pun halal. Termasuk diantaranya
ketika seorang menjadikan udang itu sebagai umpan mancing. itu kan
maunya, biasanya ikan itu akan makan kalau udangnya masing
bergerak-gerak, masih hidup, iya kan? Udangnya bergerak, ditusuk pakai
alat pancing itu. Wah ini penyiksaan ini, tidak termasuk penyiksaan
Insya Allah. Karena itu demi kemaslahatan manusia, dan itu termasuk dari
hewan laut, tidak mengapa. Bangkainya pun tidak mengapa.
Berbeda halnya dengan darat, hewan darat. Kambing masih hidup potong kakinya, dijual, nah ini tidak diperbolehkan.
و عن أبي واقد اليثي رضي الله عنه قال : قال رسول الله - صلى الله عليه و
سلم- : ((ما قطع من البهيمة و هي حية فهو ميت)) أخرجه أبو داود, و
الترميذي, و حسنه, و اللفظ له
Dari Abu Waqid Al Laitsi –radiyallahu ‘anhu-, dia berkata bahwa
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Bagian yang
terpotong (terpisah) dari hewan (mamah biak) dalam keadaan hidup adalah
bangkai”. (Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan At Tirmidzi, dia
menghasankannya dan lafadz ini darinya)
Bangkai darat tidak halal, tapi bangkai di laut tidak mengapa Insya Allahu Ta'ala.
Kesimpulan Mengenai Hewan Air
Mengenai hewan air dapat kami ringkas sebagai berikut:
Pertama: Hukum seluruh hewan air (yang hanya hidup di air) adalah halal.
Begitu pula, hukum asal hewan air yang hidup di dua alam (air dan
darat) adalah halal.
Kedua: Katak itu haram karena ada dalil yang melarang membunuhnya. Ada
kaedah, setiap hewan yang dilarang dibunuh, maka tidak boleh dimakan.
Ketiga: Buaya itu halal, berbeda dengan pendapat mayoritas ulama.
Keempat: Ular yang hanya hidup di air juga halal karena ia termasuk dalam keumuman ayat,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut (yang ditemukan dalam keadaan
hidup) dan yang ditemukan dalam keadaan bangkai sebagai makanan yang
lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan” (QS. Al
Maidah: 96). Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang
mengharamkannya.
Kelima: Hewan air yang bisa hidup di dua alam (darat dan laut) seperti
anjing laut, kura-kura, burung laut, juga boleh dimakan asalkan dengan
jalan disembelih. Kecuali jika hewan tersebut tidak memiliki darah
seperti kepiting.
Keenam: Setiap hewan air yang membawa dampak bahaya ketika dikonsumsi, tidak boleh dimakan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An Nisa’: 29)
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al Baqarah: 195)
Ringkasnya, hewan yang hidup di air itu halal kecuali katak dan hewan
lainnya yang dapat membawa dampak bahaya ketika dikonsumsi.
Kesimpulan
Pendapat bahwa kepiting itu bukan hewan dua alam dikemukakan oleh banyak
pakar di bidang perkepitingan. Umumnya mereka memastikan bahwa kepiting
bukan hewan amfibi seperti katak. Katak bisa hidup di darat dan air
karena bernapas dengan paru-paru dan kulit.
Tetapi tidak demikian halnya dengan kepiting. Kepiting hanya bernapas
dengan insang. Kepiting memang bisa tahan di darat selama 4-5 hari,
karena insangnya menyimpan air, sehingga masih bisa bernapas. Tapi kalau
tidak ada airnya sama sekali, dia mati. Jadi kepiting tidak bisa lepas
dari air.
Penjelasan bahwa kepiting bukan hewan amphibi disampaikan oleh ahli dari
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Institut Pertanian Bogor
(IPB), Wallahu a’lam bish showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar