Pernah ada seorang teman bertanya kenapa kok orang Islam di tanah Jawa
setiap ada kematian diperingati dengan istilah tahlilan ngirim mayit.
Dan apakah itu ada dalilnya?? Padahal yang saya tahu itu budaya Hindu.
Lalu aku pun menjawab ada dalilnya dan itu semua adalah bentuk
mengamalkan hadits dan ijma' Ulama.
Tradisi yang berkembang di kalangan NU, jika ada orang yang meningal
maka akan diadakan acara tahlilan, doa, dzikir fida dan lain sebagainya.
Untuk mendoakan orang yang meninggal dan biasanya dibarengi dengan
jamuan makanan sebagai shodaqoh untuk si mayit.
Dalil yang digunakan hujjah dalam masalah ini yaitu sebagaimana
disebutkan dalam kitab al-Hawi li al-Fatawi li as-Syuyuti juz 2 halaman
183:
قَالَ طَاوُسِ: اِنَّ اْلمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِىْ قُبُوْرِهِمْ سَْعًا
فَكَانُوْا يُسْتَحَبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ
اْلاَيَّامِ-اِلَى اَنْ قَالَ-عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرِ قَالَ: يُفْتَنُ
رَجُلَانِ مُؤْمِنٍ وَمُنَافِقٍ فَأَمَّا اْلمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُ سَبْعًا
وَاَمَّا الْمُنَافِقُ يُفْتَنُ اَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا.
“Imam Thawus berkata: “Seorang yang mati akan mendapat ujian dari Allah
dalam kuburnya selama 7 hari. Untuk itu, sebaiknya mereka (yang masih
hidup) mengadakan sebuah jamuan makan (sedekah) untuknya selama
hari-hari tersebut. Sampai kata-kata: “Dari sahabat Ubaid bin Umair, dia
berkata: “Seorang mukmin dan seorang munafik sama-sama akan mengalami
ujian dalam kubur. Bagi seorang mukmin akan mengalami ujian selama 7
hari, sedang seorang munafik selama 40 hari di waktu pagi.”
Dalil di atas adalah sebuah atsar yang menurut Imam as-Suyuthiy
derajatnya sama dengan hadis marfu’ mursal, maka dapat dijadikan hujjah.
Makna penjelasannya sebagai berikut:
اِنَّ أَثَرَ طَاوُسَ حُكْمُهُ حُكْمُ اْلحَدِيْثِ الْمَرْفُوْعِ
اْلمُرْسَلِ وَاِسْنَادُهُ اِلَى التَّابِعِى صَحِيْحٌ كَانَ حُجَّةً
عِنْدَ اْلاَئِمَّةِ الثَّلَاثَةِ اَبِي حَنِيْفَةَ وَمَالِكٍ وَاَحْمَدَ
مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ وَاَمَّا عِنْدَ الشَّافِعِي رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ فَاِنَّهُ يَحْتَجُ بِاْلمُرْسَلِ اِذَا اعْتَضَدَ بِاَحَدِ
أُمُوْرٍ مُقَرَّرَةٍ فِى مَحَلِهَا فِيْهَا مَجِيْئِ آخَرَ اَوْ
صَحَابِيِّ يُوَافِقُهُ وَالْاِعْتِضَادِ هَهُنَا مَوْجُوْدٌ فَاِنَّهُ
رُوِيَ مِثْلُهُ عَنْ مُجَاهْدِ وَعَْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرِ وَهُمَا
تَابِعِيَانِ اِنْ لَمْ يَكُنْ عُبَيْدٌ صَحَابِيًا.
“Jika sudah jadi keputusan, atsar (amal sahabat Thawus) di atas hukumnya
sama dengan hadist marfu’ mursal dan sanadnya sampai pada tabi’in itu
shahih dan telah dijadikan hujjah yang mutlak (tanpa syarat) bagi tiga
Imam (Maliki, Hanafidan Hanbali). Untuk Imam asy-Syafi’i ia mau
berhujjah dengan hadits mursal jika dibantu atau dilengkapi dengan salah
satu ketetapan yang terkait dengannya, seperti adanya hadits yang lain
atau kesepakatan sahabat. Dan kelengkapan yang dikehendaki Imam
asy-Syafi’i itu ada, yaitu hadits serupa riwayat dari Mujahid dan dari
Ubaid bin Umair yang keduanya dari golongan tabi’in, meski mereka berdua
bukan sahabat.”
Lebih jauh, Imam as-Suyuthiy menilai hal tersebut merupakan perbuatan
sunnah yang telah dilakukan secara turun temurun sejak masa sahabat.
Kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan
perbuatan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman imam as-Suyuthiy,
abad ke-10 Hijriyah) di Mekah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu
tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi Muhammad Saw. sampai
sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari Ulama Salaf sejak generasi
pertama (masa sahabat Nabi Muhammad Saw).”
Selanjutnya dalam Hujjah Ahlussunnh wal Jama’ah, juz 1 halaman 37 dikatakan:
قَوْلُهُ-كَانُوْا يُسْتَحَبُّوْنَ-مِنْ بَابِ قَوْلِ التَّابِعِي كَانُوْا
يَفْعَلُوْنَ-وَفِيْهِ قَوْلَانِ لِاَهْلِ الْحَدِيْثِ وَاْلاُصُوْلِ
أَحَدُهُمَا اَنَّهُ اَيْضًا مِنْ بَابِ اْلمَرْفُوْعِ وَأَنَّ مَعْنَاهُ:
كَانَ النَّاسُ يَفْعَلُوْنَ فِى عَهْدِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَيَعْلَمُ بِهِ وَيُقِرُّ عَلَيْهِ.
“(Kata-kata Imam thawus), pada bab tentang kata-kata tabi’in, mereka
melaksanakannya. Dalam hal ini ada dua pendapat: Pendapat Ahli Hadits
dan Ahli Ushul yang salah satunya termasuk hadits marfu’, maksudnya
orang-orang di zaman Nabi melaksanakan hal itu, Nabi sendiri tahu dan
menyetujuinya.”
Dalam kitab Nihayat az-Zain juz 1 halaman 281 juga disebutkan:
وَالتَّصَدُّقُ عَنِ اْلمَيِّتِ بِوَجْهٍ شَرْعِيٍّ مَطْلُوْبٌ وَلَا
يُتَقَيَّدُ بِكَوْنِهِ فِيْ سَبْعَةِ اَيَّامٍ اَوْ اَكْثَرَ اَوْ اَقَلَّ
وَتَقْيِيْدُهُ بِبَعْضِ اْلاَيَّامِ مِنَ اْلعَوَائِدِ فَقَطْ كَمَا
اَفْتَى بِذَلِكَ السَّيِّدِ اَحْمَدء دَحْلَانِ وَقَدْ جَرَتْ عَادَةُ
النَّاسِ بِالتَّصَدُّقِ عَنِ اْلمَيِّتِ فِي ثَالِثٍ مِنْ مَوْتِهِ وَفِي
سَابِعٍ وَفِيْ تَمَامِ اْلعِشْرِيْنَ وَفِي اْلاَرْبَعِيْنَ وَفِي
الِمأَةِ وَبِذَلِكَ يُفْعَلُ كُلَّ سَنَةٍ حَوْلًا فِي اْلمَوْتِ كَمَا
اَفَادَهُ شَيْخَنَا يُوْسُفُ السُنْبُلَاوِيْنِيْ.
“Dianjurkan oleh syara’ shodaqoh bagi mayit. Dan shodaqoh itu tidak
ditentukan pada hari ke-7, sebelumnya maupun sesudahnya. Sesungguhnya
pelaksanaan shodaqoh pada hari-hari tertentu itu cuma sebagai kebiasaan
(adat) saja, sebagaimana fatwa Sayyid Ahmad Dahlan yang mengatakan:
“Sungguh telah berlaku di masyarakat adanya kebiasaan bersedekah untuk
mayit pada hari ke-3 dari kematian, hari ke-7, 20, dan ketika genap 40
hari serta 100 hari. Setelah itu dilakukan setiap tahun pada hari
kematiannya (haul). Sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Yusuf
as-Sumbulawini.”
Adapun istilah “Tujuh Hari” dalam acara tahlil bagi orang yang sudah
meninggal, hal ini sesuai dengan amal yang dicontohkan sahabat Nabi Saw.
Imam Ahmad bin Hanbal Ra. berkata dalam kitab az-Zuhd, sebagaimana
dikutip oleh Imam as-Suyuthiy dalam kitab al-Hawi li al-Fatawi juz 2
halaman 178:
حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ اْلقَاسِمِ قَالَ حَدَّثَنَا اْلأَشْجَعِيُّ عَنْ
سُفْيَانَ قَالَ: قَالَ طَاوُسُ: إِنَّ اْلمَوْتَ يُفْتَنُوْنَ فِي
قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا
عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامِ (الحاوي للفتاوي,ج:۲,ص:۱۷۸)
“Hasyim bin al-Qasim meriwayatkan kepada kami, ia berkata: “Al-Asyja’i
meriwayatkan kepada kami dari Sufyan, ia berkata: “Imam Thawus berkata:
“Orang yang meninggal dunia diuji selama 7 hari di dalam kubur mereka,
maka kemudian para kalangan salaf mensunnahkan bersedekah makanan untuk
orang yang meninggal dunia selama 7 hari itu.”
Imam as-Suyuthiy berkata dalam kitab al-Hawi li al-Fatawi juz 2 halaman 194:
أَنَّ سُنَّةَ اْلإِطْعَامِ سَبْعَةَ أَيَّامٍ بَلَغَنِي أَنَّهَا
مُسْتَمِرَّةٌ إِلَى اءلآنَ بِمَكَّةَ وَاْلمَدِيْنَةَ فَالظَّاهِرُ
أَنَّهَا
لمَ ْتَتْرُكْ مِنْ عَهْدِ الصَّحَابَةِ إِلَى اْلآنَ وَأَنَّهُمْ
أَخَذُوْهَا خَلَفًا عَنْ سَلَفٍ إِلَى الصَّدْرِ اْلأَوَّلِ (الحاوي
للفتاوي,ج:۲,ص:۱۹۴)
“Kebiasaan memberikan sedekah makanan selama 7 hari merupakan kebiasaan
yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman Imam as-Suyuthiy) di Makkah
dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak
masa sahabat Nabi Saw. sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari
ulama salaf sejak generasi pertama (masa sahabat Saw.).”
Dari beberapa dalil di atas dapat disimpulkan bahwa kebiasaan masyarakat
terkhusus NU tentang penentuan hari dalam peringatan kematian itu dapat
dibenarkan secara syara’.
Argumen halal dan haramnya Tahlilan
Tahlilan yang dimaksud adalah upacara selamatan untuk orang yang telah
meninggal, biasanya dilakukan pada hari pertama kematian sampai dengan
hari ke-tujuh, selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, ke-satu
tahun pertama, kedua, ketiga dst. Dan ada juga yang melakukan pada hari
ke-1000. Dalam upacara dihari-hari tersebut, keluarga si mayyit
mengundang orang untuk membaca beberapa ayat dan surat Al-Quran, tahlil,
tasbih, tahmid, shalawat dan do’a. Pahala bacaan Al-Quran dan dzikir
tersebut dihadiahkan kepada si mayyit.
A. PENDAPAT YANG MENGHARAMKAN
Tahlilan atau 7 hari atau segala bentuk yg semacam tersebut tidak diperintahkan agama berdasarkan dalil-dalil sbb:
QS. An-Najm:38-39:
“Yaitu bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang
lain dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya”
QS. Yaasiin:54
“Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu
tidak dibalasi kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan”
QS. Al Baqaraah 286
“Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”.
QS An Naml 80 "Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang orang mati itu mendengar"
اِنْ هُوَ اِلاَّ ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِيْنٌ . لِيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَيَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكَافِريْنَ.
"Al-Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi
penerangan supaya dia memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup".
YASIN, 36:69-70.
يَظُنُّوْنَ بِاللهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ.
"Mereka menyangka tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan orang-orang jahiliah".
ALI IMRAN, 3:154.
وَمَا لَهُمْ مِنْ عِلْمٍ اِنْهُمْ اِلاَّ يَظُنُّوْنَ.
"Dan mereka sekali-kali tidak mempunyai ilmu tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-menduga (menyangka) saja".
AL JAATSYIAH, 45:24
Ayat-ayat diatas adalah sebagai jawaban dari keterangan yang mempunyai
maksud yang sama, bahwa orang yang telah mati tidak bisa mendapat
tambahan pahala kecuali 3perkara yang disebutkan dalam hadits dibawah
ini:
اِذَا مَاتَ اْلاِنْسَـان اِنـْقـَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ
ثَلاَثَةٍ : صَدَقَـةٍ جَارِيَةٍ ، اَوْعِلْمٍ يـُنـْتـَفَعُ بـِهِ ،
أُوْوَلـَدٍ صَالحٍ يـَدْعُـوْلَه
“Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga
hal: Sedekah jariyah, anak yang shalih yang mendo’akannya atau ilmu yang
bermanfaat sesudahnya” (HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’i dan
Ahmad).
B. PENDAPAT YANG MENGHALALKAN
Do’a dan ibadah baik amaliyah maupun badaniyah bisa bermanfaat untuk mayyit berdasarkan dalil berikut ini:
Dalil Quran:
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor),
mereka berdo’a : “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara
kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami” (QS Al Hasyr: 10)
Dalam ayat ini Allah SWT memuji orang-orang yang beriman karena mereka
memohonkan ampunan (istighfar) untuk orang-orang beriman sebelum mereka.
Ini menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal masih dapat memperoleh
manfaat dari doa atau ampunan dari orang yang masih hidup.
DALIL HADITS
* Hutang puasa orang yang meninggal dapat dibayarkan oleh yang masih hidup
عَنِ ابْنِ عَبَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ اِلَى
النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ
اِنَّ اُمِّيْ مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ اَفَاَقْضِيْهِ عَنْهَا ؟
فَقَالَ : لَوْ كَانَ عَلَى اُمِّكَ دَيْنٌ اَكُنْتَ قَاضِيْهِ عَنْهَا ؟
قَالَ : نَعَمْ . قَالَ : فَدَيْنُ اللهِ اَحَقُّ اَنْ يُقْضَى.
Dari Ibn Abbar radiallahu ‘anhu berkata: Seorang lelaki datang kepada
nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: Ya Rasulullah! Ibuku telah
meninggal sedangkan dia masih berhutang puasa sebulan belum dibayar,
apakah boleh aku membayarnya untuk ibuku? Baginda menjawab: Andaikata
ibumu menanggung hutang apakah engkau yang membayarnya? Beliau menjawab:
Ya. Maka baginda bersabda: Hutang kepada Allah lebih patut dibayarnya”.
Ada juga hadits dari Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang
siapa yang meninggal dengan mempunyai kewajiban shaum (puasa) maka
keluarganya berpuasa untuknya” (HR Bukhari dan Muslim)
*Orang yang meninggal masih mendapat pahala sodaqoh dari yang masih hidup
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : تُوُفِّيَتْ اُمُّ
سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ وَهُوَ غَائِبٌ عَنْهَا . فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ
اللهِ اِنَّ اُمِّيْ تُوُفِيَّتْ وَاَنَا غَائِبٌ عَنْهَا اَيَنْفَعُهَا
شَيْءٌ اِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا ؟ قَالَ : نَعَمْ . قَالَ فَاِنِّيْ
اُشْهِدُكَ اَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَنْهَا
"Dari Ibn Abbas radiallahu 'anhu berkata: Ibu Sa'ad bin 'Ubadah ketika
meninggal sedang Sa'ad tidak ada. Lalu Sa'ad berkata: Wahai Rasulullah!
Ibuku telah meninggal diwaktu aku tidak ada di rumah, apakah kiranya
akan berguna baginya jika aku bersedekah? Baginda menjawab: Ya!. Berkata
Sa'ad: Saya persaksikan kepadamu bahawa kebun kurma yang berbuah itu
sebagai sedekah untuknya".
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا : اَنَّ رَجُلاً اَتَى النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ اِنَّ
اُمِّيْ اقْتُلِتَتْ نَفْسَهَا وَلَمْ تُوْصِ وَاَظُنُّهَا لَوْتَكَلَّمَتْ
تَصَدَّقَتْ اَفَلَهَا اَجْرٌ اِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا ؟ قَالَ : نَعَمْ .
“Dari ‘Aisyah radiallahu ‘anhu berkata: Bahawasanya seorang lelaki
datang kepada Nabi sallallahu ‘alaihi wa-sallam dan berkata: Wahai
Rasulullah! Ibuku telah mati mendadak, sehingga dia tidak berkesempatan
untuk berwasiat dan saya rasa andaikan ia mendapat kesempatan berkata
tentu dia berwasiat (supaya bersedekah). Adakah ia mendapat pahala jika
aku bersedekah untuknya? Baginda sallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:
Ya”.
*Orang yang hidup dapat menghajikan orang yang meninggal
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا اَنَّ امْرَاَةً مِنْ
جُهَيْنَةَ جَاءَ تْ اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَتْ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، اَنَّ اُمِّيْ نَذَرَتْ اَنْ تَحِجَّ
فَلَمْ تَحِجَّ حَتَّى مَاتَتْ اَفَاَحِجُّ عَنْهَا ؟ قَالَ : نَعَمْ
حُجِّيْ عَنْهَا . اَرَاَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ اَكُنْتَ
قَاضِيَتَهُ ؟ اُقْضُوْا اللهَ فَاللهُ اَحَقُّ بِالْقَضَاءِ وَفِى
رِوَايَةٍ : فَاللهُ اَحَقُّ بِالْوَفَاءِ.
"Dari Ibn Abbas radiallahu 'anhuma berkata: Seorang perempuan dari suku
Juhainah datang kepada nabi Sallallahu 'alaihi wasallam bertanya: Ibuku
nazar akan mengerjakan haji, tetapi dia telah meninggal sebelum
menunaikan nazarnya apakah boleh aku menghajikannya? Baginda menjawab:
Ya, hajikan untuknya, bagaimana sekiranya ibumu menanggung hutang,
apakah engkau yang membayarnya? Bayarlah hak Allah, kepada Allah lebih
layak orang membayarnya".
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا . اَنَّ رَجُلاً اَتَى
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : اَنَّ اَبِىْ مَاتَ
وَعَلَيْهِ حَجَّةُ اْلاِسْلاَمِ اَفَاَحُجَّ عَنْهُ ؟ فَقَالَ :
اَرَاَيْتَ لَوْ اَنَّ اَبَاكَ تَرَكَ دَيْنًا عَلَيْهِ اَتَقْضِيْهِ
عَنْهُ ؟ قَالَ : نَعَمْ . قَالَ : فَاحْجُجْ عَنْ اَبِيْكَ .
"Dari Ibnu Abbas radiallahu 'anhu berkata: Seorang lelaki datang kepada
Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa-sallam lalu bertanya: Ayahku telah
meninggal dan belum mengerjakan haji, apakah boleh aku menghajikannya?
Baginda menjawab: Bagaimana jika ayahmu meninggalkan hutang, apakah kamu
yang membayarnya? Jawabnya: Ya. Baginda bersabda: Maka hajikanlah untuk
ayahmu".(HR BUKHARI)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: جَاءَ تْ اِمْرَاَةٌ
مِنْ خَشْعَمَ فَقَالَتْ : يَا رَسُـوْلَ اللهِ ، اَنَّ فَرِيْضَةَ اللهِ
عَلَى عِبَادِهِ فِى الْحَجِّ اَدْرَكَتْ اَبِيْ شَيْخًا كَبِيْرًا لاَ
يَثْبُتُ عَلَى الرَّاحِلَةِ . اَفَاَحُجُّ عَنْهُ ؟ قَالَ : نَعَمْ .
وَذَلِكَ فِى حَجَّةِ الْوَدَاعِ.
"Dari Ibn Abbas radiallahu 'anhu berkata: Seorang wanita dari suku
Khasy'am datang kepada Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa-sallam lalu
bertanya: Ya Rasulullah! Kewajipan Allah atas hambaNya berhaji telah
menimpakan ayahku yang sangat tua sehingga tidak dapat berkenderaan,
apakah boleh aku menghajikannya? Baginda menjawab: Ya boleh. Dan
pertanyaan ini terjadi ketika haji al-Wada'.
* Dalam hadits banyak disebutkan do’a tentang shalat jenazah, do’a setelah mayyit dikubur dan ziarah kubur.
Tentang do’a shalat jenazah antara lain, Rasulullah SAW bersabda: “Dari
Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW setelah
selesai shalat jenazah-bersabda: “ Ya Allah ampunilah dosanya,
sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat
tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air
embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih
dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari
tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan
yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur
dan siksa neraka” (HR Muslim).
Tentang do’a setelah mayyit dikuburkan, Rasulullah SAW bersabda: Dari
Ustman bin Affan ra berkata: Adalah Nabi SAW apabila selesai menguburkan
mayyit beliau beridiri lalu bersabda: “ mohonkan ampun untuk saudaramu
dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena sekarang dia sedang
ditanya” (HR Abu Dawud)
Sedangkan tentang do’a ziarah kubur antara lain diriwayatkan oleh Aisyah
ra bahwa ia bertanya kepada Nabi SAW: Bagaimana pendapatmu kalau saya
memohonkan ampun untuk ahli kubur? Rasul SAW menjawab, “Ucapkan: (salam
sejahtera semoga dilimpahkan kepada ahli kubur baik mukmin maupun muslim
dan semoga Allah memberikan rahmat kepada generasi pendahulu dan
generasi mendatang dan sesungguhnya Insya Allah- kami pasti menyusul)
(HR Muslim).
Dalil Ijma
1. Para ulama sepakat bahwa do’a dalam shalat jenazah bermanfaat bagi mayyit.
2. Bebasnya utang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan
keluarga. Ini berdasarkan hadits Abu Qotadah dimana ia telah menjamin
untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah
membayarnya Nabi bersabda: “ Sekarang engkau telah mendinginkan
kulitnya” (HR Ahmad)
Dalil Qiyas
Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada
saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak ada halangan sebagaimana
tidak dilarang menghadiahkan harta untuk orang lain di waktu hidupnya
dan membebaskan utang setelah wafatnya. Islam telah memberikan
penjelasan sampainya pahala ibadah badaniyah seperti membaca Al-Quran
dan lainnya diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena puasa dalah
menahan diri dari yang membatalkan disertai niat, dan itu pahalanya bisa
sampai kepada mayyit. Jika demikian bagaimana tidak sampai pahala
membaca Al-Quran yang berupa perbuatan dan niat.
Jawaban Terhadap Pendapat Yang Mengharamkan,
Firman Allah, surat An-Najm:38-39 yaitu bahwasannya seorang yang berdosa
tidak akan memikul dosa orng lain dan bahwasannya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.
Dapat dijawab dengan dua jawaban:
1. Bahwa seseorang dengan usaha dan hubungan baiknya mendapatkan banyak
kawan dan mempunyai keturunan dan kasih sayang terhadap orang lain. Hal
itu mengundang simpatisan orang untuk berdo’a dan menghadiahkan pahala.
Itu adalah hasil usahanya sendiri. Bahkan hubungan melalui agama
merupakan sebab yang paling besar bagi sampainya manfaat orang Islam
kepada saudaranya dikala hidup dan sesudah wafatnya. Bahkan do’a orang
Islam dapat bermanfaat untuk orang Islam lain.
2. Al-Quran tidak menafikan seseorang mengambil manfaat dari usaha orang
lain, yang dinafikan adalah memiliki suatu manfaat yang bukan usahanya.
Oleh karena itu Allah menerangkan bahwa manusia tidak memiliki kecuali
hasil usahanya sendiri. Adapun usaha orang lain adalah miliknya jika ia
mau, ia bisa memberikannya kepada orang lain dan jika tidak mau hasil
usahanya itu dia miliki sendiri.
Firman Allah dalam surat An-Najm sebagimana di atas, adalah dua ayat
muhkamat yang menunjukkan keadilan Allah SWT. Ayat pertama menjelaskan
bahwa Allah SWT tidak menyiksa seseorang karena kesalahan orang lain.
Sedangkan ayat kedua menerangkan bahwa seseorang tidak mendapatkan
kebahagaiaan kecuali dengan usahanya sendiri. Hal ini akan menghapuskan
angan-angannya bahwa dia akan selamat karena amal orang-tua dan nenek
moyangnya yang terdahulu. Allah SWT tidak menyatakan bahwa dia tidak
dapat mengambil manfaat kecuali dari usahanya sendiri. Sedangkan firman
Allah surat Al Baqarah 286 Dan firman Allah surat Yasiin 54: Menerangkan
bahwa seseorang tidak akan disiksa lantaran perbuatan orang lain.
Adapun argumentasi mereka dengan hadits: “Apabila bani Adam meninggal
dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: Shodaqoh jariah,
Anak sholeh yang selalu mendo’akannya dan Ilmu yang dimanfaatkannya”
adalah argumentasi yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan, karena
Rasulullah SAW tidak berkata :inqitho’a intifa’uhu (putuslah pengambilan
manfaatnya), namun Rasul saw. mengatakan: Inqqitho’a Amaluhu (putuslah
amalnya). Adapun amal orang lain adalah miliknya jika orang lain
tersebut menghadiahkan amalnya untuk dia, maka pahalanya akan sampai
kepadanya bukan pahala amalnya, sebagaimana dalam pembebasan utang.
Tambahan :
Keutamaan majelis dzikir:
Dari Abu Hurairah ra. dari Abu Sa’id ra., keduanya berkata, Rasulullah
saw. bersabda: “Tidakada suatu kaum yang duduk dalam suatu majlis untuk
dzikir kepada Allah melainkan mereka dikelilingi oleh malaikat, diliputi
rahmat, di turunkan ketenangan, dan mereka disebut-sebut Allah di
hadapan malaikat yang ada di sisi-Nya”. (Riwayat Muslim)
Ta’ziyah, yaitu menghibur orang yang tertimpa musibah dengan
pahala-pahala yang dijanjikan oleh Allah, sekaligus mendo’akan mereka
dan mayitnya”Imam Nawawi rahimahullah mengatakan : “Yaitu memotivasi
orang yang tertimpa musibah agar lebih bersabar, dan meghiburnya supaya
melupakannya, meringankan tekanan kesedihan dan himpitan musibah yang
menimpanya” Kapan? Sebagian ulama Syafi’iyah dan Hanbaliah
membebaskannya waktunya. Sampai kapan saja, tidak ada pembatasan
waktunya. Sebab, menurut mereka, tujuan dari ta’ziyah ini untuk
mendo’akan, memotivasinya agar bersabar dan tidak melakukan ratapan, dan
lain sebagainya. Tujuan ini tentu saja berlaku untuk jangka waktu yang
lama.
Ketika seorang muslim mendapat musibah (ditinggal mati keluarga, kena
gempa, dll) adalah suatu kesunahan bagi saudara-saudaranya untuk datang
takziah kepadanya, serta menghibur agar bersabar dari cobaan.Tidak ada
yang lebih baik dari menghibur serta meringankan bebannya selain
daripada mengajaknya berdzikir, mengingat Allah, dan berdoa
bersama-sama, mendoakan si mayyit dan keluarga yg ditinggalkannya.
Dari kedua pendapat diatas silahkan anda memilih mana yang menurut anda
paling shahih krn pintu perbedaan pendapat masih terbuka lebar. Yang
tidak boleh adalah satu pihak mengharamkan pihak lain. Selama dalil yang
sangat teknis tidak atau belum secara spesifik menegaskannya, maka
pintu ijtihad lengkap dengan perbedaannya masih sangat terbuka luas.
Dan mua boleh htidak ada orang yang berhak menyalahkan pendapat orang
lain, selama masih di dalam wilayah ijtihad. Pendeknya, yang mana saja
yang ingin kita ikuti dari ijtihad itu hukumnya boleh.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar