Pengertian Liwath
Liwath (gay) adalah perbuatan yang dilakukan oleh laki-laki dengan cara
memasukan dzakar (penis)nya kedalam dubur laki-laki lain. Allah
–Ta’ala– berkata dalam surat Al-A’raf ayat 81:
إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ.
“Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melampiaskan nafsumu (kepada
mereka), bukan kepada wanita, bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui
batas”.
Liwath adalah suatu kata (penamaan) yang dinisbatkan kepada kaumnya Luth
–‘Alaihis salam-, karena kaum Nabi Luth –‘Alaihis salam– adalah kaum
yang pertama kali melakukan perbuatan ini, Allah –Ta’ala- menamakan
perbuatan ini dengan fahisy(keji/jijik), sebagaimana perkataan Allah
–Ta’ala– dalam surat Al-A’raf ayat 80:
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ.
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah)
tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan
faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia
ini) sebelummu?”. Liwath merupakan dosa yang paling besar dan lebih keji
dari pada zina.
Penjelasan dari KH Said Agil Syiroj Ketua Umum PBNU
Tuhan menciptakan manusia tidak hanya berjenis kelamin laki-laki dan
perempuan. Tetapi ternyata ada juga “jenis kelamin ketiga”. Jenis ini
terkait dengan kondisi fisik, psikis dan orientasi seksual. Kita
mengenal ada kelompok lesbian, gay, biseksual dan transsexual (LGBT)
Perdebatan soal homoseksual (LGBT) sebenarnya sudah lama terjadi. Pada
mulanya muncul pertanyaan, apakah hubungan seks sejenis itu merupakan
penyakit, atau sebuah perilaku seks yang menyimpang? Lalu, bagaimana
pandangan Islam yang ideal terhadap masalah ini? Homoseks Dalam Sejarah
Muslim Homoseks telah mengukir sejarah tersendiri dalam perjalanan umat
manusia. Sejarah telah meriwayatkan, bahwa seks sesama jenis telah ada
dan menjadi salah satu bagian dari pola seks manusia. Berbagai kitab
suci seperti al-Quran, Injil, dan Taurat telah memperbincangkan serta
menuliskannya.
Meskipun perilaku seksual sejenis itu dikutuk, namun pada kenyataannya,
masyarakat Muslim sendiri telah mempraktekkan tradisi tersebut. Sudah
barang tentu, dengan latar belakang dan pelaku yang berbeda, seperti
yang dilakukan di lingkungan istana dan juga di kalangan masyarakat
kebanyakan. Homoseksual dan kecenderungan seks pada anak laki-laki kecil
(pedofilia), serta minum arak di tempat-tempat pertunjukan musik,
bukanlah kenyataan yang ganjil dalam sejarah perilaku umat Islam.
Pemerintahan Islam, dari Bani Umayyah, Abbasiah, Fathimiyah hingga
Utsmaniah, diramaikan oleh kemeriahan suasana seksualitas. Tak hanya
terpancang pada kenyataan kuatnya tradisi harem atau pergundikan, tapi
juga warna-warni seksualitas yang dianggap menyimpang. Kehidupan yang
heboh tersebut telah menjadi bagian dari perjalanan yang merentang dalam
penggapaian ideal pemerintahan Islam. Ini adalah berbagai contoh
mengenai apa yang terjadi dalam kelas-kelas masyarakat Muslim yang
kesemuanya itu dipandang jauh dari syariat Islam.
Kenyataan ini–seperti diungkap kembali oleh Khalil Abdul Karim dan
al-Shabah wa al-Shahabah–telah dibedah oleh para sejarahwan Muslim
seperti Ibnu Jabir, Ibnu Khaldun, Abu Umar al-Kindi, Ibnu Ilyas dan
Nashir Khasru.
Hasil penelitian BF Musallam menunjukkan, bahwa di lingkup bangsa Arab
abad Pertengahan, telah beredar cerita-cerita tentang munculnya gejala
homoseksual dan lesbian sebagai akibat takut hamil. Arkian, seperti
ditulis oleh al-Kathib dalam kitab Jawami’ dikisahkan, ada seorang
pelacur terkenal yang menanyai salah seorang wanita lesbian, ”Apa
sebabnya anda memilih lesbian?” Jawab wanita itu, “Lebih baik begini
dari pada hamil yang mendatangkan skandal.”
Dalam puisi Arab klasik juga terlantun kidung-kidung puitis yang
mengungkap tentang pilihan jadi lesbian karena takut hamil. Ibnu Qayyim
juga mencatat dalam kitabnya Ighatsat, ada beberapa pria homoseksual
mempertahankan diri mereka dengan dalih, “Ini lebih aman daripada
kehamilan, kelahiran, beban perkawinan dan sebagainya.”
Seperti juga dalam kitab al-Wasa’il Fi Musamarah al-Awa’il karya
Jalaluddin al-Suyuthi, homoseksual ternyata telah mewarnai kehidupan
masyarakat pada awal-awal kehadiran Islam. Beberapa penyebab yang
disebutkan diantaranya adalah, terjadinya banyak peperangan; lamanya
waktu suami meninggalkan keluarga; sibuknya kaum Muslimin mempersiapkan
kemenangan; adanya pencercaan terhadap keluarga kaum musyrik yang
ditaklukkan yang kemudian banyak dijadikan pelayan; timbulnya perasaan
keterasingan, serta pergaulan yang lebih banyak dengan laki-laki.
Faktor-faktor inilah yang kemudian melahirkan laki-laki yang bersifat
kewanita-wanitaan. Dalam lingkungan seperti ini, hubungan homoseksual
lambat laun terjadi. Disebutkan juga, bahwa perempuan yang pertama kali
berani menampakkan praktik lesbian pada masa itu adalah istrinya Nu’man
ibn Mundzir.
Keberadaan kaum homoseks senantiasa dihubungkan dengan contoh historis
kisah perilaku umat Luth. Dikemukakan bahwa Tuhan sangat murka terhadap
kaum Nabi Luth yang berperilaku homoseksual. Kemurkaan Tuhan itu
diwujudkan dengan menurunkan hujan batu dari langit dan membalikkan
bumi. Akhirnya kaum Luth hancur lebur, termasuk istrinya, kecuali
pengikut yang beriman pada Luth.
Kisah ini dipaparkan dalam al-Quran surah al-’Araf ayat 80-84,
al-Syu’ara ayat 160, al-‘Ankabut ayat 29 dan al-Qamar ayat 38. Praktik
homoseksual umat Nabi Luth ini, seperti juga dinyatakan oleh Ali
al-Shabuni dalam kitabnya Qabas Min Nur al-Quran, dianggap perilaku umat
yang paling rusak sepanjang sejarah umat para nabi.
Praktik homoseksual, dise-butkan oleh kalangan ahli tafsir diantaranya
al-Thabathaba’i dalam kitab al-Mizan, untuk pertama kalinya dilakukan
oleh kaum Nabi Luth. Dalam Hadits juga dikatakan, “Yang mengawali
perbuatan homoseksual adalah kaum Nabi Luth”. Dalam al-Quran, kaum Luth
dilukiskan sebagai penyembah berhala, penyamun, dan menjalankan praktik
homo-seksual, sehingga menjadi adat kebiasaan masyarakat. Dari kisah
kaum Luth inilah kemudian ditegaskan hukum keharaman perilaku
homoseksual yang terus berurat berakar di benak masyarakat Muslim.
Ulama tafsir, Fakhruddin al-Razi berkesimpulan bahwa homoseksual adalah
perbuatan keji berdasar pada keputusan alami tanpa memerlukan
alasan-alasan yang lebih konkrit. Al-Razi hanya menunjukkan bahwa
larangan homoseksual, meskipun bisa mencapai kenikmatan, tetapi
menghalangi tujuan mempertahankan keturunan. Padahal, Allah menciptakan
kenikmatan senggama untuk meneruskan keturunan.
Homoseks dalam Fikih
Dalam fikih, praktik homoseksual dan lesbian mudah dicari rujukannya.
Seks sesama jenis ini sering disebut al-faahisyah (dosa besar) yang
sangat menjijikkan dan bertentangan dengan kodrat dan tabiat manusia.
Kalau ditelusuri secara gramatikal, tidak ada perbedaan penggunaan kata
antara homoseksual dan lesbian. Dalam bahasa arab kedua-duanya dinamakan
al-liwath. Pelakunya dinamakan al-luthiy. Namun Imam Al-Mawardi dalam
kitabnya al-Hawi al-Kabir menyebut homoseksual dengan liwath, dan
lesbian dengan sihaq atau musaahaqah.
Imam Al-Mawardi berkata, “Penetapan hukum haramnya praktik homoseksual
menjadi ijma’, dan itu diperkuat oleh nash-nash Al-Quran dan Al-Hadits”.
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam al-Mughni juga menyebutkan, bahwa
penetapan hukum haramnya praktik homoseksual adalah ijma’ (kesepakatan)
ulama, berdasarkan nash-nash Al-Quran dan Hadits. Fikih, di samping
membahas perilaku seks sejenis ini dalam kaitan dengan hukuman (bab
al-hadd), juga melibatkannya dalam bahasan soal tata cara shalat jamaah,
masalah peradilan dan pemerintahan.
Pada pokoknya, fikih memang menegaskan bahwa manusia hanya memiliki dua
jenis kelamin, yaitu laki-laki dengan penis (dzakar) dan perempuan
dengan vagina (farji). Fikih juga mengenal istilah khuntsa, yang kalau
diartikan menurut kosa kata bahasa Arab adalah seorang waria atau banci.
Pada dasarnya, istilah khuntsa ini menempel pada seorang yang secara
fisik-biologis laki-laki, tetapi mempunyai naluri perempuan.
Dalam kamus al-Munjid dan Lisan al-Arab, kata-kata khuntsa diartikan
sebagai seseorang yang memiliki anggota kelamin laki-laki dan perempuan
sekaligus. Bahasa medis mengenalnya dengan istilah hermaprodite atau
orang yang berkelamin ganda. Jenis kelompok ini, yang populer juga
dengan sebutan waria, dimasukkan dalam kelompok transeksual, yaitu
seseorang yang memiliki fisik berbeda dengan keadaan jiwanya. Istilah
ini dikenakan pada seseorang yang secara fisik laki-laki, tapi berdandan
dan berperilaku perempuan.
Begitupun sebaliknya, pada kenyataannya ada sesorang yang secara fisik
perempuan, tapi berpenampilan laki-laki. Dalam hal ini, ulama fikih
memilahnya menjadi dua jenis. Pertama, yang disebut khuntsa musykil,
yaitu seseorang yang memiliki penis dan vagina secara sekaligus pada
bagian luar (hermaprodite). Jenis homoseksual yang seperti ini memang
sangat langka. Kedua, yang disebut khuntsa ghairu musykil, yaitu
seseorang yang sudah jelas dihukumi sebagai laki-laki atau perempuan.
Untuk menentukan kedua jenis ini, maka yang menjadi penentu secara fisik
adalah bentuk kelamin dalamnya. Jika di dalam tubuhnya terdapat rahim,
maka ia dihukumi sebagai perempuan.
Sebaliknya, jika pada kelamin dalam tidak ada rahim, maka ia dihukumi
sebagai laki-laki. Tipe seseorang yang berpenis dan tidak punya rahim
inilah yang bisa disebut dengan gay. Istilah gay biasanya merujuk pada
homoseksual laki-laki. Gay memang secara fisik berpenampilan laki-laki.
Dalam penelusuran terhadap kitab-kitab klasik, tipe homoseks telah
menjadi kajian khusus. Misalnya, kita baca dalam kitab fikih klasik
al-Iqna’, karya Syarbini Khathib, menjelaskan bahwa seseorang yang
bertipe khuntsa musykil tidak sah bermakmum shalat, baik kepada wanita
maupun laki-laki. Berbeda dengan khuntsa yang sudah jelas
keperempuanannya, maka boleh bermakmum dan mengimami shalat perempuan
normal. Demikian pula, khuntsa yang sudah jelas kelaki-lakiannya boleh
bermakmum dan mengimami shalat laki-laki normal.
Di dalam fikih, biasa diajukan sebuah kasus, misalnya bagaimana hukum
seorang laki-laki normal yang bermakmum pada seseorang khuntsa yang
dikira laki-laki tulen. Setelah selesai, baru diketahui ternyata imamnya
itu khuntsa yang lebih cenderung ke kewanitaan. Menurut Zakariya
al-Anshari dan pendapat yang lebih kuat lainnya menyatakan, bahwa hukum
shalat bermakmum itu sah saja, serta tidak perlu diulangi shalatnya.
Dalam kitab Nihayat al-Zain, karya Imam Nawawi, tidak ada pemilahan soal
khuntsa ini. Lagi-lagi, pembahasannya dikaitkan dengan shalat jamaah.
Shalat jamaah, menurut pendapat sebagian besar ulama, hukumnya adalah
fardhu kifayah.
Ada juga pendapat Mawardi dan Rafi’i yang menetapkan hukumnya sunnah
mu’akkad. Tetapi hukum ini berlaku hanya bagi laki-laki. Sedang khuntsa
dan wanita tidak ada pembebanan hukum. Bagi khuntsa lebih utama shalat
berjamaah di rumah daripada di masjid. Kedudukan khuntsa dalam konteks
ini disamakan dengan hukum yang diberlakukan bagi wanita. Khuntsa juga
didudukkan sama dengan anak laki-laki tampan yang tidak dianjurkan untuk
salat jamaah di masjid.
Mengajak anak-anak ke masjid sangat dianjurkan, kecuali anak laki-laki
yang tampan, supaya tidak menimbulkan fitnah. Yang membikin ulama fikih
saling berseberangan lagi adalah menyangkut sosok gay yang nota bene
bernaluri atau berkecenderungan perempuan. Kalau dikembalikan pada
pengertian dasar homoseksual, sebenarnya adalah seseorang yang bangkit
berahinya dengan melihat, mengkhayal, dan melakukan aktivitas seksualnya
dengan sesama jenis. Secara psikologis, homoseksual ini berkait dengan
orientasi dan aktivitas seksual. Orientasi seksual mengacu pada obyek
dari rangsangan seksual seseorang. Sedangkan, ak-tivitas seksual adalah
senggama itu sendiri dengan berbagai variasinya.
Para ulama fikih terbelah menjadi dua pendapat yang berbeda. Sebagian
bersiteguh bahwa naluri gay itu sesungguhnya adalah hasil bentukan
lingkungan. Solusinya hanya melalui terapi psikologis agar naluri yang
bersangkutan bisa berubah. Sebagian lagi berpendapat, jika memang sudah
semenjak kecil dan sudah ‘given’ naluri gay itu, maka tidak ada
persoalan serius. Karena itu, hukumnya halal bila yang bersangkutan
misalnya, ingin melakukan ganti kelamin. Cara ini bertujuan untuk
menghilangkan kesamaran identitas gendernya atau kejelasan anatomi
seksnya. Sejatinya, telaah fikih mengenai homoseksualitas berpang-kal
pada hakikat orientasi seksual itu sendiri.
Apabila orientasi seksual disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat
biologis, seperti ketidakseimbangan susunan hormonal atau perbedaan
kromosom lainnya, maka bila seseorang menjadi gay, lesbian atau lainnya,
sifatnya sangat kodrati. Dalam hal ini, tidak ada keputusan apa-apa,
kecuali melihatnya dalam perspektif kekuasaan Tuhan. Kecuali, ada temuan
baru yang mampu memengaruhi susunan hormonal seseorang sehingga
orientasi seksualnya berubah. Demikian juga apabila orien-tasi seksual
disebabkan oleh faktor non-biologis, misalnya sosial, budaya, politik
ataupun lainnya, maka ini sama dengan jender. Perubahan orientasi
seksual dalam kasus ini bisa diambil kebijakan, mengingat bukan karena
hal-hal yang adikodrati.
Dalam kitab-kitab fikih, tindakan hukum terhadap homoseks atau
penyimpangan seks lainnya tidak dibahas secara khusus. Kasus-kasus yang
berhubungan de-ngan sanksi hukum terhadap kaum homoseks, baik yang
dilakukan dengan paksa maupun suka sama suka, berada dalam pembahasan
umum kasus-kasus pelanggaran susila. Meskipun secara umum disepakati
bahwa tindakan homoseks dilarang, bentuk sanksi hukumnya tetap
kontroversial.
Para ahli fikih umumnya menyamakan perbuatan homoseksual dengan
perbuatan zina. Karena itu, segala implikasi hukum yang berlaku pada
zina juga berlaku pada kasus homoseksual. Bahkan pembuktian hukum pun
mengacu pada kasus-kasus yang terjadi pada zina. Tiga madzhab besar
fikih, yaitu Syafi’i, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa saksi buat
kasus homoseks sama dengan saksi pada kasus zina, yaitu empat orang
laki-laki yang adil dan dipercaya. Ini kalau ada pengakuan dari pelaku
atau korban. Namun pendapat ini tak disepakati oleh madzhab Hanafi yang
membedakan kasus homoseksual dengan kasus zina.
Dalam kasus homoseks, menurut madzhab yang banyak dianut di dunia Arab
ini, kesaksian bagi tindakan homoseksual tak laik disamakan dengan zina.
Soalnya, kemudaratan (bahaya) yang terjadi akibat homoseks lebih kecil
ketimbang perbuatan zina. Oleh karena itu, menurut madzhab Hanafi,
“Kesaksiannya pun harus lebih sedikit, yaitu hanya satu orang saksi yang
adil dan dipercaya”.
Madzhab Hanafi pun tidak memasukkan perbuatan homoseksual sebagai zina.
Sebabnya, menurut madzhab Hanafi, perbuatan homoseksual tidak memerlukan
akad resmi seperti dalam pernikahan lazim. Jadi hukumnya tidak pasti,
dan perbuatannya juga tidak membatalkan haji dan puasa. Selain itu,
argumen yang dikemukakan adalah, bahwa kerugian yang diakibatkan oleh
hukuman (jarimah) homoseksual lebih “ringan” daripada kerugian yang
diakibatkan hukuman terhadap zina. Perbuatan homoseksual tidak
menimbulkan keturunan, tidak demikian dengan perbuatan zina.
Hubungan kelamin sejenis tidak menimbulkan masuknya sperma seperti pada
kasus zina. Oleh karena itu, paling-paling dihukum ta’zir, semisal
dipenjara. Bagaimana pula dengan Hadits, “Jika kalian menemukan orang
yang melakukan hubungan seksual sejenis seperti kaum Nabi Luth, bunuhlah
keduanya” (Hadits riwayat Abu Dawud, Turmudzi dan Ibnu Majah). Hadits
ini, seperti dijelaskan oleh al-Zaila’i, masih banyak menyimpan
perdebatan. Abu Hanifah sendiri menolak menggunakan Hadist ini.
Para ahli fikih juga tak sepakat terhadap sanksi hukum yang patut
dijatuhkan kepada pelaku tindak homoseksual. Sekurang-kurangnya, ada
tiga jenis sanksi hukum yang ditawarkan dalam kitab-kitab fikih.
Pertama, pelaku tindakan homoseksual seharusnya dibunuh.
Kedua, dikenakan hukuman pidana (had) sebagaimana had zina, yaitu jika
pelakunya belum kawin, maka ia harus dicambuk. Tetapi, jika pelakunya
orang yang pernah atau sudah kawin, maka ia dikenakan hukuman rajam
sampai mati.
Ketiga, dipenjara (ta’zir) dalam waktu yang telah ditentukan oleh hakim.
Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki sudah mengingatkan supaya
berhati-hati dan tidak main hakim sendiri dalam memperlakukan kaum
homoseksual. Kata imam Malik: ”Jika ada seseorang berkata kepada seorang
laki-laki; “wahai pelaku perbuatan nabi Luth”, maka justru dialah yang
layak dihukum cambuk”
Begitulah Penjelasan Dari KH Said Agil Syiroj
KISAH KAUM LUTH DALAM AL-QUR’AN
Allah –Ta’ala– berkata dalam surat Huud ayat 77 sampai 83:
وَلَمَّا جَاءَتْ رُسُلُنَا لُوطًا سِيءَ بِهِمْ وَضَاقَ بِهِمْ ذَرْعًا
وَقَالَ هَذَا يَوْمٌ عَصِيبٌ (77) وَجَاءَهُ قَوْمُهُ يُهْرَعُونَ
إِلَيْهِ وَمِنْ قَبْلُ كَانُوا يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ قَالَ يَا
قَوْمِ هَؤُلَاءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَلَا
تُخْزُونِ فِي ضَيْفِي أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيدٌ (78) قَالُوا
لَقَدْ عَلِمْتَ مَا لَنَا فِي بَنَاتِكَ مِنْ حَقٍّ وَإِنَّكَ لَتَعْلَمُ
مَا نُرِيدُ (79) قَالَ لَوْ أَنَّ لِي بِكُمْ قُوَّةً أَوْ آَوِي إِلَى
رُكْنٍ شَدِيدٍ (80) قَالُوا يَا لُوطُ إِنَّا رُسُلُ رَبِّكَ لَنْ
يَصِلُوا إِلَيْكَ فَأَسْرِ بِأَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِنَ اللَّيْلِ وَلَا
يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ أَحَدٌ إِلَّا امْرَأَتَكَ إِنَّهُ مُصِيبُهَا مَا
أَصَابَهُمْ إِنَّ مَوْعِدَهُمُ الصُّبْحُ أَلَيْسَ الصُّبْحُ بِقَرِيبٍ
(81) فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا
وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ (82)
مُسَوَّمَةً عِنْدَ رَبِّكَ وَمَا هِيَ مِنَ الظَّالِمِينَ بِبَعِيدٍ (83)
“Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth,
dia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan
dia berkata: “Ini adalah hari yang amat sulit. Dan datanglah kepadanya
kaumnya dengan bergegas-gegas. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan
perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata: “Hai kaumku, inilah
puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah
dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak
adakah di antaramu seorang yang berakal?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya
kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap
puteri-puterimu; dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang
sebenarnya kami kehendaki.” Luth berkata: “Seandainya aku ada mempunyai
kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada
keluarga yang kuat (tentu aku lakukan).” Para utusan (malaikat)
berkata: “Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Rabbmu,
sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah
dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan
janganlah ada seorangpun di antara kamu yang tertinggal, kecuali
isterimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka karena
sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh;
bukankah subuh itu sudah dekat?. Maka tatkala datang azab Kami, Kami
jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan
Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan
bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Rabbmu, dan siksaan itu tiadalah
jauh dari orang-orang yang zalim”
Ketika kaum Nabi Luth membujuk Nabi Luth –‘Alaihis salam– agar
menyerahkan tamunya, maka Allah menimpakan kepada mereka azab, Allah
–Ta’ala– berkata dalam surat Huud ayat 37 sampai 39:
وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا وَلَا تُخَاطِبْنِي فِي
الَّذِينَ ظَلَمُوا إِنَّهُمْ مُغْرَقُونَ (37) وَيَصْنَعُ الْفُلْكَ
وَكُلَّمَا مَرَّ عَلَيْهِ مَلَأٌ مِنْ قَوْمِهِ سَخِرُوا مِنْهُ قَالَ
إِنْ تَسْخَرُوا مِنَّا فَإِنَّا نَسْخَرُ مِنْكُمْ كَمَا تَسْخَرُونَ (38)
فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ مَنْ يَأْتِيهِ عَذَابٌ يُخْزِيهِ وَيَحِلُّ
عَلَيْهِ عَذَابٌ مُقِيمٌ (39).
“Dan sesungguhnya mereka telah membujuknya (agar menyerahkan) tamunya
(kepada mereka), lalu Kami butakan mata mereka, maka rasakanlah azab-Ku
dan ancaman-ancaman-Ku. Dan sesungguhnya pada esok harinya mereka
ditimpa azab yang kekal. Maka rasakanlah azab-Ku dan
ancaman-ancaman-Ku.”
Pada saat Nabi Luth –‘Alaihis salam– menyeru mereka kepada kebaikan dan
mengingkari kemungkaran mereka, mereka langsung mengambil sikap terhadap
beliau –‘Alaihis salam-, Allah kisahkan Al-A’raf ayat 80 sampai 84:
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ
بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ (80) إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ
الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ
مُسْرِفُونَ (81) وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا
أَخْرِجُوهُمْ مِنْ قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ (82)
فَأَنْجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلَّا امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ
(83) وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ
الْمُجْرِمِينَ (84).
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah)
tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan
faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia
ini) sebelummu?” Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan
nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum
yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan:
“Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini;
sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan
diri.” Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali
isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan
Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang-orang yang berdosa itu”.
Allah –Ta’ala– juga sebutkan sikap mereka yang mendustakan Nabi-Nya
sehingga layak untuk mendapatkan azab surat Asy-Syuraa’ ayat 160 sampai
173:
كَذَّبَتْ قَوْمُ لُوطٍ الْمُرْسَلِينَ (160) إِذْ قَالَ لَهُمْ أَخُوهُمْ
لُوطٌ أَلَا تَتَّقُونَ (161) إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ (162)
فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ (163) وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ
أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ (164) أَتَأْتُونَ
الذُّكْرَانَ مِنَ الْعَالَمِينَ (165) وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمْ
رَبُّكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ عَادُونَ (166) قَالُوا
لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ يَا لُوطُ لَتَكُونَنَّ مِنَ الْمُخْرَجِينَ (167)
قَالَ إِنِّي لِعَمَلِكُمْ مِنَ الْقَالِينَ (168) رَبِّ نَجِّنِي
وَأَهْلِي مِمَّا يَعْمَلُونَ (169) فَنَجَّيْنَاهُ وَأَهْلَهُ أَجْمَعِينَ
(170) إِلَّا عَجُوزًا فِي الْغَابِرِينَ (171) ثُمَّ دَمَّرْنَا
الْآَخَرِينَ (172) وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا فَسَاءَ مَطَرُ
الْمُنْذَرِينَ (173).
“Kaum Luth telah mendustakan rasul-rasul, ketika saudara mereka Luth,
berkata kepada mereka: mengapa kamu tidak bertakwa?” Sesungguhnya aku
adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka
bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak
minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari
Tuhan semeta alam. Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara
manusia, dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu
untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas.”Mereka
menjawab: “Hai Luth, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, benar-benar
kamu termasuk orang-orang yang diusir”Luth berkata: “Sesungguhnya aku
sangat benci kepada perbuatanmu.” (Luth berdoa): “Ya Tuhanku
selamatkanlah aku beserta keluargaku dari (akibat) perbuatan yang mereka
kerjakan.” Lalu Kami selamatkan ia beserta keluarganya semua, kecuali
seorang perempuan tua (isterinya), yang termasuk dalam golongan yang
tinggal. Kemudian Kami binasakan yang lain. Dan Kami hujani mereka
dengan hujan (batu) maka amat jeleklah hujan yang menimpa orang-orang
yang telah diberi peringatan itu”.
Dari tulisan ini kita bisa jadikan sebagai suatu barometer, yang kita
bisa mengambil pelajaran darinya, mengingatkan kepada kita tentang kisah
Khudzaifah –Radhiyallahu ‘anhu– yang bertanya tentang kejelekan karena
khawatir akan menimpa dirinya, di dalam “Ash-Shahih” (no. 3606) dan
“Shahih Muslim” (no. 4890) dari hadits Huzaifah Ibnul Yaman, beliau
–semoga Allah meridhainya- berkata:
كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ
الْخَيْرِ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِى.
فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِى جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ،
فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ، فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ
شَرٍّ قَالَ «نَعَمْ». قُلْتُ وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ
قَالَ «نَعَمْ، وَفِيهِ دَخَنٌ». قُلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ «قَوْمٌ
يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِى تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ». قُلْتُ فَهَلْ
بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ «نَعَمْ دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ
جَهَنَّمَ، مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا». قُلْتُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا فَقَالَ «هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا،
وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا» قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِى إِنْ
أَدْرَكَنِى ذَلِكَ قَالَ «تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ
وَإِمَامَهُمْ». قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ
قَالَ «فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا، وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ
بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ».
“Dahulu orang-orang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam tentang kebaikan, dan aku ketika itu bertanya kepadanya tentang
kejelekan (karena) takut akan menimpaku. Maka aku katakan: “Wahai
Rasulullah sesungguhnya kami dahulu di zaman jahiliyyah (penuh)
kejelekan, kemudian Allah mendatangkan kepada kami kebaikan ini, maka
apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan”. Beliau berkata: “Iya”. Aku
berkata: “Apakah setelah kejelekan itu ada kebaikan?” Beliau berkata:
“Iya, dan padanya dakhan (kekaburan)”. Aku berkata: “Apa itu dakhan?
Beliau berkata: “Suatu kaum yang mereka berpetunjuk dengan yang bukan
petunjukku, kamu mengenal mereka dan kamu mengingkari”. Aku berkata:
Apakah setalah itu ada kebaikan dari kejelakan? Beliau berkata: “Iya,
ada da’i-da’i yang menyeru kepada pintu-pintu jahannam, barangsiapa
memenuhi seruan itu maka akan terjerumus ke dalamnya”. Aku berkata:
“Wahai Rasulullah sifatkanlah kepada kamu! Beliau berkata: “Mereka dari
kalangan kita dan berbahasa dengan bahasa kita” Aku berkata: “Apa yang
engkau perintahkan kepadaku jika aku mendapatinya yang demikian itu?
Beliau berkata: “Engkau komitmen dengan jama’ah kaum muslimin dan imam
mereka”. Aku berkata: “Bagaimana kalau tidak ada pada mereka jama’ah dan
tidak pula ada imam? Beliau berkata: “Tinggalkan firqah
(kelompok-kelompok) semuanya walaupun kamu menggigit akar kayu sampai
kematian menjemputmu dan kamu dalam keadaan demikian itu”.
Lihatlah Khuzaifah ibnul Yaman tidak hanya bertanya tentang kejelakan
itu, namun beliau bertanya pula tentang bagaimana cara mengantisipasi
dan membendung supaya kejelakan tersebut tidak mengenainya, lihat
pertanyaannya “Apa yang mesti saya perbuat jika mengalami keadaan
seperti itu?” Tidak kita terbetik dalam hati kita untuk berprinsip
seperti shahabat yang mulia Khuzaifah ibnul Yaman? Apakah kita sudah
merasa aman terhadap segala kejelekan yang selalu mengintai kita
disetiap saat dan setiap tempat?
Dan berkata seorang penyair:
عرفت الشر لا للشر لكن لتوقيه ومن لم يعرف الشر من الخير يقع فيه
Aku mengetahui kejelekan bukan untuk berbuat jelek akan tetapi untuk menjauhinya
Dan siapa yang tidak mengetahui kejelekan dari kebaikan maka akan terjatuh ke dalamnya.
Berkata Al-Imam Al-Bukhariy –Rahimahullah- dalam “Shahih”nya (7320):
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdil ‘Aziz, beliau
berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Umar Ash-Shan’aniy –dari
Yaman-, dari Zaid bin Aslam dari ‘Atha’ bin Yasar dari Abi Sa’id
Al-Khudriy, dari Nabi –Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam-, beliau berkata:
«لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا
بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ». قُلْنَا
يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى قَالَ «فَمَنْ».
“Sungguh kalian akan mengikuti metode (prilaku) orang-orang sebelum
kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai walaupun
mereka masuk di lubang dhobb (hewan semisal biawak) kalian pun ikut
masuk”. Kami (para shahabat) berkata: Wahai Rasulullah apakah (yang
engkau maksudkan adalah) Yahudi dan Nashara? Beliau berkata: “Siapa lagi
(kalau bukan mereka)!”.
Demikian keadaan umat ini, maka tidak heran kalau kemudian ada dari
hizbiyyin mengikuti metode dan tingkah laku orang-orang jahil dari
umat-umat terdahulu, AllahTa’ala berkata dalam surat Al-A’raf ayat
80-82:
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ
بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ (80) إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ
الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ
مُسْرِفُونَ (81) وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا
أَخْرِجُوهُمْ مِنْ قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ (82)
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah)
tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan
faahisyah (keji) itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun
sebelum kalian?” Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk
melampiaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah
kalian ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawaban kaumnya tidak lain
hanya mereka mengatakan: “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya)
dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang
berpura-pura mensucikan diri“.
Orientasi Seksual
Dalam alquran telah disebutkan untuk berbuat baik kepada sesama manusia,
seperti firman ALLAH SWT dalam Q.S al hujuraat: 13 yang menjelaskan
bahwa ALLAH menciptakan manusia itu berbeda-beda UNTUK SALING MENGENAL.
Kalaupun ada saudara2 semuslim yang tetap bersikeras bahwa homoseksual
itu wajib dihukum (mati) ataupun penjara, Bahkan didalam Al-Quran,
orang-orang KAFIR lebih banyak disebutkan hukumnya secara JELAS. lantas,
apakah saudara semuslim patut menghukum/membunuh orang2 kafir? Kenapa
tidak BERTOLERANSI saja? Benar, Di Indonesia, Selama ini umat muslim
bisa bertoleransi dg orang2 yang kafir (Agama selain islam), kenapa
dengan orang2 yg orientasi seksualnya beda tidak bisa? bahkan sesama
muslim yg beda orientasi seks pun dihujat!
Banyak toh orang2 yg tidak tau apa itu orientasi seksual (Khususnya Di
Indonesia), karena dianggap tabu, taunya hanya dari omongan teman saja
yg berasal dari keluarga yg konservatif, yang lekat dg pendoktrinan
agama yg diyakini. Oleh karena itu, disini saya akan sedikit membahas
tentang Orientasi seksual itu.
Gay/homoseksual itu adalah salah satu orientasi seksual, dimana ada
banyak orientasi2 seksual, umumnya yg sering dibahas yaitu Heteroseksual
(Suka lawan jenis) , Biseksual (suka lawan/sesama jenis), dan
Homoseksual (Suka sesama jenis). Umumnya didalam masyarakat Indo, jenis
orientasi Heteroseksual lah yg dianggap normal dan diterima sedangkan
selain dari itu dianggap menyimpang. Bila di tinjau dari segi
llmiah/science semua orientasi seksual itu normal, ibaratnya variasi
warna kulit, jenis rambut, dll. Asosiasi Psikologi US juga menghapus
Homoseksual dari daftar penyakit mental. bahkan WHO (World Health
Organization) / organisasi kesehatan Dunia menyatakan Gay/Bi itu NORMAL.
Taubatannashuha
Pintu taubat akan selalu terbuka bagi siapa saja yang pernah melakukan
dosa, baik itu dosa kecil ataupun dosa besar, dan bahkan setiap orang
yang melakukan dosa wajib baginya untuk segera bertaubat. Al-Imam
An-Nawawy Rahimahullah dalam “Riyadhus Sholihin Bab Taubat” berkata:
“Taubat itu wajib bagi setiap [orang yang berbuat] dosa”.
Hal ini berdasarkan perintahnya Allah kepada kaum mukminah agar mereka
menjaga kehormatan mereka, kemudian Allah –Ta’ala– memerintahkan untuk
benar-benar bertaubat, Allah –Ta’ala– berkata dalam surat An-Nuur ayat
31:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ
فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ
إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ
نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ
أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ
يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ
لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ
جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah
suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami
mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera
saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan
janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.
Dan diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ary
–Radhiyallahu ‘anhu-: Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam–
berkata:
«إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ
مُسِىءُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِىءُ
اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا».
“Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya pada waktu malam supaya
orang-orang yang berbuat dosa pada siang hari bertaubat, juga Allah
membentangkan tangannya pada siang hari, supaya bertaubat orang-orang
yang berbuat dosa pada waktu malam hari. Allah akan terus membentangkan
tangan-Nya sampai matahari terbit dari barat”.
Juga Allah –Ta’ala– tegaskan dalam Al-Qur’an pada surat Huud ayat 3:
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ
مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ
فَضْلَهُ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ
كَبِير.
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertaubat
kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan
memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada
waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap
orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu
berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari
kiamat”.
Mengingat kita belum mendapatkan tentang sirah (perjalan hidup)
orang-orang yang terdahulu yang pernah melakukan homoseks kemudian ada
keterangan bahwa mereka bertaubat, maka dari sini bagi yang melakukan
homoseks agar seharusnya benar-benar dan bersungguh-sungguh dengan
kesungguhan yang paling puncaknya kesungguhan untuk bertaubat kepada
Allah dan memohon kepada Allah –Ta’ala– kekuatan iman dan tekad. Sebagai
penghibur dan kabar gembira Allah –Ta’ala– berkata dalam surat
At-Tahrim ayat 8:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا
عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ
جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ
النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ
أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا
نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan
nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan
menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak
menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya
mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka
mengatakan: “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan
ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Wallohu A'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar