بسم الله الرحمن الرحيم. الحمد لله رب العالمين. والصلاة والسلام على أشرف
الأنبياء والمرسلين سيدنا ومولانا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين. أما بعد.
Di antara nikmat Allah Ta’ala yang diberikan atas hamba-hamba-Nya,
adalah perguliran musim-musim kebaikan yang datang silih berganti,
mengikuti gerak perputaran hari dan bulan. Supaya AllahTa’ala
mencukupkan ganjaran atas amal-amal mereka, serta menambahkan limpahan
karunia-Nya.
Dan tidaklah musim haji yang diberkahi itu berlalu, melainkan datang
sesudahnya bulan yang mulia, yaitu bulan muharam. Imam Muslim
meriwayatkan dalam kitab shahihnya dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu,
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
أفضل الصيام بعد شهر رمضان شهر الله الذي تدعونه المحرم، وأفضل الصلاة بعد الفريضة قيام الليل . رواه مسلم في صحيحه
“Puasa yang paling utama setelah puasa bulan ramadhan adalah puasa pada
bulanAllah yang kalian sebut bulan muharam, dan sholat yang paling utama
setelah shalat fardhu adalah shalat malam.“(HR.Muslim)
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menamai bulan muharam dengan bulan
Allah, ini menunjukan akan kemuliaan dan keutamaannya. Sesungguhnya
AllahTa’ala mengkhususkan sebagian makhluk-Nya terhadap sebagian yang
lainnya, serta mengutamakannya dari sebagian yang lainnya.
Hasan al-Bashri rahimahullahu Ta’alaberkata, “Sesungguhnya Allah Ta’ala
membuka tahun dengan bulan haram dan mengakhirinya dengan bulan haram,
dan tidak ada bulan dalam setahun yang lebih mulia disisi Allah melebihi
bulan ramadhan, karena sangat haramnya bulan tersebut.“
Di bulan muharam ada satu hari yang pada hari itu terjadi peristiwa
besar serta kemenangan yang gemilang. Saat di mana kebenaran menang atas
kebatilan, yaitu ketika Allah Ta’ala menyelamatkan Nabi Musa ‘alaihis
sholatu was salaam beserta kaumnya, dan menenggelamkan fir’aun beserta
bala tentaranya. Ia adalah hari yang memiliki keutamaan yang agung dan
kehormatan sejak dahulu. Ketahuilah, hari itu adalah hari yang kesepuluh
dari bulan muharam, yang biasa disebut hari ‘Asyura.
Sebelum Islam, Hari Asyura sudah menjadi hari peringatan dimana beberapa
orang Mekkah biasanya melakukan puasa. Ketika Nabi Muhammad melakukan
hijrah ke Madinah, ia mengetahui bahwa Yahudi di daerah tersebut
berpuasa pada hari Asyura - bisa jadi saat itu merupakan hari besar
Yahudi Yom Kippur. Saat itu, Muhammad menyatakan bahwa Muslim dapat
berpuasa pada hari-hari itu.
Di kalangan suku Banjar yang merupakan muslim Sunni di Kalimantan, Hari
Asyura dirayakan ekspresi kegembiraan dengan membuat bubur Asyura yang
terbuat dari beras dan campuran 41 macam bahan yang berasal dari
sayuran, umbi-umbian dan kacang-kacangan. Bubur Asyura tersebut akan
disajikan sebagai hidangan berbuka puasa sunat Hari Asyura.
Hari Asyura merupakan peringatan hal-hal di bawah ini dimana Muslim
Sunni percaya terjadi pada tanggal 10 Muharram, diantaranya adalah:
Hari diciptakannya Nabi Adam dan hari tobatnya pula
Berlabuhnya bahtera Nabi Nuh di bukit Judi
Nabi Idris diangkat ke surga
Nabi Ibrahim selamat dari apinyaNamrudz
Kesembuhan Nabi Yakub dari kebutaan dan ia dibawa bertemu dengan Nabi Yusuf
Nabi Musa selamat dari pasukan Fir'aun saat menyeberangi Laut Merah
Nabi Sulaiman diberikan kerajaan besar dan menguasai bumi
Nabi Yunus dikeluarkan dari perut paus
Nabi Isa diangkat ke surga setelah usaha tentara Roma untuk menangkap dan menyalibnya gagal
Tanggal 10 Muharram 61 H atau tanggal10 Oktober 680 merupakan
haripertempuran Karbala yang terjadi diKarbala, Iraq sekarang.
Pertempuran ini terjadi antara pasukan Bani Hasyim yang dipimpin oleh
Husain bin Ali beranggotakan sekitar 70-an orang melawan pasukan Bani
Umayyah yang dipimpin oleh Ibnu Ziyad, atas perintah Yazid bin Muawiyah,
khalifah Bani Umayyah saat itu.
Pada hari itu hampir semua pasukanHusain bin Ali, termasuk Husain-nya
sendiri syahid terbunuh, kecuali pihak perempuan, serta anak Husain yang
sakit bernama Ali zainal abidin bin Husain. Kemudian oleh Ibnu Ziyad
mereka dibawa menghadap Khalifah di Damaskus, dan kemudian yang selamat
dikembalikan ke Madinah.
Kita bangsa Indonesia mempunyai kepercayaan bahwa datangnya tahun baru,
baik tahun masehi, tahun hijriyah atau tahun jawa ini perlu diperingati.
Beraneka ragam cara yang mereka lakukan dalam merayakannya mulai dari
cara yang sangat sederhana/kecil-kecilan sampai cara yang bersifat
besar-besaran. Demikian pula di kalangan kaum muslimin Indonesia,
setiapbulan Muharram ada tradisi mengadakan kegiatan rutin tahunan dalam
rangka memperingati tahun baru hijriyah, baik itu berupa kegiatan
ritual atau kegiatan sosial.
Yang berupa kegiatan ritual misalnya :
- Melakukan shalat tasbih;
- Puasa hari Tasu'a dan hari Asyura'
- Membaca surat ikhlas dengan hitungan tertentu;
Adapun yang berupa kegiatan sosial misalnya :
- Bersilaturrahim/berkunjung ke rumah sanak famili;
- Besedekah kepada fakir miskin;
- Membuat anggota keluarga merasa gembira dengan diberi hadiah.
Tradisi yang biasa mereka lakukan itu memang termasuk salah satu masalah
furu'iyah yang di dalamnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan para
ulama yang timbulnya dikarenkan tidak adanya dalil yang sharih atau
nash syar’i yang khusus menjelaskan tentang masalah itu. Namun dalam
beberapa dalil syar'i, secara umum toh syari'at kita menganjurkan
berbuat baik/beramal sholih, baik yang berupa ibadah mahdlah atau ibadah
ghairu mahdlah, yang bersifat qauliyah, badaniyah, atau maliyah.
Perbedaan pendapat tersebut bisa kita lihat secara jelas dari tulisan
para ulama kita dalam kitabnya masing-masing. Antara lain :
1. Dalam kitab Nihayatuz Zain hal. 196 disebutkan :
وَنُقِلَ عَنْ بَعْضِ اْلأَفَاضِلِ أَنَّ اْلأَعْمَالَ فِيْ يَوْمِ
عَاشُوْرَاءَ اثْنَا عَشَرَ عَمَلاً: الصَّلاَةُ، وَاْلأَوْلَى أَنْ
تَكُوْنَ صَلاَةُ التَّسْبِيْحِ، وَالصَّوْمُ، وَالصَّدَقَةُ،
وَالتَّوْسِعَةُ عَلَى الْعِيَالِ وَاْلاِغْتِسَالُ، وَزِيَارَةُ
الْعَالِمِ الصَّالِحِ، وَعِيَادَةُ الْمَرِيْضِ، وَمَسْحُ رَأْسِ
الْيَتِيْمِ، وَاْلاِكْتِحَالُ، وَتَقْلِيْمُ اْلأَظَافِرِ، وَقِرَاءَةُ
سُوْرَةِ اْلإِخْلاَصِ أَلْفَ مَرَّةٍ، وَصِلَةُ الرَّحِمِ. وَقَدْ
وَرَدَتْ اْلأَحَادِيْثُ فِي الصَّوْمِ وَالتَّوْسِعَةِ عَلَى الْعِيَالِ.
وَأَمَّا غَيْرُهُمَا فَلَمْ يَرِدْ فِي اْلأَحَادِيْثِ. وَقَدْ ذَكَرَ
إِمَامُ الْمُحَدِّثِيْنَ ابْنُ حَجَرٍ الْعَسْقَلاَنِيِّ فِيْ شَرْحِ
الْبُخَارِيْ كَلِمَاتٍ مَنْ قَالَهَا فِيْ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ لَمْ
يَمُتْ قَلْبُهُ، وَهِيَ: سُبْحَانَ اللهِ مِلْءُ الْمِيْزَانِ .... إِلى
أن قال: وَنَقَلَ سَيِّدِيْ عَلِيْ اْلأَجْهُوْرِيْ أَنَّ مَنْ قَالَ
يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ سَبْعِيْنَ مَرَّةً: حَسْبِيَ اللهُ وَنِعْمَ
الْوَكِيْلُ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ، كَفَاهُ اللهُ
تَعَالَى شَرَّ ذَلِكَ الْعَامِ.
Artinya :
"Diriwayatkan dari sebagian orang-orang yang mempunyai sifat utama bahwa
amalan pada hari asyura'/10 Mkuharram itu ada dua belas macam, yakni :
shalat, -yang afdlol shalat tasbih- puasa, bersedekah, membuat anggota
keluarga merasa gembira, mandi, manziarahi orang alim/orang shalih,
menjenguk orang sakit mengusap kepala/menyantuni anak yatim, memakai
celak, memotong kuku, membaca surat al-Ikhlash 1.000 x dan silaturrahim.
Mengenai anjuran puasa dan membuat gembira kepada anggota keluarga ada
hadits yang menerangkannya. Selain dua hal tersebut tidak ada hadits
yang menerangkannya. Imam Ibnu Hajar menyebutkan bahwa barang siapa yang
membaca kalimat ini pada hari Asyura', maka hatinya tidak mati, yaitu
subhanallah mil'al mizan dan seterusnya. Sayyid Al-Ajhuri meriwayatkan
bahwa barang siapa yang membaca hasbiyallah wani'mal wakil, ni'mal maula
wa ni'man nashir 70 x pada hari Asyura' maka Allah akan menghindarkan
orang tersebut dari keburukan dalam tahun ini.
2. Dalam kitab Asnal Mathalib fi Ahaditsa Mukhtalifatil Maratib juz II hal 586 disebutkan:
(أَحَادِيْثُ فَضْلِ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ) ثَبَتَ مِنْهَا أَحَادِيْثُ
الصِّيَامِ، فَفِي الْبُخَارِي وَمُسْلِمٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ يَوْمُ عَاشُوْرَاءَ تَصُوْمُهُ قُرَيْشٌ فِيْ
الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَصُوْمُهُ فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ
فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، فَلَمَّا
فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ عَاشُوْرَاءَ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ
تَرَكَهُ. وَأَمَّا حَدِيْثُ التَّوْسِعَةِ وَلَفْظُهُ: مَنْ وَسَّعَ عَلَى
عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ فِيْ سَنَتِهِ
كُلِّهَا، فَفِيْهِ خِلاَفٌ.
Artinya :
"(Beberapa hadits tentang keutamaan hari Asyura') Telah tercatat dalam
beberapa hadits antara lain tentang puasa (Asyura'). Dalama kitab shahih
Bukhari dan Muslim dari A'isah ra, dia berkata : bahwa kaum Quraisy di
zaman Jahiliyah berpuasa pada hari Asyura'. Rasulullah SAW. juga
berpuasa pada hari itu. Sewaktu beliau hadir/hijrah ke Madinah masih
juga beliau melakukan dan memerintahkan puasa Asyura' tetapi ketika
puasa Ramadlan telah diwajibkan, beliau meninggalkannya, barang siapa
menghendaki puasa disilahkan berpuasa, dan barang siapa yang menghendaki
tidak berpuasa boleh meninggalkannya.
Adapun hadits "tausi'ah" yang lafdznya : barang siapa membuat gembira
kepada keluarganya pada hari Asyura', maka Allah akan memberikan
kelapangan kepadanya sepanjang tahun. Hadits tersebut masih
diperselisihkan oleh para ahli hadits tentang keshahihannya.
3. Dalam kitab I'anatut Thalibin juz II hal. 266 diterangkan :
قَالَ الْعَلاَّمَةُ اْلأَجْهُوْرِيْ: وَلَقَدْ سَأَلْتُ بَعْضَ أَئِمَّةِ
الْحَدِيْثِ وَالْفِقْهِ عَنِ الْكُحْلِ، وَطَبْخِ الْحُبُوْبِ، وَلُبْسِ
الْجَدِيْدِ، وَإِظْهَارِ السُّرُوْرِ، فَقَالَ: لَمْ يَرِدْ فِيْهِ
حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلاَ
عَنْ أَحَدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ وَلاَ اسْتَحَبَّهُ أَحَدٌ مِنْ أَئِمَّةِ
الْمُسْلِمِيْنَ.
Artinya :
“Imam Ajhuri berkata : sungguh saya telah menanyakan kepada sebagian
dari para imam ahli hadits dan ahli fiqih tentang memakai celak, menanak
biji-bijian, memakai pakaian yang serba baru dan memperlihatkan
kegembiraan, beliau menjawab : mengenai hal itu tidak ada riwayat hadits
yang shahih dari Nabi atau salah seorang sahabat dan tidak ada salah
seorang pun dari para pemimpin Islam yang menganjurkannya”.
Walaupun demikian, karena sudah menjadi tradisi, maka hal tersebut bisa
saja dilestarikan (jangan ditinggalkan), namun dengan catatan : bagi
yang melakukannya jangan mempunyai i'tikad/anggapan bahwa yang dilakukan
itu merupakan anjuran khusus dari Rasulullah SAW. kecuali beberapa
amalan yang memang sudah dinash dalam hadits nabi. Ketentuan ini sesuai
dengan keterangan dalam kitab mafahim yang ditulis oleh Sayyid Muhammad
Alawi, hal. 314 :
جَرَتْ عَادَاتُنَا أَنْ نَجْتَمِعَ لإِحْيَاءِ جُمْلَةٍ مِنَ
الْمُنَاسَبَاتِ التَّارِيْخِيَّةِ كَالْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ، وَذِكْرَى
اْلإِسْرَاءِ وَالْمِعْرَاجِ، وَلَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ،
وَالْهِجْرَةِ النَّبَوِيَّةِ، وَذِكْرَى نُزُوْلِ الْقُرْآنِ وَذِكْرَى
غَزْوَةِ بَدْرٍ. وَفِي اعْتِبَارِنَا أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ عَادِيٌّ لاَ
صِلَةَ لَهُ بِالدِّيْنِ، فَلاَ يُوْصَفُ بِأَنَّهُ مَشْرُوْعٌ أَوْ
سُنَّةٌ كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ مُعَارِضًا لأَصْلٍ مِنْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ،
لأَنَّ الْخَطَرَ هُوَ فْي اعْتِقَادِ مَشْرُوْعِيَّةِ شَيْءٍ لَيْسَ
بِمَشْرُوْعٍ.
Artinya :
"Kita mempunyai tradisi yang sudah berlaku yaitu kita berkumpul untuk
perayaan sejumlah hari-hari yang bernilai sejarah, seperti kelahiran
nabi, peringatan Isra' Mi'raj, malam NishfuSya'ban, peringatan hijrahnya
nabi, malam nuzulul qur'an dan peringatan perang badar. Menurut
anggapan kita, perkara semacam itu merupakan suatu tradisi semata tidak
ada sangkut pautnya dengan syari'at agama, maka tidak bisa dikatakan
bahwa hal tersebut disyari'atkan atau disunnatkan. Namun amalan tadi
sama sekali tidak bertentangan dnegan prinsip-prinsip agama. Karena yang
menjadi kekhawatiran itu hanya lah timbulnya anggapan adanya anjuran
syari’at terhadap hal-hal yang sebenarnya tidak disyari’atkan
Keutamaan Hari Asyura dan Berpuasa Pada Hari Itu
Banyak hadits-hadits shahih yang bersumber dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengenai keutamaan hari ‘asyura serta anjuran berpuasa
pada hari tersebut, kami akan sebutkan beberapa contoh, di antaranya
sebagai berikut:
في الصحيحين عن ابن عباس – رضي الله عنه – أنه سئل عن يوم عاشوراء فقال: ”
ما رأيت رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يوماً يتحرى فضله على الأيام إلا
هذا اليوم – يعني يوم عاشوراء – وهذا الشهر يعني رمضان “.
Dalam shahihain, dari Ibnu Abas radiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau
pernah ditanya tentang hari ‘Asyura, maka beliau menjawab: Aku tidak
pernah melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam begitu menjaga
keutamaan satu hari diatas hari-hari lainnya, melebihi hari ini
(maksudnya, hari ‘asyura) dan bulan yang ini (maksudnya, bulan
ramadhan).
Sebagaimana telah kami sebutkan di atas, bahwa hari ‘asyura memiliki
keutamaan yang agung serta kehormatan sejak dahulu. Nabi Musa ‘alaihis
sholatu was salaam berpuasa pada hari itu dikarenakan keutamaannya.
Bahkan Ahlul Kitabpun melakukan puasa pada hari itu, demikian pula kaum
Quraisy pada masa jahiliyah mereka berpuasa padanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamtatkala berada di Makkah, beliau
berpuasa pada hari ‘asyura, namun tidak memerintahkan manusia. Ketika
tiba di Madinah kemudian menyaksikan Ahlul kitab berpuasa serta
memuliakan hari tersebut, dan beliau senang untuk mengikuti mereka
terhadap apa-apa yang tidak diperintahkan dengannya, maka beliaupun
berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa. Setelah itu beliau
pertegas perintah tersebut, serta memberi anjuran dan dorongan atasnya,
hingga anak-anakpun diajak ikut berpuasa. Diriwayatkan dalam shahihain,
dari Ibnu Abas radiyallahu ‘anhumaberkata,
” قدم رسول الله – صلى الله عليه وسلم – المدينة فوجد اليهود صياماً يوم
عاشوراء، فقال لهم رسول الله – صلى الله عليه وسلم -:{ ما هذا اليوم الذي
تصومونه } قالوا: ( هذا يوم عظيم أنجى الله فيه موسى وقومه، وأغرق فرعون
وقومه، فصامه موسى شكراً لله فنحن نصومه)، فقال – صلى الله عليه وسلم -: {
فنحن أحق وأولى بموسى منكم } فصامه رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وأمر
بصيامه “
Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, Beliau
mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘asyura. Maka Beliau
bertanya kepada mereka, Hari apa ini hingga kalian berpuasa? Mereka
menjawab: Ini adalah hari yang mulia di mana Allah menyelamatkan Nabi
Musa dan kaumnya, serta menenggelamkan fir’aun beserta bala tentaranya.
Maka sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Allah, Nabi Musa berpuasa
pada hari ini, dan kamipun ikut berpuasa. Beliau lalu bersabda, “Sungguh
kami lebih berhak dan lebih utama (untuk mengikuti Musa) dari pada
kalian.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berpuasa dan
memerintahkan untuk berpuasa pada hari itu.
Diriwayatkan pula dalam shahihain, dari Rubayya’ binti Mu’awwidz berkata,
” أرسل رسول الله – صلى الله عليه وسلم – غداة عاشوراء إلى قرى الأنصار
التي حول المدينة: { من كان أصبح منكم صائماً فليتم صومه، ومن كان أصبح
منكم مفطراً فليتم بقية يومه }. فكنا بعد ذلك نصوم ونصوّم صبياننا الصغار
منهم، ونذهب إلى المسجد فنجعل لهم اللعبة من العهن، فإذا بكى أحدهم على
الطعام أعطيناه إياها حتى يكون عند الإفطار “. وفي رواية: ” فإذا سألونا
الطعام أعطيناهم اللعبة نلهيهم حتى يتموا صومهم “.
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusan pada pagi hari
‘asyura ke kampung-kampung kaum anshor di sekitar Madinah, dan berseru:
Barang siapa yang berpuasa pada pagi ini, hendaklah menyempurnakan
puasanya, dan barang siapa yang tidak berpuasa, hendaklah berpuasa pada
sisa harinya. Maka kami berpuasa serta mengajak anak-anak untuk ikut
berpuasa. Lalu kami beranjak menuju masjid dan membuatkan mereka mainan
dari bulu, jika salah seorang dari mereka menangis minta makanan, kami
berikan mainan tersebut agar mereka lalai hingga tiba waktu berbuka.”
Dan dalam riwayat lain: Jika mereka minta makanan, kami berikan
mainannya agar tidak memikirkan lagi untuk makan, hingga dapat
menyempurnakan puasanya.
Namun tatkala puasa ramadhan telah diwajibkan, Nabi shalallahu ‘alaihi
wa sallam meninggalkan perintah atas para sahabatnya untuk puasa ‘asyura
dan tidak lagi menegaskan perintahnya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan
dalam shahihain dari Ibnu Umar radiyallahu ‘anhuma berkata,
صام النبي – صلى الله عليه وسلم – عاشوراء وأمر بصيامه فلما فرض رمضان ترك ذلك – أي ترك أمرهم بذلك وبقي على الاستحباب
“Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan puasa ‘asyura dan
memerintahkan para sahabat untuk berpuasa. Ketika puasa ramadhan
diwajibkan, Rasulullah meninggalkan hal tersebut- yakni berhenti
mewajibkan mereka mengerjakan dan hukumnya menjadi mustahab (sunah).”
Diriwayatkan pula dalam shahihain, dari Mu’awiyah radiyallahu ‘anhuma berkata,
سمعت رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يقول: هذا يوم عاشوراء ولم يكتب الله عليكم صيامه وأنا صائم، فمن شاء فليصم ومن شاء فليفطر
“Aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Hari
ini adalah hari ‘asyura. Allah tidak mewajibkan atas kalian berpuasa
padanya, tetapi Aku berpuasa, maka barang siapa yang ingin berpuasa,
maka berpuasalah. Dan barang siapa yang ingin berbuka (tidak berpuasa)
maka berbukalah. “
Hadits ini merupakan dalil akan dihapusnya kewajiban menunaikan puasa ‘asyura dan hukumnya menjadi sunah.
Di antara keutamaan bulan muharam, bahwa puasa pada hari ‘asyura dapat
menghapus dosa-dosa setahun yang lalu. Imam Muslim meriwayatkan dalam
shohihnya, dari Abu Qotadah,
أن رجلاً سأل النبي – صلى الله عليه وسلم – عن صيام يوم عاشوراء فقال: أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله
“Seorang laki-laki datang bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam tentang pahala puasa hari ‘asyura. Maka Rasulullah menjawab:
Aku berharap kepada Allah agar menghapus dosa-dosa setahun yang lalu.”
Saudara muslimku… saudari muslimahku:
Pada akhir hayatnya, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bertekad untuk
tidak berpuasa pada hari ‘asyura saja, tetapi menambahkan dengan puasa
sehari lagi, agar menyelisihi puasanya Ahli Kitab. Dalam shahih Muslim,
dari Ibnu Abas radiyallahu ‘anhuma berkata:
” حين صام رسول الله – صلى الله عليه وسلم – عاشوراء وأمر بصيامه، قالوا:
يا رسول الله إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى “، فقال – صلى الله عليه وسلم
-: { فإذا كان العام المقبل إن شاء الله صمنا التاسع } [أي مع العاشر
مخالفةً لأهل الكتاب] قال: ( فلم يأت العام المقبل حتى توفي رسول الله –
صلى الله عليه وسلم – ).
Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa ‘asyura dan
menganjurkan para sahabatnya untuk berpuasa, mereka berkata: Wahai
Rasulullah sesungguhnya ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang
Yahudi dan Nasrani, Maka beliau bersabda: Kalau begitu tahun depan
Insya Allah kita akan berpuasa (pula) pada hari kesembilan (tasu’a).
(yakni, bersamaan dengan puasa ‘asyura, untuk menyelisihi Ahli kitab).
IbnuAbas berkata: belum sampai tahun berikutnya, Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam telah wafat.
Ibnul Qoyyim rahimahullahu Ta’ala berkata dalam kitabnya, Zaadu al-Ma’aad (II/76):
” مراتب الصوم ثلاثة: أكملها أن يصام قبله يوم وبعده يوم، ويلي ذلك أن يصام
التاسع والعاشر، وعليه أكثر الأحاديث، ويلي ذلك إفراد العاشر وحده بالصوم
“.
والأحوط أن يصام التاسع والعاشر والحادي عشر حتى يدرك صيام يوم عاشوراء.
Tingkatan puasa pada bulan muharam ada tiga:
Tingkatan paling sempurna, yaitu berpuasa pada hari ‘asyura ditambah puasa sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya.
Tingkatan setelahnya, adalah berpuasa pada hari kesembilan (tasu’a) dan
kesepuluh (‘asyura), sebagai mana yang diterangkan dalam banyak hadits.
Kemudian tingkatan terakhir adalah berpuasa pada hari kesepuluh (‘asyura) saja.
Namun untuk lebih berhati-hati, lebih utama berpuasa pada hari
kesembilan, kesepuluh dan kesebelas, hingga bisa mendapatkan (keutamaan)
puasa hari ‘asyura tersebut.
CARA BERPUASA DI HARI ASYURA
1. Berpuasa selama 3 hari tanggal 9, 10, dan 11 Muharram
Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dengan lafadz sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim
dalam al-Huda dan al-Majd Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa 2/2:
خَالِفُوا الْيَهُودَ وَصُومُوا يَوْمًا قَبْلَهُ وَ يَوْمًا بَعْدَهُ
"Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya."
Dan pada riwayat ath-Thahawi menurut penuturan pengarang Al-Urf asy-Syadzi:
صُومُوهُ وَصُومُوا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا وَ لاَ تُشَبِّهُوَا بِالْيَهُوْدِ
"Puasalah pada hari Asyura dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi."
Namun di dalam sanadnya ada rawi yang diperbincangkan. Ibnul Qayyim
berkata (dalam Zaadud Ma'al 2/76):"Ini adalah derajat yang paling
sempurna." Syaikh Abdul Haq ad-Dahlawi mengatakan:"Inilah yang Utama."
Ibnu Hajar di dalam Fathul Baari 4/246 juga mengisyaratkan keutamaan
cara ini. Dan termasuk yang memilih pendapat puasa tiga hari tersebut
(9, 10 dan 11 Muharram) adalah Asy-Syaukani (Nailul Authar 4/245) dan
Syaikh Muhamad Yusuf Al-Banury dalam Ma’arifus Sunan 5/434
Namun mayoritas ulama yang memilih cara seperti ini adalah dimaksudkan
untuk lebih hati-hati. Ibnul Qudamah di dalam Al-Mughni 3/174 menukil
pendapat Imam Ahmad yang memilih cara seperti ini (selama tiga hari)
pada saat timbul kerancuan dalam menentukan awal bulan.
2. Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram
Mayoritas hadits menunjukkan cara ini:
صَامَ رَسُولُ الهِع صَلَّى الهُت عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ
وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ الهِس إِنَّهُ يَوْمٌ
تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ الهَِ صَلَّى الهُم
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ
حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ الهَِ صَلَّى الهَُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura dan
memerintahkan berpuasa. Para shahabat berkata:"Ya Rasulullah,
sesungguhnya hari itu diagungkan oleh Yahudi." Maka beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: "Di tahun depan insya Allah kita akan
berpuasa pada tanggal 9.", tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat.
Dalam riwayat lain :
لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لأَصُومَنَّ التَّاسِعَ
"Jika aku masih hidup pada tahun depan, sungguh aku akan melaksanakan puasa pada hari kesembilan."
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata (Fathul Baari 4/245) :"Keinginan beliau
untuk berpuasa pada tanggal sembilan mengandung kemungkinan bahwa beliau
tidak hanya berpuasa pada tanggal sembilan saja, namun juga ditambahkan
pada hari kesepuluh. Kemungkinan dimaksudkan untuk berhati-hati dan
mungkin juga untuk menyelisihi kaum Yahudi dan Nashara, kemungkinan
kedua inilah yang lebih kuat, yang itu ditunjukkan sebagian riwayat
Muslim”
عَنْ عَطَاء أَنَّهُ سَمِعَ ابْنِ عَبَاسٍ يَقُوْلُ: وَخَالِفُوا الْيَهُودَ صُومُوا التَّاسِعَ وَ الْعَاشِرَ
"Dari 'Atha', dia mendengar Ibnu Abbas berkata:"Selisihilan Yahudi, berpuasalah pada tanggal 9 dan 10”.
3. Berpuasa Dua Hari yaitu tanggal 9 dan 10 atau 10 dan 11 Muharram
صُومُوا يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا
"Berpuasalah pada hari Asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya”
Hadits marfu' ini tidak shahih karena ada 3 illat (cacat):
-. Ibnu Abi Laila, lemah karena hafalannya buruk.
-. Dawud bin Ali bin Abdullah bin Abbas, bukan hujjah
-. Perawi sanad hadits tersebut secara mauquf lebih tsiqah dan lebih hafal daripada perawi jalan/sanad marfu'
Jadi hadits di atas Shahih secara mauquf sebagaimana dalam as-Sunan
al-Ma'tsurah karya As-Syafi'i no 338 dan Ibnu Jarir ath-Thabari dalam
Tahdzibul Atsar 1/218.
Ibnu Rajab berkata (Lathaiful Ma'arif hal 49):"Dalam sebagian riwayat
disebutkan atau sesudahnya maka kata atau di sini mungkin karena
keraguan dari perawi atau memang menunjukkan kebolehan…."
Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/245-246):"Dan ini adalahl akhir
perkara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dahulu beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam suka menyocoki ahli kitab dalam hal yang
tidak ada perintah, lebih-lebih bila hal itu menyelisihi orang-orang
musyrik. Maka setelah Fathu Makkah dan Islam menjadi termahsyur, beliau
suka menyelisihi ahli kitab sebagaimana dalam hadits shahih. Maka ini
(masalah puasa Asyura) termasuk dalam hal itu. Maka pertama kali beliau
menyocoki ahli kitab dan berkata :"Kami lebih berhak atas Musa daripada
kalian (Yahudi).", kemudian beliau menyukai menyelisihi ahli kitab, maka
beliau menambah sehari sebelum atau sesudahnya untuk menyelisihi ahli
kitab."
Ar-Rafi'i berkata (at-Talhish al-Habir 2/213) :"Berdasarkan ini,
seandainya tidak berpuasa pada tanggal 9 maka dianjurkan untuk berpuasa
pada tanggal 11"
4. Berpuasa pada 10 Muharram saja
Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/246) :"Puasa Asyura mempunyai 3
tingkatan, yang terendah berpuasa sehari saja, tingkatan diatasnya
ditambah puasa pada tanggal 9, dan tingkatan diatasnya ditambah puasa
pada tanggal 9 dan 11. Wallahu a'lam."
Hal yang di anjurkan oleh Salafussholeh dan di Bid'ahkan oleh sebagian Umat modern DI HARI ASYURA
1. Shalat dan dzikir-dzikir khusus, sholat ini disebut dengan sholat Asyura
2. Mandi, bercelak, memakai minyak rambut, mewarnai kuku, dan menyemir rambut.
3. Membuat makanan khusus yang tidak seperti biasanya.
4. Membakar kemenyan.
5. Bersusah-susah dalam kehausan dan lapar karena puasa.
6. Doa awal dan akhir tahun yang dibaca pada malam akhir tahun dan awal
tahun serta doa Asyuro (Sebagaimana termaktub dalam Majmu' Syarif)
7. Menentukan berinfaq dan memberi makan orang-orang miskin terutama anak yatim
8. Memberi uang belanja lebih kepada keluarga.
9. As-Subki berkata (ad-Din al-Khalish 8/417):"Adapun pernyataan
sebagian orang yang menganjurkan setelah mandi hari ini (10 Muharram)
untuk ziarah kepada orang alim, menengok orang sakit, mengusap kepala
anak yatim, memotong kuku, membaca al-Fatihah seribu kali dan
bersilaturahmi maka tidak ada dalil yg menunjukkan keutamaan amal-amal
itu jika dikerjakan pada hari Asyura. Yang benar amalan-amalan ini
diperintahkan oleh syariat di setiap saat, adapun mengkhususkan di hari
ini (10 Muharram) maka hukumnya adalah bid'ah."
Ibnu Rajab berkata (Latha’iful Ma’arif hal. 53) : “Hadits anjuran
memberikan uang belanja lebih dari hari-hari biasa, diriwayatkan dari
banyak jalan namun tidak ada satupun yang shahih. Di antara ulama yang
mengatakan demikian adalah Muhammad bin Abdullah bin Al-Hakam Al-Uqaili
berkata :”(Hadits itu tidak dikenal)”. Adapun mengadakan ma’tam
(kumpulan orang dalam kesusahan, semacam haul) sebagaimana dilakukan
oleh Rafidhah dalam rangka mengenang kematian Husain bin Ali
Radhiyallahu ‘anhu maka itu adalah perbuatan orang-orang yang tersesat
di dunia sedangkan ia menyangka telah berbuat kebaikan. Allah dan
RasulNya tidak pernah memerintahkan mengadakan ma’tam pada hari lahir
atau wafat para nabi maka bagaimanakah dengan manusia/orang selain
mereka”
Pada saat menerangkan kaidah-kaidah untuk mengenal hadits palsu,
Al-Hafidz Ibnu Qayyim (al-Manar al-Munif hal. 113 secara ringkas)
berkata : “Hadits-hadits tentang bercelak pada hari Asyura, berhias,
bersenang-senang, berpesta dan sholat di hari ini dan fadhilah-fadhilah
lain tidak ada satupun yang shahih, tidak satupun keterangan yang kuat
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain hadits puasa. Adapun
selainnya adalah bathil seperti.
مَنْ وَ سَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ
“Barangsiapa memberi kelonggaran pada keluarganya pada hari Asyura,
niscaya Allah akan memberikan kelonggaran kepadanya sepanjang tahun”.
Imam Ahmad berkata : “Hadits ini tidak sah/bathil”. Adapun hadits-hadits
bercelak, memakai minyak rambut dan memakai wangi-wangian, itu
dibuat-buat oleh tukang dusta. Kemudian golongan lain membalas dengan
menjadikan hari Asyura sebagai hari kesedihan dan kesusahan. Dua
goloangan ini adalah ahli bid’ah yang menyimpang dari As-Sunnah.
Sedangkan Ahlus Sunnah melaksanakan puasa pada hari itu yang
diperintahkan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi
bid’ah-bid’ah yang diperintahkan oleh syaithan”.
Adapun shalat Asyura maka haditsnya bathil. As-Suyuthi dalam Al-Lali
2/29 berkata : “Maudhu’ (hadits palsu)”. Ucapan beliau ini diambil
Asy-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmu’ah hal.47. Hal senada juga
diucapkan oleh Al-Iraqi dalam Tanzihus Syari’ah 2/89 dan Ibnul Jauzi
dalam Al-Maudlu’ah 2/122
Ibnu Rajab berkata (Latha’ful Ma’arif) : “Setiap riwayat yang
menerangkan keutamaan bercelak, pacar, kutek dan mandi pada hari Asyura
adalah maudlu (palsu) tidak sah. Contohnya hadits yang dikatakan dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu secara marfu.
غْتَسَلَ وَ تَطَهَّرَ فِي يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ لَمْ يَمْرَضْ فِي سَنَتِهِ إِلاَّ مَرَضَ الْمَوْتِ
“Barangsiapa mandi dan bersuci pada hari Asyura maka tidak akan sakit di tahun itu kecuali sakit yang menyebabkan kematian”.
Hadits ini adalah buatan para pembunuh Husain.
Adapun hadits,
ِمَنِ اكْتَحَلَ بِالإِثْمِدِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ لَمْ تَرْمِدْ عَيْنُهُ أَبَدًا
“Barangsiapa bercelak dengan batu ismid di hari Asyura maka matanya tidak akan pernah sakit selamanya”
Maka ulama seperti Ibnu Rajab, Az-Zakarsyi dan As-Sakhawi menilainya sebagai hadits maudlu (palsu).
Hadits ini diriwayatkan Ibnul Jauzi dalam Maudlu’at 2/204. Baihaqi dalam
Syu’abul Iman 7/379 dan Fadhail Auqat 246 dan Al-Hakim sebagaimana
dinukil As-Suyuthi dalam Al-Lali 2/111. Al-Hakim berkata : “Bercelak di
hari Asyura tidak ada satu pun atsar/hadits dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dan hal ini adalah berawal dari setelah peristiwa
pembunuhan Sayidina Husain Radhiyallahu ‘anhu.
Semua itu sebagai anjuran untuk tabarrukan kepada Ahlu Bait dan
mengambil hikmah besarnya pahala di hari Asyura yang mana pahala setiap
amalan ibadah di lipat gandakan. Itu memang perbuatan Bid'ah tapi yang
termasuk dalam Bid'ah hasanah.
Janganlah kita hanya bisa menilai dengan pengetahuan kita sendiri. Akan
lebih baik jika kita merujuk pada nilai2 keutamaan dan hikmah dari
keagungan hari Asyura itu sendiri.
Tahun Baru dan Muhasabah
Seiring datangnya Tahun Baru Hijriah, sudah sepantasnya bagi seorang
muslim untuk melakukan muhasabah dan introspeksi diri. Hal ini merupakan
jalan menuju petunjuk dan keselamatan. Orang cerdik itu, adalah mereka
yang selalu menimbang dirinya serta beramal untuk bekal perjalanan
setelah meninggal. Dan orang yang berakal, adalah mereka yang
membiasakan dirinya menapaki jalan kebaikan dan melazimkan dirinya
dengan syariat.
Manusia itu tidak terlepas dari dua keadaan, jika ia seorang yang muhsin
(yang banyak berbuat kebaikan), (dengan muhasabah) akan bertambah
kebaikannya, adapun jika ia seorang yang banyak lalai, maka ia akan
menyesal dan segera bertaubat. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan setiap diri
memperkatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat)…”(QS. Al-Hasyr: 18).
Ibnu katsir berkata tentang tafsir ayat ini, “Yaitu, hendaklah kalian
menghitung-hitung diri kalian sebelum kalian dihisab (pada hari kiamat),
dan perhatikan apa yang telah kalian persiapkan berupa amal kebaikan
sebagai bekal kembali dan menghadap kepada Rabb kalian.”
Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah telah menerangkan metode dan cara yang tepat untuk muhasabah. Beliau berkata:
“Semua itu dimulai dengan muhasabah diri terhadap amalan-amalannya yang
wajib, jika ia menemui kekurangan padanya, hendaklah berusaha
menggantinya, baik dengan cara mengqodho atau dengan memperbaikinya.
Selanjutnya muhasabah diri terhadap hal-hal yang dilarang, jika ia
mendapatkan dirinya pernah terjerumus di dalamnya, hendaklah
menyesalinya dengan bertaubat dan istigfar serta mengerjakan amal
kebaikan sebagai penghapus dosa-dosa tersebut. Setelah itu muhasabah
diri yang berkenaan dengan kelalaian yang pernah dibuat, jika selama ini
ia lalai akan maksud dan tujuan penciptaannya, maka ia segera
menutupinya dengan dzikir dan menghadapkan diri seutuhnya kepada Allah
Ta’ala. ”
Wahai saudaraku seiman seiring terbitnya fajar tahun baru ini, segerakan
taubat dan hadapkan diri sepenuhnya kepada AllahTa’ala.
Lembaran-lembaran yang ada dihadapanmu masih dalam keadaan putih bersih,
tanpa goresan sedikitpun. Maka berhati-hatilah jangan sampai kalian
nodai dengan maksiat dan dosa. Segeralah melakukan introspeksi diri
sebelum kalian dihisab, perbanyak dzikir dan istigfar kepada Allah, dan
pilihlah teman-teman shaleh yang selalu menunjukanmu jalan kebaikan.
Semoga Allah menjadikan tahun ini sebagai tahun kebaikan bagi islam dan
kaum muslimin. Dan semoga pula Allah memanjangkan umur kita dalam
ketaatan, kebaikan dan jauh dari perbuatan maksiat, serta menjadikan
kita sebagai pewaris surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai.
وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم أجمعين
والحمد لله رب العالمين. أمين
Tidak ada komentar:
Posting Komentar