Begitu banyak perilaku penyimpangan yang dilakukan umat hingga saat ini
terkait masalah kubur ini. Ini jelas menyalahi petunjuk Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam bahkan merupakan perilaku penentangan.
Padahal yang seharusnya umat sikapi adalah rasa syukur karena telah
diperbolehkan berziarah kubur yang pada awalnya amalan tersebut
terlarang, bukannya malah menghiasinya, mengkultuskannya, bahkan
beribadah kepadanya, na’udzu billahi min dzaalika. Anjuran menziarahi
tersebut sebagaimana sabda beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam dari
Buraidah bin al-Hushaib radliyallahu ‘anhu,
إِنِّي نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا
تُذَكِّرْكُمْ الاَخِرَةَ. وَ لَتَزِدْكُمْ زَيَارَةُهَا خَيْرًا. فَمَنْ
أَرَادَ أَنْ يَزُورَ فَلْيَزُرْ وَ لاَ تَقُولُوا هُزُوَا.
“Sesungguhnya dahulu aku melarang kalian berziarah kubur. (Sekarang)
berziarahlah kubur. Sesungguhnya akan mengingatkan kalian kepada
akhirat. Dan mengunjungi kuburan akan menambah kebaikan kepada kalian.
Barangsiapa ingin berziarah kubur, silahkan melakukannya, akan tetapi
janganlah kalian mengatakan perkataan yang bathil.” (HR. Muslim dan
Nasa’i)
Sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut merupakan anjuran
yang ditekankan demi sebuah maslahat berupa ingatnya seorang muslim
akan kematian, menyadarkan akan perkara kehidupan sesudah kematian, juga
berfungsi untuk melembutkan hati yang keras akibat berjibaku dengan
dunia beserta perhiasannya yang senantiasa melalaikan.
Islam sebagai agama tidak hanya melulu mengajarkan berbagai hal yang
bersifat ketuhanan (hablum minallah) yang menggambarkan relasi antara
Allah sebagai Khaliq dan Manusia sebagai Makhluq. Tetapi juga masalah
social (hablum minan nas), yang erat hubungannya dengan haqqul adami.
Termasuk di dalamnya adalah tata cara merawat dan menggunakan tanah
kuburan milik umum yang luasnya sangat terbatas sekali.
Hal ini sering kali di salah fahami oleh sebagian masyarakat. Mereka
menganggap bahwa tanah kuburan milik umum yang di dalamnya terpendam
jasad keluarganya, seringkali disalah artikan sebagai tanah milik
keluarga. Entah karena merasa membayar ketika mengkuburkan atau karena
tradisi yang berlaku di lingkungan masyarakat atau karena alasan lain.
Oleh karena itu, seringkali ditemukan usaha untuk merenovasi
(memperbaiki) batu nisan dan kijingnya ketika dianggap telah rusak atau
usang. Seolah mereka lupa bahwa tanah kuburan itu adalah milik umum. Dan
renovasi itu sebenarnya dapat menghalangi orang lain untuk
menyemayamkan mayat di kuburan tersebut. Minimal mengurangi kesempatan
orang lain memanfaatkan luas kuburan umum yang terbatas itu. Dengan kata
lain, perwujudan batu nisan dan kijing yang permanen itu terlalu banyak
memanfaatkan fasilitas umum.
Oleh karena itu wajar bila seorang kyai berwasiat pada anak cucunya,
supaya kelak ketika mati dikubur di tempat umum tanpa menggunakan batu
nisan apalagi kijing permanen. Baiknya kuburan itu ditandai saja dengan
kayu supaya cepat rusak dan hilang di makan waktu. Agar kuburannya itu
itu dapat digunakan untuk mengkubur orang lain lain lagi. Dengan
demikian kyai itu tidak merasa mengambil atau menggunakan fasilitas umum
dalam jangka waktu yang cukup lama. Pertanyaan yang muncul kemudian,
babagaimana hukumnya memperbaharui nisan dan kijingnya dalam tanah
kuburan umum?
Mengenai hal ini, Syamsudin ar-Ramli dalam Nihayatul Muhtaj dan juga
Syikhul Islam Zakariya al-Anshari dalam Fathul Wahab menerangkan bahwa,
segala upaya yang dianggap menghalangi pemanfaatan fasilitas umum di
larang oleh agama. Dalam hal ini, haram hukumnya memperbarui ataupun
membuat perangkat kuburan yang permanen, karena dapat menghalangi orang
lain mengkuburkan jenazah. Dengan catatan mayat yang ada dalam kubur itu
telah rusak. Para ahli berpendapat bahwa sebuah mayat dapat bertahan
hingga 15 tahun hingga 25 tahun. Ada pula yang bertahan hingga 70 tahun,
perbedaan ini berdasarkan pada perbedaan iklim suatu daerah tertentu.
Adapun keterangan dalam kitab Nihyatul Muhtaj adalah sebagai beikut:
أَمَّا بَعْدَ الْبَلاَءِ عِنْدَ مَنْ مَرَّأَي مِنْ أَهْلِ الْخِبْرَةِ
فَلاَ يَحْرُمُ النَّبْشُ بَلْ تَحْرُمُ أَمَارَتُهُ وَ تَسْوِيَةُ تُرَابٍ
عَلَيْهِ إِذَا كَانَ فِي مَقْبَرَةٍ مُسَبَّلَةٍ لإِمْتِنَاعِ النَّاسِ
مِنَ الدَّفْنِ فِيْهِ لِظَنِّهِم بِهِ عَدَمَ الْبَلِى.
“Adapun jenazah yang sudah hancur sesuai dengan perkiraan para ahli yang
sudah berpengalaman tidak diharamkan untuk digali kembali, bahkan
diharamkan membangun bangunan dan meratakan (mengecor) tanah di atasnya
jika berada di kuburan yang landai, karena itu bisa menghalangi orang
lain untuk menguburkan (jenazah lain), karena mereka menyangka (jenazah
yang pertama) belum hancur”. (Syamsuddin Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj,
(Mesir: Matba’ah Musthafa al-Halabi, 1357 H/1938 M), Jilid III, h. 40)
Adapun ibaroh dalam Fathul Wahhab adalah sebagai berikut:
أَمَّا بَعْدَ الْبَلِى فَلاَ يَحْرُمُ نَبْشُهُ أَي الْمَيِّتِ بَلْ
تَحْرُمُ عِمَارَتُهُ وَ تَسْوِيَةُ التُّرَابِ عَلَيْهِ لِئَلاَّ
يَمْتَنِعَ النَّاسُ مِنَ الدَّفْنِ فِيْهِ لِظَنِّهِمْ عَدَمَ الْبَلِيِّ.
“Sedangkan jenazah yang telah hancur maka tidak haram digali, bahkan
yang diharamkan adalah membangun, meratakan (mengecor) tanah di atasnya
agar tidak menghalangi orang lain menguburkan (jenazah lain) karena
menyangka (jenazah yang semula) belum hancur” (Syaikhul Islam Zakariya
al-Anshari, Fathul Wahhab, (Beirut: Maktabah Darul Fikr, 1422 H/2002
M), Juz I, h. 118.)
Kuburan tidak boleh dibangun, baik dengan semen (cor) ataupun yang
lainnya, demikian juga tidak boleh menulisinya. Karena ada hadist yang
shahih dari Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam yang melarang membangun
kuburan dan menulisinya.
Dari Amir bin Sa’ad bahwa Sa’ad bin Abu Waqqash radliyallahu ‘anhuberkata ketika ia sakit menjelang ajalnya,
أَلْحِدُوا لِيْ لَحْدًا, وَانْصِبُوا عَلَيَّ اللبِنَ نَصْبًا, كَمَا صُنِعَ بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّم.
“Galilah lahad untuk kuburku dan dirikan/tancapkan batu bata dia atas
kuburku sebagaimana yang diberlakukan pada kubur Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim)
Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu berkata :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ
الْقَبْرُ، وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ، وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim no. 970, Abu Daawud no. 3225,
At-Tirmidziy no. 1052, An-Nasaa’iy no. 2027-2028 dan dalam Al-Kubraa
2/463 no. 2166, ‘Abdurrazzaaq 3/504 no. 6488, Ahmad 3/295, ‘Abd bin
Humaid 2/161 no. 1073, Ibnu Maajah no. 1562, Ibnu Hibbaan no. 3163-3165,
Al-Haakim 1/370, Abu Nu’aim dalam Al-Musnad Al-Mustakhraj ‘alaa Shahiih
Muslim no. 2173-2174, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 3/410 & 4/4,
Ath-Thayaalisiy 3/341 no. 1905, Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin
3/191 no. 2057 dan dalam Al-Ausath 6/121 no. 5983 & 8/207 8413, Abu
Bakr Asy-Syaafi’iy dalam Al-Fawaaaid no. 860, Abu Bakr Al-‘Anbariy dalam
Hadiits-nya no. 68, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar1/515-516
no. 2945-2946, dan yang lainnya.
Asal dari larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan
keharaman sebagaimana telah dimaklumi dalam ilmu ushul fiqh. Bahkan
‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu – nenek moyang para habaaib –
adalah salah seorang shahabat yang sangat bersemangat melaksanakan
perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut sebagaimana
terdapat dalam riwayat :
عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ، قَالَ: قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي
طَالِبٍ: " أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا
إِلَّا طَمَسْتَهُ، وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ "
Dari Abul-Hayyaaj Al-Asadiy, ia berkata : ‘Aliy bin Abi Thaalib pernah
berkata kepadaku : “Maukah engkau aku utus sebagaimana Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengutusku ? Hendaklah engkau tidak
meninggalkan gambar-gambar kecuali engkau hapus dan jangan pula kamu
meninggalkan kuburan yang ditinggikan kecuali kamu ratakan”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 969, Abu Daawud no. 3218, At-Tirmidziy no.
1049, An-Nasaa’iy no. 2031, dan yang lainnya].
Karena hal itu termasuk bentuk sikap ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga wajib mencegahnya.
Selain itu, menulis kuburan juga beresiko menimbulkan dampak atau
konsekuensi berupa sikap ghuluwberlebihan dan sikap-sikap lain yang
dilarang syar’iat. Yang dibolehkan adalah mengembalikan tanah galian
lubang kubur ke tempatnya lalu ditinggikan sekitar satu jengkal sehingga
orang-orang tahu bahwa di situ ada kuburan. Inilah yang sesuai sunnah
dalam masalah kuburan yang dipraktekkan oleh Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam serta para sahabatnya radhiallahu’anhum.
Tidak boleh pula menjadikan kuburan sebagai masjid (tempat ibadah),
tidak boleh pula menaunginya, ataupun membuat kubah di atasnya.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam :
لَعَنَ اللهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kuburan
para Nabi mereka sebagai masjid (tempat ibadah)” (Muttafaqun ‘alaihi)
Juga berdasarkan hadits riwayat Muslim dalam Shahih-nya dari sahabat
Jundub bin Abdillah Al Bajali radhiallahu’anhu, beliau berkata, Aku
mendengar Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam ketika lima hari
sebelum hari beliau meninggal, beliau bersabda :
إِنَّ اللهَ قَدِ اتَّخَذَنِي خَلِيْلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيْمَ
خَلِيْلاً وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيْلاً لاَتَّخَذْتُ
أَبَا بَكْرٍ خَلِيلاً، أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا
يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ، أَلاَ
فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ، فَإِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
“Sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil (kekasih)-Nya
sebagaimana Ia menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya. Seandainya aku
menjadikan seseorang dari umatku sebagai kekasihku, maka aku akan
menjadikan Abu Bakar sebagai kekasihku. Ketahuilah bahwa orang-orang
sebelum kalian telah menjadikan kuburan para Nabi dan orang shalih
diantara mereka sebagai tempat ibadah. Ketahuilah, janganlah kalian
menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid (tempat ibadah), karena
sungguh aku melarang kalian melakukan hal itu”
Bukankah Makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Dikijing?
Anda mungkin sering mendengar informasi ini. Dan info ini menjadi alasan utama untuk melegalkan praktek meninggikan kuburan,
Ada beberapa jawaban untuk menegaskan bahwa kalimat ini adalah alasan yang salah,
Makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dikijing, tidak
ditinggikan melebihi gundukan tanah normal. Itulah kondisi makam beliau
yang ada di zaman sahabat. Saksi sejarah keterangan ini adalah riwayat
dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُلْحِدَ وَنُصِبَ
عَلَيْهِ اللَّبِنُ نَصَبًا، وَرُفِعَ قَبْرُهُ مِنَ الْأَرْضِ نَحْوًا
مِنْ شِبْرٍ
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dimakamkan dalam liang lahat,
diletakkan batu nisan di atasnya, dan kuburannya ditinggikan dari
permukaan tanah setinggi satu jengkal.
Persaksian lain disampaikan oleh Sufyan bin Dinar at-Tammar – seorang ulama tabiin –,
أَنَّهُ رَأَى قَبْرَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسَنَّمًا
”Bahwa beliau melihat makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk gundukan.” (HR. Bukhari 2/103).
Dalam riwayat lain, Sufyan at-Tammar mengatakan,
دخلت البيت الذي فيه قبر النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فرأيت قبر
النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وقبر أبي بكر وعمر مُسنَّمةً
”Saya masuk ke rumah yang di dalamnya ada makam Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Aku lihat makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu
Bakar, dan Umar dalam bentuk gundukan.” (HR. Ibn Abi Syaibah 11734).
Persaksian lain disampaikan oleh tiga ulama senior tabiin, Abu Ja’far,
Salim murid Ibn Umar, dan al-Qosim bin Muhammad cucu Abu Bakr as-Shidiq.
Mereka mengatakan,
كان قبر النبي صلى الله عليه وسلم وأبي بكر، وعمر جثى قبلة نصب لهم اللبن نصبا، ولحد لهم لحدا
Makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, dan Umar berupa
gundukan menyerong kiblat, diberi batu nisan, dan dimakamkan dalam liang
lahat. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushanaf 11634).
Semua riwayat ini menggambarkan keadaan awal makam Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para sahabat tidak membuat kijing untuk
makam beliau, tidak pula memberikan kubah di atasnya. Sementara kita
sepakat, tidak ada manusia yang lebih mencintai nabinya, melebihi para
sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Namun rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidaklah membuat mereka menyalahi aturan. Karena kecintaan mereka kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka ekspresikan dalam bentuk
ittiba’ (mengikuti aturan) yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Itulah makna cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang sesungguhnya.
Al-Qadhi Iyadh – seorang ulama syafiiyah – mengatakan,
فالصادق في حب النبي صلى الله عليه وسلم من تظهر علامة ذلك عليه وأولها:
الاقتداء به واستعمال سنته واتباع أقواله وأفعاله وامتثال أوامره واجتناب
نواهيه والتأدب بآدابه في عسره ويسره ومنشطه ومكرهه وشاهد
Orang yang jujur dalam mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah orang yang menampakkan ciri mengikuti jejak beliau, terutama
adalah dengan meneladani beliau, mengamalkan sunahnya, mengikuti semua
ucapan dan perbuatannya, melaksanakan segala perintah dan menjauhi
larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-adab yang beliau
contohkan, baik dalam keadaan susah maupun senang dan keadaan lapang
maupun sempit. (asy-Syifa Bita’riifi Huquuqil Mushthafa, 2/24).
Larangan membangun kubur ini kemudian diteruskan oleh para ulama madzhab.
Madzhab Syaafi’iyyah, maka Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :
وأحب أن لا يبنى ولا يجصص فإن ذلك يشبه الزينة والخيلاء وليس الموت موضع
واحد منهما ولم أر قبور المهاجرين والانصار مجصصة ...... وقد رأيت من
الولاة من يهدم بمكة ما يبنى فيها فلم أر الفقهاء يعيبون ذلك
“Dan aku senang jika kubur tidak dibangun dan tidak dikapur/disemen,
karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan. Orang yang mati
bukanlah tempat untuk salah satu di antara keduanya. Dan aku pun tidak
pernah melihat kubur orang-orang Muhaajiriin dan Anshaar dikapur.....
Dan aku telah melihat sebagian penguasa meruntuhkan bangunan yang
dibangunan di atas kubur di Makkah, dan aku tidak melihat para fuqahaa’
mencela perbuatan tersebut” [Al-Umm, 1/316 – via Syamilah].
An-Nawawiy rahimahullah ketika mengomentari riwayat ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu di atas berkata :
فيه أن السنة أن القبر لا يرفع على الأرض رفعاً كثيراً ولا يسنم بل يرفع نحو شبر ويسطح وهذا مذهب الشافعي ومن وافقه،
“Pada hadits tersebut terdapat keterangan bahwa yang disunnahkan kubur
tidak terlalu ditinggikan di atas permukaan tanah dan tidak dibentuk
seperti punuk onta, akan tetapi hanya ditinggikan seukuran sejengkal dan
meratakannya. Ini adalah madzhab Asy-Syaafi’iy dan orang-orang yang
sepakat dengan beliau” [Syarh An-Nawawiy ‘alaa Shahih Muslim, 3/36].
Di tempat lain ia berkata :
وَاتَّفَقَتْ نُصُوصُ الشَّافِعِيِّ وَالْأَصْحَابِ عَلَى كَرَاهَةِ
بِنَاءِ مَسْجِدٍ عَلَى الْقَبْرِ سَوَاءٌ كَانَ الْمَيِّتُ مَشْهُورًا
بِالصَّلَاحِ أَوْ غَيْرِهِ لِعُمُومِ الْأَحَادِيثِ
“Nash-nash dari Asy-Syaafi’iy dan para shahabatnya telah sepakat tentang
dibencinya membangun masjid di atas kubur. Sama saja, apakah si mayit
masyhur dengan keshalihannya ataupun tidak berdasarkan keumuman
hadits-haditsnya” [Al-Majmuu’, 5/316].
Adapun madzhab Hanafiyyah, berikut perkataan Muhammad bin Al-Hasan rahimahullah :
أَخْبَرَنَا أَبُو حَنِيفَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا شَيْخٌ لَنَا يَرْفَعُ
إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنْ
تَرْبِيعِ الْقُبُورِ، وَتَجْصِيصِهَا ". قَالَ مُحَمَّدٌ: وَبِهِ
نَأْخُذُ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Haniifah, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami seorang syaikh kami yang memarfu’kan riwayat
sampai pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya beliau
melarang untuk membangun dan mengapur/menyemen kubur. Muhammad (bin
Al-Hasan) berkata : Dengannya kami berpendapat, dan ia juga merupakan
pendapat Abu Haniifah” [Al-Aatsaar no. 257].
Juga Ibnu ‘Aabidiin Al-Hanafiy rahimahullah yang berkata :
وَأَمَّا الْبِنَاءُ عَلَيْهِ فَلَمْ أَرَ مَنْ اخْتَارَ جَوَازَهُ....
وَعَنْ أَبِي حَنِيفَةَ : يُكْرَهُ أَنْ يَبْنِيَ عَلَيْهِ بِنَاءً مِنْ
بَيْتٍ أَوْ قُبَّةٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ
“Adapun membangun di atas kubur, maka aku tidak melihat ada ulama yang
memilih pendapat membolehkannya..... Dan dari Abu Haniifah : Dibenci
membangun bangunan di atas kubur, baik berupa rumah, kubah, atau yang
lainnya” [Raddul-Mukhtaar, 6/380 – via Syamilah].
Madzhab Maalikiyyah, maka Maalik bin Anas rahimahullah berkata :
أَكْرَهُ تَجْصِيصَ الْقُبُورِ وَالْبِنَاءَ عَلَيْهَا
“Aku membenci mengapur/menyemen kubur dan bangunan yang ada di atasnya” [Al-Mudawwanah, 1/189].
Juga Al-Qurthubiy rahimahullah yang berkata :
فاتخاذ المساجد على القبور والصلاة فيها والبناء عليها، إلى غير ذلك مما تضمنته السنة من النهي عنه ممنوع لا يجوز
“Membangun masjid-masjid di atas kubur, shalat di atasnya, membangun
bangunan di atasnya, dan yang lainnya termasuk larangan dari sunnah,
tidak diperbolehkan” [Tafsiir Al-Qurthubiy, 10-379].
Madzhab Hanaabilah, maka Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
ويكره البناء على القبر وتجصيصه والكتابة عليه لما روى مسلم في صحيحه قال :
[ نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم أن يجصص القبر وأن يبنى عليه وأن
يقعد عليه ] - زاد الترمذي - [ وأن يكتب عليه ] وقال : هذا حديث حسن صحيح
ولأن ذلك من زينة الدنيا فلا حاجة بالميت إليه
“Dan dibenci bangunan yang ada di atas kubur, mengkapurnya, dan menulis
tulisan di atasnya, berdasarkan riwayat Muslim dalam Shahiih-nya :
‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kubur untuk
dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya’. At-Tirmidziy
menambahkan : ‘Dan menulis di atasnya’, dan ia berkata : ‘Hadits hasan
shahih’. Karena itu semua merupakan perhiasan dunia yang tidak
diperlukan oleh si mayit” [Al-Mughniy, 2/382].
Juga Al-Bahuutiy Al-Hanbaliy rahimahullah yang berkata :
ويحرم اتخاذ المسجد عليها أي: القبور وبينها لحديث أبي هريرة أن النبي صلى
الله عليه وسلم قال: لعن الله اليهود اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد. متفق
عليه
“Dan diharamkan menjadikan masjid di atas kubur, dan membangunnya
berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : ‘Allah melaknat orang Yahudi yang telah menjadikan
kubur para nabi mereka sebagai masjid-masjid’. Muttafaqun ‘alaih”
[Kasysyaaful-Qinaa’, 3/774].
Juga Al-Mardawiy rahimahullah yang berkata :
وَأَمَّا الْبِنَاءُ عَلَيْهِ : فَمَكْرُوهٌ ، عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ
الْمَذْهَبِ ، سَوَاءٌ لَاصَقَ الْبِنَاءُ الْأَرْضَ أَمْ لَا ، وَعَلَيْهِ
أَكْثَرُ الْأَصْحَابِ قَالَ فِي الْفُرُوعِ : أَطْلَقَهُ أَحْمَدُ ،
وَالْأَصْحَابُ
“Adapun bangunan di atas kubur, hukumnya makruh berdasarkan pendapat
yang shahih dari madzhab (Hanaabilah), sama saja, apakah bangunan itu
menempel tanah ataukah tidak. Pendapat itulah yang dipegang kebanyakan
shahabat Ahmad. Dalam kitab Al-Furuu’dinyatakan : Ahmad dan
shahabat-shahabatnya memutlakkan (kemakruhan)-nya” [Al-Inshaaf, 2/549].
Madzhab Dhaahiriyyah, maka Ibnu Hazm rahimahullah berkata :
مَسْأَلَةٌ: وَلاَ يَحِلُّ أَنْ يُبْنَى الْقَبْرُ, وَلاَ أَنْ يُجَصَّصَ,
وَلاَ أَنْ يُزَادَ عَلَى تُرَابِهِ شَيْءٌ, وَيُهْدَمُ كُلُّ ذَلِكَ
“Permasalahan : Dan tidak dihalalkan kubur untuk dibangun,
dikapur/disemen, dan ditambahi sesuatu pada tanahnya. Dan semuanya itu
(bangunan, semenan, dan tanah tambahan) mesti dirobohkan” [Al-Muhallaa,
5/133].
Meletakkan batu nisan
Meskipun para ulama membenci penulisan di atas kubur secara mutlak,
namun mereka membuat pengecualian (pembolehan) sebatas ada kebutuhan,
misalkan hanya menuliskan nama orang yang wafat di atas kuburan agar
kuburannya dikenali, bukan dalam kategori bermegah-megahan. Mengenai
menuliskan sesuatu di makam, dimakruhkan kecuali jika dikarenakan
luasnya kuburan atau banyaknya bebatuan di sekitar kuburan. Dimana dalam
kondisi demikian dapatlah diterima untuk membuat tulisan nama di atas
makam, sekedar mengenalinya.
Pengambilan hukum ini diqiyaskan dari hadits berikut:
وَضْعِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ الحَجَرَ عَلَى قَبْرِ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan batu di atas kuburan
Utsman bin Mazh’un” [HR. Ibnu Majah dalam Al-Jana’iz no. 1561, dari
hadits Anas radhiyallahu ‘anhu. Al-Albani berkata dalam Shahih Ibnu
Majah: “hasan shahih”]
Hadits ini merupakan takhshiish bil qiyas dari keumuman larangan, kaidah
ini dipakai oleh kebanyakan ulama. Hendaklah ia meminimalisir penulisan
nama sebatas agar kuburan itu dikenali saja ketika dikhawatirkan
kuburan itu hilang atau dilupakan. Mungkin dengan penulisan nama saja
atau nomor makam tanpa penambahan bangunan dan semisalnya. Hal ini
sesuai dengan kaidah,
مَا جَازَ لِعُذْرٍ بَطَلَ بِزَوَالِه
“Hal-hal yang diperbolehkan karena udzur, menjadi terlarang apabila udzur itu hilang”.
Apabila memungkinkan dengan batu atau yang lain agar dapat dikenali,
maka tidak apa-apa. Semua itu adalah upaya untuk mencapai tujuan yang
dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap kuburan Utsman bin
Mazh’un radhiyallahu ‘anhu dalam haditsnya:
أَتَعَلَّمُ بِهَا قَبْرَ أَخِي، وَأَدْفِنُ إِلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِي
“Apakah kuburan saudaraku ini diberi tanda? Aku akan menguburkan
bersamanya orang-orang yang wafat dari keluargaku” [HR. Abu Daud dalam
Al-Jana’iz no. 3206, Al-Baihaqi no. 6843, dari hadits Al-Muthalib bin
Abdillah bin Hanthab radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini dihasankan oleh
Ibnul Mulaqqin dalam Al-Badr Al-Munir(2/29), Ibnu Hajar dalam Talkhis
Al-Habiir (5/229) dan Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (7/161)]
Imam Nawawi -rohimahulloh- mengatakan:
ويستحب أن يجعل عند رأسه علامة من حجر أو غيره لأنالنبي صلى الله عليه وسلم
دفن عثمان بن مظعون ووضع عندرأسه حجرا ولأنه يعرف به فيزار
Dianjurkan untuk menjadikan TANDA (nisan) DI POSISI KEPALA MAYIT, baik
dari batu atau yg selainnya... Karena Nabi -shollallohu alaihi wasallam-
dahulu menguburkan Sahabatnya Utsman bin Mazh'un, dan meletakkan batu
(nisan) DI POSISI KEPALANYA... Dan karena hal itu menjadikan kuburannya
dikenal, sehingga bisa diziarahi. (Kitab Majmu', karya Imam Nawawi,
5/296)
Imam Nawawi -rohimahulloh- juga mengatakan:
السنة أن يجعل عند رأسه علامة شاخصة من حجر أو خشبة أوغيرهما هكذا قاله الشافعي... والمعروف في روايات حديثعثمان حجر واحد والله أعلم
Sunnahnya adalah menjadikan TANDA (nisan) yg jelas DI POSISI KEPALA
MAYIT, baik terbuat dari batu, atau kayu, atau benda lainnya. Itulah yg
dikatakan oleh IMAM SYAFI'I... Yang ma'ruf dalam beberapa riwayat hadits
(yg menerangkan tentang kuburan) Sahabat Utsman bin Mazh'un adalah
dengan SATU BATU NISAN. wallohu a'lam. (Kitab Majmu', Karya Imam Nawawi,
5/298)
Syaikh Al-Khathib Asy-Syarbini dalam kitab Mughni Al-Muhtaj
ويسن أيضا وضع الجريد الأخضر على القبر وكذا الريحان ونحوه من الشيء الرطب
ولا يجوز للغير أخذه من على القبر قبل يبسه لأن صاحبه لم يعرض عنه إلا عند
يبسه لزوال نفعه الذي كان فيه وقت رطوبته وهو الاستغفار ( و ) أن يوضع (
عند رأسه حجر أو خشبة ) أو نحو ذلك لأنه صلى الله عليه وسلم وضع عند رأس
عثمان بن مظعون صخرة وقال أتعلم بها قبر أخي لأدفن إليه من مات من أهلي
رواه أبو داود وعن الماوردي استحباب ذلك عند رجليه أيضا
“Disunnahkan menaruh pelepah kurma hijau (basah) di atas kuburan, begitu
juga tumbuh-tumbuhan yang berbau harum dan semacamnya yang masih basah
dan tidak boleh bagi orang lain mengambilnya dari atas kuburan sebelum
masa keringnya karena pemiliknya tidak akan berpaling darinya kecuali
setelah kering sebab telah hilangnya fungsi penaruhan benda-benda
tersebut dimana selagi benda tersebut masih basah maka akan terus
memohonkan ampunan padanya. Dan hendaknya ditaruh batu, atau sepotong
kayu atau yang semacamnya dekat kepala kuburan mayat karena Nabi
Muhammad SAW meletakkan sebuah batu besar didekat kepala ‘Utsman Bin
madz’un seraya berkata : “Aku tandai dengan batu kuburan saudaraku agar
aku kuburkan siapa saja yang meninggal dari keluargaku” (HR. Abu Daud) ,
menurut Imam mawardy kesunahan meletakkan tanda tersebut juga berlaku
di dekat kedua kaki mayat”
( Mughni Almuhtaaj I/364 )
Imam kita asy-Syafi`i meriwayatkan daripada Ibraahiim bin Muhammad
daripada Ja'far bin Muhammad daripada ayahandanyabahawasanya Junjungan
Nabi s.a.w. telah menyiram (air) atas kubur anakanda baginda Ibrahim dan
meletakkan atasnya batu-batu kerikil. Riwayat ini terkandung dalam
"Musnad al-Imam al-Mu`adzhdzham wal Mujtahid al-Muqaddam Abi 'Abdillah
Muhammad bin Idris asy-Syafi`i r.a.", juzuk 1, halaman 215.
Maka perbuatan baginda inilah yang dijadikan dalil oleh para ulama kita
untuk menghukumkan sunnat menjirus atau menyiram air ke atas pusara si
mati diiringi doa agar Allah mencucurikan rahmat dan kasih sayangNya
kepada almarhum/almarhumah. Amalan ini sudah sebati dengan masyarakat
kita, walaupun sesekali ada yang mempertikaikannya. Pernah aku mendengar
seseorang dalam ceramahnya yang berapi-api membid`ahkan amalan ini.
Maaf maaf cakap, mungkin pengajiannya belum tamat agaknya, atau mungkin
waktu tok guru sedang mengajar bab ini dia tertidur atau ponteng tak
turun kuliyyah agaknya.
Pihak yang melakukannya pula ada yang hanya ikut-ikutan sahaja tanpa
mengetahui hukumnya dalam mazhab yang kita pegangi. Ada yang
melakukannya tetapi tidak kena caranya sehingga berubah hukumnya dari
sunnat menjadi makruh. Untuk manfaat bersama, amalan menjirus air ke
kubur dipandang SUNNAT dalam mazhab kita Syafi`i. Tetapi yang
disunnatkan hanya dengan air semata-mata dan bukannya air mawar
sebagaimana kelaziman sesetengah masyarakat kita. Menjirus air dengan
air mawar dihukumkan MAKRUH kerana ianya merupakan satu pembaziran. Dan
mutakhir ini, timbul tradisi yang tidak sihat, di mana penziarah,
terutama dari kalangan berada, membuang duit untuk membeli jambangan
bunga untuk diletakkan di atas pusara, persis kelakuan dan perlakuan
penganut agama lain. Kalau dahulu, orang hanya memetik bunga-bungaan
yang ditanamnya sendiri di sekeliling rumah seperti daun pandan, bunga
narjis dan sebagainya yang diperolehi dengan mudah dan tanpa sebarang
kos. Ini tidaklah menjadi masalah kerana boleh dikiaskan perbuatan
Junjungan yang meletakkan pelepah tamar atas kubur. Tetapi menghias
kubur dengan jambangan bunga yang dibeli dengan harga yang mahal, maka
tidaklah digalakkan bahkan tidak lepas dari serendah-rendahnya
dihukumkan makruh yakni dibenci Allah dan rasulNya dan diberi pahala
pada meninggalkannya, seperti juga menjirus kubur dengan air mawar. Maka
hendaklah dihentikan perbuatan menghias-hias kubur secara berlebihan,
membazir dan membuangkan harta. Adalah lebih baik jika wang yang
digunakan untuk tujuan tersebut disedekahkan kepada faqir dan miskin
atas nama si mati, dan ketahuilah bahawa sampainya pahala sedekah harta
kepada si mati telah disepakati oleh sekalian ulama tanpa ada khilaf.
Dalam "I`anatuth Tholibin" karya Sidi Syatha ad-Dimyathi, jilid 2, mukasurat 135 - 136 dinyatakan:-
و يسن أيضا وضع حجر أو خشبة عند رأس الميت،
لأنه صلى الله عليه و سلم وضع عند رأس عثمان بن مظعون
صخرة، و قال: أتعلم بها قبر أخي لأدفن فيه من مات من أهلي.
و رش القبر بالماء لئلا ينسفه الريح،
و لأنه صلى الله عليه و سلم فعل ذلك بقبر ابنه إبراهيم.
راوه الشافعي، و بقبر سعد رواه ابن ماجه،
و امر به في قبر عثمان بن مظعون راوه الترمذي.
و سعد هذا هو ابن معاذ.
و يستحب ان يكون الماء طاهر طهورا باردا،
تفاؤلا بأن الله تعالى يبرد مضجعه.
و يكره رشه بماء ورد و نحوه، لأنه إسراف و إضاعة مال
Dan disunnatkan meletakkan batu atau kayu (nisan) di sisi kepala mayyit,
kerana bahawasanya Junjungan Nabi s.a.w. meletakkan sebiji batu besar
(nisan) di sisi kepala (kubur) Sayyidina 'Utsman bin Madzh`uun, dan
Junjungan bersabda: "Agar diketahui dengannya kubur saudaraku supaya aku
boleh mengkebumikan padanya sesiapa yang mati daripada keluargaku". Dan
(disunnatkan) menyiram (menjirus) kubur dengan air agar debu-debu tanah
tidak ditiup angin dan kerana bahawasanya Junjungan Nabi s.a.w.
melakukan sedemikian pada kubur anakanda baginda Sayyidina Ibrahim
sebagaimana diriwayatkan oleh Imam asy-Syafi`i; Dan juga pada kubur
Sa`ad (yakni Sa`ad bin Mu`aadz) sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam
Ibnu Majah, dan Junjungan s.a.w. telah memerintahkan dengannya (yakni
dengan menjirus air) pada kubur Sayyidina 'Utsman bin Madzh`uun
sebagaimana diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi. Dan yang mustahab adalah
air tersebut suci lagi mensucikan dan sejuk (air mutlak biasa, jangan
pulak disalahfaham dengan air sejuk peti ais plak), sebagai tafa`ul
(mengambil sempena) mudah-mudahan Allah menyejukkan kubur si mati (yakni
menyamankan keadaan si mati di tempat perbaringannya dalam kubur
tersebut). Danmakruh menyiram atau menjirus dengan air mawar atau
seumpamanya kerana perbuatan tersebut adalah satu pembaziran dan
mensia-siakan harta.
Begitulah ketentuan hukum menjirus kubur dengan air biasa dalam mazhab
asy-Syafi`i. Diharap sesiapa yang telah beramal, tahu yang amalannya
itu adalah sebagai menurut perbuatan Junjungan Nabi s.a.w. dan hendaklah
diharap pahala atas amalannya tersebut dengan niat mencontohi amalan
Baginda.
Khotimah
Dengan demikian, yang diajarkan oleh Islam tentang kuburan, adalah
meninggikannya sekitar satu jengkal dan meletakkan batu nisan sebagai
tanda bahwa di tempat itu ada kuburan, hingga tidak terjadi penghinaan
kepada kuburan seperti diinjak, diduduki, dijadikan tempat untuk
membuang kotoran dan sebagainya. Adapun menembok dan mendirikan bangunan
di atasnya adalah hal yang dilarang. Rasulullah SAW bersabda,
"Rasulullah SAW melarang menyemen kubur, duduk di atasnya dan
membangunnya." (HR. Muslim)
Kalau kita perhatikan, memang kebanyakan makam para tokoh memang
ditembok tinggi. seperti maqam Al-Imam Asy-Syafi''i di Mesir.demikian
juga Kuburan Imam al-Bukhari pun ditinggikan. As-Subki dmenyatakan:
“Adapun tentang tanah (kuburan), mereka telah meninggikan tanah
kuburannya sehingga nampak menonjol.
Kuburan Imam Ahmad bin Hanbal (wafat tahun 241 H) juga dibuat menonjol dan masyhur menjadi tujuan ziarah para penziarah.
Dan demikian juga tokoh-tokoh islam lainnya, kubur mereka rata-rata
dditinggikan dan diberi tulisan. pengenal. Demikian juga kubur Abu
Ayyub Al-Anshari, bahkan kubur Rasulullah SAW dan dua sahabat Abu Bakar
dan Umar.
Sebenarnya, tidaklah bijak kita terlalu meributkan masalah ini. Lagian,
kan cuma makam, sama sekali tidak ada nilai ibadah ritualnya. Kalau pun
ada nilainya, lebih kepada nilai sejarah dari perjuangan para ulama'
yang telah dimakamkan tersebut. Jika memang kita menemui adanya praktik
yang menyimpang dari ziarah kubur, praktik tersebutlah yang harus kita
benahi.
Meskipun kita lebih cendrung memilih pendapat yang membolehkan
memberikan tanda kubur dengan adanya gundukan dan tulisan, tetapi kalau
kita kembalikan kepada bentuk idealnya, mungkin yang paling ideal adalah
seperti kubur para shahabat nabi di Makkah atau di Madinah. Semua makam
jadi satu, tanpa nisan, tanpa tanda apapun. Yang ada cuma gundukan
pasir dan tanah saja.
Itu yang paling ideal, sebagai bentuk implementasi dari hadits-hadits yang tidak membolehkan adanya bangunan di atas kuburan.
Wallahua’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar