Kurban secara iuran (patungan) dalam istilah fiqih disebut dengan
istilah “isytirak”, yaitu berserikatnya tujuh orang untuk mengumpulkan
uang guna membeli sapi atau unta, lalu mereka menyembelihnya sebagai
kurban dan masing-masing berhak atas sepertujuh dari kurban itu. (Al
Mufashshal fi Ahkam Al Udhhiyyah, hlm. 88).
Tidak mengapa berkurban unta dan sapi dengan cara patungan /iuran
/ditanggung bersama antara 2 orang, 3,5, 6 dan maksimal sampai 7
(tujuh) orang, tanpa membedakan apakah anggota yang berpatungan itu satu
rumah ataukah berbeda rumah, memiliki hubungan kerabat maupun tidak.
Semuanya sah selama hewan yang dikurbankan adalah unta atau sapi. Adapun
jika hewan yang dikurbankan adalah kambing, maka hanya boleh untuk satu
orang dan tidak sah jika dengan cara patungan. Terkait orang yang
diikutkan/diserikatkan dalam pahala, maka tidak ada batasan. Boleh
tujuh orang, sepuluh, seratus, sampai tak terbatas.
Yang yang maksud dengan patungan berkurban di sini adalah kesepakatan
sejumlah orang untuk bersama-sama membeli hewan kurban, kemudian hewan
tersebut disembelih atas nama mereka dengan niat berkurban. Mereka
membeli hewan kurban itu dengan harta masing-masing sehingga kepemilikan
atas hewan kurban itu adalah kepemilikan bersama (الْمِلْكُ
الْمُشْتَرَكُ). Jika yang melakukan patungan adalah 5 orang, maka
kepemilikan hewan kurban bagi masing-masing anggota adalah 1/5 hewan
kurban tersebut, jika yang berpatungan 6 berarti kepemilikan
masing-masing 1/6, jika yang berpatungan 7 orang berarti kepemilikan
masing -masing 1/7 dan seterusnya. Berkurban dengan cara patungan
seperti ini adalah berkurban yang sah selama hewan yang dikurbankan
adalah unta atau sapi, dan anggota yang berpatungan maksimal berjumlah 7
(tujuh).
Dalil yang menunjukkan keabsahannya adalah hadis berikut ini;
صحيح مسلم (6/ 476)
عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ
بْنَ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ اشْتَرَكْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ كُلُّ سَبْعَةٍ فِي
بَدَنَةٍ فَقَالَ رَجُلٌ لِجَابِرٍ أَيُشْتَرَكُ فِي الْبَدَنَةِ مَا
يُشْتَرَكُ فِي الْجَزُورِ قَالَ مَا هِيَ إِلَّا مِنْ الْبُدْنِ وَحَضَرَ
جَابِرٌ الْحُدَيْبِيَةَ قَالَ نَحَرْنَا يَوْمَئِذٍ سَبْعِينَ بَدَنَةً
اشْتَرَكْنَا كُلُّ سَبْعَةٍ فِي بَدَنَةٍ
dari Ibnu Juraij telah mengabarkan kepadaku Abu Zubair bahwa ia
mendengar Jabir bin Abdullah berkata; “Kami bersekutu bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam haji dan umrah, yakni tujuh orang
berkurban seekor Badanah (unta yang disiapkan untuk kurban saat haji)
atau seekor Sapi.” Kemudian seorang laki-laki bertanya kepada Jabir,
“Bolehkah bersekutu dalam Jazur (unta yang sudah siap disembelih)
sebagaimana bolehnya bersekutu dalam Badanah (unta yang disiapkan
untuk kurban saat haji) atau sapi?” Jabir menjawab, “Jazur itu sudah
termasuk Badanah.” Jabir juga turut serta dalam peristiwa Hudaibiyah. Ia
berkata, “Di hari itu, kami menyembelih tujuh puluh ekor Badanah.
Setiap tujuh orang dari kami bersekutu untuk kurban seekor Badanah.”
(H.R.Muslim)
Hadis ini menunjukkan dengan jelas bahwa berkurban unta bisa dilakukan
dengan patungan sampai dengan tujuh orang. Badanah bermakna unta yang
disiapkan untuk dikurbankan dalam Haji, sedangkan Jazur bermakna unta
yang disiapkan untuk disembelih. Setiap Badanah mestilah Jazur.
Dalil yang lain adalah hadis berikut ini;
مسند أحمد (47/ 425)
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ شَرَّكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي حَجَّتِهِ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَفِي الْبَقَرَةِ عَنْ
سَبْعَةٍ
dari Hudzaifah berkata; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam
menserikatkan tujuh orang diantara kaum muslimin untuk satu ekor sapi
saat beliau haji. (H.R.Ahmad)
Hadis ini juga cukup jelas menunjukkan bahwa sapi bisa dikurbankan
dengan cara patungan sampai dengan tujuh orang. Riwayat-riwayat lain
yang menguatkan adalah hadis-hadis berikut ini;
صحيح مسلم (6/ 473)
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ
سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ
dari Jabir bin Abdullah ia berkata; “Kami pernah menyembelih kurban
bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di tahun perjanjian
Hudaibiyah, untuk kurban seekor unta atau seekor sapi, kami bersekutu
tujuh orang.” (H.R.Muslim)
صحيح مسلم (6/ 475)
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَجَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَحَرْنَاالْبَعِيرَ عَنْ سَبْعَةٍ
وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ
dari Jabir bin Abdullah ia berkata; “Kami naik haji bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu kami menyembelih seekor unta untuk
tujuh orang yang bersekutu, dan seekor sapi juga hasil dari tujuh orang
yang bersekutu.” (H.R.Muslim)
سنن أبى داود (7/ 473)
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْبَقَرَةُ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْجَزُورُ عَنْ
سَبْعَةٍ
dari Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
berkata: “Satu ekor sapi untuk tujuh orang, dan satu ekor unta untuk
tujuh orang.” (H.R.Abu Dawud)
Semua riwayat-riwayat ini dan yang semakna dengannya, menguatkan bahwa
berkurban dengan cara patungan untuk hewan unta dan sapi sah secara
Syar’i asalkan anggota yang berpatungan tidak melampaui jumlah tujuh.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa berkurban dengan cara patungan
adalah tidak sah dengan berargumen riwayat Ibnu Syihab berikut ini;
موطأ مالك (3/ 694)
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّهُ قَالَ مَا نَحَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ إِلَّا بَدَنَةً
وَاحِدَةً أَوْ بَقَرَةً وَاحِدَةً
dari Ibnu Syihab berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
pernah menyembelih untuk dirinya dan keluarganya kecuali satu ekor unta
atau satu ekor sapi.” (H.R.Malik)
Maka pendapat ini perlu ditinjau ulang berdasarkan sejumlah argumen;
Pertama; hadis di atas adalah hadis lemah karena keterputusan sanad
antara Ibnu Syihab dengan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Ibnu Syihab bukan shahabat, sehingga tidak mungkin meriwayatkan langsung
dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . Ibnu Abdil Barr dalam
kitabnya Al-Istidzkar menegaskan bahwa hadis ini tidak sah dijadikan
sebagai Hujjah
Kedua; dengan asumsi riwayat Ibnu Syihab tersebut di terima, perbuatan
yang tidak dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak
bermakna dilarangnya perbuatan tersebut, terlebih jika perbuatan
tersebut jelas ditunjukkan dalam Sunnah Qouliyyah. Ketika Rasulullah
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak melakukan Dawud atau puasa Tasu’a
tetapi Sunnah Qouliyyah menunjukkan bahwa puasa Dawud adalah ma’ruf
sebagaimana puasa Tasu’a maka Sunnah Qouliyyah tersebut wajib diamalkan
Ketiga; Nash-Nash Shahih menunjukkan bolehnya berpatungan untuk
berkurban sehingga informasi Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
atau shahabat berkurban dengan satu unta atau satu sapi tanpa
berpatungan dengan yang lain tidak bermakna dilarangnya untuk
berpatungan, tetapi maksimal hanya menunjukkan kondisi afdhol.
Maksudnya, berkurban yang afdhol adalah satu uinta atau satu sapi untuk
satu orang, dan boleh satu unta/sapi untuk beberapa orang maksimal
sampai tujuh.
Imam An-Nawawi berkata terkait keabsahan berkurban dengan cara patungan sebagai berikut;
شرح النووي على مسلم (9/ 67)
في هذه الاحاديث دلالة لجواز الاشتراك في الهدى …. وأجمعوا على أن الشاة لا
يجوز الاشتراك فيها وفي هذه الاحاديث أن البدنة تجزى عن سبعة والبقرة عن
سبعة
Dalam hadis-hadis ini ada penunjukan makna bolehnya berpatungan dalam
berkurban….para ulama juga bersepakat bahwa kambing tidak boleh
dikurbankan dengan cara patungan. Dalam hadis-hadis ini juga bisa
difahami bahwa unta sah untuk berkurban tujuh orang sebagaimana sapi
juga sah untuk tujuh orang (Sayarah An-Nawawy ‘Ala Shohih Muslim, vol 9,
hlm 67)
Sebagian ulama seperti Ishaq bin Rohawaih, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hazm,
dan Al-‘Itroh berpendapat untuk unta jumlah maksimalnya adalah sepuluh
berdasarkan riwayat berikut ini;
سنن الترمذى – مكنز (4/ 41، بترقيم الشاملة آليا)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-
فِى سَفَرٍ. فَحَضَرَ الأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِى الْبَقَرَةِ سَبْعَةً
وَفِى الْجَزُورِ عَشَرَةً
dari Ibnu Abbas berkata; “Suatu ketika kami bepergian bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian Hari Raya Idul Adha tiba. Kami
menyembelih seekor sapi untuk tujuh orang dan seekor unta untuk sepuluh
orang.” (H.R.At-Tirmidzi)
Riwayat Ibnu Hibban berbunyi;
صحيح ابن حبان – ث (9/ 318)
عن ابن عباس قال : كنا مع النبي صلى الله عليه و سلم في سفر قحضر النحر فاشتركنا في البقرة سبعة وفي البعير سبعة أو عشرة
Dari Ibnu Abbas beliau berkata; kami bersama Rasulullah صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam sebuah perjalanan. Kemudian tiba waktu
penyembelihan. Maka kami berserikat tujuh orang untuk sapi dan tujuh
atau sepuluh untuk unta. (H.R.Ibnu Hibban)
Riwayat Ahmad berbunyi;
مسند أحمد (4/ 287)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَ النَّحْرُ فَذَبَحْنَا الْبَقَرَةَ عَنْ
سَبْعَةٍ وَالْبَعِيرَ عَنْ عَشَرَةٍ
dari Ibnu Abbas, ia berkata; “Kami pernah bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam dalam sebuah perjalanan, tibalah waktu berkurban, maka
kami menyembelih seekor sapi untuk tujuh orang dan seekor unta untuk
sepuluh orang.” (H.R.Ahmad)
Riwayat Ibnu Majah berbunyi;
سنن ابن ماجه (9/ 287)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَ الْأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِي
الْجَزُورِ عَنْ عَشَرَةٍ وَالْبَقَرَةِ عَنْ سَبْعَةٍ
dari Ibnu Abbas dia berkata, “Kami bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan, kemudian beliau mendatangi
hewan kurban (menyembelih). Maka kami turut berkurban dengan seekor unta
untuk sepuluh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang.” (H.R.Ibnu
Majah)
Hadis riwayat Rofi’ bin Khodij dianggap menguatkan batasan maksimal 10 ini. Hadisnya berbunyi;
صحيح البخاري (8/ 420)
عَنْ عَبَايَةَ بْنِ رِفَاعَةَ عَنْ جَدِّهِ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذِي
الْحُلَيْفَةِ مِنْ تِهَامَةَ فَأَصَبْنَا غَنَمًا وَإِبِلًا فَعَجِلَ
الْقَوْمُ فَأَغْلَوْا بِهَا الْقُدُورَ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَ بِهَا فَأُكْفِئَتْ ثُمَّ عَدَلَ
عَشْرًا مِنْ الْغَنَمِ بِجَزُورٍ
dari ‘Abayah bin Rifa’ah dari kakeknya, Rafi’ bin Khadij radliallahu
‘anhu berkata; “Kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di
Dzul Hulaifah dari Tihamah lalu kami mendapatkan kambing dan unta
(sebagai harta rampasan perang). Lalu orang-orang bersegera menyembelih
hewan-hewan tersebut hingga memenuhi kuali besar. Kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam datang dan memerintahkan agar kuali
tersebut ditumpahkan isinya. Kemudian Beliau membagi rata dengan
menyamakan sepuluh kambing sama dengan satu ekor unta. “. (H.R.Bukhari)
Riwayat-riwayat di atas menyebut bahwa jumlah maksimal untuk patungan
unta bukan tujuh tetapi sepuluh, sehingga difahami anggota patungan
maksimal adalah sepuluh orang bukan tujuh orang. Hanya saja Jumhur ulama
memandang hadis-hadis yang menerangkan jumlah maksimal tujuh lebih kuat
dari riwayat-riwayat ini, sehingga riwayat yang menerangkan jumlah
maksimal sepuluh dipandang ada masalah dari sisi ketelitian sebagian
perawinya. As-Syaukani yang menshahihkan riwayat-riwayat yang
menerangkan jumlah maksimal 10 orang (sebagaimana juga Al-Albani)
berusaha mengkompromikan dengan menjelaskan; Jika unta itu disiapkan
untuk kurban bagi orang yang berhaji (unta sebagai Al-Hadyu) maka jumlah
maksimal yang boleh patungan adalah tujuh orang. Adapun jika unta itu
dikurbankan oleh selain yang berhaji (unta sebagai Udh-hiyah) maka
jumlah maksimalnya adalah sepuluh orang.
Adapun ketidak bolehan patungan untuk berkurban jika hewannya adalah
kambing, maka hal itu dikarenakan tidak ada Nash yang menunjukkan
bolehnya patungan untuk kambing sebagaimana bolehnya patungan untuk
hewan kurban berupa unta dan sapi. Nash yang ada, pelaksanaan kurban
dengan kambing di masa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan
shahabat adalah satu kambing untuk satu orang, tanpa patungan.
At-Tirmidzi meriwayatkan;
سنن الترمذى (5/ 465)
عُمَارَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَال سَمِعْتُ عَطَاءَ بْنَ يَسَارٍ يَقُولُ سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيَّ
كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ
وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ حَتَّى تَبَاهَى
النَّاسُ فَصَارَتْ كَمَا تَرَى
Umarah bin Abdullah ia berkata; Aku mendengar Atha bin Yasar berkata,
“Aku pernah bertanya kepada Abu Ayyub Al Anshari, bagaimana kurban yang
dilakukan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”, ia
menjawab; “Seorang laki-laki menyembelih seekor kambing untuk dirinya
dan keluarganya, mereka makan daging kurban tersebut dan memberikannya
kepada orang lain. Hal itu tetap berlangsung hingga manusia
berbangga-bangga, maka jadilah kurban itu seperti sekarang yang engkau
saksikan (hanya untuk berbangga-bangga).” (At-Tirmidzi)
Dalil lain yang semakna;
صحيح البخاري (22/ 153)
أَبُو عَقِيلٍ زُهْرَةُ بْنُ مَعْبَدٍ عَنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ هِشَامٍ
وَكَانَ قَدْ أَدْرَكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَذَهَبَتْ بِهِ أُمُّهُ زَيْنَبُ بِنْتُ حُمَيْدٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ
بَايِعْهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ
صَغِيرٌ فَمَسَحَ رَأْسَهُ وَدَعَا لَهُ وَكَانَ يُضَحِّي بِالشَّاةِ
الْوَاحِدَةِعَنْ جَمِيعِ أَهْلِهِ
Abu Uqail Zuhraj bin ma’bad dari kakeknya, Abdullah bin Hisyam, yang
mana dia pernah bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ibunya,
Zainab binti Muhammad, pernah membawanya kepada Rasulullah
Shallallahu’alaihiwasallam dan berujar; ‘Wahai Rasulullah, tolong
bai’atlah dia.’ Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “dia
masih kecil!” Maka Nabi mengusap kepalanya. Adalah Abdullah bin Hisyam
menyembelih satu kambing untuk semua keluarganya. (H.R.Bukhari)
Jadi, tidak adanya Nash yang menunjukkan bahwa berkurban dengan kambing
boleh dengan cara patungan, juga praktek yang dilakukan Rasulullah
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ termasuk para shahabat yang tidak pernah
berpatungan untuk berkurban kambing, sementara ibadah adalah Tauqifi,
semuanya menunjukkan bahwa khusus untuk kambing tidak boleh berkurban
dilakukan dengan cara patungan. Jika kurban kambing dilakukan dengan
cara patungan, maka kurban tersebut tidak sah secara Syar’i.
Ini adalah penjelasan hukum berkurban dengan cara patungan oleh beberapa
orang yang masing-masing mengeluarkan harta untuk memperoleh hewan
kurban.
Adapun terkait dengan ketentuan jumlah orang yang boleh diikutkan untuk
diharapkan mendapatkan pahala berkurban, maka ini tidak ada batasan
lagi. Seseorang yang berkurban dengan unta, sapi atau kambing, baik
sendirian maupun patungan dengan yang lain, boleh meniatkan orang-orang
tertentu dengan harapan orang tersebut juga mendapatkan pahala berkurban
sebagaimana dirinya. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah
berkurban dengan niat mengikutsertakan keluarga dan umatnya agar
mendapat pahala berkurban yang beliau lakukan. Imam Muslim meriwayatkan;
صحيح مسلم (10/ 149)
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِي سَوَادٍ وَيَبْرُكُ فِي سَوَادٍ
وَيَنْظُرُ فِي سَوَادٍ فَأُتِيَ بِهِ لِيُضَحِّيَ بِهِ فَقَالَ لَهَا يَا
عَائِشَةُ هَلُمِّي الْمُدْيَةَ ثُمَّ قَالَ اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ
فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ
ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ
وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ
dari ‘Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
menyuruh untuk diambilkan dua ekor domba bertanduk yang di kakinya
berwarna hitam, perutnya terdapat belang hitam, dan di kedua matanya
terdapat belang hitam. Kemudian domba tersebut di serahkan kepada beliau
untuk dikurbankan, lalu beliau bersabda kepada ‘Aisyah: “Wahai ‘Aisyah,
bawalah pisau kemari.” Kemudian beliau bersabda: “Asahlah pisau ini
dengan batu.” Lantas ‘Aisyah melakukan apa yang di perintahkan beliau,
setelah di asah, beliau mengambilnya dan mengambil domba tersebut dan
membaringkannya lalu beliau menyembelihnya.” Kemudian beliau
mengucapkan: “Dengan nama Allah, ya Allah, terimalah ini dari Muhammad,
keluarga Muhammad, dan ummat Muhammad.” Kemudian beliau berkurban
dengannya.” (H.R.Muslim)
Permohonan beliau agar Allah menerima amal berkurban dari beliau dengan
menyertakan keluarganya dan umatnya menunjukkan beliau mengikut
sertakan sejumlah orang dengan bilangan yang tak terbatas agar juga
mendapat bagian pahala.
Riwayat yang senada dari Abu Dawud berbunyi;
سنن أبى داود – م (3/ 56)
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- الأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ
نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ وَأُتِىَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- بِيَدِهِ وَقَالَ « بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ
هَذَا عَنِّى وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِى ».
dari Jabir bin Abdullah, ia berkata; saya menyaksikan bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam Shalat Adha di lapangan, kemudian tatkala
menyelesaikan khutbahnya beliau turun dari mimbarnya, dan beliau diberi
satu ekor domba kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
menyembelihnya, dan mengucapkan: “BISMILLAAHI WALLAAHU AKBAR, HAADZA
‘ANNII WA ‘AN MAN LAM YUDHAHHI MIN UMMATI” (Dengan nama Allah, Allah
Maha Besar, ini (kurban) dariku dan orang-orang yang belum berkurban
dari umatku). (H.R.Abu Dawud)
Riwayat lain dari Ahmad berbunyi;
مسند أحمد (52/ 356)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ اشْتَرَى كَبْشَيْنِ عَظِيمَيْنِ
سَمِينَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ مَوْجُوأَيْنِ فَيَذْبَحُ
أَحَدَهُمَا عَنْ أُمَّتِهِ مِمَّنْ شَهِدَ بِالتَّوْحِيدِ وَشَهِدَ لَهُ
بِالْبَلَاغِ وَذَبَحَ الْآخَرَ عَنْ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَآلِ مُحَمَّدٍ
dari Abu Hurairah, apabila Nabi shallallahu’alaihi wa sallam ingin
berkurban, beliau membeli dua kambing besar, gemuk, warna putihnya lebih
dominan, bertanduk, dan gemuk. Beliau menyembelih salah satu dari
keduanya untuk umatnya yang bersaksi akan keesaan Allah dan bersaksi
bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah menyampaikan
Risalah, dan beliau menyembelih yang lainnya untuk Muhammad
shallallahu’alaihi wa sallam dan keluarga Muhammad.” (H.R.Ahmad)
Riwayat-riwayat shahabat yang berkurban untuk dirinya dan juga
keluarganya semuanya bermakna seperti ini, yaitu bukan patungan dalam
berkurban, tetapi diserikatkan/diikutkan dalam niat berkurban dengan
harapan mendapat bagian pahala berkurban. Setiap muslim boleh meniatkan
orang lain mendapatkan pahala kurbannya tanpa dibatasi jumlah angka
tertentu.
Atas dasar ini, boleh hukumnya berkurban dengan cara patungan selama
hewan yang dikurbankan adalah unta dan sapi dengan jumlah maksimal
anggota tujuh orang. Kambing tidak boleh dikurbankan dengan cara
patungan, dan boleh meniatkan berkurban dengan mengikutkan orang lain
dengan harapan mereka mendapat bagian pahala berkurban.
Kesimpulan:
1.Berkorban seekor sapi dapat dilakukan dengan cara patungan, baik untuk
tiga orang, lima orang ataupun tujuh orang. Tidak boleh lebih dari
tujuh orang yang berpatungan;
2. Adapun kurban seekor kambing, tidak disyariatkan dengan cara
patungan, karena tidak ada contoh dari Nabi Saw maupun dari sahabat.
Namun demikian, bila seseorang berkorban seekor kambing diniatkan untuk
dirinya dan sejumlah anggota keluarganya, maka hal itu dipandang sah,
berapapun jumlah anggota keluarganya. Hal ini telah dijelaskan
berdasarkan amalan sejumlah sahabat.
3.Mengenai hadis tentang doa Nabi saat menyembelih hewan kurban dengan
ucapan “bismillah wallahu akbar, ini adalah kurban dariku dan dari
umatku yang tidak (mampu) menyembelih kurban (بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ
أَكْبَرُ هَذَا عَنِّى وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِى), maka hadis
ini merupakankhususiyah (hanya berlaku) bagi Nabi Saw, karena tidak
seorang sahabat pun yang mengikuti/mengamalkannya.
4.Sedangkan kegiatan berkorban yang dilaksanakan di sekolahan atau di
kalangan tertentu dengan menyembelih seekor kambing untuk satu kelas,
atau patungan beberapa orang, sungguhpun tidak sesuai syariat, namun hal
itu boleh saja dilakukan untuk sekedar pembelajaran. Insya Allah tetap
mendapatkan pahala sedekah.
5. Adapun kurban dengan cara arisan, boleh-boleh saja asal telah memenuhi syarat-syarat berkorban.
Wallahu a’lam bishshowab !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar