Akhir akhir ini banyak diantara umat Islam yang dah berumahtangga
mengalami masa puber kedua dan bingung terhadap apa yang dia alami.
Tanggung jawab terhadap keluarga yang jadi kewajiban nya seakan sirna
dengan adanya perasaan hati yang terpaut pada seseorang juga
dicintainya.
Dalam hal tersebut kaum Pria biasanya bingung tuk mengambil sikap
mengenai hal perasaan tersebut. Dan dalam agama Islam di syariat kan
untuk berhati-hati dalam menyikapi masalah yang demikian.
Poligami adalah salah satu di antara syariat Islam. Poligami juga adalah
syariat yang banyak juga ditentang di antara kaum muslimin. Yang
katanya merugikan wanita, menurut mereka yang memegang kaedah emansipasi
perempuan.
Namun poligami sendiri bukanlah seperti yang mereka pikirkan. Para ulama menilai hukum poligami dengan hukum yang berbeda-beda.
Karena itu, saya coba buat semacam RANGKUMAN untuk menjelaskan bagaimana sih INTI dari poligami itu, khususnya SECARA LOGIKA.
BAGI PRIA:
1. Islam memperbolehkan poligami, tapi SYARATNYA SANGAT BERAT. Harus
bisa adil. Jadi saudara-saudara sekalian, poligami BUKAN urusan gampang.
Jika Anda poligami dan setelah itu Anda tak bisa berbuat adil, maka
balasannya adalah NERAKA. MAU?
2. Jika Anda TAK SANGGUP berbuat adil terhadap istri-istri Anda, maka
SATU SAJA CUKUP. Ya, satu saja cukup. Buat apa punya istri lebih dari
satu, jika hanya bikin repot?
3. Poligami DIPERBOLEHKAN dalam Islam (dengan syarat yang berat, seperti
dijelaskan pada nomor 1 di atas). Karena diperbolehkan, maka SEMUA UMAT
ISLAM HARUS SETUJU. Sebab kalau tidak setuju, itu artinya Anda TIDAK
SETUJU dengan ajaran agama Anda sendiri!
4. Sehubungan dengan nomor 3 di atas: SETUJU TIDAK SAMA DENGAN PENGEN.
Saya setuju poligami karena saya percaya pada ajaran agama saya. Tapi
itu bukan berarti saya pengen berpoligami. HARAP BEDAKAN!!!
5. Banyak pria yang berpoligami dengan alasan menjalankan sunnah. Tapi
lucunya, mereka mengabaikan sunnah-sunnah yang lain. Cuma mau yang
enak-enak. KONYOL, BUKAN?
BAGI WANITA:
1. Dalam Islam, seorang suami memang TIDAK diharuskan minta izin kepada
istri pertama jika dia hendak berpoligami. TAPI INGAT: Tujuan setiap
pernikahan - termasuk pernikahan keluarga poligami - adalah menciptakan
keluarga sakinah, mawaddah, warohmah (SAMARA).
Pertanyaan saya:
Jika suami Anda berpoligami, lantas Anda tidak suka, Anda sakit hati,
kecewa, merasa dikhianati dan seterusnya, apakah keluarga SAMARA bisa
terwujud dari keluarga poligami yang seperti itu? TENTU TIDAK! Dan saya
yakin, Islam pun tidak menghendaki adanya poligami yang seperti ini.
2. Jika Anda tidak suka dan tidak rela suami Anda berpoligami, ITU TIDAK
MASALAH. Banyak istri yang di dalam hati kecilnya seperti merasa
bersalah, merasa tertekan, merasa berdosa, MERASA MELAWAN AJARAN AGAMA,
jika mereka tidak setuju suaminya berpoligami. Padahal "tidak setuju
suami berpoligami" adalah hak setiap istri.
3. Walau tidak setuju suami Anda berpoligami, seharusnya Anda tetap
harus percaya dan setuju bahwa Islam memperbolehkan poligami. Yang
namanya ajaran agama, tentu kita harus setuju 100%, bukan?
4. Dan seperti poin 4 untuk pria di atas: Setuju terhadap ajaran Islam
mengenai poligami BUKAN BERARTI Anda harus setuju jika suami Anda
berpoligami.
Dalam bahasa sederhana, "Sebagai seorang muslimah, saya tentu harus
setuju dengan ajaran agama saya yang memperbolehkan poligami. Tapi
SECARA PRIBADI, saya tidak setuju jika suami saya berpoligami."
Bolehkah seperti itu? SANGAT BOLEH! Coba lihat poin 1 di atas.
Saya kira, hak setiap istri untuk mencegah suaminya berpoligami, jika
dia menganggap poligami tersebut berpotensi membuat keluarga tidak
bahagia. Dan seorang istri - setahu saya - tidak berdosa jika mencegah
suaminya berpoligami, terlebih bila niatnya untuk mencegah suaminya
berbuat dosa, atau poligami yang PELAKSANAANNYA TIDAK BAIK berpotensi
membuat keluarga tidak bahagia, dan seterusnya.
Namun seperti pada poin 3 di atas, setiap muslimah tentu HARUS SETUJU
bahwa poligami diperbolehkan di dalam Islam. Sebab ini adalah pertanda
ketaatan kita pada aturan agama.
SEKALI LAGI:
Setuju pada ajaran agama tentang pemberbolehan poligami TIDAK SAMA dengan "setuju suami saya berpoligami". HARAP BEDAKAN!!!
5. SUNGGUH KONYOL: Banyak wanita yang membenci tokoh agama yang
berpoligami. Saking bencinya, foto si tokoh tersebut disobek-sobek,
buku-bukunya dibakar, perusahaannya diboikot.
Padahal:
- Si tokoh tersebut bukan suaminya
- Istri si tokoh tersebut mungkin setuju dan bahagia terhadap poligami suaminya. Keluarga mereka mungkin tetap bahagia.
ARTINYA:
Dalam hal poligami, banyak orang (khususnya para istri) yang bersikap
SEOLAH-OLAH pria yang berpoligami di luar sana adalah suaminya.
SEOLAH-OLAH dia lebih tahu mengenai seluk-beluk keluarga orang lain,
sehingga muncul argumen seperti, "Tega sekali si tokoh itu menyakiti
istrinya." Padahal istri si tokoh belum tentu sakit hati grin emotikon
6. JANGAN MENYAMARATAKAN bahwa SEMUA istri pasti sakit hati, pasti tidak
rela jika diduakan oleh suaminya. Sebab faktanya, banyak istri yang
rela dan ikhlas dimadu, bahkan para istri tersebut bisa akur dan hidup
bahagia berdampingan.
Jika mereka bisa ikhlas dan hidup bahagia dalam menjalani poligami,
TENTU TAK ADA MASALAH, BUKAN? Kenapa kita sebagai orang luar yang justru
mempermasalahkannya???
"Apa masuk akal jika ada wanita yang rela dan ikhlas dimadu oleh suami yang dicintainya?"
ADA!
Kita bisa menganalogikannya seperti kisah nabi Ibrahim. Kita semua pasti
setuju, tak mungkin ada orang tua yang tega menyembelih anaknya
sendiri. Tapi Nabi Ibrahim bersedia dan ikhlas melakukan itu, karena
baginya cinta dan menuruti perintah Allah di atas segala-galanya.
Banyak muslimah yang ikhlas dimadu oleh suami mereka. Kenapa? Analoginya
seperti kisah nabi Ibrahim tersebut. Silahkan Anda simpulkan sendiri
smile emotikon
7. Memang benar, bahwa bila istri rela dan ikhlas suaminya berpoligami,
maka itu adalah salah satu pintu menuju surga. Tapi INGAT: Itu BUKAN
satu-satunya pintu menuju surga. Artinya, bila Anda tidak setuju suami
menduakan Anda, insya Allah masih banyak pintu surga lainnya yang bisa
Anda masuki.
Jadi, tak perlu khawatir sama sekali, bukan?
Allah berfirman,
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاء ذِي الْقُرْبَى
وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran.” (QS. An Nahl: 90)
Sebagai contoh Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita untuk
bertauhid yang mengandung maslahat yang murni dan tidak memiliki mudarat
sama sekali bagi seorang hamba. Demikian pula, Allah subhanahu wa
ta’alamelarang perbuatan syirik yang mengandung keburukan dan sama
sekali tidak bermanfaat bagi seorang hamba. Allah subhanahu wa
ta’alamensyariatkan jihad dengan berperang, walaupun di dalamnya
terdapat mudarat bagi manusia berupa rasa susah dan payah, namun di
balik syariat tersebut terdapat manfaat yang besar ketika seorang
berjihad dan berperang dengan ikhlas yaitu tegaknya kalimat Allah dan
tersebarnya agama Islam di muka bumi yang pada hakikatnya, ini adalah
kebaikan bagi seluruh hamba Allah.
Allah berfirman,
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن
تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً
وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu
yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik
bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat
buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al
Baqarah: 216)
Demikian pula, Allah subhanahu wa ta’alamengharamkan judi dan minuman
keras, walaupun di dalam judi dan minuman keras tersebut terdapat
manfaat yang bisa diambil seperti mendapatkan penghasilan dari judi atau
menghangatkan badan dengan khamar/minuman keras. Namun mudarat yang
ditimbulkan oleh keduanya berupa timbulnya permusuhan di antara manusia
dan jatuhnya mereka dalam perbuatan maksiat lainnya jauh lebih besar
dibandingkan manfaat yang didapatkan.
Allah berfirman,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ
وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: Pada
keduanya terdapat keburukan yang besar dan beberapa manfaat bagi
manusia, tetapi keburukan keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS. Al
Baqarah: 219)
Setelah kita memahami kaidah tersebut, maka kita bisa menerapkan kaidah
tersebut pada syariat poligami yang telah Allah perbolehkan. Tentu di
dalamnya terdapat manfaat yang sangat besar walaupun ada beberapa
mudarat yang ditimbulkan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan
manfaat yang diperoleh dengan syariat tersebut. Sebagai contoh misalnya:
terkadang terjadi kasus saling cemburu di antara para istri karena
beberapa permasalahan, maka hal ini adalah mudarat yang ditimbulkan dari
praktek poligami. Namun, manfaat yang didapatkan dengan berpoligami
untuk kaum muslimin berupa bertambahnya banyaknya jumlah kaum muslimin
dan terjaganya kehormatan wanita-wanita muslimah baik yang belum menikah
maupun para janda merupakan kebaikan dan maslahat yang sangat besar
bagi kaum muslimin. Oleh karena itu, jika kita melihat kebanyakan
orang-orang yang menentang syariat poligami adalah orang-orang yang
lemah pembelaannya terhadap syariat Islam bahkan terkadang melecehkan
syariat Islam. Pemikiran mereka terpengaruh dengan pemikiran orang-orang
kafir yang jelas-jelas tidak menghendaki kebaikan bagi kaum muslimin.
Boleh hukumnya dalam Syariat Islam bagi seorang wanita untuk menikah
dengan lelaki yang telah menikah/beristri. Hal itu dikarenakan, menikah
dengan seorang lelaki yang telah beristri bermakna lelaki tersebut
hendak melakukan poligami, sementara poligami dihalalkan oleh Islam.
Allah berfirman;
{فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ} [النساء: 3]
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat (An-Nisa;3).
Perintah Allah untuk menikahi wanita manapun yang disenangi sebanyak
dua,tiga dan empat adalah dalil jelas bahwa Allah mengizinkan lelaki
menikah lebih dari satu, artinya Allah mengizinkan lelaki berpoligami.
Hanya saja, jumlah maksimal wanita yang boleh dinikahi adalah empat
orang, karena ayat di atas membatasi jumlah wanita hanya sampai empat.
Jika seorang lelaki menikahi wanita lebih dari empat, maka istri yang ke
lima, keenam dst itu pernikahannya tidak sah dan tidak bisa dihukumi
sebagai istri yang Syar’i.
Tidak ada Syarat adil dalam poligami, dengan makna; suami hanya sah
poligaminya jika sanggup adil kepada seluruh istri-istrinya termasuk
dalam masalah kadar cinta dan intensitas berhubungan suami istri. Adil
bukan Syarat sah poligami, tetapi adil adalah hukum syara yang menjadi
Atsar (akibat/konsekuensi) dari Akad pernikahan poligami yang wajib
dilakukan jika seorang lelaki berpoligami. Perbedaan antara Syarat
dengan Atsar adalah; Syarat mempengaruhi keabsahan Akad, sementara Atsar
adalah konsekuensi dari Akad. Ijab-Qobul misalnya, adalah Syarat sah
Akad, sementara kewajiban memberi nafkah, kewajiban berbuat adil bagi
lelaki yang poligami, kewajiban membayar mahar dll adalah contoh Atsar
dari Akad nikah. Jadi, tidak ada Syarat adil bagi lelaki yang hendak
berpoligami.
Adapun lanjutan ayat di atas yang berbunyi;
{فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً} [النساء: 3]
Kemudian Jika Kamu Takut Tidak Akan Dapat Berlaku Adil, Maka (Kawinilah) Seorang Saja
Maka ayat ini tidak bisa menjadi dalil bahwa adil adalah Syarat sah
poligami, tetapi hanya menunjukkan anjuran menikah dengan satu istri
jika khawatir tidak bisa berbuat adil.
Adil yang menjadi kewajiban lelaki berpoligami bukanlah keadilan mutlak
yang meliputi segala hal, karena hal ini mustahil dilakukan. Keadilan
yang dituntut adalah keadilan yang ada dalam batas kemanusiaan, misalnya
dalam hal nafkah, waktu bermalam, ajakan keluar rumah dll. Adapun kadar
cinta dan intensitas berhubungan suami istri, maka hal ini diluar
kemampuan manusia, karena itu tidak ada tuntutan berbuat adil pada dua
hal ini.
Dalam berpoligami juga tidak disyaratkan izin istri yang telah ada,
karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut. Poligami
Rasulullah SAW juga menunjukkan bahwa pernikahan-pernikahan beliau tanpa
meminta izin istri sebelumnya, bahkan hanya sekedar bermusyawarah atau
meminta pertimbangan.
Demikianlah ketentuan poligami dalam Syariat Islam. Dengan mengaca pada
sejarah dan biografi Rasulullah SAW dan para Shahabatnya, tampaklah
bahwa poligami dimasa beliau bukan sesuatu yang aneh atau di anggap aib.
Rasulullah SAW sendiri telah berpoligami. Sepeninggal Khadijah beliau
menikah dengan Aisyah binti Abubakar,Saudah binti Zam’ah, Hafshoh binti
‘Umar, Ummu Salamah, Zainab binti Jahsy, Zainab binti Khuzaimah,
Shofiyyah bintu Huyai, Maimunah binti Al-Harits, Ummu Habibah binti Abu
Sufyan, dan Juwairiyah binti Al-Harits. Semua wanita ini hidup bersama
Rasulullah SAW karena beliau memang memiliki kekhususan boleh menikah
lebih dari empat wanita.
Abu Bakar As-Shiddiq juga berpoligami. Beliau menikah dengan Qutailah
binti Abdul Uzza (kemudian diceraikan), Ummu Ruman, Ummu Bakr, Habibah
binti Kharijah, dan Asma binti ‘Umais.
Umar juga demikian, wanita-wanita yang tercatat pernah menjadi istrinya ;
Zainab binti Madh’un, Ummu Kaltsum binti ‘Ali, Jamilah binti ‘Ashim,
Mulaikah binti Jarwal, ‘Atikah binti Zaid, dan Ummu Hakim binti
Al-Harits.
Utsman bin ‘Affan setelah menikah dengan putri Rasulullah SAW yaitu
Ruqoyyah dan Ummu Kaltsum, beliau menikah dengan Fathimah binti Ghozwan,
Fathimah binti Al-Walid, Ummul Banin binti ‘Uyainah, Romlah binti
Syaibah, Nailah binti Al-Farafishah.
Ali bin Abi Thalib sepeninggal Fathimah putri Rasulullah SAW , menikahi
Khoulah binti Iyas, Laila binti Mas’ud, Ummul Banin binti Hizam, Asma
binti Umais (dinikahi setelah Abubakar wafat), Umamah binti Abi Al-‘Ash,
Ummu Sa’d binti ‘Urwah.
Jadi, Rasulullah SAW dan para Khulafaur Rasyidin semuanya berpoligami.
Bukan hanya mereka, Shahabat-Shahabat yang dijamin masuk surga yang lain
juga dikenal berpoligami. Thalhah bin ‘Ubaidillah menikah dengan
sembilan wanita, Az-Zubair bin Al-‘Awwam menikahi enam wanita, Sa’ad bin
Abi Waqqosh menikahi sebelas wanita, bahkan Abdurrahman bin Auf pernah
menikahi duapuluh wanita! Semua informasi ini bisa kita dapatkan dengan
mudah dalam kitab-kitab Tarikh (sejarah) dan biografi seperti Tarikh
At-Thobari, At-Thobaqot Al-Kubroa Ibnu Sa’ad, Siyaru A’lamin Nubala
dll.Tentusaja jumlah istri Shahabat yang lebih dari empat tidak dihimpun
dalam satu waktu. Jumlah istri yang dipoligami dalam satu waktu tetap
tidak lebih dari empat. Hanya saja wanita yang tercatat pernah menikah
dengan mereka lebih dari empat karena diantara mereka ada yang wafat dan
adapula yang dicerai. Kenyataan ini menunjukkan bahwa poligami dimasa
Rasulullah SAW dan Shahabat adalah sesuatu yang biasa, wajar, tidak aneh
dan bukan aib. Malah lebih dekat kepada Sunnah yaitu memperbanyak
keturunan.
Poligami tidak bertentangan dengan ketakwaan, hidup zuhud, tugas dakwah
dan semisalnya asalkan dilaksanakan dengan niat yang benar dan cara yang
syar’i, bukan semata-mata pemuasan syahwat hewani.
Dalam sistem undang-undang dan hukum diindonesia, poligami juga tidak
dilarang. Namun harus diakui poligami dalam sistem hukum di indonesia
“ditekan” dan di izinkan tetapi dengan cara yang ketat apalagi para
pegawai negeri (PNS). Aturan tentang poligami di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Peraturan
Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 tentang Aturan Pelaksanaan Undang-Undang
No. 1/ 1974. Bagi pegawai negeri sipil, aturannya dipisahkan melalui
Peraturan Pemerintah (PP) No. 10/1983 tentang Izin Perkawinan dan
Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil,dan surat Edaran kepala BAKN nomor
08/SE/1983 jo Surat Edaran kepala BAKN Nomor 48/SE/1990 tentang izin
perkawinan dan perceraian bagi PNS. Namun, dalam pandangan Syariat ,
semua ketentuan hukum di Indonesia ini tidak mengikat seorang Muslim
sama sekali.
Adapun Nikah Siri /Nikah di bawah tangan, maka pernikahan ini juga sah
secara Syar’i asalkan memenuhi Syarat dan Rukun Nikah. Hal itu
dikarenakan pengertian Nikah Siri adalah pernikahan yang tidak
dicatatkan ke KUA (kantor urusan agama) saja. Jadi, Nikah Siri adalah
pernikahan yang sah secara agama, tetapi tidak tercatat oleh negara.
Kelemahan Nikah Siri dari segi tata hukum di Indonesia hanya terletak
pada tidak diperolehnya hak-hak hukum seperti pewarisan, nafkah,
pengasuhan anak, dll jika persoalan rumah tangga diajukan ke pengadilan
di Indonesia.
Namun, apabila yang dimaksud Nikah Siri adalah pernikahan tanpa Wali,
padahal Wali masih ada dan hak perwaliannya tidak gugur, maka pernikahan
Siri seperti itu Fasid (rusak) dan harus diulang. Kedudukannya sama
dengan orang yang menikah tanpa saksi, atau menikahi wanita dalam masa
Iddah.
Nikah siri dengan pemahaman yang tanpa wali, statusnya tidak sah,
sebagaimana yang ditegaskan mayoritas ulama. Karena di antara syarat sah
nikah adalah adanya wali dari pihak wanita. Di antara dalil yang
menegaskan haramnya nikah tanpa wali adalah:
Pertama, hadis dari Abu Musa Al-Asy’ariradhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
“Tidak ada nikah (batal), kecuali dengan wali.” (HR. Abu Daud, turmudzi, Ibn Majah, Ad-Darimi, Ibn Abi Syaibah, thabrani, dsb.)
Kedua, hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita manapun yang menikah tanpa izin wali, maka nikahnya batal.” (HR. Ahmad, Abu daud, dan baihaqi)
Dan masih banyak riwayat lainnya yang senada dengan keterangan di atas,
sampai Al-Hafidz Ibn Hajar menyebutkan sekitar 30 sahabat yang
meriwayatkan hadis semacam ini. (At-Talkhis Al-Habir, 3:156).
Kemudian, termasuk kategori nikah tanpa wali adalah pernikahan dengan
menggunakan wali yang sejatinya tidak berhak menjadi wali. Beberapa
fenomena yang terjadi, banyak di antara wanita yang menggunakan wali
kiyai gadungan atau pegawai KUA, bukan atas nama lembaga, tapi murni
atas nama pribadi. Sang Kyai dalam waktu hitungan menit, didaulat untuk
menjadi wali si wanita, dan dilangsungkanlah pernikahan, sementara pihak
wanita masih memiliki wali yang sebenarnya.
Jika nikah siri dipahami sebagaimana di atas, maka pernikahan ini
statusnya batal dan wajib dipisahkan. Kemudian, jika keduanya
menghendaki untuk kembali berumah tangga, maka harus melalui proses
pernikahan normal, dengan memenuhi semua syarat dan rukun yang
ditetapkan syariah.
Wallohu A'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar