Dalam proses menuju pernikahan, kadang salah satu pihak membatalkan
Khitbah/pinangan/lamaran setelah Khitbah tersebut diterima. Dalam
beberapa kasus, keputusan ini bisa menimbulkan kekecewaan yang mendalam
atau bahkan berakhir dengan permusuhan. Bagi seorang muslim, menyikapi
masalah ini tentu saja harus distandarisasi dengan hukum Syara.
Berikut tulisan seputar hukummembatalkan pinangan. Mudah-mudahan bisa
memberikan manfaat adanya.
Kesepakatan antara peminang dengan yang dipinang untuk menerima
Khitbah/pinangan/lamaran, baik yang menerima pinangan tersebuk pihak
wanita secara langsung ataupun Walinya termasuk Akad Jaiz sebagaimana
Akad Wakalah (perwakilan), Wadi’ah (titipan), Syirkah (perseroan) dan
semisalnya bukan Akad Lazim seperti akad jual beli,akad Ijaroh
(perkontrakan), akad Salam (pembelian uang dimuka) dan semisalnya. Akad
Jaiz boleh difasakh (dibatalkan) secara sepihak (dengan tidak ada
konsekuensi dosa apapun) tanpa persetujuan pihak yang lain, semantara
akad Lazim tidak bisa difasakh tanpa persetujuan kedua belah pihak yang
berakad.
Dalil yang menunjukkan mubahnya membatalkan pinangan adalah hadis berikut;
صحيح البخاري (16/ 110)
عَنْ الْأَعْرَجِ قَالَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ
يَأْثُرُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا
تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا إِخْوَانًا
وَلَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ
يَتْرُكَ
Dari Al A’raj ia berkata; Abu Hurairah berkata; Satu warisan dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jauhilah oleh kalian
perasangka, sebab perasangka itu adalah ungkapan yang paling dusta. Dan
janganlah kalian mencari-cari aib orang lain, jangan pula saling menebar
kebencian dan jadilah kalian orang-orang yang bersaudara. Janganlah
seorang laki-laki meminang atas pinangan saudaranya hingga ia
menikahinya atau meninggalkannya.” (H.R.Bukhari)
Lafadz ” hingga ia menikahinya atau meninggalkannya ” menunjukkan orang
yang telah mengKhitbah (meminang) wanita punya dua pilihan sesudah
pinangan tersebut diterima; melanjutkan dengan akad nikah atau
meninggalkan pinangannya. Jika dia memilih meninggalkan pinangannya maka
hal itu bermakna dia membatalkan pinangan. Pembatalan pinangan dalam
hadis ini tidak disertai lafadz dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ yang mengesankan ancaman dosa atau sekedar celaan. Oleh karena
itu membatalkan pinangan hukumnya mubah, bukan makruh apalagi haram.
Kebolehan membatalkan bersifat mutlak, karena lafadz hadis di atas
tidak diikat kondisi tertentu untuk menunjukkan kebolehan pembatalan
tersebut. Jadi, pembatalan pinangan baik dengan alasan maupun tanpa
alasan hukumnya tetap mubah tanpa ada celaan. Alasan pembatalan pinangan
tidak mempengaruhi status hukum dan tidak dipertimbangkan.
Ali pernah melamar seorang wanita, kemudian membatalkan pinangannya. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (12/ 69)
عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ حُسَيْنٍ أَنَّ الْمِسْوَرَ بْنَ مَخْرَمَةَ قَالَ
إِنَّ عَلِيًّا خَطَبَ بِنْتَ أَبِي جَهْلٍ فَسَمِعَتْ بِذَلِكَ فَاطِمَةُ
فَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ
يَزْعُمُ قَوْمُكَ أَنَّكَ لَا تَغْضَبُ لِبَنَاتِكَ وَهَذَا عَلِيٌّ
نَاكِحٌ بِنْتَ أَبِي جَهْلٍ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعْتُهُ حِينَ تَشَهَّدَ يَقُولُ أَمَّا بَعْدُ
أَنْكَحْتُ أَبَا الْعَاصِ بْنَ الرَّبِيعِ فَحَدَّثَنِي وَصَدَقَنِي
وَإِنَّ فَاطِمَةَ بَضْعَةٌ مِنِّي وَإِنِّي أَكْرَهُ أَنْ يَسُوءَهَا
وَاللَّهِ لَا تَجْتَمِعُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَبِنْتُ عَدُوِّ اللَّهِ عِنْدَ رَجُلٍ وَاحِدٍ فَتَرَكَ
عَلِيٌّ الْخِطْبَةَ
Dari Az Zuhriy berkata, telah bercerita kepadaku ‘Ali bin Husain bahwa
Al Miswar bin Makhramah berkata; “‘Ali pernah meminang putri Abu Jahal,
lalu hal itu didengar oleh Fathimah. Maka Fathimah menemui Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata; “Kaummu berkata bahwa baginda
tidak marah demi putri baginda. Sekarang ‘Ali hendak menikahi putri Abu
Jahal”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dan aku
mendengar ketika beliau bersyahadat bersabda: “Hadirin, aku telah
menikahkan Abu Al ‘Ash bin ar-Rabi’ lalu dia berkomitmen kepadaku dan
konnsisten dengan komitmennya kepadaku. Dan sesungguhnya Fathimah adalah
bagian dari diriku dan sungguh aku tidak suka bila ada orang yang
menyusahkannya. Demi Allah, tidak akan berkumpul putri Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan putri dari musuh Allah pada satu orang
laki-laki”. Maka ‘Ali membatalkan pinangannya. (H.R.Bukhari)
Adapun ayat dalam surat As-Shoff yang berbunyi;
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2)
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ}
[الصف: 2، 3]
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang
tidak kamu kerjakan?. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu
mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (As-Shoff;2-3)
Maka ayat ini tidak bisa dijadikan dalil untuk mencela pembatalan
Khitbah/pinangan karena ayat ini sama sekali tidak berbicara topik
pernikahan atau Khitbah. Ayat ini berbicara tentang Jihad dan mencela
sebagian kaum muslimin yang mengucapkan statemen pengandaian yang berisi
keinginan mereka melakukan amal yang paling dicintai Allah. Ternyata,
setelah turun ayat yang memberitahu bahwa diantara amal yang paling
dicintai Allah adalah berbaris rapi dalam rangka berjihad, sebagian kaum
muslimin yang mengucapkan statemen pengandaian itu merasa berat dengan
kewajiban Jihad padahal sebelumnya mereka mengangan-angankannya. Sikap
seperti inilah yang dicela oleh Allah dalm ayat ini. Yang menguatakan
bahwa ayat ini turun berkaitan masalah Jihad adalah ayat sesudahnya yang
berbunyi;
{نَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ} [الصف: 4]
Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam
barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang
tersusun kokoh. (As-Shoff;4)
Adapun hadis tentang tanda-tanda orang munafik, misalnya hadis berikut;
صحيح البخاري (1/ 58)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ
الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ
وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau
bersabda: “Tanda-tanda munafiq ada tiga; jika berbicara dusta, jika
berjanji mengingkari dan jika diberi amanat dia khianat”. (H.R.Bukhari)
Maka hadis ini juga tidak bisa dijadikan dalil untuk mencela pembatalan
pinangan. Hal itu dikarenakan, meskipun diakui bahwa Syariat mencela
sifat mengingkari janji, namun pinangan bukanlah janji dan tidak bisa
dimasukkan dalam janji. Pinangan adalah طلب نكاح (permintaan Nikah).
dalam Mu’jam Lughati AL-Fuqoha dinyatakan;
معجم لغة الفقهاء (1/ 237)
الخطبة : بكسر الخاء ، طلب نكاح المرأة من نفسها أو من وليها
“Khithbah, dengan mengkasrohkan Kho’ adalah; permintaan menikahi wanita
kepada wanita itu sendiri atau kepada walinya” (Mu’jam Lughati
AL-Fuqoha, vol.1, hlm 237)
Janji untuk menikahi seorang wanita (secara diam-diam) sendiri dicela
dalam Al-Quran, dan dilarang seorang Muslim melakukannya. Allah
berfirman;
{لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا } [البقرة: 235]
Janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia (Al-Baqoroh; 235)
Jadi, keputusan membatalkan pernikahan baik dari pihak lelaki maupun
wanita dengan alasan apapun tidak bisa disalahkan secara hukum syara.
Wallohu A'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar