Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua
sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang
tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh
nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah
Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Dalam masalah
perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari
kriteria calon calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya
kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya. Begitu pula
Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang
meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dengan
pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. Melalui
makalah yang singkat ini insyaallah kami akan membahas perkawinan
menurut hukum islam.
Perkahwinan atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur.
Menurut istilah syarak pula ialah ijab dan qabul (‘aqad) yang
menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan
oleh kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut peraturan yang ditentukan
oleh Islam. Perkataan zawaj digunakan di dalam al-Quran bermaksud
pasangan dalam penggunaannya perkataan ini bermaksud perkahwinan Allah
s.w.t. menjadikan manusia itu berpasang-pasangan, menghalalkan
perkahwinan dan mengharamkan zina.
Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu
menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut
tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh
suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena
lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan
nilai-nilai ahlaq yang luhur dan sentral. Perkawinan bukanlah persoalan
kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan penting dan besar. ‘Aqad
nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci.
Perkawinan adalah Fitrah Kemanusiaan
Agama Islam adalah agama fithrah, dan manusia diciptakan Allah Ta’ala
cocok dengan fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh
manusia menghadapkan diri ke agama fithrah agar tidak terjadi
penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas
fithrahnya. Perkawinan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam
menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah
(naluri kemanusiaan).
Allah Ta’ala berfirman:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ
وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki
dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya)
lagi Maha Mengetahui” (QS. An Nur: 32).
Dalam ayat ini terdapat perintah untuk menikah. Namun para ulama berbeda
pendapat mengenai apakah menikah itu wajib ataukah sunnah menjadi 3
pendapat:
Pengertian Nikah
Nikah secara bahasa adalah berkumpul dan bergabung. Dikatakan : nakahat
al-asyjar, yaitu pohon-pohon tumbuh saling berdekatan dan berkumpul
dalam satu tempat. Berkata Imam Nawawi : “Nikah secara bahasa adalah
bergabung, kadang digunakan untuk menyebut “akad nikah” , kadang
digunakan untuk menyebut hubungan seksual.”
Al-Fara’ seorang ahli bahasa Arab mengatakan bahwa orang Arab
menyebutkan kata “Nukah al Mar-atu” artinya adalah organ kewanitaan.
Jika mereka mengatakan “nakaha al-mar-ata” artinya telah menggauli di
organ kewanitaannya..
Adapun “Nikah” secara istilah adalah : “Akad yang dilakukan antara
laki-laki dan perempuan yang dengannya dihalalkan baginya untuk
melakukan hubungan seksual” .
Kata Nikah Dalam Al Qur’an
Dalam al-Qur’an dan as-Sunah kata “Nikah” kadang digunakan untuk
menyebut akad nikah, tetapi kadang juga dipakai untuk menyebut suatu
hubungan seksual.
Contoh menikah yang artinya akad nikah adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala :
÷ وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا
طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ
أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
“Maka lakukanlah akad nikah dengan wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya”
Contoh lain adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala :
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu lakukan akad nikah dengan wanita-wanita yang telah
melakukan akad nikah dengan ayahmu, terkecuali pada masa yang telah
lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”
Adapun contoh menikah yang artinya melakukan hubungan seksual adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala :
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا
غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا
إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ
يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“ Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia melakukan hubungan
seksual dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama
dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya
kepada kaum yang (mau) mengetahui.”
Arti nikah pada ayat di atas adalah al-wath-u atau al-jima’u (melakukan
hubungan seksual), bukan akad nikah. Karena seseorang tidak disebut
suami, kecuali kalau sudah melakukan akad nikah.
Seorang istri yang telah diceraikan suaminya yang pertama sebanyak tiga
kali, dan sudah menikah dengan suami yang kedua, maka dia harus
melakukan “ nikah “ dengan suaminya yang kedua tersebut, kemudian
diceraikannya, sebelum kembali kepada suaminya yang pertama. Melakukan “
nikah “ dengan suami yang kedua, maksudnya adalah melakukan “ hubungan
seksual “.
Nikah dalam arti melakukan hubungan seksual pada ayat di atas dikuatkan oleh hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ
رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ - يَعْنِى ثَلاَثًا - فَتَزَوَّجَتْ زَوْجًا
غَيْرَهُ فَدَخَلَ بِهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يُوَاقِعَهَا
أَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا الأَوَّلِ قَالَتْ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه
وسلم- لاَ تَحِلُّ لِلأَوَّلِ حَتَّى تَذُوقَ عُسَيْلَةَ الآخَرِ وَيَذُوقَ
عُسَيْلَتَهَا
“ Dari Aisyah, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
ditanya mengenai seorang laki-laki yang mencerai isterinya tiga kali,
kemudian wanita tersebut menikah dengan laki-laki yang lain dan bertemu
muka dengannya kemudian ia mencerainya sebelum mencampuri, maka apakah
ia halal bagi suaminya yang pertama? Aisyah berkata; tidak. Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Ia tidak halal bagi suaminya yang
pertama hingga ia merasakan manisnya (hubungan seksua) dengan suaminya
yang lain, dan ia (sang suami) juga merasakan manisnya (hubungan
seksual) dengannya."
Contoh dari hadits yang menunjukan bahwa arti nikah adalah melakukan
hubungan seksual adalah sabda Rasulullah shalallahu a’alaihi wa sallam :
اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إلَّا النِّكَاح
“ Lakukanlah segala sesuatu (dengan istrimu yang sedang haid) kecuali nikah, yaitu jima’”
Dalam riwayat lain disebutkan :
اصْنَعُوْا كُلّ شَيْءٍ إلّا الجِمَاع
“ Lakukanlah segala sesuatu (d engan istrimu yang sedang haid) kecuali jima’”
Setelah kita mengetahui bahwa nikah mempunyai dua arti, yaitu akad nikah
dan melakukan hubungan seksual, maka pertanyaan yang muncul adalah
bagaimana kita membedakan antara dua arti tersebut di dalam suatu
pembicaraan ? Para ulama membedakan antara keduanya dengan keterangan
sebagai berikut : Jika dikatakan bahwa seorang laki-laki menikah dengan
seorang perempuan lain, yaitu fulanah binti fulan, maka artinya bahwa
laki-laki tersebut melakukan akad nikah dengannya. Jika dikatakan bahwa
seorang laki-laki menikah dengan istrinya, maka artinya bahwa
laki-laki tersebut melakukan hubungan seksual dengannya.
Dari kedua makna nikah di atas, mana yang hakikat dan mana yang majaz ? Para ulama berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : bahwa nikah pada hakikatnya digunakan untuk menyebut
akad nikah, dan kadang dipakai secara majaz untuk menyebutkan hubungan
seksual. Ini adalah pendapat shahih dari madzhab Syafi’iyah, dishahihkan
oleh Abu Thoyib, Mutawali dan Qadhi Husain.
Pendapat kedua : bahwa nikah pada hakikatnya dipakai untuk menyebut
hubungan seksual. Tetapi kadang dipakai secara majaz untuk menyebut
akad nikah. Ini adalah pendapat al-Azhari, al-Jauhari dan az-Zamakhsari,
ketiga orang tersebut adalah pakar dalam bahasa Arab.
Hukum Menikah
Hukum menikah dibagi menjadi dua ; pertama : hukum asal dari pernikahan, kedua : hukum menikah dilihat dari kondisi pelakunya.
Hukum Asal Dari Pernikahan
Adapun hukum asal dari pernikahan, para ulama berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : bahwa hukum asal pernikahan adalah wajib. Ini adalah pendapat sebagian ulama.
“Banyak dari ulama mengatakan bahwa seseorang yang mampu (secara fisik
dan ekonomi) untuk menikah, maka wajib baginya untuk menikah, karena
pada dasarnya perintah itu menunjukkan kewajiban, dan di dalam
pernikahan tersebut terdapat maslahat yang agung.“
Dalil-dalil pendapat ini adalah sebagai berikut :
Pertama : Hadist Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata :
قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَا مَعْشَرَ
اَلشَّبَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ,
فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: “Wahai
generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mempunyai kemampuan
(secara fisik dan harta), hendaknya ia menikah, karena ia dapat
menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu
hendaknya berpuasa, sebab ia dapat meredam (syahwat) .”
Rasulullah shalallahu a’alaihi wa sallam dalam hadist di atas
memerintahkan para pemuda untuk menikah dengan sabdanya “falyatazawaj”
(segeralah dia menikah), kalimat tersebut mengandung perintah. Di dalam
kaidah ushul fiqh disebutkan bahwa : “al ashlu fi al amr lil wujub “
(Pada dasarnya perintah itu mengandung arti kewajiban).
Kedua : bahwa menikah itu merupakan perilaku para utusan Allah subhanahu
wa ta’ala , sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala :
ô وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ
أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَنْ يَأْتِيَ بِآيَةٍ
إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan
Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. Dan tidak ada
hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan
dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”
Ketiga : hadist Anas bin Malik radhiyallahu ta’ala :
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلُوا أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ عَمَلِهِ فِي السِّرِّ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَتَزَوَّجُ
النِّسَاءَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا آكُلُ اللَّحْمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ
لَا أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ فَقَالَ
مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ
وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ
سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“ Dari Anas bahwa sekelompok orang dari kalangan sahabat Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepada isteri-isteri Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam mengenai amalan beliau yang tersembunyi.
Maka sebagian dari mereka pun berkata, “Saya tidak akan menikah.”
Kemudian sebagian lagi berkata, “Aku tidak akan makan daging.” Dan
sebagian lain lagi berkata, “Aku tidak akan tidur di atas kasurku.”
Mendengar ucapan-ucapan itu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memuji
Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: “Ada apa dengan
mereka? Mereka berkata begini dan begitu, padahal aku sendiri shalat dan
juga tidur, berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga menikahi wanita.
Maka siapa yang saja yang membenci sunnahku, berarti bukan dari
golonganku.”
Keempat : karena tidak menikah itu merupakan bentuk penyerupaan terhadap
orang-orang Nashara, sedang menyerupai mereka di dalam masalah ibadat
adalah haram.
“ …dan karena dengan meninggalkan nikah padahal ia mampu, merupakan
bentuk penyerupaan dengan orang-orang Nashara yang meninggalkan nikah
sebagai bentuk peribadatan mereka. Sedangkan menyerupai ibadat non
muslim hukumnya adalah haram.
Karena menyerupai mereka haram, maka wajib meninggalkan penyerupaan
tersebut dengan cara menikah, sehingga menikah hukumnya wajib.
Pendapat Kedua : bahwa hukum asal dari pernikahan adalah sunnah, bukan
wajib. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Berkata Imam Nawawi :
“Ini adalah madzhab kita (Syafi’iyah) dan madzhab seluruh ulama, bahwa
perintah menikah di sini adalah anjuran, bukan kewajiban… dan tidak
diketahui seseorang mewajibkan nikah kecuali Daud dan orang-orang yang
setuju dengannya dari pengikut Ahlu Dhahir (Dhahiriyah), dan riwayat
dari Imam Ahmad. “
Dalil-dalil mereka adalah :
Pertama : Firman Allah subhanahu wa ta’ala :
÷ وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا
طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ
أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Berkata Imam al-Maziri : “Ayat di atas merupakan dalil mayoritas ulama
(bahwa menikah hukumnya sunnah), karena Allah subhanahu wa ta’ala
memberikan pilihan antara menikah atau mengambil budak secara sepakat.
Seandainya menikah itu wajib, maka Allah tidaklah memberikan pilhan
antara menikah atau mengambil budak. Karena menurut ulama ushul fiqh
bahwa memberikan pilihan antara yang wajib dan yang tidak wajib, akan
menyebabkan hilangnya hakikat wajib itu sendiri, dan akan menyebabkan
orang yang meninggalkan kewajiban tidak berdosa. “
Perintah yang terdapat dalam hadist Abdullah bin Mas’ud di atas bukan
menunjukkan kewajiban, tetapi menunjukan “al-istihbab “(sesuatu yang
dianjurkan).
Kedua : Bahwa menikah maslahatnya kembali kepada orang yang melakukannya
terutama yang berhubungan dengan pelampiasan syahwat, sehingga
dikatakan bahwa perintah di atas sebagai bentuk pengarahan saja.
Hukum Menikah Menurut Kondisi Pelakunya
Adapun hukum nikah jika dilihat dari kondisi orang yang melakukannya adalah sebagai berikut :
Pertama : Nikah hukumnya wajib, bagi orang yang mempunyai hasrat yang
tinggi untuk menikah karena syahwatnya bergejolak sedangkan dia
mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup. Dia merasa terganggu dengan
gejolak syahwatnya, sehingga dikawatirkan akan terjerumus di dalam
perzinaan.
Begitu juga seorang mahasiswa atau pelajar, jika dia merasa tidak bisa
konsentrasi di dalam belajar, karena memikirkan pernikahan, atau
seandainya dia terlihat sedang belajar atau membaca buku, tapi ternyata
dia hanya pura-pura, pada hakekatnya dia sedang melamun tentang menikah
dan selalu memandang foto-foto perempuan yang diselipkan di dalam
bukunya, maka orang seperti ini wajib baginya untuk menikah jika memang
dia mampu untuk itu secara materi dan fisik, serta bisa bertanggung
jawab, atau menurut perkiraannya pernikahannya akan menambah semangat
dan konsentrasi dalam belajar.
Kedua : Nikah hukumnya sunah bagi orang yang mempunyai syahwat, dan
mempunyai harta, tetapi tidak khawatir terjerumus dalam maksiat dan
perzinaan. Imam Nawawi di dalam Syareh Shahih Muslim menyebutkan judul
dalam Kitab Nikah sebagai berikut : “Bab Dianjurkannya Menikah Bagi
Orang Yang Kepingin Sedangkan Dia Mempunyai Harta “.
Ketiga : Nikah hukumnya mubah, bagi orang yang mempunyai syahwat,
tetapi tidak mempunyai harta. Atau bagi orang yang mempunyai harta
tetapi tidak mempunyai syahwat.
Keempat : Nikah hukumnya makruh bagi orang yang tidak punya harta dan
tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat). Dikatakan makruh,
karena dia tidak membutuhkan perempuan untuk dinikahi, tetapi dia harus
mencari harta untuk menafkahi istri yang sebenarnya tidak dibutuhkan
olehnya. Tentu akan lebih baik, kalau dia mencari nafkah untuk memenuhi
kebutuhannya terlebih dahulu. Selain itu, istrinya akan sedikit tidak
terurus, dan kemungkinan tidak akan mendapatkan nafkah batin, kecuali
sedikit sekali, karena sebenarnya suaminya tidak membutuhkannya dan
tidak terlalu tertarik dengan wanita.
Begitu juga seseorang yang mempunyai keinginan untuk menikah, tetapi
tidak punya harta yang cukup, maka baginya, menikah adalah makruh.
Adapun seseorang yang mempunyai harta tetapi tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat), para ulama berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : Dia tidak dimakruhkan menikah tetapi lebih baik
baginya untuk konsentrasi dalam ibadah. Ini adalah pendapat Imam Syafi’I
dan mayoritas ulama Syafi’iyah.
Pendapat Kedua : Menikah baginya lebih baik. Ini adalah pendapat Abu
Hanifah dan sebagian dari ulama Syafi’iyah serta sebagian dari ulama
Malikiyah. Kenapa? karena barangkali istrinya bisa membantunya dalam
memenuhi kebutuhan sehari-harinya, seperti memasak, menyediakan makanan
dan minuman, menyuci dan menyetrika bajunya, menemaninya ngobrol,
berdiskusi dan lain-lainnya. Menikah sendiri tidak mesti melulu
melakukan hubungan seks saja, tetapi ada hal-hal lain yang didapat
sepasang suami selama menikah, seperti kebersamaan, kerjasama,
keakraban, menjalin hubungan keluarga, ketenangan dan ketentraman.
Kelima : Nikah hukumnya haram, bagi yang merasa dirinya tidak mampu bertanggung jawab dan akan menelantarkan istri dan anak.
Dijelaskan pernikahan yang haram adalah pernikahan yang dilakukan di
Darul Harbi ( Negara Yang Memusuhi Umat Islam ), karena dikhawatirkan
musuh akan mengalahkan umat Islam dan anak-anaknya akan dijadikan budak.
Tetapi jika dilakukan dalam keadaan darurat, maka dibolehkan.
Demikian penjelasan singkat tentang pengertian nikah dan hukumnya yang
disarikan dari pernyataan para ulama, mudah-mudahan bermanfaat.
Hadis pokok yang menjadi acuan perintah nikah adalah hadis dari Abdullah
bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ
فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ
لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah mampu menanggung
nafkah, hendaknya dia menikah. Karena menikah akan lebih menundukkan
pandangan dan menjaga kemaluan. Sementara siapa yang tidak mampu,
hendaknya dia berpuasa. Karena itu bisa menjadi tameng syahwat baginya.”
(HR. Bukhari 5065 dan Muslim 1400).
Ulama berbeda pendapat tentang hukum nikah, memahami hadis di atas,
Pertama, nikah hukumnya wajib bagi yang mampu hubungan badan.
Ibnu Hazm mengatakan,
مسألة: وفرض على كل قادر على الوطء إن وجد من أين يتزوج أو يتسرى أن يفعل أحدهما ولا بد، فإن عجز عن ذلك فليكثر من الصوم
“Wajib bagi lelaki yang mampu hubungan badan, jika dia memiliki dana
untuk menikah, atau membeli budak wanita, untuk melakukan salah satunya
(menikah atau memiliki budak wanita), dan itu harus. Jika dia tidak
mampu secara dana, maka hendaknya dia memperbanyak puasa. Kemudian Ibnu
Hazm menyebutkan hadis di atas. (al-Muhalla, 9/3).
Kedua, anjuran bagi yang mampu menikah dan dikhawatirkan akan terjerumus
ke dalam maksiat jika tidak menikah. Sehingga latar belakang perintah
nikah adalah karena dalam rangka menghindari yang haram. Inilah pendapat
mayoritas ulama.
An-Nawawi mengatakan,
وفي هذا الحديث الأمر بالنكاح لمن استطاعه وتاقت إليه نفسه وهذا مجمع عليه
لكنه عندنا وعند العلماء كافة أمر ندب لا إيجاب فلا يلزم التزوج ولا التسري
سواء خاف العنت أم لا هذا مذهب العلماء كافة ولا يعلم أحد أوجبه إلا داود
ومن وافقه من أهل الظاهر ورواية عن أحمد فإنهم قالوا يلزمه إذا خاف العنت
أن يتزوج أو يتسرى قالوا وإنما يلزمه في العمر مرة واحدة ولم يشرط بعضهم
خوف العنت
Dalam hadis ini terdapat perintah untuk menikah bagi orang yang mampu
dan jiwanya sangat bernafsu. Ini disepakati ulama. Namun menurut kami
dan banyak ulama, perintah ini sifatnya anjuran, dan bukan wajib. Karena
itu, tidak wajib harus menikah atau memiliki budak wanita, baik
khawatir zina atau tidak. Inilah madzhab umumnya ulama, dan saya tidak
mengetahui seorangpun yang mengatakan wajib nikah kecuali Daud az-Zahiri
dan orang yang mengikuti madzhab Zahiriyah, serta salah satu riwayat
dari Imam Ahmad. Mereka berpendapat, seorang lelaki wajib nikah atau
memiliki budak wanita jika khawatir terjerumus ke dalam zina.
Para ulama itu mengatakan bahwa kewajiban nikah hanya wajib seumur hidup
sekali, dan sebagian mereka tidak mempersyaratkan kekhawatiran terjadi
zina. (Syarh Shahih Muslim, 9/173).
As-Syaukani mengatakan,
وأما وجوبه على من خشي الوقوع في المعصية فلأن اجنتاب الحرام واجب وإذا لم
يتم الاجنتاب إلا بالنكاح كان واجبا وعلى ذلك تحمل الأحاديث المقتضية لوجوب
النكاح …
Tentang hukum wajibnya nikah bagi yang takut terjerumus ke dalam
maksiat, karena menjauhi yang haram hukumnya wajib. Jika menjauhi yang
haram tidak bisa dilakukan kecuali melalui nikah, maka nikah hukumnya
wajib. Hadis-hadis yang menunjukkan wajibnya menikah, dipahami demikian.
(ad-Darari al-Mudhiah, 1/177).
Karena itu, jika ada orang yang meninggal sebelum menikah, insyaaAllah
dia tidak menjadi berdosa. Sementara wanita, hukum asal nikah adalah
mubah.
Maka yang rajih adalah pendapat jumhur ulama, bahwa menikah hukumnya adalah sunnah dan tidak sampai wajib, wallahu a’lam.
Namun perlu digaris-bawahi, khilafiyahyang di bahas di atas adalah jika
seseorang dalam kondisi yang aman dari fitnah dan aman dari resiko
terjerumus dalam hal-hal yang diharamkan oleh Allah terkait syahwat
kepada wanita. Adapun jika seseorang khawatir terjerumus ke dalam fitnah
semisal zina dan lainnya, tidak ada khilaf di antara para ulama bahwa
nikah dalam keadaan ini adalah wajib. Karena membentengi dan menjaga
diri dari perkara haram itu wajib, sehingga dalam kondisi ini menikah
hukumnya wajib. Al Qurthubi berkata:
قال علماؤنا: يختلف الحكم في ذلك باختلاف حال المؤمن من خوف العنت الزنى،
ومن عدم صبره، ومن قوته على الصبر، وزوال خشية العنت عنه وإذا خاف الهلاك
في الدين أو الدنيا فالنكاح حتم ومن تاقت نفسه إلى النكاح فإن وجد الطَّوْل
فالمستحب له أن يتزوج. وإن لم يجد الطول فعليه بالاستعفاف ما أمكن ولو
بالصوم لأن الصوم له وِجاءٌ كما جاء في الخبر الصحيح
“Para ulama kita berkata, hukum nikah itu berbeda-beda tergantun keadaan
masing-masing orang dalam tingkat kesulitannya menghindari zina dan
juga tingkat kesulitannya untuk bersabar. Dan juga tergantung
kekuatankesabaran masing-masing orang serta kemampuan menghilangkan
kegelisahan terhadap hal tersebut. Jika seseorang khawatir jatuh dalam
kebinasaan dalam agamanya atau dalam perkara dunianya, maka nikah ketika
itu hukumnya wajib. Dan orang yang sangat ingin menikah dan ia memiliki
sesuatu untuk dijadikan mahar untuk menikah hukumnya mustahab baginya.
Jika ia tidak memiliki sesuatu yang tidak bisa dijadikan mahar, maka ia
wajib untuk isti’faf (menjaga kehormatannya) sebisa mungkin. Misalnya
dengan cara berpuasa, karena dalam puasa itu terdapat perisai
sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih”.
Demikian semoga bermanfaat.
Bolehkah Wanita Melajang??
Allah berfirman,
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ
عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ
بِزِينَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ
Dan para wanita tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang
tiada ingin menikah, tidaklah berdosa menanggalkan pakaian luar mereka
dengan tidak (bermaksud) menampakkan aurat, dan menjaga kehormatan
adalah lebih baik bagi mereka(QS. An-Nur: 60)
Kemudian, dalam sebuah hadis, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam
menyebutkan daftar orang yang mati syahid, di luar medan jihad.
Diantaranya,
وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهَادَةٌ
”Wanita yang mati dalam keadaan jum’in, termasuk mati syahid.” (HR. Ibnu Majah 2803, dan dishahihkan al-Albani).
Diantara makna ’mati dalam keadaan jum’in’ mati dalam keadaan masih
gadis. Sebagaimana keterangan al-Hafidz Ibnu Hajar (w. 852 H) dalam
Fathul Bari (6/43).
Ibnu Hazm (w. 456 H) dalam kitabnya al-Muhalla menegaskan bahwa menikah
hukumnya wajib bagi para pemuda. Akan tetapi beliau mengecualikan
kewajiban itu bagi wanita. beliau menegaskan bahwa wanita tidak wajib
menikah. Dua dalil di atas, menjadi alasan beliau untuk mendukung
pendapatnya. Setelah membahas hukum nikah bagi pemuda, Beliau
menegaskan,
وليس ذلك فرضا على النساء، لقول الله تعالى عز وجل: {والقواعد من النساء
اللاتي لا يرجون نكاحا}، وللخبر الثابت عن رسول الله صلى الله عليه وآله
وسلم… فيها: والمرأة تموت بجمع شهيدة» . قال أبو محمد: وهي التي تموت في
نفاسها، والتي تموت بكرا لم تطمث.
“Menikah tidak wajib bagi wanita. berdasarkan firman Allah ta’ala, ‘Dan
para wanita tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang
tiada ingin menikah’ dan berdasarkan hadis shahih dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan, ‘Wanita yang mati dalam
keadaan jum’in, dia mati syahid’. Abu Muhammad (Ibnu Hazm) mengatakan,
Yaitu wanita yang mati ketika nifas atau yang mati ketika masih gadis,
yang belum digauli.” (al-Muhalla, 9/5).
Pendapat Ibnu Hazm ini dikuatkan oleh Syaikh Mustofa al-Adawi – seorang
ulama ahli hadis d Mesir –. Dalam buku beliau, Jami’ Ahkam an-Nisa
(kumpulan hukum tentang wanita), beliau menegaskan,
لا يجب على النساء أن يتزوجن، وذلك لأنني لا أعلم دليلا صريحا يوجب عليها ذلك
“Tidak wajib bagi wanita untuk menikah, karena saya tidak menjumpai
adanya dalil tegas yang menunjukkan kesimpulan wajibnya menikah bagi
mereka.” (Jami’ Ahkam an-Nisa, 5/287).
Kemudian Syaikh Musthofa menyebutkan dalil yang menguatkan pendapat
beliau, sebuah hadis dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau
menceritakan,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِابْنَةٍ لَهُ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ ابْنَتِي قَدْ أَبَتْ
أَنْ تَتَزَوَّجَ، فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: “أَطِيعِي أَبَاكِ” فَقَالَتْ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ
لَا أَتَزَوَّجُ حَتَّى تُخْبِرَنِي مَا حَقُّ الزَّوْجِ عَلَى زَوْجَتِهِ؟
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “حَقُّ الزَّوْجِ
عَلَى زَوْجَتِهِ أَنْ لَوْ كَانَتْ قَرْحَةٌ فَلَحَسَتْهَا مَا أَدَّتْ
حَقَّهُ”. قَالَتْ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَا أَتَزَوَّجُ
أَبَدًا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “لَا
تَنْكِحُوهُنَّ إِلَّا بإذنهن”
Ada seorang sahabat yang datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersama putrinya. ‘Putriku ini menolak untuk menikah.’ Kata
orang itu.
Nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ’Taati bapakmu.’
Demi Dzat yang mengutus anda dengan membawa kebenaran, saya tidak akan
menikah sampai anda sampaikan kepadaku, apa hak suami yang menjadi
kewajiban istrinya?” tanya si wanita.
Si wanita itupun mengulang-ulang pertanyaannya.
Sabda beliau, ”Hak suami yang menjadi kewajiban istrinya, bahwa andaikan
ada luka di badan suami, kemudian dia jilati luka itu, dia belum
memenuhi seluruh haknya.”
” Demi Dzat yang mengutus anda dengan membawa kebenaran, saya tidak akan menikah selamanya.”
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Janganlah kalian
menikahkan putri kalian, kecuali dengan izin mereka.” (HR. Ibnu Hibban
4164, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 17122, al-Hakim dalam Mustadrak
2767, ad-Darimi dalam Sunannya 3571. Hadis ini dinilai hasan Syuaib
al-Arnauth)
Anda bisa perhatikan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
menyalahkan perkataan wanita tersebut, yang bersumpah tidak akan menikah
selamanya. Menunjukkan bahwa prinsip itu tidaklah bertentangan dengan
syariat.
Boleh bukan Berarti Dianjurkan
Boleh bukan berarti dianjurkan. Karena secara umum, bagi seluruh kaum
muslimin, menikah jauh lebih baik dari pada melajang. Ada sejuta manfaat
dan kebaikan yang didapatkan seseorang melalui jalan menikah. Manfaat
dunia dan akhirat. Dalam al-Quran menceritakan tentan para rasul-Nya,
bahwa diantara ciri mereka adalah memiliki istri dan keluarga,
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
Sungguh Aku telah mengutus banyak rasul sebelum kamu, dan Aku jadikan untuk mereka, istri dan keluarga…(QS. Ar-Ra’du: 38).
Kita memahami, sifat terpuji yang dimiliki para rasul sangat banyak.
Karena mereka adalah manusia pilihan yang Allah tunjuk sebagai
utusannya. Segala kelebihan dzahir dan batin ada pada mereka. Baik yang
diceritakan dalam al-Quran maupun yang tidak diceritakan. Terlebih ciri
dan sifat yang diceritakan yang disebutkan dalam al-Quran, umumnya
memiliki nilai yang lebih istimewa, atau setidaknya bisa dijadikan
panutan bagi manusia lainnya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, bahwa Sa’d bin Hisyam pernah menemui
Aisyah radhiyallahu ‘anha dan berkata, “Saya ingin melajang sampai
mati.” Seketika itu, Aisyah langsung menyanggah,
لَا تَفْعَلْ، أَمَا سَمِعْتَ اللَّهَ يَقُولُ: وَلَقَدْ أَرْسَلْنا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنا لَهُمْ أَزْواجاً وَذُرِّيَّةً
“Jangan kau lakukan. Tidakkah kau mendengar firman Allah (yang artinya),
‘Sungguh Aku telah mengutus banyak rasul sebelum kamu, dan Aku jadikan
untuk mereka, istri dan keluarga…’.” (Fathul Qadir, 3/106).
Meskipun semuanya akan memberikan konsekuensi, yang manis maupun pahit.
Karena semua pilihan dalam hidup pasti mengandung manfaat sekaligus
resiko. Namun bagi muslim yang sabar, segala bentuk resiko itu, justru
akan menjadi sumber pahala baginya.
Repotnya istri melayani suami, menjadi sumber pahala baginya.
Muncul konflik keluarga, bisa menjadi penghapus dosa jika disikapi dengan benar.
Repotnya sang ibu ketika hamil dan melahirkan, menjadi sumber pahala baginya.
Repotnya sang ibu mengurus anak, menjadi sumber pahala baginya.
Karena semua kesedihan yang dialami muslim, tidak akan disia-siakan oleh Allah,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ وَلاَ
حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا
كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidak ada satu musibah yang menimpa setiap muslim, baik rasa capek,
sakit, bingung, sedih, gangguan orang lain, resah yang mendalam, sampai
duri yang menancap di badannya, kecuali Allah jadikan hal itu sebagai
sebab pengampunan dosa-dosanya.” (HR. Bukhari 5641).
Allahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar