Hukum berkurban adalah Sunnah Muakkadah, bukan wajib. Hal-hal yang
menunjukkan kesunnahannya adalah argumentasi-argumentasi berikut ini;
Pertama; Allah memerintahkan berkurban dalam Al-Qur’an. Allah berfirman;
{فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ} [الكوثر: 2]
Maka dirikanlah Shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah (Al-Kautsar;2)
Perintah Shalat dalam ayat di atas bersifat umum, mencakup Shalat wajib
dan Shalat Sunnah sehingga tercakup pula Shalat ‘Idul Fitri dan ‘Idul
Adha. Perintah berkurban juga bersifat umum yang mencakup kurban wajib,
seperti Al-Hadyu (الْهَدْيُ) karena Haji Tamattu’ mapupun kurban Sunnah
seperti Udhiyah (اْلأُضْحِيَةُ) yang dilakukan kaum Muslimin di luar
tanah suci (Mekah). Karena itu, ayat ini menjadi dalil perintah
berkurban, yang menunjukkan adanya dorongan dari pembuat Syariat
sehingga digolongkan dalam amal yang bernilai Ma’ruf.
Kedua; perbuatan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menunjukkan
beliau melakukan dan mengamalkan amal berkurban. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (17/ 267)
عَنْ أَنَسٍ قَالَ
ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ
أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ
وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا
dari Anas dia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkurban
dengan dua ekor domba yang warna putihnya lebih dominan di banding warna
hitamnya, dan bertanduk, beliau menyembelih domba tersebut dengan
tangan beliau sendiri sambil menyebut nama Allah dan bertakbir dan
meletakkan kaki beliau di atas sisi leher domba tersebut.” (H.R.Bukhari)
Perbuatan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sebagai mana ucapan
beliau dan sikap diam beliau adalah dalil Syara’. Ketika Rasulullah
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melakukan aktivitas berkurban, dan
mencontohkan pada umatnya, maka hal ini menguatkan dalil pertama bahwa
berkurban adalah amal yang didorong oleh Syariat dan digolongkan sebagai
perbuatan yang Ma’ruf. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ juga
pernah memerintahkan seorang Shahabat berkurban, misalanya dalam Hadis
berikut ini;
صحيح البخاري (17/ 237)
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ الْجُهَنِيِّ قَالَ
قَسَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَصْحَابِهِ
ضَحَايَا فَصَارَتْ لِعُقْبَةَ جَذَعَةٌ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
صَارَتْ لِي جَذَعَةٌ قَالَ ضَحِّ بِهَا
dari ‘Uqbah bin ‘Amir Al Juhani dia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam pernah membagi-bagikan binatang kurban kepada para sahabatnya,
sementara ‘Uqbah sendiri hanya mendapatkan Jadza’ah (kambing yang
berusia enam bulan, atau berumur empat tahun ke atas, atau sapi berumur
tiga tahun ke atas), maka kataku selanjutnya; “Wahai Rasulullah, aku
hanya mendapatkan Jadza’ah?” beliau bersabda: “Berkurbanlah dengannya.”
(H.R.Bukhari)
Beliau juga memuji penyembelihan hewan kurban yang dilakukan setelah
Shalat ‘Ied dan mensifatinya sebagai Ibadah yang sempurna. Bukhari
meriwayatkan;
صحيح البخاري (17/ 234)
عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ
ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلَاةِ تَمَّ نُسُكُهُ وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ
dari Al Bara`, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa menyembelih (hewan kurban) setelah Shalat (Ied) maka ibadah
kurbannya telah sempurna dan dia telah melaksanakan sunnah kaum
Muslimin dengan tepat.” (H.R.Bukhari)
Nash-Nash ini menguatkan bahwa ibadah berkurban memang diperintahkan,
dicontohkan, dan dipuji sebagai salah satu ibadah dalam Syariat Islam.
Ketiga; Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengaitkan aktivitas
berkurban dengan Irodah (kehendak/keinginan) Mukallaf. Imam Muslim
meriwayatkan;
صحيح مسلم (10/ 169)
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا
يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
dari Ummu Salamah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Jika telah tiba sepuluh (dzul Hijjah) dan salah seorang dari kalian
hendak berkurban, maka janganlah mencukur rambut atau memotong kuku
sedikitpun.” (H.R.Muslim)
Jika pada argumentasi pertama dan kedua penunjukan makna yang bisa
ditangkap barulah adanya dorongan dan teladan untuk berkurban (yang
masih belum menjelaskan apakah dorongan tersebut bersifat
tegas/pasti/keras ataukah tidak), maka pada argumentasi yang ketiga ini,
sifat dorongan tersebut menjadi diketahui. Rasulullah صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengaitkan ibadah berkurban dengan Irodah/kehendak
Mukallaf, bukan menetapkan tanpa memberi pilihan. Oleh karena itu Hadis
ini menunjukkan bahwa berkurban hukumnya adalah Sunnah, bukan Wajib.
Karena jika berkurban hukumnya wajib, niscaya Nabi tidak akan
mengaitkannya dengan kehendak Mukallaf, kerana sesuatu yang wajib harus
dilaksanakan tanpa pilihan.
Keempat; Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mendiamkan umatnya
yang tidak berkurban tanpa mengkritiknya atau mencelanya. Abu Dawud
meriwayatkan;
سنن أبى داود – م (3/ 56)
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- الأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ
نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ وَأُتِىَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- بِيَدِهِ وَقَالَ « بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ
هَذَا عَنِّى وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِى ».
dari Jabir bin Abdullah, ia berkata; saya menyaksikan bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam Shalat Idul Adha di lapangan, kemudian
tatkala menyelesaikan khutbahnya beliau turun dari mimbarnya, dan beliau
diberi satu ekor domba kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
menyembelihnya, dan mengucapkan: “BISMILLAAHI WALLAAHU AKBAR, HAADZA
‘ANNII WA ‘AN MAN LAM YUDHAHHI MIN UMMATI” (Dengan nama Allah, Allah
Maha Besar, ini (kurban) dariku dan orang-orang yang belum berkurban
dari umatku). (H.R.Abu Dawud)
Dalam Hadis di atas Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berkurban
untuk dirinya dan juga untuk umatnya yang belum berkurban. Penyebutan
lafadz;
وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِى
dan orang-orang yang belum berkurban dari umatku
Menunjukkan diantara umatnya ada yang belum berkurban. Penyebutan ini
tidak disertai kritikan, celaan, apalagi ancaman terhadap mereka. Karena
itu, Hadis ini semakin menguatkan bahwa berkurban hukumnya Sunnah,
bukan wajib.
Kelima; sejumlah Shahabat sengaja tidak berkurban untuka mengajari kaum
Muslimin dan generasi sesudahnya bahwa berkurban hukumnya tidak wajib.
Baihaqi meriwayatkan bahwa Abubakar dan Umar sengaja tidak berkurban agar tidak diduga bahwa berkurban hukumnya wajib.
معرفة السنن والآثار للبيهقي (15/ 126، بترقيم الشاملة آليا)
قال الشافعي : وقد « بلغنا أن أبا بكر الصديق وعمر رضي الله عنهما كانا لا يضحيان كراهية أن يقتدى بهما ، فيظن من رآهما أنها واجبة »
“As-Syafi’I berkata: Telah sampai kepada kami bahwa Abu Bakar dan Umar
tidak berkurban karena tidak suka diteladani sehingga orang yang melihat
beliau berdua menduga bahwa berkurban itu wajib” (H.R. Baihaqy)
Cukup jelas dalam riwayat di atas bahwa Abubakar dan Umar sengaja
meninggalkan berkurban karena tidak suka jadi teladan yang disangka
orang bahwa berkurban hukumnya wajib.
Memahami bahwa Abubakar dan Umar tidak berkurban karena beliau berdua
tidak termasuk Mukallaf yang wajib melakukan berkurban sulit diterima,
karena dalam lafadz riwayat jelas sekali disebutkan alasan tidak
berkurban, yaitu untuk memberi pemahaman kepada kaum Muslimin
(termasuk generasi dibelakang) bahwa berkurban itu tidak wajib. Tidak
bisa pula difahami bahwa alasan Abubakar dan Umar meninggalkan
berkurban adalah karena masyarakat umum memandang wajibnya berlaku umum
tanpa membedakan antara yang mampu dengan yang tidak. Alasan ini sulit
diterima karena sama sekali tidak dinyatakan dalam lafadz riwayat. Yang
ada dan cukup jelas adalah, beliau berdua meninggalkan berkurban karena
khawatir berkurban itu dianggap wajib dari segi kewajiban itu sendiri,
bukan khawatir pemahaman wajib yang mutlak meski tidak mampu. Lagipula
alasan ini perlu ditinjau ulang dari segi bahwa Syariat tidak mungkin
mewajibkan sesuatu kepada Mukallaf sesuatu yang ia tidak mampu
melakukannya. Misalnya Haji yang jelas wajib. Syara’ membebaskan bagi
yang tidak mampu untuk tidak melakukannya.
Diantara Shahabat lain yang meninggalkan berkurban karena kahwatir
dianggap wajib adalah Abu Mas’ud Al-Anshory. Baihaqy meriwayatkan;
السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي (9/ 265)
عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ الأَنْصَارِىِّ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : إِنِّى
لأَدَعُ الأَضْحَى وَإِنِّى لَمُوسِرٌ مَخَافَةَ أَنْ يَرَى جِيرَانِى
أَنَّهُ حَتْمٌ عَلَىَّ.
“dari Abu Mas’ud Al-Anshory beliau berkata: sesungguhnya aku
meninggalkan berkurban padahal aku kaya, hanya karena khawatir
tetanggaku melihat bahwa hal tersebut adalah keharusan bagiku” (H.R.
Baihaqy)
Ibnu ‘Umar berfatwa, bahwa berkurban adalah Sunnah dan Ma’ruf. Bukhari
meriwayatkan secara Mu’allaq dengan Shighot Jazim (tegas);
صحيح البخاري (17/ 233)
بَاب سُنَّةِ الْأُضْحِيَّةِ وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ هِيَ سُنَّةٌ وَمَعْرُوفٌ
“Bab Sunnahnya berkurban. Ibnu Umar berkata; Berkurban itu Sunnah dan Ma’ruf” (H.R.Bukhari)
Demikian pula Ibnu Abbas yang memerintahkan membeli daging untuk
dibagi-bagikan, bukan berkurban dengan hewan secara langsung. Baihaqy
meriwayatkan;
معرفة السنن والآثار للبيهقي (15/ 126، بترقيم الشاملة آليا)
عن ابن عباس ، أنه « جلس مع أصحابه ، ثم أرسل بدرهمين فقال : اشتروا بهما لحما ، ثم قال : هذه أضحية ابن عباس »
“dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya beliau duduk-duduk dengan para muridnya.
Kemudian beliau mengirimkan dua Dirham dan berpesan; belilah daging
dengan uang itu kemudian katakan: ini adalah kurban Ibnu ‘Abbas”
(H.R.Baihaqy)
Menurut Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla, tidak ada satupun riwayat Shahih
yang menunjukkan bahwa ada Shahabat yang mewajibkan berkurban. Ibnu Hazm
berkata;
المحلى (7/ 358)
لاَ يَصِحُّ، عَنْ أَحَدٍ مِنْ الصَّحَابَةِ أَنَّ الأُُضْحِيَّةَ وَاجِبَةٌ
Tidak ada riwayat shahih dari seorang Shahabatpun bahwa berkurban hukumnya wajib (Al-Muhalla, vol 7 hlm 358)
Adapun riwayat yang tegas mengatakan bahwa berkurban wajib bagi
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan Sunnah bagi umatnya,
yakni seperti riwayat berikut ini;
سنن الدارقطنى – مكنز (4/ 336، بترقيم الشاملة آليا)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «
ثَلاَثٌ هُنَّ عَلَىَّ فَرَائِضُ وَهُنَّ لَكُمْ تَطَوُّعٌ النَّحْرُ
وَالْوِتْرُ وَرَكْعَتَا الْفَجْرِ ».
Dari ibnu ‘Abbas bahwasanya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَbersabda: Ada tiga hal yang wajib bagiku dan Sunnah bagi
kalian: Berkurban, Shalat Witir, dan dua rokaat Shalat Sunnah Fajar” (H.R.Ad-Daruquthni)
Maka riwayat ini tidak bisa dijadikan sebagai Hujjah karena termasuk riwayat yang Dhoif.
Catatan Terhadap Pendapat Yang Mewajibkan Berkurban
Ada sejumlah dalil yang dijadikan dasar pendapat yang mewajibkan
berkurban. Berikut ini pemaparan dalil-dalil tersebut sekaligus
ulasannya.
Pertama; orang yang mampu berkurban tapi tidak berkurban dilarang
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ untuk mendekati tempat Shalat
Nabi dan kaum Muslimin. Ahmad meriwayatkan;
مسند أحمد (16/ 466)
حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
عَيَّاشٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ هُرْمُزَ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
Telah menceritakan kepada kami Abu Abdurrahman telah menceritakan kepada
kami Abdullah bin ‘Ayyasy dari Abdurrahman bin Hurmuz Al A’raj dari Abu
Hurairah, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Bersabda: “Barangsiapa mendapatkan kelapangan dalam rizki namun tidak
mau berkurban maka janganlah sekali-kali mendekati tempat Shalat kami.”
(H.R. Ahmad)
Dari Hadis ini difahami; Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
melarang mendekati tempat Shalat, yakni ikut Shalat Ied bersama Nabi
padahal Shalat Ied adalah amal kebaikan. Hal ini menjadi dalil bahwa
perintah berkurban adalah perintah yang tegas, sehingga hukumnya wajib,
bukan sekedar Sunnah. Apalagi jika memahami bahwa Shalat Ied hukumnya
wajib dengan bukti Shalat Ied bisa menggugurkan Shalat Jum’at.
Dilarangnya untuk menjalankan kewajiban menunjukkan merealisasikan
syarat untuk menjalankan kewajiban itu hukumnya juga wajib. Suatu
kewajiban yang tidak sempurna pelaksanaannya kecuali dengan sesuatu,
maka sesuatu itu menjadi wajib pula.
Jawaban argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Menurut Syu’aib Arna-uth, Hadis di atas sanadnya Dhoif karena faktor
seorang perawi yang bernama Abdullah bin ‘Ayyasy yang dinilai sebagai
perawi yang dhoif. Penilaian Al-Albani yang menghasankan Hadis ini dalam
Takhrij Musykilatu Al-Faqr dinilai sebuah kesalahan oleh Syu’aib
Arna-uth.
Kalaupun bisa dijadikan sebagai Hujjah, maka statusnya tidak melampaui
status sebagai Hadis Mauquf sebagaimana pernyataan ibnu Hajar. Hadis
Mauquf, tentu belum bisa menajadi dalil dalam pembahasan hukum Syara’.
Ibnu Hajar mengatakan;
فتح الباري – ابن حجر (10/ 3)
من وجد سعة فلم يضح فلا يقربن مصلانا أخرجه بن ماجة وأحمد ورجاله ثقات لكن
اختلف في رفعه ووقفه والموقوف أشبه بالصواب قاله الطحاوي وغيره
Hadis “Barangsiapa mendapatkan kelapangan dalam rizki namun tidak mau
berkurban maka janganlah sekali-kali mendekati tempat Shalat kami”
diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ahmad. Perawi-perawinya Tsiqoh namun
diperselisihkan apakah Marfu’ ataukah Mauquf. Status Mauquf lebih dekat
dengan kebenaran sebagaimana dinyatakan At-Thohawy dan selainnya (Fathu
Al-Bary, vol 10, hlm 3)
Bahkan seandainyapun bisa dipakai sebagai Hujjah dalam kapasitasnya
sebagai Hadis Shahih/Hasan yang dihukumi Marfu’pun, lafadz yang melarang
mendekati tempat Shalat masih belum kuat difahami sebagai
Qorinah/indikasi untuk menunjukkan kewajiban berkurban. Hal itu
dikarenakan tidak ada lafadz lugas yang menunjukkan kewajiban melakukan
berkurban sebagaimana dalam Nash-Nash lain ada perintah yang semakna
dengannya dari segi kekuatan perintah/larangan namun status hukum
finalnya bukan wajib atau Haram. Sebagai contoh misalnya, Rasulullah
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan mandi Jum’at dan
menyatakannya dengan lafadz yang mengesankan seakan-akan mandi Jum’at
hukumnya wajib. Ahmad meriwayatkan;
مسند أحمد (23/ 194)
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ غُسْلُ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ
dari Abu Sa’id Al Khudri ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Mandi pada hari Jum’at hukumnya wajib bagi setiap
orang yang telah mimpi basah (akil baligh).” (H.R.Ahmad)
Dalam Hadis ini mandi Jum’at diperintahkan dengan pernyataan yang
mengesankan bahwa hal itu adalah keharusan. Namun Nash-Nash yang lain
menunjukkan bahwa mandi Jum’at bisa ditinggalkan tanpa celaan dari
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Karena itu Jumhur ulama
memahami bahwa Hadis ini tidak lebih menunjukkan Ta’kidul Istihbab
(tekanan) anjuran sehingga status mandi Jum’at adalah Sunnah muakkadah,
bukan wajib.
Demikian pula dalam kasus memakan bawang putih. Rasulullah صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah melarang orang yang memakan bawang putih untuk
mendekati masjid Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Bukhari
meriwayatkan;
صحيح البخاري (3/ 360)
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي غَزْوَةِ
خَيْبَرَ مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ يَعْنِي الثُّومَ فَلَا
يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا
dari Ibnu ‘Umar radliallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda saat terjadinya perang Khaibar: “Barangsiapa memakan
dari pohon ini, yaitu bawang putih, maka jangan sekali-kali dia
mendekati masjid kami.” (H.R.Bukhari)
Larangan mendekati masjid dalam Hadis ini tidak bermakna haramnya orang
memakan bawang putih, namun hanya bermakna ketidaksukaan terhadap bau
bawang putih tersebut yang mengganggu Jamaah. Dari Hadis ini bisa
difahami bahwa larangan mendekati masjid belumlah cukup menjadi Qorinah
haram/wajibnya sesuatu.
lagipula hukum Shalat Ied adalah Sunnah, bukan wajib. Ketentuan bahwa
Shalat Ied bisa membuat Shalat Jum’at boleh tidak dilaksanakan jika
jatuh di hari Jum’at tidak menunjukkan wajibnya Shalat Ied, kerena
kebolehan tidak melakukan Shalat Jum’at tersebut adalah Rukhshoh bagi
Arab Badui agar tidak dua kali datang ke Madinah untuk melakukan Shalat
Ied dan Shalat Jum’at dalam satu hari. Lagi pula safar juga membuat
musafir boleh tidak melakukan Shalat Jum’at, namun hal ini tidak
menunjukkan safar hukumnya wajib.
Oleh kerana itu sejauh-jauh yang mungkin difahami terkait hukum
berkurban yang memakai riwayat ini dan yang semakna dengannya adalah
adanya unsur Ta’kidul Istihbab (tekanan anjuran) dalam perintah
berkurban, sehingga hukum berkurban bukan sekedar Sunnah tetapi Sunnah
Muakkadah, namun tidak sampai wajib.
Kedua; Ada riwayat yang mengharuskan tiap rumah berkurban tiap tahun. Ahmad meriwayatkan;
مسند أحمد (29/ 419)
عَنْ أَبِي رَمْلَةَ قَالَ حَدَّثَنَاهُ مِخْنَفُ بْنُ سُلَيْمٍ قَالَ
وَنَحْنُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ
وَاقِفٌ بِعَرَفَاتٍ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ عَلَى كُلِّ
أَهْلِ بَيْتٍ أَوْ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أَضْحَاةً
وَعَتِيرَةً قَالَ تَدْرُونَ مَا الْعَتِيرَةُ قَالَ ابْنُ عَوْنٍ فَلَا
أَدْرِي مَا رَدُّوا قَالَ هَذِهِ الَّتِي يَقُولُ النَّاسُ الرَّجَبِيَّةُ
dari Abu Ramlah ia berkata, Telah menceritakannya kepada kami Mikhnaf
bin Sulaim ia berkata, “Kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
saat beliau melakukan wukuf di Arafah. Kemudian beliau bersabda: “Wahai
sekalian manusia! Sesungguhnya bagi setiap rumah/keluarga, atau atas
setiap anggota keluarga harus memberikan Adlaah (memotong kurban) dan
‘Atiirah setiap tahunnya.” Mikhnaf bin Sulaim berkata, “Tahukah kalian
apa itu ‘Atirah?” Ibnu ‘Aun berkata, “Aku tidak tahu apa jawaban mereka
waktu itu.” Mikhnaf bin sulaim berkata, “(Atirah) Orang-orang mengatakan
bahwa itu adalah binatang yang disembelih di bulan Rajab.'” (H.R.Ahmad)
Jawaban argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Menurut Syua’ib Arna-uth Hadis di atas sanadnya Dhoif karena Abu Romlah
adalah perawi yang Majhul. Seandainya bisa dijadikan hujjahpun masih
belum kuat menunjukkan kewajiban berkurban karena tidak ada lafadz lugas
yang menunjukkannya.
Tambahan lagi, dalam Hadis itu yang diharuskan adalah dua hal yaitu
berkurban dan ‘Atiroh (kambing yang disembelih di bulan Rajab). Padahal
Hadis yang lebih shahih menegaskan bahwa Islam tidak mengenal ‘Atiroh,
tidak mensyariatkannya, dan tidak menganjurkannya apalagi sampai
mewajibkannya. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (17/ 124)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا فَرَعَ وَلَا عَتِيرَةَ
وَالْفَرَعُ أَوَّلُ النِّتَاجِ كَانُوا يَذْبَحُونَهُ لِطَوَاغِيتِهِمْ وَالْعَتِيرَةُ فِي رَجَبٍ
dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau
bersabda: “Tidak ada Fara’ dan Atiroh.” Beliau lalu jelaskan: “Fara’
adalah anak pertama seekor unta yang mereka sembelih untuk sesembahan
mereka, dan Atirah adalah hewan (kambing) yang mereka potong di bulan
Rajab.” (H.R.Bukhari)
Abu Dawud juga meriwayatkan Hadis yang senada;
سنن أبى داود – م (3/ 64)
عَنْ أَبِى الْمَلِيحِ قَالَ قَالَ نُبَيْشَةُ نَادَى رَجُلٌ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِنَّا كُنَّا نَعْتِرُ عَتِيرَةً فِى
الْجَاهِلِيَّةِ فِى رَجَبٍ فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ « اذْبَحُوا لِلَّهِ
فِى أَىِّ شَهْرٍ كَانَ وَبَرُّوا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَأَطْعِمُوا »
dari Abu Al Malih, ia berkata; Nubaisy berkata; seorang laki-laki
memanggil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam; sesungguhnya kami
dahulu menyembelih hewan pada sepuluh pertama Bulan Rajab pada masa
Jahiliyah, maka apakah yang anda perintahkan kepada kami? Beliau
berkata: “Sembelihlah karena Allah pada bulan apa saja, dan berbaktilah
kepada Allah ‘azza wajalla, serta berilah makan!” (H.R.Abu Dawud)
Seandainya berkurban hukumnya wajib berdasarkan Hadis Ahmad di atas
seharusnya ‘Atiroh juga wajib. Namun telah diketahui bahwa ‘Atiroh
hukumnya tidak wajib.
Ketiga; perintah berkurban dalam surat Al-Kautsar digandengkan dengan
perintah Shalat yang hukumnya wajib. Jadi berkurban juga wajib. Allah
berfirman;
{فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ} [الكوثر: 2]
Maka dirikanlah Shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah (Al-Kautsar;2)
Jawaban argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Jika perintah Shalat difahami sebagai perintah yang umum, maka Shalat
tersebut mencakup Shalat wajib dan Shalat Sunnah. Karena itu, tidak bisa
dikhususkan sebagai Shalat wajib saja. Jika difahami Shalat Sunnah,
maka berarti berkurban digandengkan dengan perintah Sunnah sehingga
hukumnya juga Sunnah.
Jika perintah Shalat dalam surat Al-Kautsar itu difahami sebagai Shalat
Ied, maka Shalat Ied hukumnya juga Sunnah. Sehingga perintah berkurban
yang menyertainya adalah perintah yang Sunnah juga.
Lagipula, tidak semua poin dalam satu ayat yang disambung dengan Harf
‘Athof hukum Syara’nya sama. Sebagai contoh adalah ayat berikut ini;
{إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي
الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ}
[النحل: 90]
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat Ihsan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan (An-Nahl; 90)
Dalam ayat ini perintah Adil hukumnya wajib. Perintah Ihsan hukumnya
adalah Sunnah. Jadi tidak selalu poin-poin perintah yang di deret dalam
satu ayat status hukum Syara’nya sama. Status hukum Syara’ sebuah
perintah atau larangan harus memperhatikan Qorinah-Qorinah lain dalam
Nash-Nash yang lain.
Keempat; Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan
Shahabat yang berkurban sebelum Shalat Ied agar mengulangi berkurban.
Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (17/ 262)
جُنْدَبَ بْنَ سُفْيَانَ الْبَجَلِيَّ قَالَ
شَهِدْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ النَّحْرِ
فَقَالَ مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُعِدْ مَكَانَهَا أُخْرَى
وَمَنْ لَمْ يَذْبَحْ فَلْيَذْبَحْ
Jundab bin Sufyan Al Bajali berkata; aku ikut menyaksikan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari raya kurban, lalu beliau
bersabda: “Barangsiapa menyembelih binatang kurban sebelum Shalat (Iedul
Adha), hendaknya ia mengulangi kurbannya, dan barangsiapa belum
berkurban hendaknya ia berkurban.” (H.R.Bukhari)
Imam Muslim juga meriwayatkan Hadis yang semakna;
صحيح مسلم (10/ 131)
جُنْدَبُ بْنُ سُفْيَانَ قَالَ
شَهِدْتُ الْأَضْحَى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَلَمْ يَعْدُ أَنْ صَلَّى وَفَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ سَلَّمَ
فَإِذَا هُوَ يَرَى لَحْمَ أَضَاحِيَّ قَدْ ذُبِحَتْ قَبْلَ أَنْ يَفْرُغَ
مِنْ صَلَاتِهِ فَقَالَ مَنْ كَانَ ذَبَحَ أُضْحِيَّتَهُ قَبْلَ أَنْ
يُصَلِّيَ أَوْ نُصَلِّيَ فَلْيَذْبَحْ مَكَانَهَا أُخْرَى وَمَنْ كَانَ
لَمْ يَذْبَحْ فَلْيَذْبَحْ بِاسْمِ اللَّهِ
Jundab bin Sufyan dia berkata, “Saya pernah ikut hadir Shalat Idul Adha
bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak lama setelah
selesai Shalat, beliau melihat daging kurban yang telah disembelih, maka
beliau bersabda: “Siapa yang menyembelih hewan kurban sebelum Shalat,
hendaknya ia mengulanginya sebagai gantinya. Dan siapa yang belum
menyembelih hendaknya menyembelih dengan menyebut nama Allah.”
(H.R.Muslim)
Dari Hadis ini difahami, bahwa ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ memerintahkan mengulang berkurban berarti berkurban hukumnya
wajib, sebagaimana Shahabat yang disuruh mengulang Shalat ketika
meninggalkan rukun Shalat.
Jawaban argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Perintah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ untuk mengulang
berkurban adalah karena berkurban sebelum Shalat Ied hukumnya tidak sah,
bukan menunjukkan kewajiban berkurban. Keabsahan suatu amal ibadah
terkait dengan dipenuhinya Syarat dan Rukun, yang ini berbeda dengan
pembahasan status wajib, Sunnah atau Mubahnya suatu perbuatan. Keabsahan
ibadah adalah pembahasan kapan suatu amal bisa diharapkan diterima oleh
Allah dan diganjar olehNya, sementara status wajib, Sunnah, Mubah
adalah pembahasan apakah suatu perbuatan diperintahkan dengan
tegas/keras/disertai ancaman, ataukan sekedar anjuran kebaikan tanpa
disertai ketegasan/ancaman siksa.
Kelima; Ada Hadis yang menunjukkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ melaksanakan secara konsisten dan terus menerus ibadah kurban.
Ahmad meriwayatakan;
مسند أحمد (10/ 251)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ عَشْرَ سِنِينَ يُضَحِّي
dari Ibnu Umar ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
tinggal di Madinah selama sepuluh tahun selalu menyembelih kurban.”
(H.R.Ahmad)
Terus menerusnya ibadah berkurban yang dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah wajib
sebagaimana Shalat lima waktu dan puasa Ramadhan yang dilakukan terus
menerus.
Jawaban argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Muhammad Abdurrahman Al Mubarokfury dalm kitabnya Tuhfatu Al-Ahwadzi
mengatakan bahwa dalam sanad Hadis tersebut ada perawi yang bernama
Hajjaj bin Artho-ah yang banyak melakukan kesalahan dan melakukan
Tadlis. Al-Albany menilainya Dhoif ketika mentakhrij Sunan At-Tirmidzi,
sebagaimana Syu’aib Arna-uth juga mendhoifkannya ketika mentakhrij Hadis
dalam Musnad Ahmad.
Lagipula, merutinkan amalan masih belum kuat menunjukkan kewajiban
sebagaimana Shalat Rowatib, Siwak, membaca Mu’awwidzatain juga
dirutinkan Nabi namun hukumnya tidak wajib.
Keenam; Nabi memerintahkan berkurban karena berkurban adalah Sunnah Nabi
Ibrahim, sementara mengikuti Millah Ibrahim hukumnya wajib. Ibnu Majah
meriwayatkan;
سنن ابن ماجه (9/ 281)
عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ قَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذِهِ الْأَضَاحِيُّ
قَالَ سُنَّةُ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ قَالُوا فَمَا لَنَا فِيهَا يَا
رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بِكُلِّ شَعَرَةٍ حَسَنَةٌ قَالُوا فَالصُّوفُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بِكُلِّ شَعَرَةٍ مِنْ الصُّوفِ حَسَنَةٌ
dari Zaid bin Arqam dia berkata, “Para sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah maksud dari
hewan-hewan kurban seperti ini?” beliau bersabda: “Ini merupakan sunnah
(ajaran) bapak kalian, Ibrahim.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah,
lantas apa yang akan kami dapatkan dengannya?” beliau menjawab: “Setiap
rambut terdapat kebaikan.” Mereka berkata, “Bagaimana dengan
bulu-bulunya wahai Rasulullah?” beliau menjawab: “Dari setiap rambut
pada bulu-bulunya terdapat suatu kebaikan.” (H.R.Ibnu Majah)
Jawaban argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Riwayat di atas tidak bisa menjadi Hujjah karena sanadnya Dhoif Jiddan.
Di dalamnya ada perawi yang bernama Abu Dawud Nufai’ bin Al-Harits
Al-A’ma Al-Kufy dan A’idzullah yang juga dinilai Dho’if.
Lagipula, mengikuti Millah Ibrohim, maksudnya adalah mengikuti dalam
Tauhid. Sementara Syariat Nabi Ibrahim, bukanlah Syariat bagi umat
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Atas dasar ini, hukum berkurban adalah Sunnah Muakkadah bukan wajib.
Namun pendapat yang mewajibkan adalah pendapat yang Islami dan Syar’I
untuk diikuti oleh kaum Muslimin yang sepakat dengan cara pengambilan
hukumnya.
Diantara ulama yang berpendapat bahwa berkurban adalah Sunnah adalah;
Suwaid bin Ghofalah, Sa’id bin Al-Musayyab, ‘Alqomah, Al-Aswad, ‘Atho’,
As-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Ibnu Al-Mundzir, Abu Yusuf,
Al-Muzany, Dawud, An-nawawy, dan Asyhab.
Diantara ulama yang berpendapat bahwa berkurban adalah wajib adalah;
Abu Hanifah, Malik, Robi’ah, Ats-Tsaury, Al-Auza’y, Al-Laits , sebagian
riwayat dari Ahmad, dan Ibnu Taimiyah.
Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar