Apa yang terdapat di dalam al-Quran, al-Hadis, contoh yang boleh diambil
dari perbuatan para sahabat dan amalan para ulama Ahli Sunnah wal
Jamaah yang berpegang dengan manhaj salaf hanyalah amalan berupa doa.
Sememangnya doa orang-orang beriman diterima oleh Allah dan akan sampai
kepada orang yang telah mati jika si Mati itu beriman.
Mendoakan si Mati adalah sunnah hukumnya dan dibolehkan apabila
mencontohi sunnah Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam dan para
sahabat baginda atau amalan orang-orang Salaf as-Soleh. Kemudian
terserah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk diterima atau ditolak.
Penjelasan ini adalah bersandarkan kepada ayat-ayat di bawah ini:
وَالَّذِينَ جاءُ وْا مِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْـفِرْلَنَا وَلاِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَ بِالاِيْمَانِ.
"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka itu akan berkata: Wahai
Tuhan kami! Ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman
sebelum kami".
AL HASYR, 59:10.
رَبَّنَا اغْفِرْلِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ يَوْمَ يَقُوْمُ الْحِسَابِ.
"Ya Tuhan kami! Berilah keampunan kepadaku dan kedua ibu bapaku dan
sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (Hari Kiamat)."
IBRAHIM, 14:41.
وَاسْتـَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ.
“Dan minta ampunlah bagi dosa-dosamu dan bagi orang-orang yang beriman".
MUHAMMAD, 47:19.
Memohon doa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana yang terdapat
pada dua ayat di atas termasuk perbuatan ibadah bukan bid’ah. Walaupun
ayat-ayat ini merupakan hujjah, tetapi ia tidak menerangkan atau
mengajar bagaimana cara berdoa selain yang telah dikerjakan oleh Nabi
Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat, tabi’in dan tabi’u
at-tabi’in yang dikenali sebagai para Salaf as-Soleh.
Menurut pendapat ahli sunnah pahala, doa dan sodaqoh bisa sampai kepada
orang yang sudah meninggal dan dapat bermanfaat bagi mereka.
Kalangan Ahlusunnah berhujjah dengan beberapa firman Allah Swt dan beberapa hadits shohih diantaranya :
وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا وَاتَّبَعْهُمْ ذُرِّيَّتَهُمْ بِاِيْمَانٍ
اَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا اَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ
مِنْ شَيْئٍ كُلُّ إمْرِئٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنٌ (تاطور ٣١)
Dan orang – orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti dalam
keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada
mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap –tiap manusia
terpikat dengan apa yang dikerjakannya.
Allah juga berfirman :
أَبَائُكُمْ وَأَبْنَائُكُمْ لَاتَدْرُوْنَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا (النساء :١١)
Tentang orang tuamu dan anak –anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.
Dalam sebuah hadist shohih disebutkan:
عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ رَجُلًا اَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا وَلَمْ
تُوْصِ وَاَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ اَفَلَهَا اَجْرٌ اِنْ
تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ (رواه مسلم ،١٦٧٢)
“Dan ‘Aisyah RA, “Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW, “Ibu saya
meninggal secara mendadak dan tidak sempat berwasiat. Saya menduga
seandainya ia dapat berwasiat, tentu ia akan bersedekah. Apakah ia akan
mendapat pahala jika saya bersedekah atas namanya?” Nabi menjawab,
“Ya”.” (HR.Muslim, :1672).
Dalam kitab Nail al Authar juz IV juga disebutkan sebuah hadits soheh yang berbunyi:
وَعَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَجُلًا قَالَ
لِلنَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمِ اِنَّ أَبِي مَاتَ وَلَمْ
يُوْصِ أَيَنْفَعُهُ اِنْ اَتَصَدَّقُ عَنْهُ؟ قَالَ نَعَمْ، (رواه أحمد
ومسلم والنساء وابن ماجه)
Dari Abu Hurairah, ia meriwayatkan: Ada laki-laki datang kepada Nabi
lalu ia berkata: Ayahku telah meninggal dunia dan ia tidak berwasiat
apa-apa. Apakah saya bias memberikan manfaat kepadanya jika saya
bersedekah atas namanya? Nabi menjawab: Ya, dapat (HR. Ahmad, Muslim,
Nasa’I, dan Ibnu Majah).
Hadits tersebut diatas menegaskan bahwa pahala shodakoh itu sampai
kepada ahli kubur. Sementara di hadits shahih yang lain dijelaskan bahwa
shodakoh tidak hanya berupa harta benda saja, tapi juga dapat berwujud
bacaan dzikir seperti kalimat la illaha illallah,subhanallah,dan
lain-lain sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih berikut ini:
عَنْ اَبِي دَرْأَنْ نَاسًا مِنْ اَصْحَابِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالُوْا لِلنَّبِي ص.م يَارَسُوْلَ اللهِ ذَهَبَ اَهْلِ
الدُّثُوْرِ بِالْاُجُوْرِ يُصَلُّوْنَ كَمَا تُصَلَّى وَيَصُوْمُوْنَ
كَمَا تَصُوْمُ وَيَتَصَدَّقُوْنَ بِفُضُوْلِ اَمْوَالِهِمْ قَالَ اَوَ
لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَدَّقُوْنَ اِنَّ بِكُلِّ
تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَحْمِيْدَةٍ
صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ (رواه مسبلم،١٦٧٤)
“Dari Abu Dzarr RA,ada beberapa sahabat berkata kepada Nabi SAW,” Ya
Rosulullah, orang-oarng yang kaya bisa (beruntung) mendapatkan banyak
pahala. (Padahal) mereka shalat seperti kami shalat. Mereka berpuasa
seperti kami berpuasa. Mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka.
Nabi SAW menjawab, “ Bukankah Allah SWT telah menyediakan untukmu
sesuatu yang dapat kamu sedekahkan? Sesungguhnya setiap satu tasbih
(yang kamu baca) adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap
tahmid adalah sedekah, dan setiap tahlil adalah sedekah.” (HR. Muslim
:1674 ).
Dalam hadits lain disebutkan:
وَعَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ قَالَ:
تَصَدَّقُوْا عَلَى اَنْفُسِكُمْ وَعَلَى اَمْوَاتِكُمْ وَلَوْ بِشُرْبَةِ
مَاءٍ فَاِنْ لَمْ تَقْدِرُوْا عَلَى ذَالِكَ فَبِأَيَةٍ مِنْ كِتَابِ
اللهِ تَعَالَى فَاِنْ لَمْ تَعْلَمُوْا شَيْئًا مِنَ اْلقُرْآنِ
فَادْعُوْا لَهُمْ بِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ فَاِنَّ اللهَ وَعَدَكُمُ
اْلاِجَابَةِ.
Sabda Nabi: Bersedekahlah kalian untuk diri kalian dan orang-orang yang
telah mati dari keluarga kalian walau hanya air setejuk. Jika kalian tak
mmampu dengan itu, bersedekahlah dengan ayat-ayat suci al-Qur’an,
berdoalah untuk mereka dengan memintakan ampunan dan rahmat. Sungguh,
Allh telah berjanji akan mengabulkan doa kalian.
Adzarami dan Nasa’i juga meriwayatkan hadis tentang tahlil dari Ibnu ‘Abbas RA.
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اَعَانَ عَلَى مَيِّتٍ
بِقِرَائَةٍ وَذِكْرٍ اِسْتَوْجَبَ اللهُ لَهُ الْجَنَّةَ. (رواه الدارمى
والنساء عن ابن عباس.)
Rasululloh bersabda: Siapa menolong mayit dengan membacakan ayat-ayat
al-Qur’an dan Zikir, Alloh akan memastikan surga baginya.(HR.ad-Darimy
dan Nasa’i dari Ibnu Abbas).
Hadis diatas juga didukung oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh ad-Daroqutni dari Anas bin Malik:
رَوَى اَبُوْ بَكْرٍ النَحَادِ فِىْ كِتَابِ السُّنَنِ عَنْ عَلِى بْنِ
اَبِي طَالِبِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ مَرَّ بَيْنَ اْلمَقَابِرِ فَقَرَأَ قُلْ هُوَ
اللهُ اَحَدٌ اِحْدَى عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ وَهَبَ اَجْرَهَا
لِلْاَمْوَاتِ أُعْطِيَ مِنَ اْلاَجْرِ بِعَدَدِ اْلاَمْوَاتِ.
Diriwayatkan oleh Abu Bakar an-Najjad dalam kitab Sunan bersumber dari
Ali bin Abi Thalib, ia mengatakan , Nabi bersabda: Siapa lewat diantara
batu nisan, lalu membaca surat al-Ikhlas 11 kali dan menghadiahkan
pahalanya untuk yang meninggal maka Alloh akan mengabulkannya.
Dalil-dalil inilah yang dijadikan dasar oleh para ulama tentang
sampainya pahala bacaan al-Qur’an,tasbih, tahlil, shalawat yang
dihadiahkan kepada orang yang meninggal dunia. Begitu pula dengan
sedekah dan amal baik lainnya.
Masalah ini adalah bagian dari masalah khilafiyah yang sering menjadi
perdebatan dan pertentangan di kalangan umat Islam, yang mana
masing-masing kelompok itu sendiri sebetulnya mempunyai dalil/dasar yang
dapat dijadikan pegangan dalam melaksanakan kegiatan ibadahnya
Bahkan Ibnu Taimiyah mengatakan dalam kitab Fatawa-nya, “sesuai dengan
kesepakatan para Imam bahwa mayit dapat memperoleh manfaat dari semua
ibadah, baik ibadah badaniyah seperti shalat, puasa, membaca al-Qur’an,
ataupun ibadah maliyah seperti sedekah dan lain-lainnya. Hal yang sama
juga berlaku bagi orang yang berdoa dan membaca istighfar untuk
mayit.”(Hukm al-Syari’ah al-Islamiyah fi Ma’tam al_Arba’in,hal 36)
Mengutip dari kitab Syarh al-Kanz, Imam al-Syaukani juga mengatakan
bahwa seseorang boleh menghadiahkan pahala perbuatan yang ia kerjakan
kepada orang lain, baik berupa shalat, puasa, haji, shadaqah, bacaan
al-Qur’an atau semua bentuk perbuatan baik lainya, dan perbuatan baik
tersebut sampai kepada mayit dan memberi manfaat kepada mayit tersebut
menurut ulama Ahlussunnah. (Nail al-Awthar, Juz IV, hal. 142)
Menurut Imam Ibnu Taimiyah : Sesungguhnya orang yang sudah meninggal itu
dapat mengambil kemanfaatan dari bacaan-bacaan Al Qur`an sebagaimana
kemanfaatan yang diterima dari ibadah maliyah seperti shodaqoh dan
sejenisnya. Sedangkan pendapat beliau dalam kitab Ar Ruh dikatakan bahwa
:
Sebaik-baik perkara yang dapat dihadiahkan kepada orang meninggal adalah
shodaqoh, istighfar, do`a dan melaksanakan haji untuk orang yang sudah
meninggal. Adapun bacaan Al Qur`an yang dibaca tanpa upah ( menurut
mayoritas Ulama bahwa ta`limul Qur`an diperbolehkan mengambil upah)
yang dikirimkan kepada orang yang sudah meninggal, pahalanya bisa
sampai kepadanya sebagaimana pahala puasa dan haji ( yang diqodlo` oleh
keluarganya ).
Masih menurut Imam Ibnu Taimiyah dan dikuatkan oleh pendapatnya Imam
Ibnu Qoyyim dalam kitab yang lain menyebutkan, bahwa pelaksanaan kirim
do`a, shodaqoh dll sebagaimana diatas harus diniyati dihadiahkan pada
orang yang sudah meninggal, walaupun tidak disyaratkan dengan talafudz /
melafalkan. (Adapun apabila dilafalkan seperti :
اللهمّ اوصِلْ واهدِ ثواب ماقرأناه من القرأن العظيم وما صلينا وما سبّحنا وما هللنا ومااستغفرنا....
Allohumma aushil wa ahdi tsawaba ma qoro`nahu minal Qur`anil `Adhim wa
ma sholaina wa ma sabahna wa ma hallalna wa mas taghfarna dst. Maka
lebih afdhol ).
Seorang mufti negara Mesir Al `Allamah Syaich Hasanain Muhammad Mahluf
telah mengutip pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim, beliau
berpendapat: Bahwa menurut madzhab Imam Abu Hanifah, sesungguhnya orang
yang melakukan ibadah, baik shodaqoh, membaca Al Qur`an, atau amal baik
yang lain, pahalanya dapat dihadiahkan pada orang lain, dan pahala itu
akan sampai padanya. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Al Muhibbu At
Thobary, bahwa akan sampai pahala ibadah yang dikerjakan semata-mata
dihadiahkan pada orang yang sudah meninggal, baik ibadah wajib maupun
sunnah. ( Menurut ihthiyat / kehati-hatian para Ulama apabila ada orang
yang sudah meninggal masih meninggalkan sholat, maka sebaiknya
keluarganya mengqodlo sholat tersebut, dengan niyat :
اصلّى فرض الظهر اربع ركعات عن ....... لله تعالى
Usholli fardlod dhuhri arba`a roka`atin an fulanin lillahi ta`ala ) .
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, bahwa orang meninggal yang masih
memiliki tanggungan sholat, maka keluarga wajib membayar fidyah yang
besarnya 1 mud tiap-tiap 1 kali sholat yang ditinggalkan.
Demikian juga orang meninggal yang masih mempunyai tanggungan
puasa Romadhon, maka wajib diqodlo keluarganya, sebagaimana sabda
Rosululloh SAW :
من مات وعليه صيام صام عنه ولـيّه ( متّفق عليه )
“ Orang meninggal yang masih memiliki tanggungan puasa, maka wajib diqodlo oleh keluarganya “
Niyatnya sebagai berikut :
نويت أداء فرض الصوم عن ........ المرحوم لله تعالى
Adapun menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik , hanya wajib
dibayar kifarat, sebgaimana Hadits Marfu` riwayat Ibnu Umar , Rosululloh
bersabda :
من مات وعليه صيام اُطعِمَ عنه مكان كلّ يومٍ مسكينٌ
“ Orang meninggal yang masih memiliki tanggungan puasa, maka wajib
dibayarkan berupa makanan pokok kepada orang miskin, sebesar 1 mud
sebagai ganti setiap 1 hari puasa ”
Didalam syarah Al Mukhtar disebutkan bahwa : Dibenarkan kepada setiap
orang yang hendak menjadikan pahala sholat dan amal baik lainnya, untuk
orang lain dan pahala tersebut akan sampai kepadanya. Sebagaimana
pendapat Al `Alim Al `Allamah Syaich Muhammad Nawawi bin `Aroby yang
menjadi pimpinan para Ulama Hijaz, dalam kitab Nihayatuz Zain, beliau
berpendapat : Salah satu bentuk sholat sunnah adalah sholat 2 rokaat
untuk orang meninggal di dalam kubur. Pendapat ini didasarkan pada
sabda Rosulloh SAW :
لايأتي على المـيّت أشدّ من الليلة الأولى فارحموا بالصدقة من يموت فمن لم
يجد فليصلّ ركعتين , يقرأ فيهما اى في كلّ ركعة منهما فاتحة الكتاب مرّةً
وأية الكرسيّ مرّةً وألهاكم التكاثر مرّةً وقل هوالله احد عشر مرّاتٍ ,
ويقول بعد السلام اللهمّ إنّي صليتُ هذه الصلاةَ وتعلم مااُريد , اللهمّ
ابعث ثوابـها إلى قبر ..... فيـبعث الله من ساعته إلى قبره ألفَ ملكٍ مع
كلّ ملك نورٌ وهديّةٌ يؤنّسونه إلى يوم يُنفخ في الصور
“ Paling berat siksaan bagi orang meninggal adalah keadaan malam
pertama, maka belas kasihanilah dengan shodaqoh, apabila tidak ada maka
sholatlah 2 roka`at yang mana pada tiap roka`atnya membaca Al Fatihah 1 x
, ayat kursi 1 x , Alhakumut takatsur 1 x , dan Al Ihlas 10x , setelah
salam berdo`a : Ya Alloh aku mengerjakan sholat ini, dan Engkau mengerti
apa yang aku harapkan, Ya Alloh hadiahkan sholatku ini kepada ………….. “
Di dalam kitab Fathul Qodir, diriwayatkan oleh Sayyidina Ali KW,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من مرّ على المقابر وقرأ قل هوالله احد
إحدى عشرة ثمّ وهب أجرها للأموات اُعطِي من الأجر بعدد الأموات
Rosululloh SAW bersabda : Barangsiapa lewat di pekuburan, lalu membaca
Surat Al Ikhlash 11 x , kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang
yang meninggal di dalam pekuburan tersebut, maka ia akan memperoleh
pahala sejumlah orang yang meninggal . ( Hadits ini menunjukkan bahwa
hadiah bacaan Al Qur`an itu bisa sampai pada orang meninggal, dan yang
membacanya juga memperoleh pahala yang besar )
Sedangkan menurut riwayat Anas RA ,
أنّ النبيّ صلى الله عليه وسلم سُئل فقال السائل : إنّـا تصدّق عن موتانا
وتحُجَّ عنهم وتدعو لهم , هل يصل ذلك إليهم ؟ قال نعم إنّه لَيَصِلُ إليهم
وانّهم ليفرحون به كما يفرح احدكم بالطَبْق اذا اُهدِيَ اليهم
Rosululloh pernah ditanya seseorang , Wahai Rosululloh, aku shodaqoh
untuk keluargaku yang telah meninggal, aku juga menghajikan mereka,
berdo`a untuknya, apakah bisa sampai pahala-pahala tersebut kepada
mereka ? Rosululloh bersabda : Ya , sungguh itu semua sampai kepada
mereka, sedangkan mereka merasa bahagia sebagaimana seseorang yang
sedang menerima bingkisan.
Didalam kitab Washiyatul Musthofa,
أنّ النبيّ صلى الله عليه وسلم قال : يا عليُّ تصدّقْ على موتاك فإنّ الله
تعالى قد وكّل ملائكةً يحملون صدقات الاحياء إليهم فيفرحون بها اشدّ ما
كانوا يفرحون في الدنيا
Rosululloh bersabda: Wahai Ali, shodaqohlah untuk orang mati kalian,
sesungguhnya Alloh akan mengirim Malaikat membawa shodaqo-shodaqoh orang
hidup kepada mereka, sedangkan mereka akan bergembira sebagaimana
bergembira ketika menerima bingkisan waktu di dunia.
Dalam Pandangan Mazhab
Menurut Madzhab Syafi`i, sesungguhnya shodaqoh itu pahalanya akan sampai
pada orang yang telah meninggal secara pasti (tanpa batasan). Adapun
membaca Al Qur`an dan kalimat-kalimat thoyibah lain, maka pendapat yang
dipilih oleh beliau sebagaimana dalam syarah Al Minhaj, adalah sampainya
pahala tersebut tapi perlu keyakinan dan kemantapan dalam niyat
menyampaikannya, karena merupakan bentuk do`a ( ciri-ciri do`a adalah
bisa dikabulkan dan bisa tidak )
Menurut madzhab Maliki , sudah tidak ada ikhtilaf lagi tentang
sampainya pahala shodaqoh pada orang meninggal, sedangkan untuk baca`an
Al Qur`an dan kalimat-kalimat thoyibah lain, masih khilafiyah walaupun
para Ulama Muta`akhirin lebih cenderung menerima pendapat diterimanya
pahala membaca Al Qur`an dan kalimat-kalimat thoyibah lain, kepada orang
yang telah meninggal. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Ibnu Farohun,
beliau berpendapat bahwa sampainya pahala membaca Al Qur`an dan
kalimat-kalimat thoyibah lain, adalah pendapat yang paling rojih /
unggul .
Menurut Imam Nawawi dalam kitab Al Majmu` bahwa Al Qodli Abu Thoyyib
pernah ditanya tentang khataman Al Qur`an di pekuburan, Beliau menjawab:
Pahalanya untuk yang membaca, sedangkan orang-orang yang meninggal
seperti orang yang menghadiri acara khataman tersebut dengan berharap
rahmat dan barokah dari Al Qur`an. Berdasar ini maka khotmil Qur`an di
makam hukumnya boleh. Demikian juga berdo`a yang mengiringi khotmil
Qur`an, maka lebih memungkinkan dan lebih mudah diijabahi, dan do`a
tersebut akan memberi manfa`at pada orang yang meninggal. Imam Nawawi
dalam kitabnya Al Adzkar yang mengambil referensi dari sebagian besar
Ulama-Ulama Syafi`iyah, bahwa pahala membaca Al Qur`an dan
kalimat-kalimat thoyibah lain, akan sampai pada orang meninggal.
Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ulama-Ulama madzhab Ahmad bin Hanbal
Menurut Imam Sya`rony dalam kitab Mizan Al Kubro, beliau berpendapat
bahwa diterimanya pahala membaca Al Qur`an dan kalimat-kalimat thoyibah
lain, memang ada ikhtilaf, dan masing-masing memiliki dasar / hujjah.
Dan madzhab Ahlus Sunnah menyatakan bahwa seseorang bisa menjadikan
pahala dari amal baiknya kepada orang lain, dan pendapat ini sesuai
dengan Imam Ahmad bin Hanbal.
Imam Muhammad ibnu Al Mirwizy pernah mendengar Imam Ahmad bin Hanbal
berkata : Apabila kalian memasuki area makam, bacalah Al Fatihah, Al
Ikhlas dan Al Mu`awwidzatain, dan hadiahkan pahalanya untuk ahli kubur,
maka akan sampai pahalanya. Dan setelah itu berdo`alah :Allohumma aushil
wa ahdi tsawaba ma qoro`tuhu minal Qur`anil `Adhim ila man fi hadzihil
maqbaroh, khususon ila ………..
Menurut Al `Allamah Muhammad `Aroby dalam kitab Majmu` Tsalatsi
Rosa`il, bahwa sesungguhnya membaca Al Qur`an untuk orang meninggal
hukumnya boleh, dan pahalanya akan sampai padanya, walaupun dalam
pembacaannya tersebut dengan upah. Pendapat ini yang dipakai pegangan
para Ulama Fiqih madzhab Ahlus Sunnah, yang didasarkan pada hadits
riwayat Abu Hurairah RA :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من دخل المقابر ثمّ قراء فاتحة الكتاب
وقل هوالله احد وألهاكم التكاثر , ثمّ قال إنّي جعلتُ ثواب ما قرأتُ من
كلامك لأهل المقابر من المؤمنين والمؤمنات كانوا شفعاءَ له الى الله تعالى
“ Barangsiapa memasuki area makam, kemudian membaca Al Fatihah, Al
Ikhlas dan At Takatsur, lalu berdo`a menghadiahkan baca`annya kepada
ahli kubur yang mukmin dan mukminat, maka kelak ahli kubur tersebut akan
memohonkan pertolongan pada Alloh untuknya “
Kesimpulan :
Menurut Madzhab Syafi`i : Pahala shodaqoh akan sampai pada orang yang
meninggal secara pasti (tanpa batasan). Adapun membaca Al Qur`an dan
kalimat-kalimat thoyibah lain, adalah sampainya pahala tersebut tapi
perlu keyakinan dan kemantapan dalam niyat menyampaikannya, karena
merupakan bentuk do`a
Menurut Madzhab Maliki : Tidak ada ikhtilaf lagi tentang sampainya pahala shodaqoh untuk orang meninggal
Menurut Madzhab Hanbali : Pahala membaca Al Qur`an dan kalimat-kalimat thoyibah lain, akan sampai pada orang meninggal.
Penjelasan Dalil yang digunakan oleh Ahli bid'ah
Kaitannya dengan firman Alloh dalam Sura an-Najm ayat 39 yang sering
dijadikan sebagai dalail bagi orang yang mengatakan bahwa do’a atau
pahala yang tidak sampai kepada mayit yaitu:
وَاَنْ لَيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعَى (النجم: ٣٩)
“Dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”(QS,an-Najm:39)
Berikut ini beberapa penafsiran para ulama ahli tafsir mengenai ayat di atas:
1. Syekh Sulaiman bin Umar Al-‘Ajili menjelaskan
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ هَذَا مَنْسُوْخُ الْحُكْمِ فِي
هَذِهِ الشَّرِيْعَةِ أَيْ وَإِنَّمَا هُوَ فِي صُحُفِ مُوْسَى
وَاِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِمَا السَّلاَمِ بِقَوْلِهِ “وَأَلْحَقْنَا بِهِمْ
ذُرِيَّتَهُمْ” فَأُدْخِلَ اْلأَبْنَاءُ فِي اْلجَنَّةِ بِصَلَاحِ
اْللأَبَاءِ. وَقَالَ عِكْرِمَةُ إِنَّ ذَلِكَ لِقَوْمِ إِبْرَاهِيْمَ
وَمُوْسَى عَلَيْهِمَا السَّلَامُ وَأَمَّا هَذِهِ اْلأُمَّةُ فَلَهُمْ مَا
سَعَوْا وَمَا سَعَى لَهُمُ غَيْرُهُمْ (الفتوحات الإلهية,٤.٢٣٦)
“Ibnu Abbas berkata bahwa hukum ayat tersebut telah di-mansukh atau
diganti dalam syari’at Nabi Muhammad SAW. Hukumnya hanya berlaku dalam
syari’at Nabi Ibrahim AS dan Nabi Musa AS, kemudian untuk umat Nabi
Muhammad SAW kandungan QS. Al-Najm 39 tersebut dihapus dengan firman
Allah SWT وَأَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِيَّتَهُمْ Ayat ini menyatakan bahwa
seorang anak dapat masuk surga karena amal baik ayahnya. Ikrimah
mengatakan bahwa tidak sampainya pahala (yang dihadiahkan) hanya berlaku
dalam syari’at Nabi Ibrahim AS dan Nabi Musa AS. Sedangkan untuk umat
Nabi Muhammad SAW mereka dapat menerima pahala amal kebaikannya sendiri
atau amal kebaikannya sendiri atau amal kebaikan orang lain” (Al-Futuhat
Al-Ilahiyyah, Juz IV, hal 236)
2. Menurut Mufti Mesir Syekh Hasanain Muhammad Makhluf :
وَأَمَّا قَوْلُهُ تَعَلَى وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ اِلاً مَاسَعَى
فَهُوَ مُقَيًدٌ بِمَا إِذَالَمْ يَهَبِ الْعَامِلُ ثَوَابَ عَمَلِهِ
لِغَيْرِهِ وَمَعْنىَ ألْاَيَةِ أَنًهُ لَيْسَ يَنْفَعُ الْإِنْسَانَ فِي
الْأَخِرَةِ إِلًا مَا عَمِلَهُ فِي الدُّنْيَا مَالَمْ يَعْمَلْ لَهُ
غَيْرُهُ عَمَلًا وَيَهَبَهُ لَه فَاِّنَهُ يَنْفَعُهُ كَذَلِكَ (حكم
الشريعة الإسلامية في مأتم الأربعين : ٢٣-٢٤ )
“Firman Allah SWT وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ اِلاً مَاسَعَى perlu
diberi batasan, yaitu jika orang yang melakukan perbuatan baik itu tidak
menghadiahkan pahalanya kepada orang lain. Maksud ayat tersebut adalah,
bahwa amal seseorang tidak akan bermanfaat di akhirat kecuali pekerjaan
yang telah dilakukan di dunia bila tidak ada orang lain yang
menghadiahkan amalnya kepada si mayit. Apabila ada orang yang
mengirimkan ibadah kepadanya, maka pahala amal itu akan sampai kepada
orang yang meninggal dunia tersebut” (Hukm Al-Syari’ah Al-Islamiyah fi
Ma’tam Al-Arbai’n, 23-24)
3. Menurut Syekh Muhammad Al-Arabi:
أُرِيْدُ اْلِإنْسَانُ اْلكَافِرُ وَأَمَّا اْلمُؤْمِنُ فَلَهُ مَاسَعَى أَخُوْهُ (اسعاف المسلمين والمسامات,٤٧)
“Yang dimaksud dengan kata “al-insan” ialah orang kafir. Sedangkan
manusia yang beriman, dia dapat menerima usaha orang lain. (Is’af
Al-Muslimin wa Al-Muslimat, 47).
Di antara sekian banyak tafsir QS. Al-Najm, 39 yang paling mudah
dipahami, sekaligus dapat dijadikan landasan yang kuat untuk tidak
mempertentangkan antara ayat dan hadits yang tegas menjelaskan bahwa
seseorang yang meninggal dunia dapat menerima manfaat dari amalan orang
yang hidup, adalah tafsir dari Abi Al-Wafa’ Ibnu ‘Aqil Al-Baghdadi
Al-Hanbali (431-531 H) sebagai berikut:
اَلْجَوَابُ الْجَيِّدُ عِنْدِيْ أَنْ يُقَالَ أَلْإِنْسَانُ بِسَعْيِهِ
وَحُسْنِ عُشْرَتِهِ إِكْتَسَبَ اَلْأَصْدِقَاءَ وَأَوْلَدَ اْلأَوْلَادَ
وَنَكَحَ اْلأَزْوَاجَ وَأَسْدَى اْلخَيْرَوَتَوَدَّدَ إِلَى النَّاسِ
فَتَرَحَّمُوْا عَلَيْهِ وَأَهْدَوْا لَهُ اْلعِبَادَاتِ وَكَانَ ذَلِكَ
أَثَرُسَعْيِهِ (الروح, صحيفه: ١٤٥)
“Jawaban yang paling baik menurut saya, bahwa manusia dengan usahanya
sendiri, dan juga karena pergaulannya yang baik dengan orang lain, ia
akan memperoleh banyak teman, melahirkan keturunan, menikahi perempuan,
berbuat baik, serta menyintai sesama. Maka, semua teman-teman, keturunan
dan keluarganya tentu akan menyayanginya kemudian menghadiahkan pahala
ibadahnya (ketika telah meninggal dunia). Maka hal itu pada hakikatnya
merupakan hasil usahanya sendiri.” (Al-Ruh, 145). Dr. Muhammad Bakar
Ismail, seorang ahli fiqh kontemporer dari Mesir menjelaskan:
وَلَا يَتَنَافَى هَذَا مَعَ قَوْلِهِ تَعَالَى فِى سُوْرَةِ النَّجْمِ
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّمَاسَعَى فَإِنَّ هَذَا التَّطَوُّعَ
يُعَدُّ مِنْ قَبِيْلِ سَعْيِهِ فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ بَارًا بِهِمْ فِى
حَيَاتِهِ مَا تَرَحَّمُوْا عَلَيْهَ وَلَاتَطَوَّعُوْا مِنْ أَجْلِهِ
فَهُوَ فِى الْحَقِيْقَةِ ثَمْرَةٌ مِنْ ثِمَارِ بِرِّهِ وَإِحْسَانِهِ
(الفقه الوضح,ج: ١,ص: ٤٤٩)
“Menghadiah pahala kepada orang yang telah mati itu tidak bertentangan
dengan ayat وان ليس للإنسا الإماسعى karena pada hakikatnya pahala yang
dikirimkan kepada ahli kubur dimaksud merupakan bagian dari usahanya
sendiri. Seandainya ia tidak berbuat baik ketika masih hidup, tentu
tidak akan ada orang yang mengasihi dan menghadiahkan pahala untuknya.
Karena itu sejatinya, apa yang dilakukan orang lain untuk orang yang
telah meninggal dunia tersebut merupakan buah dari perbuatan baik yang
dilakukan si mayit semasa hidupnya.” (Al-Fiqh Al-Wadlih, juz I, hal
449).
Dari penjelasan para ulama ahli tafsir di atas jelaslah bahwa QS.
Al-Najm ayat 39 bukanlah dalil yang menjelaskan tentang tidak sampainya
pahala kepada orang yang sudah meninggal, QS. Al-Najm ayat 39 tersebut
bukanlah ayat yang melarang kita untuk mengirim pahala, do’a, shodaqoh
kepada orang yang telah meninggal.
Adapun hadits Abu Hurairoh RA yang sering dijadikan dalil untuk melarang
orang yang tahlilan, berdo’a, dan bersodaqoh untuk orang yang sudah
meninggal yaitu hadits yang berbunyi:
عَنْ أَبِِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلّى
الله عليه وسلّم قَالَ, إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ إِنْقَطَعَ عَنْهُ
عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ
بِهِ أَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (صحيح مسلم,ص:٣٠٨٤ )
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Jika
manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal, yaitu sedekah
jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akan kedua
orang tuanya” (Shahih Muslim, 3084).
Yang dimaksud dengan ‘terputus’ dalam hadits di atas adalah amalnya sendiri, sedangkan amal orang lain tidak terputus.
Mengenai hadits tersebut Ibnu Al-Qayyim berpendapat:
فَإِنَّهُ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَقُلْ اِنْتِفَاعُهُ, وَإِنَّمَا
أَخْبَرَ عَنِ انْقِطَاعِ عَمَلِهِ وَأَمَّا عَمَلُ غَيْرِهِ
فَهُوَلِعَامِلِهِ فَإِنْ وَهَبَهُ لَهُ وَصَلَ إِليْهِ ثَوَابُ عَمَلِ
الْعَامِلِ (الروح : ١٤٦)
“Dari hadits tersebut Rasulullah SAW tidak bersabda “ … akan terputus
manfaatnya …”. Beliau hanya menjelaskan bahwa amalnya akan terputus.
Amal orang lain adalah tetap menjadi milik pelakunya, tapi bila
dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, maka pahala amalan
itu akan sampai kepadanya. (Al-Ruh, 146).
Ibnu Hazm juga berpendapat:
أَنَّهُ لَايُفِيْدُ إِلَّا انْقِطَاعَ عَمَلِ الْمَيِّتِ لِنَفْسِهِ
فَقَطْ وَلَيْسَ فِيْهِ دِلَالَةٌ عَلَى انْقِطَاعِ عَمَلِ غَيْرِهِ عَنْهُ
أَصْلًا وَلَا اْلمَنْعَ مِنْ ذَلِكَ(حكم الشريعة الإسلامية في مأتم
الأربعين : ٤٣ )
“Hadits itu hanya menjelaskan terputusnya amal orang yang telah
meninggal dunia, namun sama sekali tidak menjelaskan terputusnya amal
orang lain yang dihadiahkan kepadanya serta tidak juga melarang hal
tersebut” (Hukm Al-Syari’ah Al-Islamiyah fi Ma’tam Al-Arba’in, 43)
Dari sini maka kita harus yaqin bahwa menghadiahkan pahala ibadah kepada
orang yang meninggal dunia itu ada manfaatnya, karena dengan izin Alloh
SWT akan sampai kepada orang yang dimaksud.
Wallahua’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar