Rabu, 26 Februari 2020

Hukum Nikah Siri


Akhir akhir ini banyak diantara umat Islam yang dah berumahtangga mengalami masa puber kedua dan bingung terhadap apa yang dia alami. Tanggung jawab terhadap keluarga yang jadi kewajiban nya seakan sirna dengan adanya perasaan hati yang terpaut pada seseorang juga dicintainya.
Dalam hal tersebut kaum Pria biasanya bingung tuk mengambil sikap mengenai hal perasaan tersebut. Dan dalam agama Islam di syariat kan untuk berhati-hati dalam menyikapi masalah yang demikian.
Poligami adalah salah satu di antara syariat Islam. Poligami juga adalah syariat yang banyak juga ditentang di antara kaum muslimin. Yang katanya merugikan wanita, menurut mereka yang memegang kaedah emansipasi perempuan.
Namun poligami sendiri bukanlah seperti yang mereka pikirkan. Para ulama menilai hukum poligami dengan hukum yang berbeda-beda. 
Karena itu, saya coba buat semacam RANGKUMAN untuk menjelaskan bagaimana sih INTI dari poligami itu, khususnya SECARA LOGIKA.
BAGI PRIA:‎
1. Islam memperbolehkan poligami, tapi SYARATNYA SANGAT BERAT. Harus bisa adil. Jadi saudara-saudara sekalian, poligami BUKAN urusan gampang. Jika Anda poligami dan setelah itu Anda tak bisa berbuat adil, maka balasannya adalah NERAKA. MAU?
2. Jika Anda TAK SANGGUP berbuat adil terhadap istri-istri Anda, maka SATU SAJA CUKUP. Ya, satu saja cukup. Buat apa punya istri lebih dari satu, jika hanya bikin repot?
3. Poligami DIPERBOLEHKAN dalam Islam (dengan syarat yang berat, seperti dijelaskan pada nomor 1 di atas). Karena diperbolehkan, maka SEMUA UMAT ISLAM HARUS SETUJU. Sebab kalau tidak setuju, itu artinya Anda TIDAK SETUJU dengan ajaran agama Anda sendiri!
4. Sehubungan dengan nomor 3 di atas: SETUJU TIDAK SAMA DENGAN PENGEN. Saya setuju poligami karena saya percaya pada ajaran agama saya. Tapi itu bukan berarti saya pengen berpoligami. HARAP BEDAKAN!!!
5. Banyak pria yang berpoligami dengan alasan menjalankan sunnah. Tapi lucunya, mereka mengabaikan sunnah-sunnah yang lain. Cuma mau yang enak-enak. KONYOL, BUKAN?
BAGI WANITA:‎
1. Dalam Islam, seorang suami memang TIDAK diharuskan minta izin kepada istri pertama jika dia hendak berpoligami. TAPI INGAT: Tujuan setiap pernikahan - termasuk pernikahan keluarga poligami - adalah menciptakan keluarga sakinah, mawaddah, warohmah (SAMARA).
Pertanyaan saya:
Jika suami Anda berpoligami, lantas Anda tidak suka, Anda sakit hati, kecewa, merasa dikhianati dan seterusnya, apakah keluarga SAMARA bisa terwujud dari keluarga poligami yang seperti itu? TENTU TIDAK! Dan saya yakin, Islam pun tidak menghendaki adanya poligami yang seperti ini.
2. Jika Anda tidak suka dan tidak rela suami Anda berpoligami, ITU TIDAK MASALAH. Banyak istri yang di dalam hati kecilnya seperti merasa bersalah, merasa tertekan, merasa berdosa, MERASA MELAWAN AJARAN AGAMA, jika mereka tidak setuju suaminya berpoligami. Padahal "tidak setuju suami berpoligami" adalah hak setiap istri.
3. Walau tidak setuju suami Anda berpoligami, seharusnya Anda tetap harus percaya dan setuju bahwa Islam memperbolehkan poligami. Yang namanya ajaran agama, tentu kita harus setuju 100%, bukan?
4. Dan seperti poin 4 untuk pria di atas: Setuju terhadap ajaran Islam mengenai poligami BUKAN BERARTI Anda harus setuju jika suami Anda berpoligami.
Dalam bahasa sederhana, "Sebagai seorang muslimah, saya tentu harus setuju dengan ajaran agama saya yang memperbolehkan poligami. Tapi SECARA PRIBADI, saya tidak setuju jika suami saya berpoligami."
Bolehkah seperti itu? SANGAT BOLEH! Coba lihat poin 1 di atas.
Saya kira, hak setiap istri untuk mencegah suaminya berpoligami, jika dia menganggap poligami tersebut berpotensi membuat keluarga tidak bahagia. Dan seorang istri - setahu saya - tidak berdosa jika mencegah suaminya berpoligami, terlebih bila niatnya untuk mencegah suaminya berbuat dosa, atau poligami yang PELAKSANAANNYA TIDAK BAIK berpotensi membuat keluarga tidak bahagia, dan seterusnya.
Namun seperti pada poin 3 di atas, setiap muslimah tentu HARUS SETUJU bahwa poligami diperbolehkan di dalam Islam. Sebab ini adalah pertanda ketaatan kita pada aturan agama.
SEKALI LAGI:
Setuju pada ajaran agama tentang pemberbolehan poligami TIDAK SAMA dengan "setuju suami saya berpoligami". HARAP BEDAKAN!!!
5. SUNGGUH KONYOL: Banyak wanita yang membenci tokoh agama yang berpoligami. Saking bencinya, foto si tokoh tersebut disobek-sobek, buku-bukunya dibakar, perusahaannya diboikot.
Padahal:
- Si tokoh tersebut bukan suaminya
- Istri si tokoh tersebut mungkin setuju dan bahagia terhadap poligami suaminya. Keluarga mereka mungkin tetap bahagia.
ARTINYA:
Dalam hal poligami, banyak orang (khususnya para istri) yang bersikap SEOLAH-OLAH pria yang berpoligami di luar sana adalah suaminya. SEOLAH-OLAH dia lebih tahu mengenai seluk-beluk keluarga orang lain, sehingga muncul argumen seperti, "Tega sekali si tokoh itu menyakiti istrinya." Padahal istri si tokoh belum tentu sakit hati grin emotikon
6. JANGAN MENYAMARATAKAN bahwa SEMUA istri pasti sakit hati, pasti tidak rela jika diduakan oleh suaminya. Sebab faktanya, banyak istri yang rela dan ikhlas dimadu, bahkan para istri tersebut bisa akur dan hidup bahagia berdampingan.
Jika mereka bisa ikhlas dan hidup bahagia dalam menjalani poligami, TENTU TAK ADA MASALAH, BUKAN? Kenapa kita sebagai orang luar yang justru mempermasalahkannya???
"Apa masuk akal jika ada wanita yang rela dan ikhlas dimadu oleh suami yang dicintainya?"
ADA!
Kita bisa menganalogikannya seperti kisah nabi Ibrahim. Kita semua pasti setuju, tak mungkin ada orang tua yang tega menyembelih anaknya sendiri. Tapi Nabi Ibrahim bersedia dan ikhlas melakukan itu, karena baginya cinta dan menuruti perintah Allah di atas segala-galanya.
Banyak muslimah yang ikhlas dimadu oleh suami mereka. Kenapa? Analoginya seperti kisah nabi Ibrahim tersebut. Silahkan Anda simpulkan sendiri smile emotikon
7. Memang benar, bahwa bila istri rela dan ikhlas suaminya berpoligami, maka itu adalah salah satu pintu menuju surga. Tapi INGAT: Itu BUKAN satu-satunya pintu menuju surga. Artinya, bila Anda tidak setuju suami menduakan Anda, insya Allah masih banyak pintu surga lainnya yang bisa Anda masuki.
Jadi, tak perlu khawatir sama sekali, bukan?
Allah berfirman,
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاء ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An Nahl: 90)
Sebagai contoh Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita untuk bertauhid yang mengandung maslahat yang murni dan tidak memiliki mudarat sama sekali bagi seorang hamba. Demikian pula, Allah subhanahu wa ta’alamelarang perbuatan syirik yang mengandung keburukan dan sama sekali tidak bermanfaat bagi seorang hamba. Allah subhanahu wa ta’alamensyariatkan jihad dengan berperang, walaupun di dalamnya terdapat mudarat bagi manusia berupa rasa susah dan payah, namun di balik syariat tersebut terdapat manfaat yang besar ketika seorang berjihad dan berperang dengan ikhlas yaitu tegaknya kalimat Allah dan tersebarnya agama Islam di muka bumi yang pada hakikatnya, ini adalah kebaikan bagi seluruh hamba Allah.
Allah berfirman,
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216)
Demikian pula, Allah subhanahu wa ta’alamengharamkan judi dan minuman keras, walaupun di dalam judi dan minuman keras tersebut terdapat manfaat yang bisa diambil seperti mendapatkan penghasilan dari judi atau menghangatkan badan dengan khamar/minuman keras. Namun mudarat yang ditimbulkan oleh keduanya berupa timbulnya permusuhan di antara manusia dan jatuhnya mereka dalam perbuatan maksiat lainnya jauh lebih besar dibandingkan manfaat yang didapatkan.
Allah berfirman,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: Pada keduanya terdapat keburukan yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi keburukan keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS. Al Baqarah: 219)
Setelah kita memahami kaidah tersebut, maka kita bisa menerapkan kaidah tersebut pada syariat poligami yang telah Allah perbolehkan. Tentu di dalamnya terdapat manfaat yang sangat besar walaupun ada beberapa mudarat yang ditimbulkan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh dengan syariat tersebut. Sebagai contoh misalnya: terkadang terjadi kasus saling cemburu di antara para istri karena beberapa permasalahan, maka hal ini adalah mudarat yang ditimbulkan dari praktek poligami. Namun, manfaat yang didapatkan dengan berpoligami untuk kaum muslimin berupa bertambahnya banyaknya jumlah kaum muslimin dan terjaganya kehormatan wanita-wanita muslimah baik yang belum menikah maupun para janda merupakan kebaikan dan maslahat yang sangat besar bagi kaum muslimin. Oleh karena itu, jika kita melihat kebanyakan orang-orang yang menentang syariat poligami adalah orang-orang yang lemah pembelaannya terhadap syariat Islam bahkan terkadang melecehkan syariat Islam. Pemikiran mereka terpengaruh dengan pemikiran orang-orang kafir yang jelas-jelas tidak menghendaki kebaikan bagi kaum muslimin.
Boleh hukumnya dalam Syariat  Islam bagi seorang wanita untuk menikah dengan lelaki yang telah menikah/beristri. Hal itu dikarenakan, menikah dengan seorang lelaki yang telah beristri bermakna lelaki tersebut hendak melakukan poligami, sementara poligami dihalalkan oleh Islam. Allah berfirman;
{فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ} [النساء: 3]
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat (An-Nisa;3).
Perintah Allah untuk menikahi wanita manapun yang disenangi sebanyak dua,tiga dan empat adalah dalil jelas bahwa Allah mengizinkan lelaki menikah lebih dari satu, artinya Allah mengizinkan lelaki berpoligami.
Hanya saja, jumlah maksimal wanita yang boleh dinikahi adalah empat orang, karena ayat di atas membatasi jumlah wanita hanya sampai empat. Jika seorang lelaki menikahi wanita lebih dari empat, maka istri yang ke lima, keenam dst itu pernikahannya tidak sah dan tidak bisa dihukumi sebagai istri yang Syar’i.
Tidak ada Syarat adil dalam poligami, dengan makna; suami hanya sah poligaminya jika sanggup adil kepada seluruh istri-istrinya termasuk dalam masalah kadar cinta dan intensitas berhubungan suami istri. Adil bukan Syarat sah poligami, tetapi adil adalah hukum syara yang menjadi Atsar  (akibat/konsekuensi) dari Akad pernikahan poligami yang wajib dilakukan jika seorang lelaki berpoligami. Perbedaan antara Syarat dengan Atsar adalah; Syarat mempengaruhi keabsahan Akad, sementara Atsar adalah konsekuensi dari Akad.  Ijab-Qobul  misalnya, adalah Syarat sah Akad, sementara kewajiban memberi nafkah, kewajiban berbuat adil bagi lelaki yang poligami, kewajiban membayar mahar dll adalah contoh Atsar dari Akad nikah. Jadi, tidak ada Syarat adil bagi lelaki yang hendak berpoligami.
Adapun lanjutan ayat di atas yang berbunyi;
{فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً} [النساء: 3]
Kemudian Jika Kamu Takut Tidak Akan Dapat Berlaku Adil, Maka (Kawinilah) Seorang Saja
Maka ayat ini tidak bisa menjadi dalil bahwa adil adalah Syarat sah poligami, tetapi hanya menunjukkan anjuran menikah dengan satu istri jika khawatir tidak bisa berbuat adil.
Adil yang menjadi kewajiban lelaki berpoligami bukanlah keadilan mutlak yang meliputi segala hal, karena hal ini mustahil dilakukan. Keadilan yang dituntut adalah keadilan yang ada dalam batas kemanusiaan, misalnya dalam hal nafkah, waktu bermalam, ajakan keluar rumah dll. Adapun kadar cinta dan intensitas berhubungan suami istri, maka hal ini diluar kemampuan manusia, karena itu tidak ada tuntutan berbuat adil pada dua hal ini.
Dalam berpoligami juga tidak disyaratkan izin istri yang telah ada, karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut. Poligami Rasulullah SAW juga menunjukkan bahwa pernikahan-pernikahan beliau tanpa meminta izin istri sebelumnya, bahkan hanya sekedar bermusyawarah atau meminta pertimbangan.
Demikianlah ketentuan poligami dalam Syariat  Islam. Dengan mengaca pada sejarah dan biografi Rasulullah SAW dan para Shahabatnya, tampaklah bahwa poligami dimasa beliau bukan sesuatu yang aneh atau di anggap aib. Rasulullah SAW sendiri telah berpoligami. Sepeninggal Khadijah beliau menikah dengan Aisyah binti Abubakar,Saudah binti Zam’ah, Hafshoh binti ‘Umar, Ummu Salamah, Zainab binti Jahsy, Zainab binti Khuzaimah, Shofiyyah bintu Huyai, Maimunah binti Al-Harits, Ummu Habibah binti Abu Sufyan, dan Juwairiyah binti Al-Harits. Semua wanita ini hidup bersama Rasulullah SAW  karena beliau memang memiliki kekhususan boleh menikah lebih dari empat wanita.
Abu Bakar As-Shiddiq juga berpoligami. Beliau menikah dengan Qutailah binti Abdul Uzza (kemudian diceraikan), Ummu Ruman, Ummu Bakr, Habibah binti Kharijah, dan Asma binti ‘Umais.
Umar juga demikian, wanita-wanita yang tercatat pernah menjadi istrinya ; Zainab binti Madh’un, Ummu Kaltsum binti ‘Ali, Jamilah binti ‘Ashim, Mulaikah binti Jarwal, ‘Atikah binti Zaid, dan Ummu Hakim binti Al-Harits.
Utsman bin ‘Affan setelah menikah dengan putri Rasulullah SAW yaitu Ruqoyyah dan Ummu Kaltsum, beliau menikah dengan Fathimah binti Ghozwan, Fathimah binti Al-Walid, Ummul Banin binti ‘Uyainah, Romlah binti Syaibah, Nailah binti Al-Farafishah.
Ali bin Abi Thalib sepeninggal Fathimah putri Rasulullah SAW , menikahi Khoulah binti Iyas, Laila binti Mas’ud, Ummul Banin binti Hizam, Asma binti Umais (dinikahi setelah Abubakar wafat), Umamah binti Abi Al-‘Ash, Ummu Sa’d binti ‘Urwah.
Jadi, Rasulullah SAW dan para Khulafaur Rasyidin semuanya berpoligami. Bukan hanya mereka, Shahabat-Shahabat yang dijamin masuk surga yang lain juga dikenal berpoligami. Thalhah bin ‘Ubaidillah menikah dengan sembilan wanita, Az-Zubair bin Al-‘Awwam menikahi enam wanita, Sa’ad bin Abi Waqqosh menikahi sebelas wanita, bahkan Abdurrahman bin Auf pernah menikahi duapuluh wanita! Semua informasi ini bisa kita dapatkan dengan mudah dalam kitab-kitab Tarikh (sejarah) dan biografi seperti Tarikh At-Thobari, At-Thobaqot Al-Kubroa Ibnu Sa’ad, Siyaru A’lamin Nubala dll.Tentusaja jumlah istri Shahabat yang lebih dari empat tidak dihimpun dalam satu waktu. Jumlah istri yang dipoligami dalam satu waktu tetap tidak lebih dari empat. Hanya saja wanita yang tercatat pernah menikah dengan mereka lebih dari empat karena diantara mereka ada yang wafat dan adapula yang dicerai. Kenyataan ini menunjukkan bahwa poligami dimasa Rasulullah SAW dan Shahabat adalah sesuatu yang biasa, wajar, tidak aneh dan bukan aib. Malah lebih dekat kepada Sunnah yaitu memperbanyak keturunan.
Poligami tidak bertentangan dengan ketakwaan, hidup zuhud, tugas dakwah dan semisalnya asalkan dilaksanakan dengan niat yang benar dan cara yang syar’i, bukan semata-mata pemuasan syahwat hewani.
Dalam sistem undang-undang dan hukum diindonesia, poligami juga tidak dilarang. Namun harus diakui poligami dalam sistem hukum di indonesia “ditekan” dan di izinkan tetapi dengan cara yang ketat apalagi para pegawai negeri (PNS). Aturan tentang poligami di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 tentang Aturan Pelaksanaan Undang-Undang  No. 1/ 1974. Bagi pegawai negeri sipil, aturannya dipisahkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 10/1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil,dan surat Edaran kepala BAKN nomor 08/SE/1983 jo Surat Edaran kepala BAKN Nomor 48/SE/1990 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS. Namun, dalam pandangan Syariat , semua ketentuan hukum di Indonesia ini tidak mengikat seorang Muslim sama sekali.
Adapun Nikah Siri /Nikah di bawah tangan, maka pernikahan ini juga sah secara Syar’i asalkan memenuhi Syarat dan Rukun Nikah. Hal itu dikarenakan pengertian Nikah Siri  adalah pernikahan yang tidak dicatatkan ke KUA (kantor urusan agama) saja. Jadi, Nikah Siri  adalah pernikahan yang sah secara agama, tetapi tidak tercatat oleh negara. Kelemahan Nikah Siri  dari segi tata hukum di Indonesia hanya terletak pada tidak diperolehnya hak-hak hukum seperti pewarisan, nafkah, pengasuhan anak, dll jika persoalan rumah tangga diajukan ke pengadilan di Indonesia.
Namun, apabila yang dimaksud Nikah Siri  adalah pernikahan tanpa Wali, padahal Wali masih ada dan hak perwaliannya tidak gugur, maka pernikahan Siri seperti itu Fasid (rusak) dan harus diulang. Kedudukannya sama dengan orang yang menikah tanpa saksi, atau menikahi wanita dalam masa Iddah.
Nikah siri  dengan pemahaman yang tanpa wali, statusnya tidak sah, sebagaimana yang ditegaskan mayoritas ulama. Karena di antara syarat sah nikah adalah adanya wali dari pihak wanita. Di antara dalil yang menegaskan haramnya nikah tanpa wali adalah:
Pertama, hadis dari Abu Musa Al-Asy’ariradhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
“Tidak ada nikah (batal), kecuali dengan wali.” (HR. Abu Daud, turmudzi, Ibn Majah, Ad-Darimi, Ibn Abi Syaibah, thabrani, dsb.)
Kedua, hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita manapun yang menikah tanpa izin wali, maka nikahnya batal.” (HR. Ahmad, Abu daud, dan baihaqi)
Dan masih banyak riwayat lainnya yang senada dengan keterangan di atas, sampai Al-Hafidz Ibn Hajar menyebutkan sekitar 30 sahabat yang meriwayatkan hadis semacam ini.  (At-Talkhis Al-Habir, 3:156).
Kemudian, termasuk kategori nikah tanpa wali adalah pernikahan dengan menggunakan wali yang sejatinya tidak berhak menjadi wali. Beberapa fenomena yang terjadi, banyak di antara wanita yang menggunakan wali kiyai gadungan atau pegawai KUA, bukan atas nama lembaga, tapi murni atas nama pribadi. Sang Kyai dalam waktu hitungan menit, didaulat untuk menjadi wali si wanita, dan dilangsungkanlah pernikahan, sementara pihak wanita masih memiliki wali yang sebenarnya. 
Jika nikah siri dipahami sebagaimana di atas, maka pernikahan ini statusnya batal dan wajib dipisahkan. Kemudian, jika keduanya menghendaki untuk kembali berumah tangga, maka harus melalui proses pernikahan normal, dengan memenuhi semua syarat dan rukun yang ditetapkan syariah.
Wallohu A'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hukum Vareasi Bercinta Dalam Islam

Setiap agama pastinya memiliki hukumnya sendiri-sendiri dalam hal bercinta. Beberapa agama mungkin memiliki beberapa hukum yang sama,...