Ada tiga syarat utama hewan kurban agar hewan yang dikurbankan sah
sebagai hewan kurban secara Syar’i, yaitu pertama: berupa Bahimatul
An’am, kedua; memenuhi usia minimal yang ditetapkan Syariat, dan ketiga;
bebas dari aib/cacat.
Syarat pertama adalah hewan kurban harus berupa Bahimatul An’am. Yang
dimaksud bahimatul An’am adalah empat macam hewan yaitu unta/الإِبِلُ /
الْبَدَنَةُ/ camel, sapi/الْبَقَرَةُ /cows/cattle, kambing/الْغَنَمُ
/الْمَعْزُ /goat, dan domba/biri-biri/ الضَّأْنُ / الْخَرُوْفُ /
الْكَبْشُ /sheep. Dalil yang menunjukkan bahwa hewan kurban hanya empat
macam hewan ini adalah firman Allah;
{وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ} [الحج: 34]
dan bagi tiap-tiap umat telah Aku syariatkan Mansak, supaya mereka
menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah
kepada mereka (Al-Hajj; 34)
Mansak dalam ayat di atas adalah aktivitas menyembelih hewan kurban.
Ketika Allah mensyariatkan bagi umat Islam ibadah berkurban agar kaum
muslimin menyebut nama Allah ketika menyembelihnya (tidak seperti
orang-orang musyrik yang menyebut nama berhala ketika menyembelih
kurban), Allah menyebut jenis hewan yang diberikan Allah kepada kaum
muslimin untuk dijadikan hewan kurban yaitu Bahimatul An’am pada ujung
ayat. Definisi bahimatul An’am adalah hewan ternak yang berupa unta,
sapi dan kambing yang mencakup kambing biasa (dengan bulu lurus dan
kasar) dan domba (dengan bulu wol). As-Syaukani berkata;
فتح القدير الجامع بين فني الرواية والدراية من علم التفسير (3/ 642)
بهيمة الأنعام وهي الإبل والبقر والغنم
Bahimatul An’am adalah unta, sapi dan kambing (Fathu Al-Qodir, vol.3 hlm 642)
Ayat ini mengandung isyarat bahwa hewan kurban hanyalah unta, sapi dan kambing sebagaimana yang dijelaskan as-Syaukani;
فتح القدير الجامع بين فني الرواية والدراية من علم التفسير (3/ 647)
وفيه إشارة إلى أن القربان لا يكون إلا من الأنعام دون غيرها
Di dalamnya ada isyarat bahwa berkurban tidak bisa kecuali dengan An’am
(unta, sapi dan kambing), tidak bisa selainnya (Fathu Al-Qodir, vol.3
hlm 647)
As-Syafi’I berkata adalam Al-Umm;
الأم (2/ 223)
قال الشَّافِعِيُّ ) رَحِمَهُ اللَّهُ الضَّحَايَا الْجَذَعُ من الضَّأْنِ
والثنى من الْمَعْزِ وَالْإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَلَا يَكُونُ شَيْءٌ دُونَ
هذا ضَحِيَّةً
hewan-hewan kurban adalah Jadza’ah dari domba dan Tsaniyy dari kambing,
unta dan sapi. Hewan apapun selain ini tidak bisa menjadi hewan kurban
(Al-Umm, vol 2 hlm 223)
Oleh karena itu, yang sah menjadi hewan kurban hanyalah unta, sapi,
kambing dan domba. Kerbau, banteng, kijang, jerapah, ayam, kelinci,
merpati dan semua hewan yang tidak termasuk keempat macam ini tidak sah
dijadikan sebagai hewan kurban. Hewan peranakan hasil persilangan silang
antara hewan yang sah dijadikan berkurban dengan hewan yang tidak sah
dijadikan berkurban juga tidak boleh dijadikan hewan kurban, karena
persilangan tersebut membuat keturunannya tidak tercakup dalam definisi
asal hewan induknya sebagaimana keturunan hasil persilangan antara kuda
dengan keledai disebut Bighal, dan tidak disebut kuda atau disebut
keledai.
Syarat yang kedua adalah; hewan kurban harus memenuhi usia minimal
tertentu yang ditetapkan oleh syariat. Yang menjadi ukuran adalah usia,
bukan masalah gemuk/ tidak atau ukuran-ukuran yang lainnya. Jika hewan
kurban tidak memenuhi usia minimal yang ditetapkan oleh syariat, maka
kurban yang dia persembahkan hukumnya tidak sah. Dalil yang menunjukkan
ketidakabsahan berkurban jika hewannya tidak memenuhi syarat usia
minimal adalah hadis berikut ini;
صحيح البخاري (17/ 263)
عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ
صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ
فَقَالَ مَنْ صَلَّى صَلَاتَنَا وَاسْتَقْبَلَ قِبْلَتَنَا فَلَا يَذْبَحْ
حَتَّى يَنْصَرِفَ فَقَامَ أَبُو بُرْدَةَ بْنُ نِيَارٍ فَقَالَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ فَعَلْتُ فَقَالَ هُوَ شَيْءٌ عَجَّلْتَهُ قَالَ فَإِنَّ
عِنْدِي جَذَعَةً هِيَ خَيْرٌ مِنْ مُسِنَّتَيْنِ آذْبَحُهَا قَالَ نَعَمْ
ثُمَّ لَا تَجْزِي عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ
dari Al Bara` dia berkata; “Pada suatu hari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mengerjakan shalat, setelah itu beliau bersabda:
“Barangsiapa mengerjakan shalat seperti shalat kami, dan menghadap
kiblat kami, hendaknya tidak menyembelih binatang kurban sehingga
selesai mengerjakan shalat.” Lalu Abu Burdah bin Niyar berdiri dan
berkata; “Wahai Rasulullah, padahal aku telah melakukannya.” Beliau
bersabda: “Itu adalah ibadah yang kamu kerjakan dengan tergesa-gesa.”
Abu Burdah berkata; “Sesungguhnya aku masih memiki Jadza’ah dan dia
lebih baik daripada dua Musinnah, apakah aku juga harus menyembelihnya
untuk berkurban? Beliau bersabda: “Ya, namun hal itu tidak sah untuk
orang lain setelahmu.” (H.R.Bukhari)
Riwayat lain berbunyi;
صحيح البخاري (17/ 252)
عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
ضَحَّى خَالٌ لِي يُقَالُ لَهُ أَبُو بُرْدَةَ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَقَالَ
لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَاتُكَ شَاةُ
لَحْمٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عِنْدِي دَاجِنًا جَذَعَةً مِنْ
الْمَعَزِقَالَ اذْبَحْهَا وَلَنْ تَصْلُحَ لِغَيْرِكَ ثُمَّ قَالَ مَنْ
ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَإِنَّمَا يَذْبَحُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ ذَبَحَ
بَعْدَ الصَّلَاةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ
dari Al Bara` bin ‘Azib radliallahu ‘anhu dia berkata; Pamanku yaitu Abu
Burdah pernah menyembelih binatang kurban sebelum shalat (ied), maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: “Kambingmu
hanya berupa daging biasa (bukan daging kurban) Lantas pamanku berkata;
“Ya Rasulullah, sesungguhnya aku hanya memiliki seekor Jadza’ah.” Beliau
bersabda: “Berkurbanlah dengan kambing tersebut, namun hal itu tidak
sah untuk selain kamu.” Kemudian beliau melanjutkan sabdanya: “Barang
siapa berkurban sebelum shalat (Iedul Adlha), dia hanya menyembelih
untuk dirinya sendiri, dan barang siapa menyembelih setelah shalat
(Iedul Adlha), maka sempurnalah ibadahnya dan dia telah melaksanakan
sunnah kaum Muslimin dengan tepat.” (H.R.Bukhari)
Dalam hadis di atas dikisahkan bahwa seorang shahabat yang bernama Abu
Burdah bin Niyar telah menyembelih kurbannya sebelum shalat Ied
dilakukan. Karena syarat sah penyembelihan harus dilakukan setelah
shalat Ied, maka hal ini bermakna kurban Abu Burdah bin Niyar tidak sah.
Karena itu ia ingin menyembelih lagi setelah shalat Ied. Namun, hewan
yang ia punyai hanyalah Jadza’ah. Jadza’ah yang dimaksud dalam hadis ini
adalah kambing yang berusia 6 bulan atau lebih tetapi belum genap satu
tahun. Karena itu dia bertanya kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ apakah sah berkurban dengan kambing berusia 6 bulan itu.
Ternyata Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab bahwa
kurbannya sah, tetapi hanya untuk kasus sekali ini saja, khusus bagi Abu
Burdah bin Niyar. Mafhumnya, bagi selain Abu Burdah bin Niyar, termasuk
umat Islam yang hidup di zaman sekarang, tidak sah berkurban jika
kambing usianya baru 6 bulan. Oleh karena itu, hadis ini adalah dalil
bahwa hewan kurban disyaratkan memenuhi usia tertentu agar bisa menjadi
hewan yang sah digunakan untuk berkurban.
Adapun perincian usia minimal hewan kurban, maka penjelasannya adalah sebagai berikut:
Domba (sheep), usia minimalnya adalah 6 (enam) bulan Hijriyyah
Kambing (goat), usia minimalnya adalah 1 (satu) tahun Hijriyyah
Sapi (cow), usia minimalnya adalah 2 (dua) tahun Hijriyyah
Unta (camel), usia minimalnya adalah 5 (lima) tahun Hijriyyah
Dalil yang menunjukkan ketentuan usia ini adalah hadis berikut ini;
صحيح مسلم (10/ 142)
عَنْ جَابِرٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَذْبَحُوا
إِلَّا مُسِنَّةً إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً
مِنْ الضَّأْنِ
dari Jabir dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Janganlah kamu sembelih hewan untuk berkurban, melainkan
Musinnah. Kecuali jika itu sulit kamu peroleh, sembelihlah Jadza’ah
domba.” (H.R. Muslim)
Dalam hadis di atas, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
memerintahkan agar tidak menyembelih hewan kurban kecuali hewan
kurbannya berupa Musinnah. Istilah Musinnah sama dengan istilah
Tsaniyyah, yakni hewan dengan usia tertentu yang mencakup unta, sapi dan
kambing. An-Nawawy berkata;
شرح النووي على مسلم (13/ 117)
قال العلماء المسنة هي الثنية من كل شئ من الابل والبقر والغنم فما فوقها
Para ulama berkata; Musinnah adalah Tsaniyyah dari segala sesuatu yakni
dari unta, sapi dan kambing atau lebih (Syarah An-Nawawi ‘Ala Muslim,
vol 13 hlm 117)
Lebih rinci lagi, Tsaniyyah pada unta adalah semua unta yang usianya
telah genap 5 (lima) tahun, Tsaniyyah pada sapi adalah semua sapi yang
usianya telah genap 2 (dua) tahun, dan Tsaniyyah pada kambing adalah
semua kambing yang usianya telah genap 1 (satu) tahun Hijriyyah. Dalam
Mu’jam Lughoti Al-Fuqoha’ dinyatakan;
معجم لغة الفقهاء (1/ 188)
الثني : كل ما سقطت ثنيته من الحيوان ، ج ثناء وثنيان ، وهي ثنية ج ثنيات .
O من الإبل : ما أتم خمسة أعوام ، ومن البقر ما أتم حولين ، ومن الغنم ما أتم حولا
Five year old camel , two year old cow , one year old sheep
Tsaniyy adalah setiap hewan yang tanggal gigi serinya. Jamaknya Tsina’
dan Tsunyan. Bentuk lainya Tsaniyyah yang dijamakkan menjadi Tsaniyyat.
Tsaniyy dari unta adalah unta yang genap berusia lima tahun, dari sapi
yang genap dua tahun dan dari kambing yang genap satu tahun (Mu’jam
Lughoti Al-Fuqoha’, vol 1/hlm 188)
Jadi, berdasarkan perintah menyembelih Musinnah dalam hadis di atas,
bisa difahami bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
mensyaratkan usia minimal unta adalah 5 tahun, sapi 2 tahun, dan kambing
1 tahun, karena Musinnah bermakna Tsaniyyah, sementara Tsaniyyah secara
bahasa memiliki batasan usia sebagaimana yang telah dijelaskan.
Kemudian Nabi menjelaskan, jika Musinnah tidak ada atau sulit di
dapatkan, maka boleh menyembelih Jadza’ah domba. Rasulullah صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda;
إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنْ الضَّأْنِ
Kecuali jika itu sulit kamu peroleh, sembelihlah Jadza’ah domba.” (H.R. Muslim)
Definisi Jadza’ah pada kambing adalah semua kambing yang usianya telah
genap 6 (enam) bulan. Dalam Mu’jam Lughoti Al-Fuqoha’ dinyatakan;
معجم لغة الفقهاء (1/ 194)
الجذع : بفتح الجيم ثم الذال ، الشاب القوي وهو من الغنم ما كان عمره أكثر
من ستة أشهر، ومن الابل ما أتم السنة الرابعة ودخل في الخامسة ، ومن البقر
ما دخل في الثالثة
Six month ( and more) old sheep , and four year old he – camel
Al-Jadza’ah, dengan memfathahkan Jim dan Dzal adalah pemuda yang kuat.
Jika dari kambing maka maknanya adalah kambing yang usianya lebih dari 6
bulan. Dari unta, yang genap berusia empat tahun dan masuk tahun ke
lima. Dari sapi, yang masuk tahun ketiga (Mu’jam Lughoti Al-Fuqoha’, vol
1, hlm 194)
Jadi secara bahasa, Jadza’ah adalah kriteria usia yang bisa diterapkan
pada kambing, sapi dan unta. Namun Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ mensyaratkan kebolehan menjadikan Jadza’ah sebagai hewan
kurban hanya untuk domba (الضَّأْنِ). Hal ini bermakna, yang sah menjadi
hewan kurban untuk usia 6 bulan hanyalah domba (sheep). Kambing biasa
(goat), tidak sah menjadi hewan kurban jika usianya baru 6 bulan.
Kambing hanya sah menjadi hewan kurban jika dia telah berstatus sebagai
Tsaniyyah, yakni telah genap 1 tahun Hijriyyah.
Ibrohim Al-Harby menjelaskan bahwa domba berusia 6 bulan disamakan
dengan kambing berusia 1 tahun dalam hal keabsahan berkurban karena
domba di usia tersebut sudah bisa menjadi pejantan sebagaimana kambing
yang berusia 1 tahun.
Hanya saja, meskipun Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
membolehkan domba sebagai hewan kurban dalam kondisi Musinnah tidak
ada/sulit, hal ini tidak bermakna; selama Musinnah (unta 5 th, sapi 2th,
atau kambing 1 th) masih ada, berarti domba tidak sah dijadikan hewan
kurban. Tidak demikian, karena ada Nash yang jelas menunjukkan keabsahan
domba sebagai hewan kurban meskipun Musinnah/Tsaniyyah/Tsaniyy ada. Abu
Dawud meriwayatkan;
سنن أبى داود – م (3/ 53)
عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كُنَّا مَعَ رَجُلٍ مِنْ
أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يُقَالُ لَهُ مُجَاشِعٌ مِنْ
بَنِى سُلَيْمٍ فَعَزَّتِ الْغَنَمُ فَأَمَرَ مُنَادِيًا فَنَادَى أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَقُولُ « إِنَّ الْجَذَعَ
يُوَفِّى مِمَّا يُوَفِّى مِنْهُ الثَّنِىُّ ». قَالَ أَبُو دَاوُدَ وَهُوَ
مُجَاشِعُ بْنُ مَسْعُودٍ.
dari ‘Ashim bin Kulaib, dari ayahnya, ia berkata; kami pernah bersama
seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bernama Mujasyi’
dari Bani Sulaim. Lalu kambing menjadi sulit didapat. Kemudian ia
memerintahkan seseorang untuk menyeru bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam berkata: “Sesungguhnya Jazda’ah mencukupi (syarat sah
berkurban) sebagaimana Tsaniyy mencukupi (syarat sah berkurban).” Abu
Daud berkata; ia adalah Mujasyi’ bin Mas’ud. (H.R.Abu Dawud)
Maksud Jadza’ah dalam hadis di atas adalah Jadza’ah dari domba. Maknanya
domba berusia 6 bulan memenuhi syarat keabsahan berkurban sebagaimana
Tsaniyy memenuhi syarat keabsahan berkurban. Keabsahan yang dijelaskan
dalam hadis ini bersifat mutlak tanpa diikat kondisi tertentu, misalnya;
ketiadaan Tsaniyy. Karena itu domba tetap sah menjadi hewan kurban
meskipun Tsaniyy/Musinnah masih ada.
Yang menguatakan adalah adanya riwayat yang dihasankan Syu’aib Arna’uth
yang membolehkan Jadza’ah domba menjadi hewan kurban secara mutlak.
Ahmad meriwayatkan;
مسند أحمد (55/ 22)
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ بَحْرٍ حَدَّثَنَا أَبُو ضَمْرَةَ قَالَ
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي يَحْيَى مَوْلَى الْأَسْلَمِيِّينَ عَنْ
أُمِّهِ قَالَ أَخْبَرَتْنِي أُمُّ بِلَالٍ ابْنَةُ هِلَالٍ عَنْ أَبِيهَا
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَجُوزُ الْجَذَعُ مِنْ الضَّأْنِ أُضْحِيَّةً
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Bahr telah menceritakan kepada
kami Abu Dhamrah berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Abu Yahya bekas budak Al Aslamiyyin, dari Ibunya dia berkata, telah
menceritakan kepadaku Ummu Bilal dari putrinya Hilal dari ayahnya bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Diperbolehkan
berkurban dengan menyembelih Jadza’ah domba.” (H.R.Ahmad)
Uqbah bin ‘Amir juga meriwayatkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ dan para Shahabat berkurban dengan Jadza’ah dari domba.
An-Nasa’i meriwayatkan;
سنن النسائي (13/ 362)
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ
ضَحَّيْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِجَذَعٍ مِنْ الضَّأْنِ
dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata; kami berkurban bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Jadza’ah domba. (H.R.An-Nasai)
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ juga pernah memerintahkan
Uqbah bin ‘Amir berkurban dengan Jadza’ah ketika yang dimiliki ‘Uqbah
hanya hewan tersebut. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (17/ 237)
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ الْجُهَنِيِّ قَالَ
قَسَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَصْحَابِهِ
ضَحَايَا فَصَارَتْ لِعُقْبَةَ جَذَعَةٌ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
صَارَتْ لِي جَذَعَةٌ قَالَ ضَحِّ بِهَا
dari ‘Uqbah bin ‘Amir Al Juhani dia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam pernah membagi-bagikan binatang kurban kepada para sahabatnya,
sementara ‘Uqbah sendiri hanya mendapatkan Jadza’ah, maka kataku
selanjutnya; “Wahai Rasulullah, aku hanya mendapatkan Jadza’ah?” beliau
bersabda: “Berkurbanlah dengannya.” (H.R.Bukhari)
Jadi riwayat-riwayat ini semakin menguatkan keabsahan berkurban dengan
domba meskipun unta, sapi, dan kambing masih ada. Riwayat yang
mengesankan bahwa domba hanya “jalan terakhir” untuk mempersembahkan
hewan kurban, sejauh-jauh yang bisa difahami adalah keutamaan berkurban
hukum asalnya adalah dengan Musinnah/Tsaniyyah/Tsaniyy, dan jika tidak
ada baru domba, bukan syarat sah berkurban hanya dengan Musinnah,
sementara domba hanya dalam kondisi darurat.
Syarat yang ketiga: hewan kurban harus bebas dari aib/cacat. Yang
dimaksud dengan aib di sini adalah aib yang dinyatakan oleh Nash. Ada 4
(empat) aib utama yang dijelaskan dalam Nash yaitu ‘Aroj Bayyin
(kepincangan yang jelas), ‘Awar Bayyin (buta sebelah yang jelas), Marodh
Bayyin (sakit yang jelas), dan Huzal (kekurusan yang membuat sungsum
hilang). Jika hewan kurban terkena salah satu atau lebih dari empat
macam aib ini, maka hewan tersebut tidak sah dijadikan sebagai hewan
kurban. Dalil yang menunjukkan adalah hadis berikut ini;
موطأ مالك – مكنز (3/ 381، بترقيم الشاملة آليا)
عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
سُئِلَ مَاذَا يُتَّقَى مِنَ الضَّحَايَا فَأَشَارَ بِيَدِهِ وَقَالَ «
أَرْبَعًا ». وَكَانَ الْبَرَاءُ يُشِيرُ بِيَدِهِ وَيَقُولُ يَدِى
أَقْصَرُ مِنْ يَدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْعَرْجَاءُ
الْبَيِّنُ ظَلْعُهَاوَالْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ
الْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَالْعَجْفَاءُ الَّتِى لاَ تُنْقِى ».
dari Al-Bara’ bin ‘Azib berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam ditanya, ‘Apa yang harus dijauhi untuk hewan kurban? ‘ Beliau
memberikan isyarat dengan tangannya lantas bersabda: “Ada empat.” Barra’
lalu memberikan isyarat juga dengan tangannya dan berkata; “Tanganku
lebih pendek daripada tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
(empat perkara tersebut adalah) hewan yang jelas-jelas pincang kakinya,
hewan yang jelas buta sebelah, hewan yang sakit dan hewan yang kurus tak
bersumsum.” (H.R.Malik)
Abu Dawud meriwayatkan hadis senada;
سنن أبى داود – م (3/ 54)
عَنْ عُبَيْدِ بْنِ فَيْرُوزَ قَالَ سَأَلْتُ الْبَرَاءَ بْنَ عَازِبٍ مَا
لاَ يَجُوزُ فِى الأَضَاحِى فَقَالَ قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- وَأَصَابِعِى أَقْصَرُ مِنْ أَصَابِعِهِ وَأَنَامِلِى
أَقْصَرُ مِنْ أَنَامِلِهِ فَقَالَ « أَرْبَعٌ لاَ تَجُوزُ فِى الأَضَاحِى
الْعَوْرَاءُ بَيِّنٌ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ بَيِّنٌ مَرَضُهَا
وَالْعَرْجَاءُ بَيِّنٌ ظَلْعُهَا وَالْكَسِيرُ الَّتِى لاَ تَنْقَى ».
قَالَ قُلْتُ فَإِنِّى أَكْرَهُ أَنْ يَكُونَ فِى السِّنِّ نَقْصٌ. قَالَ «
مَا كَرِهْتَ فَدَعْهُ وَلاَ تُحَرِّمْهُ عَلَى أَحَدٍ ». قَالَ أَبُو
دَاوُدَ لَيْسَ لَهَا مُخٌّ.
dari ‘Ubaid bin Fairuz, ia berkata; aku pernah bertanya kepada Al Bara`
bin ‘Azib; sesuatu apakah yang tidak diperbolehkan dalam hewan kurban?
Kemudian ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
berdiri diantara kami, jari-jariku lebih pendek daripada jari-jarinya
dan ruas-ruas jariku lebih pendek dari ruas-ruas jarinya, kemudian
beliau berkata: “Empat perkara yang tidak boleh ada di dalam hewan-hewan
kurban.” Kemudian belau berkata; yaitu; buta sebelah matanya yang jelas
kebutaannya, pincang yang jelas pincangnya, sakit yang jelas sakitnya,
dan pecah kakinya yang tidak memiliki sumsum. ‘Ubaid berkata; aku
katakan kepada Al Bara`; Aku tidak suka pada giginya terdapat aib. Ia
berkata; apa yang tidak engkau sukai maka tinggalkan dan janganlah
engkau mengharamkannya kepada seseorang. Abu Daud berkata; tidak ada
sumsum padanya. (H.R.Abu Dawud)
Sebagian ulama menambahkan aib yang ke lima yaitu ‘Adhob (telinga/tanduk
hilang lebih dari separuh) berdasarkan hadis riwayat Ibnu Majah dari
Ali. Ibnu Majah meriwayatkan;
سنن ابن ماجه (9/ 304)
حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ
حَدَّثَنَا سَعِيدٌ عَنْ قَتَادَةَ أَنَّهُ ذَكَرَ أَنَّهُ سَمِعَ جُرَيَّ
بْنَ كُلَيْبٍ يُحَدِّثُ أَنَّهُ سَمِعَ عَلِيًّا يُحَدِّثُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُضَحَّى بِأَعْضَبِ الْقَرْنِ وَالْأُذُنِ
Telah menceritakan kepada kami Humaid bin Mas’adah telah menceritakan
kepada kami Khalid bin Al Harits telah menceritakan kepada kami Sa’id
dari Qatadah dia menyebutkan bahwa dirinya pernah mendengar Jurayy bin
Kulaib menceritakan bahwa dia mendengar Ali menceritakan, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang berkurban dengan hewan
yang tanduk dan telinganya hilang lebih dari separuh (cacat).” (H.R.Ibnu
Majah)
Riwayat-riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ memerintahkan memeriksa mata dan telinga dipandang menguatkan
hadis ibnu Majah tersebut. Diantaranya adalah hadis riwayat An-Nasai;
سنن النسائي – بأحكام الألباني (7/ 217)
أخبرنا محمد بن عبد الأعلى قال حدثنا خالد قال حدثنا شعبة أن سلمة وهو بن
كهيل أخبره قال سمعت حجية بن عدي يقول سمعت عليا يقول : أمرنا رسول الله
صلى الله عليه و سلم أن نستشرف العين والأذن
Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abdul A’la, ia berkata; telah
menceritakan kepada kami Khalid telah menceritakan kepada kami Syu’bah
bahwa Salamah yaitu Ibnu Kuhail telah mengabarkan kepadanya, ia berkata;
saya mendengar Hujayyah bin ‘Adi berkata; saya mendengar Ali berkata;
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami agar meneliti
mata dan telinga. (H.R.An-Nasai)
Lafadz Ahmad berbunyi;
مسند أحمد بن حنبل (1/ 95)
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا وكيع ثنا سفيان عن سلمة عن حجية عن على رضي
الله عنه قال : أمرنا رسول الله صلى الله عليه و سلم أن نستشرف العين
والأذن
Telah menceritakan kepada kami Waki’ Telah menceritakan kepada kami
Sufyan dari Salamah dari Hujaiyyah dari Ali, dia berkata; “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada kami agar mengecek
bagian mata (hewan) dan telinganya.” (H.R.Ahmad)
Riwayat lain dari Ahmad;
مسند أحمد بن حنبل (1/ 128)
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا وكيع عن إسرائيل وعلى بن صالح عن أبي إسحاق
عن شريح بن النعمان عن علي رضي الله عنه قال : أمرنا رسول الله صلى الله
عليه و سلم ان نستشرف العين والأذن ولا نضحي بشرقاء ولا خرقاء ولا مقابلة
ولا مدابرة
Telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Israil dan Ali bin Shalih dari
Abu Ishaq dari Syuraih bin An Nu’man dari Ali Radhiallah ‘anhu berkata;
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh kami untuk mengecek
mata dan telinga, dan agar kami tidak menyembelih asy syarqa`, al
kharqa`, al muqabalah dan al mudabarah.” (H.R.Ahmad)
Aib-aib yang semakna dengan hal-hal yang telah disebutkan diatas atau
yang lebih parah seperti buta total, lumpuh, bagian tubuh terpotong dan
sebagainya juga membuat hewan tidak sah digunakan untuk berkurban.
Adapun jika hewannya dikebiri, maka hal ini bukan aib yang membuatnya
tidak sah dikurbankan. Jadi, boleh menjadikan hewan yang dikebiri
sebagai hewan kurban. Dalil yang menunjukkan adalah Rasulullah صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah berkurban dengan hewan yang dikebiri
sebagaiman dinyatakan dalam riwayat Ibnu Majah;
سنن ابن ماجه (9/ 274)
عَنْ عَائِشَةَ وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا
أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ اشْتَرَى كَبْشَيْنِ عَظِيمَيْنِ سَمِينَيْنِ
أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ مَوْجُوءَيْنِ فَذَبَحَ أَحَدَهُمَا عَنْ
أُمَّتِهِ لِمَنْ شَهِدَ لِلَّهِ بِالتَّوْحِيدِ وَشَهِدَ لَهُ
بِالْبَلَاغِ وَذَبَحَ الْآخَرَ عَنْ مُحَمَّدٍ وَعَنْ آلِ مُحَمَّدٍ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
dari Aisyah dan dari Abu Hurairah, bahwa apabila Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam hendak melaksanakan kurban, maka beliau membeli dua
ekor domba yang besar, gemuk, bertanduk, berwarna putih (yang bercampur
sedikit hitam) yang diremukkan pelirnya. Kemudian beliau menyembelih
salah satunya untuk umatnya yang telah bersaksi akan keesaan Allah dan
bersaksi atas risalah beliau, lalu menyembelih yang satunya untuk
Muhammad dan keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (H.R. Ibnu
Majah)
Lafadz Mauju’ dalam hadis di atas bermakna hewannya diremukkan buah
pelirnya. Karena itu hewan yang dikebiri semakna dengan Mauju’ dalam
hadis ini.
Hewan yang tidak bertanduk secara genetik, tidak berekor secara genetik,
dan bertelinga kecil juga sah dijadikan hewan kurban, karena hal itu
tidak termasuk aib yang dinyatakan oleh Nash. Demikian pula yang
dilubangi telinganya, terbelah telinganya, atau telinga hilang tapi
tidak sampai separuh. Semuanya saha menjadi hewan kurban karena tidak
termasuk aib yang dijelaskan oleh Nash.
Hewan yang beraib bukan karena perbuatan manusia setelah ditetapkan
sebagai hewan kurban sah dijadikan sebagai hewan kurban. Namun jika
aibnya karena perbuatan manusia, maka tidak sah dan harus diganti dengan
yang baru.
Adapun syarat jantan, maka tidak ada Nash yang menunjukkan bahwa hewan
kurban harus berkelamin jantan. Ayat dalam Al-Quran malah menunjukkan
bahwa hewan kurban bisa berjenis kelamin betina sebagaimana jantan.
Allah berfirman;
{ثَمَانِيَةَ أَزْوَاجٍ مِنَ الضَّأْنِ اثْنَيْنِ وَمِنَ الْمَعْزِ اثْنَيْنِ} [الأنعام: 143]
(yaitu) delapan binatang yang berpasangan, sepasang domba, sepasang dari kambing. (Al-An’am; 143)
{وَمِنَ الْإِبِلِ اثْنَيْنِ وَمِنَ الْبَقَرِ اثْنَيْنِ} [الأنعام: 144]
dan sepasang dari unta dan sepasang dari sapi. (Al-An’am; 143)
Yang dimaksud sepasang dalam ayat di atas adalah jenis jantan dan jenis
betina. Penyebutan empat macam hewan kurban dalam ayat di atas yang
mencakup jenis jantan dan betina menunjukkan betina sah menjadi hewan
kurban sebagaiman jantan juga sah menjadi hewan kurban. Al Mawardi
berkata;
الحاوى الكبير ـ الماوردى – دار الفكر (15/ 170)
وَالنَّعَمُ هِيَ الْإِبِلُ وَالْبَقَرُ وَالْغَنَمُ ، قَالَ الشَّافِعِيُّ
: هُمُ الْأَزْوَاجُ الثَّمَانِيَةُ الَّتِي قَالَ اللَّهُ تَعَالَى :
ثَمَانِيَةَ أَزْوَاجٍ مِنَ الضَّأْنِ اثْنَيْنِ وَمِنَ الْمَعْزِ
اثْنَيْنِ [ الْأَنْعَامِ : 43 ] . يَعْنِي ذَكَرًا وَأُنْثَى فَاخْتَصَّ
هَذِهِ الْأَزْوَاجَ الثَّمَانِيَةَ مِنَ النَّعَمِ بِثَلَاثَةِ أَحْكَامٍ :
أَحَدُهَا : وُجُوبُ الزَّكَاةِ فِيهَا . وَالثَّانِي : اخْتِصَاصُ
الْأَضَاحِيِّ بِهَا . وَالثَّالِثُ : إِبَاحَتُهَا فِي الْحَرَمِ
وَالْإِحْرَامِ
An-Na’am adalah unta, sapi, dan kambing. As-syafi’I berkata: Na’am
adalah delapan macam yang dinyatakan oleh firman Allah; (yaitu) delapan
binatang yang berpasangan, sepasang domba, sepasang dari kambing.
(Al-An’am; 143) dan dan sepasang dari unta dan sepasang dari lembu.
(Al-An’am; 143). Yakni jenis jantan dan betina. Maka syariat
mengkhususkan delapan macam dari An-Na’am ini dengan tiga hukum,
pertama: wajib dizakati, kedua: berkurban hanya dengannya, dan ketiga:
boleh disembelih dalam tanah suci dan saat Ihram. (Al-Hawi Al-Kabir, vol
15, hlm 170)
Mengutamakan jantan daripada betina berdasarkan riwayat bahwa Rasulullah
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berkurban dengan Kabsy (domba jantan)
juga masih kurang kuat penunjukan maknanya karena masih mungkin bahwa
hal itu terjadi karena kebetulan. Sebagaimana As-Shon’ani juga
melemahkan dalam kitabnya Subulus Salam keutamaan berwarna putih
berdasarkan lafadz Amlah (warna putih dominan) karena hal itu masih
mungkin hanya sebagai kebetulan.
Terkait dengan urutan afdholiyyah (gradasi yang paling utama) hewan
kurban, maka yang paling utama adalah unta, kemudian disusul sapi, lalu
kambing, dan terakhir domba. Dalil yang menunjukkan adalah hadis berikut
ini;
صحيح البخاري (3/ 396)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ
اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ
الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ
الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ
حَضَرَتْ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ
dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Barangsiapa mandi pada hari Jum’at sebagaimana mandi janabah,
lalu berangkat menuju Masjid, maka dia seolah berkurban seekor unta.
Dan barangiapa datang pada waktu (saat) kedua maka dia seolah berkurban
seekor sapi. Dan barangiapa datang pada waktu (saat) ketiga maka dia
seolah berkurban seekor kambing yang bertanduk. Dan barangiapa datang
pada waktu (saat) keempat maka dia seolah berkurban seekor ayam. Dan
barangiapa datang pada waktu (saat) kelima maka dia seolah berkurban
sebutir telur. Dan apabila imam sudah keluar (untuk memberi khuthbah),
maka para Malaikat hadir mendengarkan dzikir (khuthbah tersebut).”
(H.R.Bukhari)
Nabi menjelaskan keutamaan mendatangi shalat jumat pada waktu sedini
mungkin dengan mengumpamakan pahala berkurban. Pahala terbesar adalah
yang mendatang paling dini yang diumpamakan berkurban dengan unta,
kemudian disusul waktu berikutnya yang diumpamakan berkurban dengan sapi
dst. Karena itu hadis ini menunjukkan bahwa berkurban dengan unta
pahalanya lebih besar daripada sapi, kambing, dst karena pahala
berkurban untuk lebih besar daripada pahala berkurban sapi, kambing dst.
Kambing lebih utama dari pada domba didasarkan pada hadis yang
didalamnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan
menyembelih Musinnah, dan baru mencari Jadza’ah domba jika tidak
mendapati/sulit mendapati Musinnah.
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa domba lebih utama daripada hewan
kurban yang lain karena Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
berkurban dengan domba, maka hal ini belum menunjukkan keutamaan domba.
Karena hal yang tidak dilakukan Nabi bukan berarti tidak lebih utama
daripada yang dilakukan dengan bukti Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ menjelaskan puasa yang paling utama adalah puasa Dawud, namun
beliau tidak melakukannya. Apalagi masih mungkin difahami bahwa
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berkurban dengan domba karena
harta yang ada pada beliau waktu itu hanya cukup untuk membeli domba,
bukan sapi atau unta.
Adapun riwayat yang menyatakan bahwa domba adalah sebaik-baik hewan kurban yaitu riwayat yang berbunyi;
سنن أبى داود – م (3/ 171)
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنِى ابْنُ وَهْبٍ حَدَّثَنِى
هِشَامُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ حَاتِمِ بْنِ أَبِى نَصْرٍ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ
نُسَىٍّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- قَالَ « خَيْرُ الْكَفَنِ الْحُلَّةُ وَخَيْرُ
الأُضْحِيَةِ الْكَبْشُ الأَقْرَنُ».
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih, telah menceritakan
kepadaku Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Hisyam bin Sa’dan dari
Hatim bin Abu Nashr dari ‘Ubadah bin Nusai dari ayahnya dari ‘Ubadah bin
Ash Shamit dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau
bersabda: “Sebaik-baik kafan adalah hullah (pakaian yang terdiri dari
jubah, sarung dan serempang), dan sebaik-baik kurban adalah domba yang
bertanduk.” (H.R. Abu Dawud)
Riwayat ini tidak bisa menjadi Hujjah karena termasuk riwayat Dhoif. Di
dalamnya ada perawi yang bernama Hatim bin Abi Nashr yang Majhul dan
ayah ‘Ubadah bin Nusayy yang juga Majhul.
Diutamakan hewan kurban adalah yang gemuk, bertanduk dan yang paling sempurna. Allah berfirman;
{ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ} [الحج: 32]
Demikianlah (perintah Allah). dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar
Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. (Al-Hajj; 32)
Ibnu Abbas menafsirkan sebagaimana dikutip As-Syaukani bahwa yang
dimaksud mengagungkan syiar Allah adalah mempergemuk hewan kurban,
membuatnya jadi bagus dan membuatnya jadi besar.
فتح القدير الجامع بين فني الرواية والدراية من علم التفسير (3/ 647)
وأخرج ابن أبي شيبة وابن جرير وابن المنذر وابن أبي حاتم عن ابن عباس { ومن يعظم شعائر الله } قال : الاستسمان والاستحسان والاستعظام
Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Jarir, Ibnu Al-Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim
meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas; Barangsiapa mengagungkan Syi’ar-Syi’ar
Allah beliau menafsirkan; yakni menggemukkan, membaguskan, dan
membesarkan (Fathu Al Qodir, vol 3, hlm 647)
Sebagian ulama berpendapat bahwa hewan berwarna putih lebih afdhol
daripada yang berwarna hitam didasarkan hadis Ahmad yang dihasankan
Albani dan dipakai Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni. Ahmad meriwayatkan;
مسند أحمد (19/ 78)
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ
مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِي ثِفَالٍ الْمُرِّيِّ عَنْ رَبَاحِ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَمُ عَفْرَاءَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ دَمِ سَوْدَاوَيْنِ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id berkata; telah
menceritakan kepada kami Abdul ‘Aziz bin Muhammad dari Abu Tsifal Al
Murri dari Rabbah bin Abdurrahman dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Darah hewan kurban berwarna
putih lebih aku sukai dari darah dua hewan kurban yang berwarna
hitam.” (H.R.Ahmad)
Dengan demikian, syarat-syarat hewan kurban adalah tiga; berupa
Bahimatul An’am, memenuhi usia minimal yang ditetapkan Syariat, dan
bebas dari aib/cacat. Tentu saja syarat ini harus terpenuhi setelah
kepemilikan sempurna atas hewan kurban tersebut dengan akad yang syar’i,
bukan kepemilikan yang tidak sah seperti hasil mencuri, Ghashab,
menipu, atau masih terkait dengan hak orang seperti hewan yang masih
tergadai. Yang paling utama dikurbankan adalah unta, disusul sapi, lalu
kambing, dan terakhir domba. Disunnahkan hewan kurban yang gemuk,
bertanduk, dan dalam kondisi paling baik. Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar