Rabu, 26 Februari 2020

Hukum Memakan Harta Anak Yatim


Islam adalah agama yang datang dari Allâh Yang Maha sempurna. Oleh karena itu, ajaran agama Islam juga sempurna. Islam mengajarkan kepada manusia untuk beribadah kepada al-Khâliq, Allâh Sang Pencipta, juga mengajarkan untuk berbuat baik kepada makhluk. Marilah kita perhatikan satu ayat yang agung dan bawah ini:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا 
Beribadahlah kepada Allâh dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. [An-Nisa’/4: 36]
PERINTAH BERBUAT BAIK KEPADA ANAK YATIM
Di antara ajaran Islam yang agung adalah perintah untuk berbuat baik kepada anak yatim, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla perintahkan dalam ayat di atas. Anak yatim adalah anak yang belum baligh dan telah ditinggal mati oleh bapaknya. 
Allâh Azza wa Jalla memuji al-Abrâr (orang-orang yang berbakti kepada Allâh), karena sifat-sifat mereka yanng utama. Salah satunya adalah memberi makan kepada anak yatim. Allâh Subahnahu wa Ta’ala berfirman:
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. [Al-Insân/76: 8]
Dan Allâh Azza wa Jalla mencela orang-orang yang tidak mempedulikan anak yatim.
كَلَّا ۖ بَلْ لَا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ ﴿١٧﴾ وَلَا تَحَاضُّونَ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin. [Al-Fajr/89: 17-18]
Anjuran berbuat baik kepada anak yatim lebih ditekankan jika anak yatim itu merupakan kerabat. Allâh Subahnahu wa Ta’ala berfirman:
فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ ﴿١١﴾ وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ ﴿١٢﴾ فَكُّ رَقَبَةٍ ﴿١٣﴾ أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ ﴿١٤﴾ يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ 
Tetapi dia (manusia itu) tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat. [Al-Balad/90: 11-15]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alahi wa sallam juga memberitakan bahwa orang yang mencukupi kebutuhan anak yatim akan masuk surga berdekatan dengan Beliau Shallallahu ‘alahi wa sallam.
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا وَقَالَ بِإِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
Dari Sahl bin Sa’ad, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Saya dan orang yang mencukupi anak yatim di dalam sorga seperti ini”, beliau berisyarat dengan dua jari beliau, jari telunjuk dan jari tengah. [HR Al-Bukhâri]
Beliau juga bersabda di lain kesempatan :
 خير بيت فى المسلمين بيت فيه يتيم محسن اليه, وشر بيت فى المسلمين بيت فيه يتيم يساء اليه (رواه ابن ماجه
“Rumah yang paling baik di kalangan kaum muslimin ialah suatu rumah yang di dalamnya ada anak yatim dipelihara dengan baik-baik. Dan rumah yang paling jelek di kalangan muslimin ialah suatu rumah yang di dalamnya ada anak yatim diperlakukan dengan jelek.( Hadits riwayat Ibnu Majah)” 
Alangkah luhurnya apa yang dianjurkan oleh Islam, yaitu kita harus berlaku hati-hati jangan sampai memakan harta anak yatim, dan kita dibebani agar menanggung mereka serta memelihara mereka dengan baik-baik seolah-olah kita memelihara anak-anak kita sendiri. Karena dengan perlakuan yang baik dari kita, mereka akan merasakan penderitaannya akan hilang dan hatinya menjadi terhibur, sehingga mereka bisa tumbuh dengan wajar dan kelak mereka akan bisa menjadi orang-orang yang berguna.‎
Larangan memakan harta anak yatim
Memakan harta anak yatim secara tidak sah adalah termasuk dosa besar. Sebab anak yatim adalah sosok manusia yang sangat membutuhkan bantuan baik dibidang pendidikan, kehidupan, sehari – hari  seperti sandang, papan dan lain – lain. Oleh karena itu mengambil harta anak yatim dengan cara aniaya termasuk dosa besar. 
Ketika seorang anak menjadi yatim, karena ditinggal mati oleh orangtuanya, Islam menganjurkan agar kaum muslimin, terutama kaum kerabatnya, dapat menjaga dan mengurus harta mereka yang diperolehnya melalui proses pewarisan. Pengurusan harta anak yatim ini terus berlangsung sampai usia anak ini menjadi dewasa sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut.
(Tafsir QS. An-Nisa [4] : 6)
وَٱبۡتَلُواْ ٱلۡيَتَـٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُواْ ٱلنِّكَاحَ فَإِنۡ ءَانَسۡتُم مِّنۡہُمۡ رُشۡدً۬ا فَٱدۡفَعُوٓاْ إِلَيۡہِمۡ أَمۡوَٲلَهُمۡ‌ۖ وَلَا تَأۡكُلُوهَآ إِسۡرَافً۬ا وَبِدَا
رًا أَن يَكۡبَرُواْ‌ۚ وَمَن كَانَ غَنِيًّ۬ا فَلۡيَسۡتَعۡفِفۡ‌ۖ وَمَن كَانَ فَقِيرً۬ا فَلۡيَأۡكُلۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِ‌ۚ فَإِذَا دَفَعۡتُمۡ إِلَيۡہِمۡ أَمۡوَٲلَهُمۡ فَأَشۡہِدُواْ عَلَيۡہِمۡ‌ۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبً۬ا
 
"Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup untuk nikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah mempunyai rusydan, maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Siapa yang mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu dengan ma'ruf. Kemudian apabila kamu meyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas (atas persaksian itu)."
Asbabun Nuzul
Dalam tafsir al-munir dikisahkan, bahwa seorang yatim bernama Tsabit bin Rifa'ah. Rifa'ah wafat meninggalkan harta sedangkan Tsabit masih kecil. Pamannya (saudara Rifa'ah) menjadi pengurusnya. Ia mendatangi Rasulullah SAW, katanya "sungguh anak saudaraku seorang yatim dalam pemeliharaanku, apakah hartanya halal jika saya makan? Harus kapan diserahkan kepada Tsabit?" sebagai jawabannya, maka turunlah ayat ini (atas).
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a, bahwa ayat ini diturunkan sekaitan dengan wali anak yatim yang faqir sehingga ia makan hartanya karena sangat membutuhkan.
Tafsir Mufrodat
Nikah
Nikah sering diartikan kawin. Pada ayat ini tidak diartikan kawin, tetapi yang dimaksudkan adalah dewasa, jika laki-laki sudah ihtilam (mimpi bersenggama), kalau perempuan sudah haidl. Tetapi jika dikaitkan dengan harta, maka maksudnya adalah sudah bisa mengurus diri sendiri, mengelola hartanya dan membiayai sendiri. Ayat ini memberi pengertian lain ; sekalipun seorang anak laki-laki sudah ihtilam, jika belum bisa mengurus diri dan hidupnya masih tergantung kepada orang tua, maka ia tidak layak menikah. Demikian juga perempuan yang tidak bisa mengatur belanja belum layak berumah tangga. Disebut siap menikah apabila seseorang sudah mempunyai kematangan biologis, ekonomi, sosial, intelektual, emosional, dan spiritual.
Rusydan
ROSYADA - YARSYUDU artinya memimpin, mengajar, mendapai kedewasaan. ROSYID artinya orang yang berakal, pintar, bijaksana, insaf, yang mengikuti jalan yang benar. RUSYDAN artinya akal, dewasa, keshalehan, kebenaran, kesadaran, jalan yang lurus. Firman Allah
لااكره فى الدين قد تبين الرشد من الغي
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat... (QS. Al-Baqarah [2] : 256)
Ma'ruf
AROFA - YA'RIFU - IRFANAN artinya mengetahui, mengenal, mengakui, arif bijaksana, sabar. 'ARIF orangnya, MA'RUF = yang diketahui, maksudnya yang diketahui nilai baiknya. Adat atau sikap yang sopan yang tidak diatur dalam agama tetapi tidak bertentangan dengan syari'at. Misalnya cium tangan kepada Ibu Bapak. Ma'ruf dalam mengelola harta adalah tidak membelanjakan kepada hal-hal yang tidak berguna.
Tafsir Ayat
وَٱبۡتَلُواْ ٱلۡيَتَـٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُواْ ٱلنِّكَاحَ
Didiklah anak-anak yatim dengan agama Islam dan ilmu pengetahuan lain serta keterampilan sebagaimana mendidik anak sendiri, sehingga apabila sudah berumur baligh ujilah mereka. Pengujian tidak dilakukan seperti kepada anak sekolah secara regular. Lihatlah kemampuan kerjanya, perhatikan pelaksanaann ibadahnya, amati tingkah lakunya, ajak ngobrol tentang masa depannya. Latihlah dalam membelanjakan uangnya. Berilah kepercayaan kepadanya untuk mengelola harta secara bertahap. Tanya pula apakah ia sudah siap untuk nikah.
فَإِنۡ ءَانَسۡتُم مِّنۡہُمۡ رُشۡدً۬ا فَٱدۡفَعُوٓاْ إِلَيۡہِمۡ أَمۡوَٲلَهُمۡ‌ۖ
Jika hasilnya menggembirakan sebagaimana yang diharapkan dan kamu benar-benar mengetahui, merasakan dan melihat sikap rusydan pada diri mereka serahkanlah harta mereka. Beritahukan riwayat kekayaannya, asal usul kepemilikan dan perpindahan hak kepengurusannya. Ada ujian bagi orang yang sudah merasa sukses dan diuntungkan dengan mengurus harta yatim, tentu ia tidak ingin segera menyerahkannya. Atau bahkan mengalihkan kepemilikannya. Sebab itu Allah SWT mengancam mereka dengan firmannya
وَلَا تَقۡرَبُواْ مَالَ ٱلۡيَتِيمِ إِلَّا بِٱلَّتِى هِىَ أَحۡسَنُ حَتَّىٰ يَبۡلُغَ أَشُدَّهُ ۥ‌ۚ وَأَوۡفُواْ بِٱلۡعَهۡدِ‌ۖ إِنَّ ٱلۡعَهۡدَ كَانَ مَسۡـُٔولاً۬
"Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawabannya. (QS. Al-Israa [17] : 34)
وَلَا تَأۡكُلُوهَآ إِسۡرَافً۬ا وَبِدَارًا أَن يَكۡبَرُواْ‌ۚ
Saat mereka belum siap menerima tanggung jawab dalam pengelolaan hartanya, janganlan diserahkan kepadanya. Dalam pengelolaan hartanya tidak boleh membelanjakannya secara berlebihan, sehingga melampaui keperluan. Kecuali sangat diperlukan dengan perhitungan sebagai bekal masa depannya. Misalnya untuk biaya sekolah. Itu pun bila tidak ada jalan lain untuk mendanainya. Berhematlah dalam membelanjakannya, jangan habis sebelum mereka dewasa atau mandiri. Dari ayat ini dapat difahami bahwa harta anak yatim harus diurus dan dikembangkan menjadi banyak. Merekapun harus dididik sampai menjadi manusia yang mandiri dan termasuk kategori siap nikah.
وَمَن كَانَ غَنِيًّ۬ا فَلۡيَسۡتَعۡفِفۡ‌ۖ
Bagi orang kaya yang diamanati mengurus harta anak yatim, hendaklah dapat menahan diri dari membelanjakannya. Haram hukumnya memakan harta mereka, sementara ia orang yang berkecukupan. Lebih-lebih jika milik anak yatim itu tidak banyak dan bisa habis sebelum mereka dewasa.
وَمَن كَانَ فَقِيرً۬ا فَلۡيَأۡكُلۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِ‌ۚ
Jika penurus anak yatim itu seorang yang faqir, sedangkan harta yang duruskan banyak, maka tidak mengapa ia makan harta peninggalan itu sebagai upah yang wajar, karena ia sebagai wali yatim. Bahkan bisa mengambil keuntungan dari kepengurusannya bila hasil pengelolaannya melimpah. Hal ini lebih dekat kepadab Musyarakah (bekerja sama antara pemilik modal dengan pengelola).
Aisyah r.a menjelaskan maksud ayat diatas
"Ia mengatakan bahwa ayat WAMAN KAANA GHANIYYAN...BILMA'RUFI (siapa yang kaya hendaklah menahan diri, siapa yang faqir bolehlah ia makan dengan cara ma'ruf). Ayat ini diturunkan tentang wali anak yatim yang mengurusnya dan membereskan hartanya, jika wali itu faqir, ia boleh memakan dari harta itu secara ma'ruf (sekedar memenuhi kebutuhan pokoknya). (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dikisahkan pula orang faqir yang mengurus anak yatim
"Bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi SAW, katanya "Sungguh saya seorang faqir, saya tidak punya apa-apa, tapi saya punya anak yatim." sabda beliau, "Makanlah dari harta anak yatimmu, jangan berlebihan, jangan mubadzir, dan jangan merusak hartanya" (HR Abu Daud)
فَإِذَا دَفَعۡتُمۡ إِلَيۡہِمۡ أَمۡوَٲلَهُمۡ فَأَشۡہِدُواْ عَلَيۡہِمۡ
Dalam serah terima harta anak yatim hendaklah dilakukan dengan acara khusus yang disaksikan kerabat atau walinya dan para saksi yang adil. Alangkah lebh baik jika dicatat berita acara dan dibubuhi tanda tangan para saksi. Hal ini untuk menjaga amanat dab kepercayaan serta menghindari kecurigaan dari pihak-pihak tertentu.
وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبً۬ا
Allah sebagai pengawas atas berita acara serta jalannya kepengurusan, bimbingan, didikannya. Allah mengetahui maksud baik para kafil yatim dan segala usahanya serta menyediakan pahala yang besar bagi mereka. Allah pun mencatat segala kecurangannya serta menyediakan siksa bagi pelakunya.
Jika ada anak yatim khususnya dari keluarga kita atau keluarga yang tidak mampu, jadikanlah ia sebagai peluang untuk beramal shaleh. Baik bagi orang kaya maupun bagi orang miskin. Yang kaya berpeluang untuk membiayai hidupnya. Sedangkan bagi orang miskin terbuka untuk mengurus dan mendidiknya. Orang yang menelantarkan anak yatim apalagi mengusirnya, dicap oleh Allah sebagai pendusta agama. Dan haram hukumnya menyakiti anak yatim. Firman allah
فَأَمَّا ٱلۡيَتِيمَ فَلَا تَقۡهَرۡ
"Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. (QS. Adl Dluhaa [93] : 9)
Sekilas nampaknya gampang-gampang susah mengurus anak yatim, membiarkannya durhaka, mengurusnya khawatir berbuat zhalim. Memang tantangan untuk berbuat baik itu jika tidak didasari iman akan terasa sulit, tetapi kita harus berusaha menjadi orang shaleh orang yang mendidiknya dan mengurus hartanya (kafil) akan mendapat kehormatan di sisi Allah dan Rasul-Nya.
Sabda Rasulullah SAW
وَأَنَا وَكَافِلُ اليَتِيمِ فِي الجَنَّةِ هَكَذَا» وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالوُسْطَى، وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئًا
"Saya dan kafil anak yatim berada di surga begini (beliau mengisyaratkan telunjuk dan jari tengahnya dan sedikit merengganngkannya) (HR. Al-Bukhari no. 5304, 6005)
Imam Muslim meriwavatkan bahwa beliau Sholallahu’alaihi wa sallam juga bersabda:
كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ» وَأَشَارَ مَالِكٌ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
“Pengasuh anak yatim, baik masih kerabatnya atau bukan, akan bersamaku kelak di surga seperti ini.” Lalu beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengah. (HR. Muslim, no. 2983)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)” (Q.S Annisa: 10)
وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa” (Q.S Al-An’am : 152, dan Q.S Al-Israa’: 34)
Qatādah berkata, “Ayat itu turun berkenaan dengan seorang dari Bani Ghathfān yan menguasai harta saudaranya yang masih kecil dan yatim pula. Lalu ia memakannya.” Dalam ayat lain, Allah berfirman:
وَابْتَلُواْ الْيَتَامَى حَتَّىَ إِذَا بَلَغُواْ النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُواْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلاَ تَأْكُلُوهَا إِسْرَافاً وَبِدَاراً أَن يَكْبَرُواْ وَمَن كَانَ غَنِيّاً فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَن كَانَ فَقِيراً فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُواْ عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللّهِ حَسِيباً
"Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu)."
“Barangsiapa (dari pemelihara anak yatim itu) yang cukup mampu, hendaklah ia menjaga dirinya (dari memakan harta anak yatim yang dipeliharanya) dan siapa yang hidup miskin, boleh memakannya menurut cara yang patut.” (QS an-Nisā’ [4]: 6)
Maksudnya, pemelihara anak yatim yang tidak mampu, bisa mengambil harta anak yatim sekedar keperluannya saja; mengambilnya sebagai pinjaman; sekadar upah pekerjaannya; atau karena terpaksa. Jika ia mampu, hendaknya harta itu dikembalikan. Jika tidak, harta itu halal baginya.
Allah SWT mengingatkan dengan tegas akan hak orang-orang yatim melalui firman-Nya:
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُواْ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافاً خَافُواْ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللّهَ وَلْيَقُولُواْ قَوْلاً سَدِيداً
“Hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatirkan. Oleh karena itu, hendaklah mereka patuh kepada Allah dan hendaklah mereka mengatakan perkataan yang benar.”
(QS an-Nisā’ [4]: 9) 
Maksudnya, siapa yang memelihara anak yatim, hendaklah ia memperlakukannya dengan baik, bahkan memanggilnya, “Anakku…,” sebagaimana ia memanggil anak-anaknya. Hendaklah ia bersikap baik, santun, serta memelihara harta dan keluarga si anak yatim sebagaimana ia memelihara harta dan keluarganya sendiri.
Diriwayatkan, Allah SWT berfirman kepada Dâwud a.s.: ”Wahai Dâwud, terhadap anak yatim, bersikaplah seperti bapak yang pengasih; terhadap para janda, bersikaplah seperti suami yang penyayang. Ketahuilah, engkau akan menuai apa yang telah engkau tanam. Sebab, engkau pasti mati, serta meninggalkan anak dan istrimu.”
Berkaitan dengan memelihara harta anak yatim dan kezaliman, banyak hadist diriwayatkan sejalan dengan ayat di atas yang berisi ancaman keras dan peringatan bagi manusia yang menzalimi mereka. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan al-Bukhârî dan Muslim, bahwa Nabi SAW bersabda: “Hindarilah tujuh hal yang akan membinasakan.”
Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang tujuh hal itu?” Beliau menjawab, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh orang yang diharamkan Allah untuk dibunuh kecuali yang dibenarkan, memakan barang hasil riba, memakan harta anak yatim!”
Al-Hākim meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Allah berhak untuk tidak memasukkan mereka kedalam surga dan tidak merasakan kenikmatannya. Mereka itu adalah peminum khamar, pemakan riba, pemakan harta anak yatim tanpa hak, dan pendurhaka kepada kedua orang tuanya.”
Dalam Shahĩh-nya, Ibn Hibbān menyebutkan bahwa dari sejumlah surat Nabi SAW yang dikirimkan melalui ‘Umar ibn Hazm kepada penduduk Yaman berbunyi:“Dosa-dosa besar yang paling besar pada Hari Kiamat adalah menyekutukan Allah, membunuh orang Mukmin tanpa kebenaran, lari dari medan perang di jalan Allah pada hari melelahkan, durhaka kepada kedua orangtua, tuduhan berzina kepada perempuan suci, mempelajari sihir, memakan hasil riba, dan memakan harta anak yatim.”
Abũ Ya’lā meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Pada Hari Kiamat, ada suatu kaum dibangkitkan dari kubur mereka dengan nyala api di mulut mereka.”
"Siapa mereka itu, ya Rasulullah?” Tanya para sahabat.
"Tidakkah kalian perhatikan bahwa Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak-anak yatim dengan cara yang tidak lurus, mereka akan memakan api sepenuh perutnya." (QS an-Nisā’ [4]: 10)
Dalam hadist Mikraj yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Tiba-tiba aku melihat orang-orang yang dilaknati. Sementara yang lain membawa batu dari api, menelannya, lalu api itu keluar dari dubur mereka. Aku lantas bertanya kepada Jibrĩl, ‘Ya Jibril, siapakah mereka?’ Jibrĩl menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan harta anak-anak yatim secara zalim. Sesungguhnya mereka benar-benar memakan api ke dalam perut mereka.”
Sementara dalam Tafsir al-Qurthubĩ dinukil hadist dari Abũ Sa’ĩd al-Khudrĩ bahwa Nabi SAW bersabda: “Pada malam Isra’ aku melihat satu kaum yang memiliki bibir seperti bibir unta. Lalu bibir mereka ditarik dan di masuki batu dari api ke dalam mulut mereka. Lalu api itu keluar dari dubur mereka. Aku lalu bertanya, ‘Ya Jibrĩl, siapakah mereka?’ Jibril menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan harta anak-anak yatim secara zalim.
As-Suddiy berkata, ”Orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim akan dibangkitkan pada hari kiamat kelak dalam keadaan keluar nyala api dari mulut, telinga, hidung, dan matanya. Siapa pun yang meiihatnya pasti mengetahui bahwa ia adalah pemakan harta anak yatim” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir (8722))‎
Mujâhid rahimahullah berkata, “Janganlah kamu merendahkan anak yatim, karena kamu dahulu juga sebagai anak yatim.” 
Al-Fara’ dan az-Zajjâj berkata, “Janganlah kamu berbuat sewenang-wenang kepada anak yatim dengan menguasai hartanya, lalu kamu merampas haknya karena kelemahannya”. Demikianlah bangsa Arab dahulu berbuat terhadap anak-anak yatim. Mereka mengambil harta anak-anak yatim dan hak-hak mereka. [Lihat Tafsir al-Baghawi, 8/457]
Perbuatan sewenang-wenang kepada anak yatim menunjukkan pelakunya tidak memiliki iman atau keimanan terhadap hari pembalasan itu lemah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ ﴿١﴾ فَذَٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ ﴿٢﴾ وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. [Al-Mâ’ûn/107: 1-3]
Adapun orang-orang yang beriman kepada agama Islam, yang mengajarkan adanya hari pembalasan amal, maka kepercayaannya itu akan mendorongnya untuk berbuat baik kepada anak yatim dan memberi makan orang miskin. Walaupun dia mengetahui bahwa anak yatim dan orang miskin tidak mampu membalas kebaikannya, namun dia meyakini bahwa Rabb, Penguasa anak yatim dan orang miskin, Maha Kuasa dan Pemurah memberikan balasannya pada hari pembalasan.
Para ulama berkata, “Setiap wali anak yatim, jika ia seorang yang miskin lalu ia memakan harta anak yatim itu dengan cara yang baik sesuai dengan tanggungjawabnya, mengurusnya dan mengembangkan hartanya, itu tidak mengapa. Namun jika melebihi dari yang sewajarnya, maka itu adalah harta haram”. Ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ
“Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu. maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu dengan cara yang baik” (Q.S. An-Nisa’: 6)
Mengasuh anak yatim artinya mengurus segala kebutuhan dan kemaslahatannya; mulai dari urusan makan, pakaian, dan mengem-bangkan hartanya jika anak yatim itu memiliki harta. Sedangkan jika anak yatim itu tidak memiliki harta maka pengasuh anak yatim memberikan nafkah dan pakaian untuknya demi mengharapkan wajah Allah. Adapun maksud lafazh ‘baik masih kerabatnya atau bukan’ dalam hadits di atas adalah bahwa si pengasuh itu bisa jadi kakeknya, saudaranya, ibunya, pamannya, ayah tirinya, bibinya, atau pun kerabat-kerabat yang lain. Dan bisa juga orang lain yang tidak ada hubungan kekerabatan dengannya sama sekali.
KISAH TAUBAT SEORANG SALAF
Imam adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitab al-Kabâir meriwayatkan kisah taubat seorang Salaf dengan sebab anak yatim. Dia bercerita, “Dahulu aku berkubang dalam berbagai kemaksiatan dan minum khamr. Suatu hari, aku mendapati seorang yatim yang miskin. Kemudian aku memungutnya dan berbuat baik kepadanya, aku memberi makan dan pakaian kepadanya. Aku masukkan ke kamar mandi, aku membersihkannya dan memuliakannya seperti seorang bapak yang memuliakan anaknya, bahkan lebih. Setelah itu aku bermimpi bahwa hari kiamat telah terjadi. Aku dipanggil menghadapi hisab dan telah diperintahkan dibawa ke neraka karena keburukan berbagai kemaksiatan yang telah aku lakukan. Para malaikat telah menahanku untuk dimasukkan ke dalam neraka. Di hadapan mereka aku hina dan rendah. Mereka menyeretku menuju neraka, tiba-tiba anak yatim itu menghadangku di jalan dan berkata, “Lepaskan dia wahai para malaikat Rabbku, sampai aku memohonkan syafa’at untuknya kepada Rabbku. Karena dia telah berbuat baik kepadaku dan memulaikanku”. Para Malaikat menjawab, “Kami tidak diperintahkan untuk melepaskannya”. Tiba-tiba ada suara dari Allâh Azza wa Jalla yang berfirman, “Lepaskan dia, Aku telah memberikan kebaikan kepadanya dengan sebab syafa’at anak yatim dan perbuatan baiknya kepada anak yatim”. Kemudian aku terbangun dan bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla. Dan aku selalu berusaha untuk memberikan kasih sayng kepada anak-anak yatim”. [al-Kabâ'ir, hlm. 65, karya imam Adz-Dzahabi]
Diriwayatkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala mewahyukan kepada Dawud: ‘Wahai Dawud. jadilah untuk anak yatim sebagai ayah yang penya-yang, dan jadilah untuk janda sebagai suami yang pengasih! Ketahuilah, sebagaimana engkau telah menanam engkau pun akan menuai.” Maksud dari kalimat terakhir adalah sebagaimana engkau berbuat, maka orang lain pun akan berbuat yang sama terhadapmu. Karena engkau akan mati dan meninggalkan anak serta istri. (Diriwayatkan oleh AI-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab (11039))
Dalam salah satu munajatnya, Dawud ‘Alayhissalam bertanya, “Duhai Ilah-ku, apakah pahala bagi orang yang menyayangi anak yatim dan janda untuk mengharap wajah-Mu semata?” Allah menjawab, “Pahalanya, aku naungi ia di bawah naungan-Ku pada hari tidak ada naungan selain naunganku.” Maksudnva adalah naungan ‘arsy-Ku pada hari kiamat. (Dikisahkan oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Al-Kaba’ir)
Ada sebuah kisah berkenaan dengan berbuat baik kepada janda dan anak yatim. Adalah satu keluarga yang masih merupakan keturunan sahabat Ali bin Abi Thalib. Mereka tinggal di luar tanah Arab, di kota Balkh dengan kecukupan. Seorang suami, istri dan anak-anak perempuan. Suatu hari meninggallah sang suami, dan kehidupan pun berbalik 180 derajat. Janda dan anak-anak perempuannya jatuh miskin. Akhirnya mereka pun meninggalkan negeri mereka khawatir akan kejahatan orang-orang yang tidak suka dengan keberadaan mereka. Kebetulan ketika itu musim dingin sedang hebat-hebatnva. Ketika memasuki sebuah negeri wanita itu menempatkan anak-anak-nva di sebuah masjid tua yang sudah lama tidak dipakai. la sendiri pergi mencarikan sesuap makanan untuk mereka. Malam itu ia melewati dua komplek; pertama dipimpin oleh seorang lelaki muslim yang adalah syaikhul balad, petinggi negeri itu. Satu komplek lagi dipimpin oleh seorang lelaki majusi yang adalah dlaminul balad, kepala keamanan negeri. Wanita itu menemui lelaki muslim terlebih dahulu dan menceritakan keadaannya kepadanya. Katanya, “Saya adalah seorang wanita ‘alawiyyah, keturunan All bin Abi Thalib “Saya membawa anak-anak perempuan yang yatim, yang saya tempatkan di sebuah masjid tua. Saya minta bantuan makanan buat mereka malam ini.” Lelaki itu menjawab, “Datangkan bukti bahwa kamu ini benar-benar seorang wanita ‘alawiyyah yang mulia.” Wanita itu berkata lagi, “Saya adalah seorang asing di negeri ini. Siapa yang mengenali saya?”. Lelaki itu berpaling dan tidak mau menolongnva. Wanita itu pergi dengan hati yang berkeping-keping. Maka ia pun menemui lelaki majusi, menjelaskan keadaannva. la ceritakan bahwa bersamanya ada anak-anak perempuan yang yatim dan ia sendiri adalah seorang perempuan keturunan baik-baik yang asing. la juga menceritakan kejadian antara dia dan syaikhul balad. Orang Majusi itu bangkit dan menyuruh istrinya untuk menjemput anak-anak perempuan wanita itu. Mereka diberi makanan yang lezat dan pakaian yang indah. Mereka menginap di rumah itu dengan penuh kenikmatan dan kemuliaan. Pada malam itu juga orang muslim yang telah menolak wanita janda itu bermimpi sepertinya kiamat sudah terjadi. Panji pun telah dikibarkan di atas kepala Nabi. Tiba-tiba tampak sebuah istana yang terbuat dari zamrud hijau, serambinya terbuat dari mutiara dan merah delima, dan kubahnya terbuat dari mutiara dan permata marjan. Lelaki itu bertanya, “Wahai Rasulullah, untuk siapakah istana ini?”. “Untuk seorang Lelaki muslim ahli tauhid.”, jawab beliau. Orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, aku seorang muslim ahli tauhid.” Rasulullah bersabda. “Datangkan bukti bahwa kamu adalah seorang muslim ahli tauhid!” Maka orang itu kebingungan. Lalu Rasulullah menjelaskan, “Ketika kamu dimintai tolong oleh seorang wanita ‘alawiyyah itu, kamu mengatakan ‘datangkan bukti bahwa kamu benar-benar seorang ‘alawiyyah’. Begitu juga denganmu sekarang. Coba datangkan bukti bahwa kamu benar-benar seorang muslim.” Lelaki itu terbangun dan sangat bersedih telah menolak wanita itu. Maka ia berkeliling ke seluruh penjuru kota mencari wanita itu sampai ada yang menunjukkan kepadanya bahwa wanita itu ada di rumah seorang majusi. la mendatanginya dan berkata, “Aku ingin menjemput wanita yang mulia, wanita ’alawiyyah beserta anak-anaknya.” Orang itu berkata, “Tidak bisa ! Aku telah mendapatkan barakah yang tidak terhingga atas kedatangan mereka.”. “Aku beri kamu seribu dinar dan serahkan mereka kepadaku.”, rayu si muslim. “Tidak bisa?”. jawab orang itu. “Harus.”, kata si muslim lagi. Orang itu berkata lagi, “Apa yang kamu inginkan sungguh aku lebih berhak memilikinya. Istana yang kamu lihat dalam mimpimu itu diciptakan bagiku. Apakah kamu akan menunjukkan kepadaku tentang Islam? Demi Allah. aku dan keluargaku tidak tidur tadi malam kecuali bahwa kami semua sudah masuk Islam berkat wanita itu. Dan aku pun bermimpi seperti yang kau impikan.” Rasulullah berkata kepadaku, “Apakah wanita ‘alawiyyah dan anak-anaknya bersamamu?” Aku jawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Lalu beliau bersabda, “Istana itu untukmu dan keluargamu. Kamu dan keluargamu menjadi penghuni surga. Kamu diciptakan sebagai mukmin oleh Allah sejak zaman azali.”Si muslim pun pulang dengan penuh rasa sedih dan kecewa. Tidak ada yang tahu sedalam apa kesedihan dan kekecewaannya selain Allah. (Dikisahkan oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Al-Kaba’ir)
Lihatlah, betapa benar barokah berbuat baik kepada janda dan anak yatim. Betapa ia dapat mendatangkan kemuliaan di dunia bagi orang yang melakukannya.
Karena itulah dalam hadits Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah Sholallahu’alaihi wa sallam bersabda:
 
السَّاعِي عَلَى الأَرْمَلَةِ وَالمِسْكِينِ، كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
 
“Orang yang berusaha untuk janda dan orang-orang miskin itu bagaikan pejuang di jalan Allah”.
Perawi hadits ini mengatakan, “Saya kira beliau Sholallahu’alaihi wa sallam juga bersabda”:
 
كَالقَائِمِ لاَ يَفْتُرُ، وَكَالصَّائِمِ لاَ يُفْطِرُ
 
“Dan seperti orang yang bangun malam (untuk beribadah) yang tiada henti, dan laksana orang yang berpuasa tanpa berbuka”. (Diriwayatkan oleh AI-Bukhari (6007) dan Muslim (2982))
Berusaha untuk janda dan orang-orang miskin itu maksudnya mengurus berbagai keperluan dan kemaslahatan bagi mereka karena mengharapkan wajah Allah semata.
Semoga sedikit tulisan ini memotifasi kita untuk selalu beribadah kepada Allâh dan berbuat baik kepada sesama, terutama kepada anak-anak yatim, dan menjauhi segala bentuk kezhaliman. Dan Semoga Allah menunjukkan jalan untuk itu dengan anugerah dan kemurahan-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah, Maha Pengasih, Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang.‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hukum Vareasi Bercinta Dalam Islam

Setiap agama pastinya memiliki hukumnya sendiri-sendiri dalam hal bercinta. Beberapa agama mungkin memiliki beberapa hukum yang sama,...