Mandi atau wudhu dengan menggunakan air hangat bagi sebagian besar orang
dianggap sebagai cara yang paling cepat untuk mengusir rasa dingin yang
menusuk tubuh. Selain itu, mandi atau wudhu dengan air hangat seolah
menjadi terapi tersendiri bagi mereka yang sering diserang nyeri rematik
atau sekadar untuk melepas rasa penat setelah menjalankan aktifitas
seharian penuh. Hangatnya air yang membasuh tubuh juga dapat membantu
melancarkan sirkulasi darah dan memberikan efek rileks pada otot-otot
maupun persendian manusia.
Mayoritas ulama', termasuk madzhab syafi'i berpendapat bahwa bersuci
dengan menggunakan air yang dipanaskan dengan selain menggunakan sinar
matahari, seperti dengan api itu diperbolehkan dan tidak makruh,
pendapat berbeda diriwayatkan dari Imam Mujahid yang menyatakan hukum
penggunaannya adalah makruh.
Alasan yang dikemukakan oleh mayoritas ulama' diantaranya adalah tidak
adanya dalil yang melarang penggunaan air yang dipanaskan dengan api dan
dikarenakan panas yang ditimbulkan oleh api mampu menghilangkan unsur
unsur dari perabot yang terbuat dari tembaga yang katanya menguap
apabila terkena panas. Dua hal ini yang membedakan air yang dipanaskan
dengan api dan air yang dipanaskan dengan panas sinar matahari yang
menurut sebagian ulama' makruh untuk digunakan karena adanya riwayat
yang melarang penggunaannya dan karena panas yang ditimbulkan oleh sinar
matahari akan menguapkan unsur-unsur yang berasal dari perabot yang
terbuat dari logam yang membahayakan kulit.
Diantara dalil yang menguatkan diperbolehkannya menggunakan air yang
dipanaskan dengan selain menggunakan sinar matahari adalah beberapa
riwayat yang menjelaskan penggunaan air yang direbus oleh para sahabat
dan tabi'in. Antara lain :
1. Aslam Al-Qurasyiy Al-‘Adawy,mantan budak sayyidina Umar, meriwayatkan ;
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يُسَخَّنُ لَهُ مَاءٌ فِي قُمْقُمَةٍ وَيَغْتَسِلُ بِهِ
"Sesungguhnya Umar bin Al-Khoththob rodhiyallohu 'anhu direbuskan air
didalam qumqumah (wadah untuk merebus air), lalu beliau mandi dengan
menggunakan air tersebut." (Sunan Kubro lil-Baihaqi, no.11 dan Sunan
Daruquthni, no.85)
2. Diriwayatkan dari Ayyub, ia berkata ;
سَأَلْتُ نَافِعًا، عَنِ الْمَاءِ الْمُسَخَّنِ، فَقَالَ: كَانَ ابْنُ عُمَرَ يَتَوَضَّأُ بِالْحَمِيمِ
"Aku bertanya pada Nafi' mengenai (penggunaan) air yang dipanaskan,
beliau menjawab : "Ibnu Umar berwudhu dengan menggunakan air panas."
(Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, no.256)
3. Diriwayatkan dari Abu Salamah, ia berkata ;
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّا نَدَّهِنُ بِالدُّهْنِ وَقَدْ طُبِخَ عَلَى
النَّارِ، وَنَتَوَضَّأُ بِالْحَمِيمِ وَقَدْ أُغْلِيَ عَلَى النَّارِ
"Ibnu Abbas berkata : "Kami (para sahabat) menggunakan minyak wangi yang
dimasak diatas api, dan kami juga wudhu dengan air panas yang direbus
diatas api" (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, no.258)
4. Diriwayatkan dari Qurroh, ia berkata ;
سَأَلْتُ الْحَسَنَ عَنِ الْوُضُوءِ بِالْمَاءِ السَّاخِنِ، فَقَالَ: لَا بَأْسَ بِه
"Aku bertanya pada Al-Hasan, mengenai wudhu dengan air yang direbus,
beliau menjawab : "Tidak apa apa". (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, no.259)
Sebagai tambahan, diperbolehkannya menggunakan air yang direbus untuk
bersuci tersebut selama tidak digunakan pada saat airnya masih terlalu
panas, apabila digunakan saat masih terlalu panas hukumnya makruh, sebab
bersuci dengan menggunakan air yang terlalu panas dikhawatirkan
membahayakan kulit dan akan menyebabkan bersucinya tidak sempurna.
Adapun hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha, yang mengatakan,
دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ
سَخَّنْتُ مَاءً فِي الشَّمْسِ ، فَقَالَ : لَا تَفْعَلِي يَا حُمَيْرَاءُ
فَإِنَّهُ يُورِثُ الْبَرَصَ
Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- masuk menemuiku sementara saya
telah menghangatkan air dengan sinar matahari. Maka beliau bersabda,
“Jangan kamu lakukan itu wahai Humaira (Aisyah) karena itu bisa
menyebabkan penyakit sopak.”
Hadis ini disebutkan oleh Ad-Daraquthni (1:38), Ibnu Adi dalam Al-Kamil
3:912, dan Al-Baihaqi 1:6 dari jalan Khalid bin Ismail dari Hisyam bin
Urwah dari ayahnya dari Aisyah.
Tentang Khalid bin Ismail, Ibnu Adi berkomentar:
كَانَ يَضَعُ الْحَدِيثَ
“Dia telah memalsukan hadis”
Dalam sanad yang lain, hadis ini juga diriwayatkan dari jalur Wahb bin
Wahb Abul Bukhtari dari Hisyam bin Urwah. Ibnu Adi mengatakan: “Wahb
lebih buruk dari pada Khalid.”
Hadis diatas memang tidak dikategorikan oleh para ulama hadis dalam
tingkatan shahih, namun hadis ini dapat digunakan sebagai acuan untuk
meraih kesempurnaan dalam beramal (fadhail al-a’mal). Oleh karena itulah
imam ar-Rafi’i menjadikan hadis ini sebagai acuan penetapan hukum
bersuci dengan menggunakan air panas karena terik matahari hukumnya
makruh. Pandangan ini tentu berbeda dengan ketiga madzhab lain (selain
madzhab Syafi’i) yang tidak menghukumi makruh atas penggunaan air panas
karena terik matahari untuk bersuci.
Pendapat dari salah seorang imam besar dalam madzhab Syafi’i ini adalah
bentuk kehati-hatian dalam menjalankan syariat dan ternyata selaras
dengan pandangan para dokter yang menyebutkan adanya efek samping
penggunaan air panas seperti munculnya penyakit kulit dan
penyakit-penyakit lain. Sejatinya hukum kemakruhan dalam madzhab Syafii
ini tidak serta merta disepakati secara bulat, diantara mereka masih
terdapat perbedaan pendapat. Imam Nawawi tidak sepakat dengan pendapat
yang menganggap bahwa bersuci dengan air panas akibat terik matahari
hukumnya makruh. Beliau berpendapat bahwa menggunakan air panas karena
terik matahari hukumnya boleh. Begitu juga dengan air panas atau hangat
karena alat pemanas listrik atau kompor gas.
Para ulama yang berpandangan mengenai kemakruhan penggunaan air panas
atau hangat tersebut juga memberikan banyak catatan sebagaimana
dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih madzhab Syafi’i seperti
Al-Bujairaimi, Kifayat al-Ahyar, Al-Bajuri dan lain-lain.
Diantara catatan yang menjadi titik tekan adalah apabila dalam
penggunaan air tersebut berdampak negatif atau berpotensi negatif bagi
penggunanya, seperti penderita jenis penyakit tertentu yang tidak
diperkenankan menggunakan air panas atau akan bertambah sakit jika
menggunakan air hangat atau perubahan suhu tubuh yang begitu drastis
pasca mandi maupun wudhu. Hukum kemakruhan ini juga berlaku pula pada
air yang sangat panas dan air yang sangat dingin meskipun dengan
perantara selain matahari sebagaimana dijelaskan dalam kitab Bujairimi
‘Ala al-Khatib:
فَالْجُمْلَةُ ثَمَانِيَةٌ كَمَا فِي شَرْحِ م ر. وَهِيَ الْمُشَمَّسُ
وَشَدِيدُ الْحَرَارَةِ وَشَدِيدُ الْبُرُودَةِ، وَمَاءُ دِيَارِ ثَمُودَ
إلَّا بِئْرَ النَّاقَةِ، وَمَاءُ دِيَارِ قَوْمِ لُوطٍ، وَمَاءُ بِئْرِ
بَرَهُوتَ، وَمَاءُ أَرْضِ بَابِلَ، وَمَاءُ بِئْرِ ذَرْوَانَ. اهـ
Artinya: “Jumlah air yang makruh digunakan ada delapan sebagaimana
terdapat dalam penjelasan Muhammad Ar-Ramli yaitu air musyammas (panas
karena terik matahari), air sangat panas, air sangat dingin, air kaum
tsamud, air kaum Luth, air sumur Barahut, air Babilonia, dan air sumur
Dzarwan.”
Inti sari dari jawaban adalah apabila dalam penggunaan air hangat
tersebut berpotensi menimbulkan penyakit atau berdampak semakin berat
penyakit yang diderita maka hukumnya haram, namun apabila masih
diperkirakan akan datangnya penyakit, hukumnya makruh, apabila tidak ada
efek samping dalam penggunaan air hangat maka hukumnya mubah, bahkan
bisa menjadi wajib seperti dalam kondisi sempitnya waktu shalat dan
tidak ditemukan alat berwudhu selain air hangat tersebut.
Mudah-mudahan penjelasan ini dapat diterima dan bermanfaat bagi kita
semua. Saran kami dalam kondisi tertentu, misalnya ketika udara terasa
sangat dingin, tidak masalah bersuci atau mandi menggunakan air hangat.
Namun dalam kondisi normal lebih baik memakai air biasa saja, agar
anggota badan yang terkena wudlu maupun air mandi terasa segar dan
tentunya menyehatkan. Ketika badan kita segar dan sehat, maka kita bisa
menjalankan ibadah dan aktifitas dengan penuh semangat. Wallahu a’lam .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar