Perceraian atau talak yang dikenal juga dengan istilah gugat cerai
adalah pemutusan hubungan suami-istri dari hubungan pernikahan atau
perkawinan yang sah menurut syariah Islam dan/atau sah menurut syariah
dan negara. Perceraian adalah hal yang menyedihkan dan memiliki
implikasi sosial yang tidak kecil terutama bagi pasangan yang sudah
memiliki keturunan. Oleh karena itu, sebisa mungkin ia dihindari. Namun
Islam memberi jalan keluar apabila ia dapat menjadi jalan atau solusi
terbaik bagi keduanya.
DEFINISI CERAI TALAK
Dalam syariah cerai atau talak adalah melepaskan ikatan perkawinan
(Arab, اسم لحل قيد النكاح) atau putusnya hubungan perkawinan antara
suami dan istri dalam waktu tertentu atau selamanya.
DALIL DASAR HUKUM PERCERAIAN TALAK
- QS Al-Baqarah 2:229
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْزَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً
إِلاّض أَنْ يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا
افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ
حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu
berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami
isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa
atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus
dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang
yang zalim.
- QS At-Talaq 65:1-7
أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَطَلِّقُوهُنَّ
لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لاَ
تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلا يَخْرُجْنَ إِلاَّ أَن يَأْتِينَ
بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَن يَتَعَدَّ
حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لاَ تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ
يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا*
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ
فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنكُمْ
وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَن كَانَ
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل
لَّهُ مَخْرَجًا*
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ
لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا*
وَاللاَّئِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ
فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللاَّئِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُوْلاتُ
الأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ
يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا*
ذَلِكَ أَمْرُ اللَّهِ أَنزَلَهُ إِلَيْكُمْ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا*
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلاَ تُضَارُّوهُنَّ
لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِن كُنَّ أُولاَتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا
عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ
فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ وَإِن
تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى*
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ
فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ
مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
Artinya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)
iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah
kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka
dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan
perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa
yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat
zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah
mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.(ayat 1)
Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka
dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu
tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran
dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa
bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan
keluar.(ayat 2)
Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan
barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang
(dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi
tiap-tiap sesuatu.(ayat 3)
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka
masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil,
waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan
barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan
baginya kemudahan dalam urusannya. (ayat 4)
Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepada kamu, dan barangsiapa
yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus
kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya. (ayat
5)
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan
(hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu
sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka
bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu
(segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka
perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.(ayat 6)
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan
orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta
yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah
kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.(ayat 7)
SHIGHAT (UCAPAN) CERAI TALAK ADA DUA
Ditinjau dari segi shighat, lafadz, ucapan cerai talak dari seorang
suami pada istri, talak ada dua macam yaitu talak sharih (langsung,
jelas, eksplisit) dan talak kinayah (tidak langsung, sindiran,
implisit). Kedua shighat talak ini memiliki hukum tersendiri dalam soal
terjadinya talak atau tidak.
TALAK SHARIH (LANGSUNG)
Talak sharih adalah ucapan talak secara jelas dan eksplist yang apabila
diucapan pada istri maka jatuhlah talak/perceraian walaupun suami tidak
berniat untuk cerai. Lafadz talak sharih ada 3 (tiga) yaitu:
(a) Talak atau cerai. Seperti kata suami pada istri: "Aku menceraikanmu." atau "Kamu dicerai", dsb.
(b) Pisah (mufaraqah)
(c) Sarah (pisah)
TALAK KINAYAH(TIDAK LANGSUNG, IMPLISIT)
Yaitu kata yang mengandung nuansa atau makna percraian tapi tidak secara
langsung. Seperti kata suami pada istri "Pulanglah pada orang tuamu!"
Termasuk talak kinayah adalah talak sharih tapi dibuat secara tertulis atau melalui SMS (short text message).
HUKUM CERAI/TALAK
Hukum talak/perceraian itu beragam: bisa wajib, sunnah, makruh, haram, mubah. Rinciannya sbb:
TALAK ITU WAJIB APABILA:
a) Jika suami isteri tidak dapat didamaikan lagi
b) Dua orang wakil daripada pihak suami dan isteri gagal membuat kata sepakat untuk perdamaian rumahtangga mereka
c) Apabila pihak pengadilan berpendapat bahawa talak adalah lebih baik
Jika tidak diceraikan dalam keadaan demikian, maka berdosalah suami
PERCERAIAN ITU HARAM APABILA:
a) Menceraikan isteri ketika sedang haid atau nifas
b) Ketika keadaan suci yang telah disetubuhi
c) Ketika suami sedang sakit yang bertujuan menghalang isterinya daripada menuntut harta pusakanya
d) Menceraikan isterinya dengan talak tiga sekaligus atau talak satu
tetapi disebut berulang kali sehingga cukup tiga kali atau lebih
PERCERAIAN ITU HUKUMNYA SUNNAH APABILA:
a) Suami tidak mampu menanggung nafkah isterinya
b) Isterinya tidak menjaga martabat dirinya
CERAI HUKUMNYA MAKRUH APABILA:
Suami menjatuhkan talak kepada isterinya yang baik, berakhlak mulia dan mempunyai pengetahuan agama
CERAI HUKUMNYA MUBAH APABILA
Suami lemah keinginan nafsunya atau isterinya belum datang haid atau telah putus haidnya
RUKUN PERCERAIAN/ TALAK
Ada 2 faktor dalam perceraian yaitu suami dan istri. Masing-masing ada syarat sahnya perceraian.
Rukun Talak bagi Suami
- Berakal sehat
- Baligh
- Dengan kemauan sendiri
Rukun Talak bagi Isteri
- Akad nikah sah
- Belum diceraikan dengan talak tiga oleh suaminya
Lafadz/teks talak:
- Ucapan yang jelas menyatakan penceraiannya
- Dengan sengaja dan bukan paksaaan
JENIS PERCERAIAN ADA 2 (DUA)
Ditinjau dari pelaku perceraian, maka perceraian itu ada dua macam yaitu
(a) cerai talak oleh suami kepada istri dan
(b) gugat cerai oleh istri kepada suami.
A. CERAI TALAK OLEH SUAMI
Yaitu perceraian yang dilakukan oleh suami kepada istri. Ini adalah
perceraian/talak yang paling umum. Status perceraian tipe ini terjadi
tanpa harus menunggu keputusan pengadilan. Begitu suami mengatakan
kata-kata talak pada istrinya, maka talak itu sudah jatuh dan terjadi.
Keputusan Pengadilan Agama hanyalah formalitas.
Talak atau gugat cerai yang dilakukan oleh suami terdiri dari 4 (empat) macam sbb:
Talak raj’i
Yaitu perceraian di mana suami mengucapkan (melafazkan) talak satu atau
talak dua kepada isterinya. Suami boleh rujuk kembali ke isterinya
ketika masih dalam iddah. Jika waktu iddah telah habis, maka suami tidak
dibenarkan merujuk melainkan dengan akad nikah baru.
Talak bain
Yaitu perceraian di mana suami mengucapkan talak tiga atau melafazkan
talak yang ketiga kepada isterinya. Isterinya tidak boleh dirujuk
kembali. Si suami hanya boleh merujuk setelah isterinya menikah dengan
lelaki lain, suami barunya menyetubuhinya, setelah diceraikan suami
barunya dan telah habis iddah dengan suami barunya.
Talak sunni
Yaitu perceraian di mana suami mengucapkan cerai talak kepada isterinya
yang masih suci dan belum disetubuhinya ketika dalam keadaan suci
Talak bid’i
Suami mengucapkan talak kepada isterinya ketika dalam keadaan haid atau ketikasuci tapi sudah disetubuhi (berhubungan intim).
Talak taklik
Talak taklik ialah suami menceraikan isterinya secara bersyarat dengan
sesuatu sebab atau syarat. Apabila syarat atau sebab itu dilakukan atau
berlaku, maka terjadilah penceraian atau talak.
TAKLIK TALAK
Taklik talak atau talak taklik dibagi ke dalam dua macam, yaitu taklik qasami dan taklik syarthi.
TAKLIK TALAK ADA 2 MACAM
Taklik qasami
Taklik qasami adalah taklik yang dimaksudkan seperti janji karena
mengandung pengertian melakukan pekerjaan atau meninggalkan suatu
perbuatan atau menguatkan suatu kabar.
Taklik Syarthi
Taklik Syarthi yaitu taklik yang dimaksudkan untuk menjatuhkan talak
jika telah terpenuhi syaratnya. Syarat sah taklik yang dimaksud tersebut
ialah perkaranya belum ada, tetapi mungkin terjadi di kemudian hari,
hendaknya istri ketika lahirnya akad talak dapat dijatuhi talak dan
ketika terjadinya perkara yang ditaklikkan istri berada dalam
pemeliharaan suami.
ISI SIGHAT TAKLIK TALAK
Bunyi redaksi atau sighat taklik taklak yang diucapkan pengantin pria
setelah ijab kabul di KUA dan termuat dalam buku Akta Nikah adalah sbb:
SIGHAT TAKLIK TALAK
بسم الله الرحمن الرحيم
Sesudah akad nikah saya (nama_mempelai_pria) bin
(nama_ayah_mempelai_pria) berjanji dengan sepenuh hati, bahwa saya akan
menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli
istri saya bernama (nama_mempelai_wanita) binti (nama_ayah_mempelai
wanita) dengan baik (mu'asyarah bilma'ruf) manurut ajaran syari'at
islam.
Selanjutnya saya membaca sighat taklik atas istri saya sebagai berikut :
Sewaktu-waktu saya :
1. Meninggalkan istri saya dua tahun berturut-turut,
2. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya,
3. Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya,
4. Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya enam bulan lamanya,
Kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada pengadilan
agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan
tersebut, sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak
saya satu kepadanya.
Kepada Pengadilan tersebut saya kuasakan untuk menerima uang iwadh itu
dan kemudian menyerahkan kepada Direktorat Jendral Bimas Islam dan
Penyelengara Haji Cq. Direktorat Urusan Agama Islam untuk keperluan
ibadah sosial.
Suami
HUKUM UCAPAN TAKLIK TALAK
Mengucapkan talklik talak oleh pengantin pria sesaat setelah ijab kabul
hukumnya tidak wajib. Boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan.
Berdasarkan pada
(a) Fatwa MUI pada 23 Rabi'ul Akhir 1417 H/ 7 September 1996 yang menyatakan bahwa:
Pengucapan sighat ta'liq talaq, yang menurut sejarahnya untuk melindungi
hak-hak wanita ( isteri ) yang ketika itu belum ada peraturan
perundang-undangan tentang hal tersebut, sekarang ini pengucapan sighat
ta'liq talaq tidak diperlukan lagi. Untuk pembinaan ke arah pembentukan
keluarga bahagia sudah di bentuk BP4 dari
tingkat pusat sampai dengan tingkat kecamatan.
(b) KHI Kompilasi Hukum Islam pasal 46 ayat (3)
Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada
setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak
dapat dicabut kembali.
B. GUGAT CERAI OLEH ISTRI
Yaitu perceraian yang dilakukan oleh istri kepada suami. Cerai model ini
dilakukan dengan cara mengajukan permintaan perceraian kepada
Pengadilan Agama. Dan perceraian tidak dapat terjadi sebelum Pengadilan
Agama memutuskan secara resmi.
Ada dua istilah yang dipergunakan pada kasus gugat cerai oleh istri, yaitu fasakh dan khulu’:
1. Fasakh
Fasakh adalah pengajuan cerai oleh istri tanpa adanya kompensasi yang diberikan istri kepada suami, dalam kondisi di mana:
- Suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin selama enam bulan berturut-turut;
- Suami meninggalkan istrinya selama empat tahun berturut-turut tanpa
ada kabar berita (meskipun terdapat kontroversi tentang batas waktunya);
- uami tidak melunasi mahar (mas kawin) yang telah disebutkan dalam akad
nikah, baik sebagian ataupun seluruhnya (sebelum terjadinya hubungan
suamii istri); atau
- adanya perlakuan buruk oleh suami seperti penganiayaan, penghinaan,
dan tindakan-tindakan lain yang membahayakan keselamatan dan keamanan
istri.
Jika gugatan tersebut dikabulkan oleh Hakim berdasarkan bukti-bukti dari
pihak istri, maka Hakim berhak memutuskan (tafriq) hubungan perkawinan
antara keduanya.
2. Khulu’
Khulu’ adalah kesepakatan penceraian antara suami istri atas permintaan
istri dengan imbalan sejumlah uang (harta) yang diserahkan kepada suami.
Khulu' disebut dalam QS Al-Baqarah 2:229
APA ITU TALAK BA'IN SHUGHRA
Efek Hukum dari gugat cerai oleh istri baik Fasakh maupun Khulu’ adalah talak ba'in shughra (talak ba'in kecil).
Efek hukum yang ditimbulkan oleh fasakh dan khulu’ adalah talak ba'in
sughra, yaitu hilangnya hak rujuk pada suami selama masa ‘iddah.
Artinya, apabila lelaki tersebut ingin kembali kepada mantan istrinya
maka ia diharuskan melamar dan menikah kembali dengan perempuan
tersebut. Sementara itu, istri wajib menunggu sampai masa ‘iddahnya
berakhir apabila ingin menikah dengan laki-laki yang lain.
IDDAH MASA TUNGGU
Iddah adalah masa tunggu bagi istri yang dicerai talak oleh suami atau
karena gugat cerai oleh istri. Dalam masa iddah, seorang perempuan yang
dicerai tidak boleh menikah dengan dengan siapapun sampai masa iddahnya
habis atau selesai. Bagi istri yang ditalak raj'i (talak satu atau talak
dua) maka suami boleh kembali ke istri (rujuk) selama masa iddah tanpa
harus ada akad nikah baru. Sedangkan apabila suami ingin rujuk setelah
masa iddah habis, maka harus ada akad nikah yang baru.
Rincian masa iddah sbb:
1. Perempuan yang ditinggal mati suaminya, maka iddahnya adalah empat
bulan sepuluh hari, baik sang isteri sudah dicampuri (hubungan intim)
atau belum (QS Al-Baqarah 2:234).
2. Istri yang dicerai saat sedang hamil, maka masa iddahnya sampai melahirkan (QS At-Talaq 65:4).
3. Istri yang ditalak tidak dalam keadaan hamil dan masih haid secara
normal, maka masa iddahnya tiga kali masa suci atau quru'(QS Al-Baqarah
2:228) dengan rincian sebagai berikut:
a. Apabila talak terjadi saat haid, maka awal iddah dihitung dari masa suci yang terjadi setelah haid.
b. Apabila talak terjadi saat suci, maka dirinci:
b.a.-- Apabila masih ada sedikit masa suci lalu haid, maka masa sedikit itu dianggap qur'
b.a.a -- Apabila setelah talak tidak ada sedikitpun masa suci dalam arti akhir kalimat talak bersamaan dengan akhir masa suci,
b.a.b -- Atau apabila suami berkata pada istrinya, "Kamu ditalak di
akhir masa sucimu" -> maka dalam kasus terakhir awal quru'-nya adalah
masa suci yang jatuh setelah haid.
c. Istri yang tidak haid yang biasa seperti anak kecil atau wanita
menopause, maka iddahnya tiga bulan berdasarkan QS At-Talaq :4
d. Istri yang tidak haid karena sebab yang tidak biasa seperti wanita
tidak haid pada usia yang umumnya haid, maka iddahnya juga tiga bulan
berdasarkan QS At-Talaq :4
e. Masa iddah dengan quru' palig sedikitnya adalah 32 hari dan sesaat.
Ini terjadi apabila istri dicerai di masa suci sesaat kemudian dia haid,
maka masa suci sesaat itu dihitung satu quru'. Lalu dia haid sehari
lalu suci 15 hari ini dihitung quru' kedua. Lalu haid sehari dan haid 15
hari ini dihitung quru' ketiga yang berakhir saat haid yang ketiga.
(Lihat Al-Sairozi, "Kitab Al-Talaq", Al-Muhadzab hlm. 3/118)
4. Jika wanita yang dijatuhi talak itu masih kecil, belum mengeluarkan
darah haid atau sudah lanjut usia yang sudah manopause (berhenti masa
haid), maka iddahnya adalah tiga bulan (At-Thalaq 65:4).
5. Wanita yang pernikahannya fasakh/dibatalkan , maka iddahnya sama
dengan iddah talak. (Lihat, Ibnu Muflih dalam Al-Mughni hlm. 9/77
mengutip pendapat Imam Syafi'i)
6. Iddahnya perempuan yang di-khuluk sama dengan wanita yang ditalak
biasa (Lihat, Ibnu Muflih dalam Al-Mughni hlm. 9/77 mengutip pendapat
Imam Syafi'i)
6. Wanita yang dicerai-talak sebelum ada hubungan intim, maka tidak ada masa iddah.
BEDA TALAK RAJ'I, TALAK BA'IN SUGHRA, TALAK 3 (TIGA) BA'IN KUBRO
Dari seluruh uraian seputar talak/perceraian di atas dapat disimpulkan
bahwa talak ada 3 macam yaitu talak raj'i, talak ba'in sughra (kecil)
dan talak ba'in kubra atau talak 3 (tiga). Perbedaan ketiganya adalah
sbb:
Talak Raj'i (Rujuk)
Adalah cerai talak oleh suami dengan level talak 1 (satu) dan talak 2
(dua). Dengan status talak raj'i, maka suami boleh rujuk atau kembali
pada istri yang dicerainya selama masa iddah tanpa harus akad nikahbaru.
Namun apabila keinginan rujuk tersebut setelah masa iddah habis, maka
harus diadakan akad nikah baru.
Talak Ba'in Sughra (Kecil)
Talak Ba'in Sughra adalah perceraian yang disebabkan oleh gugat cerai
oleh istri baik dengan cara fasakh atau khuluk. Dalam kondisi ini, maka
(a) suami tidak boleh rujuk pada istri selama masa iddah; dan (b) suami
boleh kembali ke istri setelah masa iddah habis dengan akad nikah yang
baru.
Talak 3 (Tiga) atau Talak Ba'in Kubro
Talak 3 (Tiga) atau Talak Ba'in saja adalah perceraian di mana suami
sama sekali tidak boleh rujuk atau kembali pada istrinya walaupun masa
iddah sudah habis kecuali setelah istri menikah dengan laki-laki lain
dan beberapa saat (bulan/tahun) kemudian pria kedua tersebut
menceraikannya.
PROSEDUR PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA
Ada beberapa tahapan dalam melakukan gugatan perceraian ke Pengadilan
Agama baik menyangkut cerai talak oleh suami atau cerai gugat oleh istri
sbb:
PROSES CERAI TALAK OLEH SUAMI DI PENGADILAN AGAMA
Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (Suami) atau Kuasanya:
1. a. Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan
Agama/Mahkamah Syari’ah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo Pasal 66 UU No. 7
Tahun 1989);
b. Pemohon dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan
Agama/Mahkamah Syari’ah tentang tata cara membuat surat permohonan
(Pasal 119 HIR, 143 R.Bg jo. Pasal 58 UU No. 7 Tahun 1989);
c. Surat permohonan dapat dirub`h sepanjang tidak merubah posita dan
petitum. Jika Termohon telah menjawab surat permohonan ternyata ada
perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Termohon.
2. Permohonan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah :
a. Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon (Pasal 66 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989);
b. Bila Termohon meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati
bersama tanpa izin Pemohon, maka permohonan harus diajukan kepada
Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman Pemohon (Pasal 66 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989);
c. Bila Termohon berkediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan
kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman Pemohon (Pasal 66 ayat (3) UU No. 7 Tahun 1989);
d. Bila Pemohon dan Termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka
permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang daerah
hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan atau kepada
Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 66 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989).
3. Permohonan tersebut memuat :
a. Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon;
b. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
c. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
4. Permohonan soal penguasan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta
bersama dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak atau
sesudah ikrar talak diucapkan (Pasal 66 ayat (5) UU No. 7 Tahun 1989).
5. Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg. Jo
Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara
secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg).
6. Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri persidangan
berdasarkan panggilan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah (Pasal 121,
124, dan 125 HIR, 145 R.Bg).
Proses Penyelesaian Perkara
1. Pemohon mendaftarkan permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah.
2. Pemohon dan Termohon dipanggil oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah untuk menghadiri persidangan.
3. Tahapan persidangan :
a. Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua
belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU
No. 7 Tahun 1989);
b. Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah
pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1) PERMA No. 2
Tahun 2003);
c. Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan
dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian
dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Termohon
dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132 a HIR, 158
R.Bg);
Putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah atas permohonan cerai talak sebagai berikut :
a. Permohonan dikabulkan. Apabila Termohon tidak puas dapat mengajukan
banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syarhah tersebut;
b. Permohonan ditolak. Pemohon dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah tersebut;
c. Permohonan tidak diterima. Pemohon dapat mengajukan permohonan baru.
4. Apabila permohonan dikabulkan dan putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka :
a. Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak;
b. Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah memanggil Pemohon dan Termohon untuk melaksanakan ikrar talak;
c. Jika dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan sidang
penyaksian ikrar talak, suami atau kuasanya tidak melaksanakan ikrar
talak didepan sidang, maka gugurlah kekuatan hukum penetapan tersebut
dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan hukum yang
sama (Pasal 70 ayat (6) UU No. 7 Tahun 1989).
5. Setelah ikrar talak diucapkan panitera berkewajiban memberikan Akta
Cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari setelah penetapan ikrar talak (Pasal 84 ayat (4) UU No. 7
Tahun 1989);
PROSES GUGAT CERAI OLEH ISTRI DI PENGADILAN AGAMA
Langkah-langkah yang harus dilakukan Penggugat (Istri) atau kuasanya :
1. a. Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan
Agama/Mahkamah Syari’ah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo Pasal 73 UU No. 7
Tahun 1989);
b. Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iah tentang tata cara membuat surat gugatan (Pasal
118 HIR, 142 R.Bg jo. Pasal 58 UU No. 7 Tahun 1989);
c. Surat gugatan dapat dirubah sepanjang tidak merubah posita dan
petitum. Jika Tergugat telah menjawab surat gugatan ternyata ada
perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Tergugat.
2. a. Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah;
b. Bila Penggugat meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati
bersama tanpa izin Tergugat, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan
Agama/Mahkamah Syari’ah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
Tergugat (Pasal 73 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 jo Pasal 32 ayat (2) UU
No. 1 Tahun 1974);
c. Bila Penggugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan
diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat (2) UU No.7 Tahun
1989);
d. Bila Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka
gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’aah yang daerah
hukumnya meliputi tempat perkawinan dilangsungkan atau kepada Pengadilan
Agama Jakarta Pusat (Pasal 73 ayat (3) UU No.7 Tahun 1989).
3. Permohonan tersebut memuat :
a. Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon;
b. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
c. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
4. Gugatan soal penguasan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta
bersama dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian atau
sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 86
ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989).
5. Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg. Jo
Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara
secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg).
6. Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri persidangan
berdasarkan panggilan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah (Pasal 121,
124, dan 125 HIR, 145 R.Bg).
Proses Penyelesaian Perkara
1. Penggugat mendaftarkan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah
2. Penggugat dan Tergugat dipanggil oleh pengadilan agama/mahkamah syar’iah untuk menghadiri persidangan
3. Tahapan persidangan :
a. Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua
belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU
No. 7 Tahun 1989);
b. Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah
pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1) PERMA No. 2
Tahun 2003);
c. Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan
dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian
dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Termohon
dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132 a HIR, 158
R.Bg);
Putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah atas permohonan cerai gugat sebagai berikut :
a. Gugatan dikabulkan. Apabila Tergugat tidak puas dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah tersebut;
b. Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah tersebut;
c. Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan gugatan baru.
4. Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap maka panitera
Pengadilan agama/mahkamah syar’iah memberikan Akta Cerai sebagai surat
bukti cerai kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
setelah putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak.
CARA SUAMI RUJUK
Selama masa iddah belum habis, suami boleh rujuk pada istri yang ditalak raj'i (selain talak 3) kapan saja. Cara rujuk sbb:
a. Rujuk dapat dilakukan dengan mengatakan pada istri "Aku rujuk". Atau
berkata pada orang lain "Aku rujuk pada istriku" atau "Aku kembali ke
istriku.
b. Rujuknya juga dianggap sah dengan perbuatan. Seperti melakukan hubungan intim dengan diniati rujuk.
RUJUK DAN TALAK DENGAN DUA SAKSI
a. Sunnah hukumnya menghadirkan dua saksi saat melakukan talak atau rujuk.
b. Tapi sah hukum talak dan rujuk tanpa ada saksi
c. Rujuknya suami tidak memerlukan adanya wali, atau mahar, atau
kerelaan istri atau atas sepengetahuan istri. Rujuk tetap sah walaupun
istri tidak tahu atas hal itu.
TALAK YANG TIDAK TERJADI ATAU TIDAK SAH
Perkataan 'talak', 'pisah', atau 'cerai' tidak terjadi atau tidak sah apabla diucapkan dalam kondisi dan situasi berikut:
1. Diucapkan dalam kalimat yang bermakna masa yang akan datagn (future tense, zaman mustaqbal)
Talak dalam Future Tense (Masa akan datang) Tidak Terjadi
Kalimat talak atau cerai yang menunjukkan waktu masa depan (Inggris:
future tense; Arab: mustaqbal) itu tidak dianggap talak sharih
(eksplisit) tapi dianggap talak kinayah (implisit) karena dalam konteks
ini ia seperti janji talak. Karena itu ia membutuhkan niat agar talak
terjadi dan sah. Syarwani dalam Hasyiyah Syarwani atas kitab Tuhfatul
Muhtaj fi Syarhil Minhaj menyatakan:
لو قال لزوجته تكون طالقاً هل تطلق أو لا؟ لاحتمال هذا اللفظ الحال
والاستقبال، وهل هو صريح، أو كناية؟ والظاهر أنه كناية، فإن أراد به وقوع
الطلاق في الحال طلقت، أو التعليق احتاج إلى ذكر المعلق عليه، وإلا فهو وعد
لا يقع به شيء
Artinya: Apabila suami berkata pada istrinya "Kamu akan menjadi istri
yang tertalak" apakah jatuh talak atau tidak? Karena kata ini mengandung
kemungkinan zaman hal (masa sekarang) atau istiqbal (masa akan datang).
Secara zahir, ini talak kinayah. Apabila suami ingin menjatuhkan talak
saat ini juga dengan kalimat itu maka terjadi talak; apabila bermaksud
taklik (talak kondisional), maka suami harus menyebut muallaq alaih
(yang dijadikan kondisi / syarat). Apabila tidak, maka kalimat ini
adalah janji yang tidak terjadi apa-apa.
2. Talak yang diucapkan dalam kalimat tanya hukumnya tidak sah alias tidak terjadi
Al-Khatib As-Syarbini dalam Mughnil Muhtaj ila Makrifati Alfadz al-Minhaj 3/302 menyatakan
ولو قال أنت طالق أو لا أو أنت طالق واحدة أو لا بإسكان الواو فيهما لم يقع
به شيء لأنه استفهام لا إيقاع فكان كقوله هل أنت طالق إلا أن يريد بقوله
أنت طالق إنشاء الطلاق فتطلق ولا يؤثر قوله بعده أو لا
Artinya: Apabila suami berkata pada istrinya: "Kamu tertalak atau
tidak?" atau "Kamu tertalak satu atau tidak?" maka talak tidak terjadi
karena itu kalimat tanya bukan penjatuhan talak. Kalimat tersebut sama
dengan kalimat (suami pada istri): "Apakah kamu perempuan yang
tertalak?" Namun demikian, apabila dengan kata-kata tersebut suami
(yakni kalimat "Kamu tertalak atau tidak?") ada niat untuk mentalak
istrinya, maka talak terjadi.
3. Bercerita tentang talak tidak berakibat jatuh talak. Misalnya, suami
bercerita pada istrinya bahwa tetangga sebelah ditalak oleh suaminya.
Zakariya Al-Anshari dalam kitab Al-Ghurar Al-Bahiyyah fi Al-Bahjah Al-Wardiyyah IV/246 menyatakan:
قوله: وقصد. أي قصد لفظه لمعناه أي قصد لفظه ومعناه؛ إذ المعتبر قصدهما
ليخرج حكاية طلاق الغير، وتصوير الفقيه، والنداء بطالق لمن اسمها طالق
Artinya: ... yang dianggap (dalam talak) adalah kesengajaan dalam kata
dan makna. Tidak termasuk dari talak adalah bercerita tentang talak
orang lain, dan penjelasan talak seorang ahli fiqih, dan panggilan
dengan kata "Taliq" (orang yang dicerai) bagi wanita yang kebetulan
bernama Taliq.
3. Apabila suami menceraikan istrinya dengan talak 1, lalu setelah habis
masa iddahnya, suami mentalak yang kedua kalinya (tanpa adanya rujuk
atau akad baru), maka itu tidak terjadi talak. Hal ini disebabkan tidak
adanya hubungan suami-istri sama sekali.
4. Kalimat talak dengan memakai kalimat perintah tidak terjadi talak.
Ibnu Abil Fath dalam Al-Matlak ala Abwab al-Fiqh (mazhab Hanbali)
menyatakan:
ولا يحصل الحكم بالمضارع ولا بالأمر، لأن المضارع وعد كقولك: أنا أعتق
وأدبر وأطلق، والأمر لا يصلح للإنشاء ولا هو خبر فيؤاخذ المتكلم به
Artinya: ... cerai talak tidak terjadi dengan kalimat kata perintah
(fi'il amar) karena ia bukan kalimat berita dan tidak pantas dijadikan
pernyataan.
4. Talaknya Orang Marah dengan Kemarahan Tingkat Tertinggi atau Menengah
Abdurrohman Al-Jaziri yaitu Al-Fiqh alal Mazahib al-Arbaah, hlm. 4/142
membagi kemarahan suami yang marah menjadi 3 (tiga) tingkatan sebagai
berikut:
أما طلاق الغضبان فاعلم أن بعض العلماء قد قسم الغضب إلى ثلاثة أقسام :
الأول : أن يكون الغضب في أول أمره فلا يغير عقل الغضبان بحيث يقصد ما
يقوله ويعلمه ولا ريب في أن الغضبان بهذا المعنى يقع طلاقه وتنفذ عباراته
باتفاق الثاني : أن يكون الغضب في نهايته بحيث يغير عقل صاحبه ويجعله
كالمجنون الذي لا يقصد ما يقول ولا يعلمه ولا ريب في أن الغضبان بهذا
المعنى لا يقع طلاقه لأنه هو والمجنون سواء الثالث : أن يكون الغضب وسطا
بين الحالتين بأن يشتد ويخرج عن عادته ولكنه لا يكون كالمجنون الذي لا يقصد
ما يقول ولا يعلمه والجمهور على أن القسم الثالث يقع به الطلاق
Artinya: Adapun talaknya orang yang marah maka sebagian ulama membaga kemarahan itu menjadi 3 (tiga) bagian:
Pertama, kemarahan tingkat pertama. Ia tidak merubah akal orang yang
marah dalam arti ia sengaja mengucapkan apa yang dikatakan dan
menyadarinya. Tidak diragukan bahwa marah dalam tingkat ini sah dan
terjadi talaknya menurut kesepakatan ulama.
Kedua, kemarahan tingkat tertinggi yang dapat merubah akal sehingga
seperti orang gila yang tidak bersengaja atas apa yang dikatakan dan
tidak menyadarinya. Tidak diragukan bahwa kemarahan dalam tingkat ini
tidak terjadi talaknya karena ia sama dengan orang gila.
Ketiga, kemarahan tingkat menengah antara tingkat pertama kedua yakni
orang yang emosinya meningkat dan keluar dari kebiasaan akan tetapi
tidak sampai pada tingkat orang gila yang tidak menyadari apa yang
dikatakan. Menurut jumhur (mayoritas ulama antar mazhab) kemarahan tipe
ketiga ini sah dan terjadi talaknya.
Talak Suami Marah ada 3 Kategori yaitu marah biasa, marah seperti orang
gila, marah sekali tapi masih sadar. Al-Jaziri dalam Al-Fiqh alal
Mazahib Al-Arbaah 4/142 - 144 menyatakan dan juga pendapat Ibnul Qayyim
sbb:
أما طلاق الغضبان فاعلم أن بعض العلماء قد قسم الغضب إلى ثلاثة أقسام :
الأول : أن يكون الغضب في أول أمره فلا يغير عقل الغضبان بحيث يقصد ما
يقوله ويعلمه ولا ريب في أن الغضبان بهذا المعنى يقع طلاقه وتنفذ عباراته
باتفاق
الثاني : أن يكون الغضب في نهايته بحيث يغير عقل صاحبه ويجعله كالمجنون
الذي لا يقصد ما يقول ولا يعلمه ولا ريب في أن الغضبان بهذا المعنى لا يقع
طلاقه لأنه هو والمجنون سواء
الثالث : أن يكون الغضب وسطا بين الحالتين بأن يشتد ويخرج عن عادته ولكنه
لا يكون كالمجنون الذي لا يقصد ما يقول ولا يعلمه والجمهور على أن القسم
الثالث يقع به الطلاق
الحنفية - قالوا : الذي قسم هذا التقسيم هو ابن القيم الحنبلي وقد اختار أن
طلاق الغضبان بالمعنى الثالث لا يقع والتحقيق عند الحنفية أن الغضبان الذي
يخرجه غضبه عن طبيعته وعادته بحيث يغلب الهذيان على أقواله وأفعاله فإن
طلاقه لا يقع وإن كان يعلم ما يقول ويقصده لأنه يكون في حالة يتغير فيها
إدراكه فلا يكون قصده مبنيا على إدراك صحيح فيكون كالمجنون لأن المجنون لا
يلزم أن يكون دائما في حالة لا يعلم معها ما يقول : فقد يتكلم في كثير من
الأحيان بكلام معقول ثم لا يلبث أن يهذي
ولا يخفى أن هذا تأييد لقول ابن القيم غاية ما هناك أن ابن القيم صرح بأنه
لا يكون كالمجنون وهذا يقول : إنه كالمجنون وبالرغم من كون ابن القيم حنبلي
المذهب فإن الحنابلة لم يقروه على هذا الرأي
والذي تقتضيه قواعد المذاهب أن الغضب الذي لا يغير عقل الإنسان ولا يجعله
كالمجنون فإن الطلاق فيه يقع بلا شبهة ومثله الغضب بالمعنى المذكور في
القسم الثالث وهو أن يشتد الغضب بحيث يخرج صاحبه عن طوره ولكنه لا يكون
كالمجنون الذي لا يعلم ما يقول فإن طلاقه يقع أما الغضب الذي يغير العقل
ويجعل صاحبه كالمجنون فإن الطلاق فيه لا يعتبر ولا يلزم بلا شبهة
وهذا ظاهر كلام الحنفية أيضا ولكن التحقيق الذي ذكرناه عن بعض الحنفية من
أن الغضبان إذا خرج عن طوره وأصبح يهذي في أقواله وأفعاله فإن طلاقه لا يقع
هو رأي حسن لأنه يكون في هذه الحالة كالسكران الذي ذهب عقله بشراب غير
محرم فإنهم حكموا بأن طلاقه لا يقع فينبغي أن يكون الغضبان مثله
وقد يقال : أن قياس الغضبان على السكران بشراب غير محرم يجعل الحكم مقصورا
على من كان غضبه لله بأن غضب دفاعا عن عرضه أو ماله أو نفسه أو دينه أما من
كان غضبه لسبب محرم كأن غضب حقدا على من لم يوافقه على باطل أو غضب على
زوجته ظلما وعدوانا ووصل إلى هذا الحد فإن طلاقه يقع لأنه قد تعدى بغضبه
والجواب : أن الغضب صفة نفسيه قائمة بنفس الإنسان تترتب عليها آثارها
الخارجية وهي في ذاتها ليست محرمة بل هي لازمة في الإنسان لتبعثه إلى
الدفاع عن دينه وعرضه وماله ونفسه وإنما المحرم استعمالها في غير ما خلقت
له بخلاف الخمر فإنه لا يصح للإنسان أن يتعاطاها على أي حال فإيقاع الطلاق
على السكران المتعدي إنما هو للزجر عن قربانها بالمرة أما الغضب فلا يمكن
النهي عنه في ذاته لأنه لا بد منه للإنسان فلا يصح قياس الغضب على الخمر
ونحوه من الأشياء التي يجب على الإنسان أن لا يقر بها بالمرة
"Mazhab Hanafi menyatakan yang melakukan pembagian marahnya suami
menjadi tiga bagian itu adalah Ibnul Qayyim, seorang ulama mazhab
Hambali. Ibnu Qayyim memilih pendapat bahwa talaknya orang yang marah
dalam kategori ketiga tidak sah dan tidak terjadi talaknya. Pendapat
yang tahqiq menurut mazhab Hanafi adalah bahwa orang yang marah yang
kemarahannya keluar dari karakter dan kebiasaan aslinya sehingga merubah
rasionalitasnya dalam perkataan dan perbuatannya maka talaknya tidak
terjadi (tidak sah) walaupun ia sadar dan sengaja dengan apa yang dia
katakan. Ia sedang dalam keadaan berubah pemahamannya karena itu maka
kesengajaannya itu tidak didasarkan pada pemahaman yang benar, maka ia
seperti orang gila. Orang gila tidaklah harus selalu dalam keadaan tidak
menyadari apa yang dikatakannya.
Orang yang marah dengan kemarahan tingkat menengah ini sering berbicara
rasional tapi tidak bisa terus menerus konsisten bicara logis. Jelas ini
menguatkan pendapat Ibnul Qayyim yang menjelaskan bahwa tingkat
kemarahan si suami tidak seperti orang gila.. Walaupun Ibnul Qayyim
bermazhab Hanbali, akan tetapi ulama mazhab Hanbali tidak mengakui
pendapat ini.
Yang dapat difaham dari kaidah keempat mazhab adalah bahwa kemarahan
yang tidak sampai merubah kesadaran seseorang dan tidak menjadikannya
seperti orang gila maka talaknya sah dan terjadi tanpa keraguan. Begitu
juga kemarahan pada tingkat menengah yaitu kemarahan yang sangat sampai
ia keluar dari tabiat asal tapi tidak sampai pada tingkat seperti orang
gila yang tidak menyadari apa yang dikatakan. Talaknya orang ini juga
sah dan terjadi. Adapun talak yang dapat merubah kesadaran sehingga ia
menjadi seperti orang gila maka talaknya tidak dianggap dan tidak sah.
Ini adalah pendapat eksplisit dari ulama mazhab Hanafi. Akan tetapi
berdasarkan pendapat dari sebagian mazhab Hanafi bahwa kemarahan apabila
keluar dari kebiasaan dan membuat si suami tidak rasional dalam
perilaku dan perkataan maka talaknya tidak sah dan tidak terjadi.
Pendapat ini adalah pendapat yang baik karena dalam keadaan ini ia
seperti orang mabuk yang hilang akal dan kesadarannya disebabkan oleh
minum miniman non-alkohol maka mereka dihukumi talaknya tidak terjadi.
Dengan demikian, maka orang yang marah sebaiknya dihukumi demikian juga.
Ada yang bertanya dengan argumen bahwa menganalogikan orang marah dengan
orang mabuk karena minuman non-alkohol telah menjadikan hukum hanya
terbatas pada orang yang dimurkai Allah seperti marah karena
mempertahankan diri atau harta atau agama. Sedangkan orang yang marahnya
karena sebab yang haram seperti marah karena dengki pada orang yang
tidak setuju padanya atas perkara batil atau marah pada istrinya secara
zalim dan permusuhan dan kemarahannya sampai pada batas ini maka
talaknya sah dan terjadi karena kemarahannya membuat dia tidak rasional.
Maka jawabannya adalah: bahwa marah adalah sifat personal yang ada pada
setiap manusia yang disebabkan oleh pengaruh eksternal. Pada dasarnya
marah tidak haram karena ia bersifat inheren pada diri manusia untuk
mempertahankan diri dalam membela agama, harga diri, harta dan nyawa.
Yang haram adalah menggunakan kemarahan di luar tujuan yang dibolehkan.
Beda halnya dengan alkohol yang tidak dibolehkan bagi manusia untuk
menggunakannya dalam keadaan apapun. Oleh karena itu, terjadinya talak
bagi orang yang mabuk itu sebagai pencegahan agar tidak melakukannya.
Sedangkan marah itu tidak mungkin dilarang karena itu merupakan watak
bawaan manusia. Karena itu maka tidak sah membandingkan kemarahan
manusiawi dengan mabuk karena minuman keras atau hal lain yang haram
yang wajib dijauhi."(Lihat, Al-Jaziri, Al-Fiqh alal Mazahib al-Arbaah,
4/144).
Pendapat ini didukung oleh sejumlah ulama Mesir kontemporer seperti Ali Jum'ah (mantan mufti Mesir), Sayyid Sabiq, Jad al-Haq,
5. Suami Cerita Bohong Sudah Menceraikan Istri pada Orang lain
Zakaria Al-Anshari dalam Asnal Matolib 16/147 berkata:
وإن أقر بالطلاق كاذباً لم تطلق زوجته باطناً وإنما تطلق ظاهراً.
Artinya: Apabila suami berbohong mengaku telah mentalak istrinya, maka
istrinya tidak tertalak secara batin, tapi tertalak secara lahir.
Maksud tertalak secara lahir adalah pernyataan itu perlu diverifikasi
dan dikonfirmasi pada suami dengan dua saksi apakah ucapan itu bohong
atau jujur. Kalau suami menyatakan bohong, maka talak tidak sah dan
tidak terjadi.
dalam Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj berkata:
ولو قيل له استخباراً، أطلقتها؟ -أي زوجتك- فقال: نعم.. أو مرادفها....
فإقرار به (الطلاق) لأنه صريح إقرار، فإن كذب فهي زوجته باطناً.
Artinya: Kalau ditanya pada suami, "Apakah kamu menceraikan istrimu?"
Lalu suami menjawab, "Iya" ... maka itu termasuk ikrar talak yang sah.
(Namun) apabila dia bohong, maka istrinya tetap menjadi istri secara
batin.
Maksud "istri secara batin" adalah tetap sah menjadi istrinya dan ikrar talaknya tidak sah.
6. Suami Awam Tidak Tahu Konsekuensi Hukum Ucapan Talak
Ada pendapat yang menyatakan bahwa apabila talak yang dikeluarkan oleh
suami yang bodoh alias tidak tahu pada konsekuensi hukum ucapan
talak-nya, maka talak tidak terjadi. Ibnu Hazm dalam Maratibul Ijmak
hlm. 1/72 menyatakan:
وَاخْتلفُوا فِي طلاق الْجَاهِل، فكرهه الْحسن". والمسألة فيها ثلاثة
أقوال: القول الأول: يقع طلاقه. القول الثاني: لا يقع طلاقه. القول الثالث:
يقع طلاقه قضاءً، إلا أن تظهر قرينة على عدم إرادته الطلاق، فيقضي بها.
Artinya: Ulama berbeda pendapat dalam soal talaknya orang bodoh.
Pendapat pertama: talak terjadi. Pendapat kedua, talak tidak terjadi.
Pendapat ketiga, talak terjadi secara hukum kecuali ada bukti atas tidak
adanya maksud suami untuk bercerai maka dihukumi tidak terjadi talak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar