Pembahasan soal darah pada wanita yaitu haid, nifas, dan istihadhah
adalah pembahasan yang paling sering dipertanyakan oleh kaum wanita. Dan
pembahasan ini juga merupakan salah satu bahasan yang tersulit dalam
masalah fiqih, sehingga banyak yang keliru dalam memahaminya. Bahkan
meski pembahasannya telah berulang-ulang kali disampaikan, masih banyak
wanita Muslimah yang belum memahami kaidah dan perbedaan dari ketiga
darah ini. Mungkin ini dikarenakan darah tersebut keluar dari jalur yang
sama namun pada setiap wanita tentulah keadaannya tidak selalu sama,
dan berbeda pula hukum dan penanganannya.
HAID
Haidh atau haid (dalam ejaan bahasa Indonesia) adalah darah yang keluar
dari rahim seorang wanita pada waktu-waktu tertentu yang bukan karena
disebabkan oleh suatu penyakit atau karena adanya proses persalinan,
dimana keluarnya darah itu merupakan sunnatullah yang telah ditetapkan
oleh Allah kepada seorang wanita. Sifat darah ini berwarna merah
kehitaman yang kental, keluar dalam jangka waktu tertentu, bersifat
panas, dan memiliki bau yang khas atau tidak sedap.
Haid adalah sesuatu yang normal terjadi pada seorang wanita, dan pada
setiap wanita kebiasaannya pun berbeda-beda. Ada yang ketika keluar haid
ini disertai dengan rasa sakit pada bagian pinggul, namun ada yang
tidak merasakan sakit. Ada yang lama haidnya 3 hari, ada pula yang lebih
dari 10 hari. Ada yang ketika keluar didahului dengan lendir kuning
kecoklatan, ada pula yang langsung berupa darah merah yang kental. Dan
pada setiap kondisi inilah yang harus dikenali oleh setiap wanita,
karena dengan mengenali masa dan karakteristik darah haid inilah akar
dimana seorang wanita dapat membedakannya dengan darah-darah lain yang
keluar kemudian.
Wanita yang haid tidak dibolehkan untuk shalat, puasa, thawaf, menyentuh
mushaf, dan berhubungan intim dengan suami pada kemaluannya. Namun ia
diperbolehkan membaca Al-Qur’an dengan tanpa menyentuh mushaf langsung
(boleh dengan pembatas atau dengan menggunakan media elektronik seperti
komputer, ponsel, ipad, dll), berdzikir, dan boleh melayani atau
bermesraan dengan suaminya kecuali pada kemaluannya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء
فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا
تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ
“Mereka bertanya kepadamu tentang (darah) haid. Katakanlah, “Dia itu
adalah suatu kotoran (najis)”. Oleh sebab itu hendaklah kalian
menjauhkan diri dari wanita di tempat haidnya (kemaluan). Dan janganlah
kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci (dari haid). Apabila mereka
telah bersuci (mandi bersih), maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
“Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk
mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” (HR.
Al-Bukhari No. 321 dan Muslim No. 335)
Batasan Haid :
Menurut Ulama Syafi’iyyah batas minimal masa haid adalah sehari semalam,
dan batas maksimalnya adalah 15 hari. Jika lebih dari 15 hari maka
darah itu darah Istihadhah dan wajib bagi wanita tersebut untuk mandi
dan shalat.
Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa mengatakan bahwa
tidak ada batasan yang pasti mengenai minimal dan maksimal masa haid
itu. Dan pendapat inilah yang paling kuat dan paling masuk akal, dan
disepakati oleh sebagian besar ulama, termasuk juga Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullah juga mengambil pendapat ini. Dalil tidak adanya batasan
minimal dan maksimal masa haid :
Firman Allah Ta’ala.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا
النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : “Haid itu adalah
suatu kotoran”. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekatkan mereka, sebelum
mereka suci…” [QS. Al-Baqarah : 222]
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memberikan petunjuk tentang masa haid
itu berakhir setelah suci, yakni setelah kering dan terhentinya darah
tersebut. Bukan tergantung pada jumlah hari tertentu. Sehingga yang
dijadikan dasar hukum atau patokannya adalah keberadaan darah haid itu
sendiri. Jika ada darah dan sifatnya dalah darah haid, maka berlaku
hukum haid. Namun jika tidak dijumpai darah, atau sifatnya bukanlah
darah haid, maka tidak berlaku hukum haid padanya. Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullah menambahkan bahwa sekiranya memang ada batasan hari
tertentu dalam masa haid, tentulah ada nash syar’i dari Al-Qur’an dan
Sunnah yang menjelaskan tentang hal ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan : “Pada prinsipnya,
setiap darah yang keluar dari rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti
yang menunjukkan bahwa darah itu istihadhah.”
Berhentinya haid :
Indikator selesainya masa haid adalah dengan adanya gumpalan atau lendir
putih (seperti keputihan) yang keluar dari jalan rahim. Namun, bila
tidak menjumpai adanya lendir putih ini, maka bisa dengan mengeceknya
menggunakan kapas putih yang dimasukkan ke dalam vagina. Jika kapas itu
tidak terdapat bercak sedikit pun, dan benar-benar bersih, maka wajib
mandi dan shalat.
Sebagaimana disebutkan bahwa dahulu para wanita mendatangi Aisyah
radhiyallahu ‘anhadengan menunjukkan kapas yang terdapat cairan kuning,
dan kemudian Aisyah mengatakan :
لاَ تَعْجَلْنَ حَتَّى تَرَيْنَ القَصَّةَ البَيْضَاءَ
“Janganlah kalian terburu-buru sampai kalian melihat gumpalan putih.” (Atsar ini terdapat dalam Shahih Bukhari).
NIFAS
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim wanita setelah seorang wanita
melahirkan. Darah ini tentu saja paling mudah untuk dikenali, karena
penyebabnya sudah pasti, yaitu karena adanya proses persalinan. Syaikh
Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa darah nifas itu adalah darah
yang keluar karena persalinan, baik itu bersamaan dengan proses
persalinan ataupun sebelum dan sesudah persalinan tersebut yang umumnya
disertai rasa sakit. Pendapat ini senada dengan pendapat Imam Ibnu
Taimiyah yang mengemukakan bahwa darah yang keluar dengan rasa sakit dan
disertai oleh proses persalinan adalah darah nifas, sedangkan bila
tidak ada proses persalinan, maka itu bukan nifas.
Batasan nifas :
Tidak ada batas minimal masa nifas, jika kurang dari 40 hari darah
tersebut berhenti maka seorang wanita wajib mandi dan bersuci, kemudian
shalat dan dihalalkan atasnya apa-apa yang dihalalkan bagi wanita yang
suci. Adapun batasan maksimalnya, para ulama berbeda pendapat
tentangnya.
Ulama Syafi’iyyah mayoritas berpendapat bahwa umumnya masa nifas adalah
40 hari sesuai dengan kebiasaan wanita pada umumnya, namun batas
maksimalnya adalah 60 hari.
Mayoritas Sahabat seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu
Abbas, Aisyah, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhum dan para Ulama seperti
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, At-Tirmizi, Ibnu Taimiyah
rahimahumullah bersepakat bahwa batas maksimal keluarnya darah nifas
adalah 40 hari,
Berdasarkan hadits Ummu Salamah dia berkata, “Para wanita yang nifas di
zaman Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-, mereka duduk (tidak
shalat) setelah nifas mereka selama 40 hari atau 40 malam.” (HR. Abu
Daud no. 307, At-Tirmizi no. 139 dan Ibnu Majah no. 648). Hadits ini
diperselisihkan derajat kehasanannya. Namun, Syaikh Albani rahimahullah
menilai hadits ini Hasan Shahih. Wallahu a’lam.
Ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa tidak ada batasan maksimal
masa nifas, bahkan jika lebih dari 50 atau 60 hari pun masih dihukumi
nifas. Namun, pendapat ini tidak masyhur dan tidak didasari oleh dalil
yang shahih dan jelas.
Wanita yang nifas juga tidak boleh melakukan hal-hal yang dilakukan oleh
wanita haid, yaitu tidak boleh shalat, puasa, thawaf, menyentuh mushaf,
dan berhubungan intim dengan suaminya pada kemaluannya. Namun ia juga
diperbolehkan membaca Al-Qur’an dengan tanpa menyentuh mushaf langsung
(boleh dengan pembatas atau dengan menggunakan media elektronik seperti
komputer, ponsel, ipad, dll), berdzikir, dan boleh melayani atau
bermesraan dengan suaminya kecuali pada kemaluannya.
Tidak banyak catatan yang membahas perbedaan sifat darah nifas dengan
darah haid. Namun, berdasarkan pengalaman dan pengakuan beberapa
responden, umumnya darah nifas ini lebih banyak dan lebih deras
keluarnya daripada darah haid, warnanya tidak terlalu hitam, kekentalan
hampir sama dengan darah haid, namun baunya lebih kuat daripada darah
haid.
Wanita yang sedang nifas sama dengan hal-hal yang diharamkan oleh wanita yang sedang haidh, yaitu :
1. Sholat
Seorang wanita yang sedang mendapatkan Nifas diharamkan untuk melakukan
salat. Begitu juga mengqada` salat. Sebab seorang wanita yang sedang
mendapat nifas telah gugur kewajibannya untuk melakukan salat. Dalilnya
adalah hadis berikut ini :
`Dari Aisyah r.a berkata : `Dizaman Rasulullah SAW dahulu kami mendapat
nifas, lalu kami diperintahkan untuk mengqada` puasa dan tidak
diperintah untuk mengqada` salat (HR. Jama`ah).
Selain itu juga ada hadis lainnya:
إذا أقبلت الحيضة فدعي الصلاة
`Dari Fatimah binti Abi Khubaisy bahwa Rasulullah SAW bersabda: `Bila kamu mendapatkan nifas maka tinggalkan salat`
2. Berwudu` atau mandi janabah
As Syafi`iyah dan al Hanabilah mengatakan bahwa: `wanita yang sedang
mendapatkan haid diharamkan berwudu`dan mandi janabah. Adapun sekedar
mandi biasa yang tujuannya membersihkan badan, tentu saja tidak
terlarang. Yang terlarang disini adalah mandi janabah dengan niat
mensucikan diri dan mengangkat hadats besar, padahal dia tahu dirinya
masih mengalami nifas atau haidh.
3. Puasa
Wanita yang sedang mendapatkan nifas dilarang menjalankan puasa dan
untuk itu ia diwajibkannya untuk menggantikannya dihari yang lain.
4.Tawaf
Seorang wanita yang sedang mendapatkan nifas dilarang melakukan tawaf.
Sedangkan semua praktek ibadah haji tetap boleh dilakukan. Sebab tawaf
itu mensyaratkan seseorang suci dari hadas besar.
افعلوا ما تفعل الحاج غير أن لا تطوفي حتى تطهري
Dari Aisyah r.a berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: `Bila kamu
mendapat haid, lakukan semua praktek ibadah haji kecuali bertawaf
disekeliling ka`bah hingga kamu suci (HR. Mutafaqq `Alaih)
5. Menyentuh Mushaf dan Membawanya
Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran Al-Kariem tentang menyentuh Al-Quran :
لا يمسه إلا المطهرون
Dan tidak menyentuhnya kecuali orang yang suci.` . (Al-Qariah ayat 79)
Jumhur Ulama sepakat bahwa orang yang berhadats besar termasuk juga orang yang nifas dilarang menyentuh mushaf Al-Quran
6. Melafazkan Ayat-ayat Al-Quran
Kecuali dalam hati atau doa / zikir yang lafaznya diambil dari ayat Al-Quran secara tidak langsung.
لا تقرأ الجنب ولا الحائض شيئا من القرآن
Janganlah orang yang sedang junub atau haidh membaca sesuatu dari Al-Quran. (HR. Abu Daud dan Tirmizy)
Namun ada pula pendapat yang membolehkan wanita nifas membaca Al-Quran
dengan catatan tidak menyentuh mushaf dan takut lupa akan hafalannya
bila masa nifasnya terlalu lama. Juga dalam membacanya tidak terlalu
banyak. Pendapat ini adalah pendapat Malik. Demikian disebutkan dalam
Bidayatul Mujtahid jilid 1 hal 133. Hujjah mereka adalah karena hadits
di atas dianggap dhaif oleh mereka.
7. Masuk ke Masjid
Dari Aisyah RA. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Tidak ku
halalkan masjid bagi orang yang junub dan haidh`. (HR. Bukhori, Abu Daud
dan Ibnu Khuzaemah.)
8.Bersetubuh
Wanita yang sedang mendapat nifas haram bersetubuh dengan suaminya. Keharamannya ditetapkan oleh Al-Quran Al-Kariem berikut ini:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء
فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا
تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ
يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
`Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: `Haidh itu adalah
suatu kotoran`. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum
mereka suci . Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di
tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan
diri.(QS. Al-baqarah :222)
Yang dimaksud dengan menjauhi mereka adalah tidak menyetubuhinya.
Sedangkan al Hanabilah membolehkan mencumbu wanita yang sedang nifas
pada bagian tubuh selain antara pusar dan lutut atau selama tidak
terjadi persetubuhan. Hal itu didasari oleh sabda Rasulullah SAW ketika
beliau ditanya tentang hukum mencumbui wanita yang sedang haid maka
beliau menjawab:
اصنعوا كل شيء إلا النكاح
`Lakukan segala yang kau mau kecuali hubungan badan (HR. Jama`ah)`.
Keharaman menyetubuhi wanita yang sedang nifas ini tetap belangsung
sampai wanita tersebut selesai dari nifas dan selesai mandinya. Tidak
cukup hanya selesai nifas saja tetapi juga mandinya. Sebab didalam al
Baqarah ayat 222 itu Allah menyebutkan bahwa wanita haid itu haram
disetubuhi sampai mereka menjadi suci dan menjadi suci itu bukan sekedar
berhentinya darah namun harus dengan mandi janabah, itu adalah pendapat
al Malikiyah dan as Syafi`iyah serta al Hanafiyah.
Bila seorang wanita mendapat darah tiga hari sebelum kelahiran,
sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama bahwa darah nifas itu
adalah darah yang keluar pada saat melahirkan. maka darah yang kelauar
sebelumnya bukanlah darah nifas, tetapi darah fasad.
Bila seorang wanita telah selesai nifas dan mandi tiba-tiba darah keluar lagi setelah empat puluh hari.
Ada ulama yang berpendapat bahwa tidak ada batas maksimal untuk nifas,
sehingga bila keluar lagi setelah berhenti sebelumnya maka itu termasuk
nifas juga bukan darah istihadhah karen aitu dia tetap tidak boleh salat
dan berpuasa. namun para fuqaha yang lain mengatakan bahwa: masa nifas
itu hanyalah empat puluh hari atau enam puluh hari (Syafi`i). sehingga
bila keluar lagi darah setelah itu tidak bisa disebut darah nifas. dan
itu adalah darah istihadhah.
ISTIHADHAH
Istihadhah adalah darah yang keluar di luar kebiasaan, yaitu tidak pada
masa haid dan bukan pula karena melahirkan, dan umumnya darah ini keluar
ketika sakit, sehingga sering disebut sebagai darah penyakit. Imam
Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim mengatakan bahwa istihadhah
adalah darah yang mengalir dari kemaluan wanita yang bukan pada waktunya
dan keluarnya dari urat.
Sifat darah istihadhah ini umumnya berwarna merah segar seperti darah
pada umumnya, encer, dan tidak berbau. Darah ini tidak diketahui
batasannya, dan ia hanya akan berhenti setelah keadaan normal atau
darahnya mengering.
Wanita yang mengalami istihadhah ini dihukumi sama seperti wanita suci,
sehingga ia tetap harus shalat, puasa, dan boleh berhubungan intim
dengan suami.
Imam Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha :
جَاءَتَ فاَطِمَةُ بِنْتُ اَبِى حُبَيْشٍ اِلَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَلَتْ ياَرَسُوْلُ اللهِ اِنِّى امْرَاَةٌ
اُسْتَحَاضُ فَلاَ اَطْهُرُ، اَفَاَدَعُ الصَّلاَةَ؟ فَقَالَ ياَرَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ، اِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ
وَلَيْسَ بِالْحَيْضَةِ فَاِذَااَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَاتْرُكِى
الصَّلاَةَ، فَاِذَا ذَهَبَ قَدْرُهَا فاَغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّى
Fatimah binti Abi Hubaisy telah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam lalu berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang
wania yang mengalami istihadhah, sehingga aku tidak bisa suci. Haruskah
aku meninggalkan shalat?” Maka jawab Rasulullah SAW: “Tidak,
sesungguhnya itu (berasal dari) sebuah otot, dan bukan haid. Jadi,
apabila haid itu datang, maka tinggalkanlah shalat. Lalu apabila ukuran
waktunya telah habis, maka cucilah darah dari tubuhmu lalu Sholat lah.
Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar