Islam menganjurkan, supaya pemeluk-pemeluknya mempelajari segala macam
ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan duniawi dan ukhrawi. Dari
sekian banyak ilmu, yang tidak kurang pentingnya untuk dipelajari adalah
ilmu faraidh (pembagian harta warisan). Rasulullah bersabda :
تَعَلَّمُوْاالْفَرَائِضَ وَعَلِمُوْهَا النَّاسَ فَإِنِّى
امْرُؤٌمَقْبُوْضٌ وَاِنَّ الْعِلْمَ سَيُقْبَضُ وَتَظْهَرُالْفِتَنُ
حَتَّى يَخْتَلِفَ اِثْنَانِ فِى الْفَرِيْضَةِ فَلاَ يَجِدَانِ مَنْ
يَقْضِى بَيْنَهُمَا ( رواه الحاكم )
“Pelajarilah ilmu faraidh (pembagian harta warisan) dan ajarkan kepada
manusia. Sesungguhnya aku seorang manusia yang bakal dicabutnya waktu
dan ilmu itupun akan turut tercabut pula.Bakal lahirlah nanti
fitnah-fitnah, sehingga terjadilah perselisihan antara dua orang
mengenai warisan, maka tidak didapatinya orang yang akan memberikan
putusan (mengenai perselisihan yang terjadi) di antara keduanya” (H.R.
Hakim )
Adapun tujuan utama mempelajari faraidh adalah, agar kita dapat
mengetahui dengan sebenar-benarnya tentang pembagian warisan yang
berhak, sehingga tidak sampai terjadi seseorang mengambil hak orang lain
dengan cara yang tidak halal. Sebab, apabila seseorang telah meninggal
dunia, maka harta peninggalannya telah terlepas dari pada hak miliknya
dan berpindah menjadi milik orang lain yaitu orang yang menjadi ahli
warisnya.
Sebelum harta peninggalan itu dibagi-bagikan, statusnya masih tetap
menjadi hak milik bersama dari ahli waris. Kadang-kadang di antara ahli
waris itu, terdapat anak-anak yatim. Jadi dengan adanya pembagian harta
warisan menurut ketentuan Agama Islam, selamatlah orang dari
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, yaitu mengambil dan memakan
hak dan milik orang lain dan anak-anak yatim dengan jalan yang tidak
halal.
Di samping itu, kita tentu telah mendengar ataupun melihat dengan mata
kepala sendiri, bahwa perselisihan sering terjadi di antara orang
bersaudara, disebabkan pembagian harta warisan. Bahkan perselisihan
tersebut, ada yang membawa kepada permusuhan bahkan pembunuhan.
Perselisihan dan permusuhan bahkan dapat diatasi, apabila ada
pengetahuan mengenai pembagian harta warisanitu dan adanya kesadaran
untuk menjalankan ajaran-ajaran agama Islam.
Pembicaraan dalam kitab faraidh berkenaan dengan orang yang mewarisi
atau tidak. Kemudian jika orang itu mewarisi, apakah selamanya mewarisi
atau ia mewarisi bersama ahli waris lain. Jika ia mewarisi sendiri atau
bersama ahli waris lain berapa besarnya harta yang diterima.
Metode yang akan dikemukakan di sini adalah dengan menyebutkan kedudukan
tiap-tiap kelompok ahli waris dikala sendiri ataupun dikala berhimpun
dengan kelompok lain. Sebagai contoh adalah tinjauan tentang anak jika
ia sendirian, berapakah bagian warisannya? Kemudian jika ditinjau
kedudukannya jika bersama kelompok pewaris lain.
Tujuan ilmu mawaris yaitu agar kaum muslimin bertanggung jawab dalam
melaksanakan syariat Islam bidang pembagian harta warisan, supaya dapat
memberikan solusi terhadap pembagian harta warisan yang sesuai dengan
perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, agar terhindar dari pembagian yang
salah (menurut kepentingan pribadi) bagi umat Islam, segala persoalan
hidup manusia baik yang berhubungan dengan Allah حَبْلٌ مِنَ اللهِ dan
yang terkait dengan manusia lainnyaحَبْلٌ مِنَ النَّاسِ adalah diatur
di dalam syariat Islam.
Di samping hal-hal tersebut di atas, tujuan ilmu mawaris adalah untuk
menyelamatkan harta benda si mayit agar terhindar dari pengambilan harta
orang-orang yang berhak menerimanya dan jangan ada orang-orang makan
harta hak milik orang lain, dan hak milik anak yatim dengan jalan yang
tidak halal.
Kedudukan Ilmu Mawaris
Ilmu mawaris adalah ilmu yang sangat penting dalam Islam, karena dengan
ilmu mawaris harta peninggala seseorang dapat disalurkan kepada yang
berhak, sekaligus dapat mencegah kemungkinan adanya perselisihan karena
memperebutkan bagian dari harta peninggalan tersebut. Dengan ilmu
mawaris ini, maka tidak ada pihak-pihakyang merasa dirugikan. Karena
pembagian harta warisan ini adalah yang terbaik dalam pandangan Allah
dan manusia.
Ilmu mawaris ini benar-benar harus dipahami, agar dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Kedudukan ilmu mawaris itu dimana-mana sudah hamper hilang, orang-orang
yang mempunyai ilmu ilmu ini hampir sudah tidak ada dan pembagian harta
waris yang diatur menurut syari’at Islam itu sudah tidak banyak
dilaksanakan oleh umat Islam sendiri. Kalau ada orang yang mati
meninggalkan harta pusaka, tidak segera dibagikan kepada yang berhak
menerimanya, sehingga akhirnya harta itu habis tidak dibagi.
Rasulullah SAW. 14 abad yang lalu sudah mensinyalir keadaan yang
demikian, sehingga beliau sangat menekankan kaum muslimin untuk
mempelajari ilmu faraidh, karena ilmu ini lama-lama akan lenyap, yakni
orang-orang menjadi malas untuk melaksanakan pembagian harta pusaka
menurut semestinya, yang diatur oleh hokum Islam.
Nabi Muhammad SAW menganggap pentingnya ilmu faraidh ini dan mengkhawatirkan kalau ilmu faraidh ini akan terlupakan.
Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ أَبِيْ هُرٓيْرٓةٓ قٓالٓ قٓالٓ رٓسُوْلُ اللّٰه صَلَّى اللّٰهُ
عَلَيْهِ وَسَلّمَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ تَعَلَّمُوا الْفَرَائِضَ
وَعَلِّمُوْهَا فَّإنَّهُ نِفْصُ الْعِلمِ وَهُوَ أَوَّلُ شَيْءٍ يُنْزَعُ
مِنْ أُمَّتتِيْ (رواه ابن ماجه والداررقطى)
Artinya:
“Dari Abu Hurairah berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda, ‘Hai Abu
Hurairah, pelajarilah faraidh dan ajarkanlah kepada orang lain, karena
masalah ini adalah separuh ilmu, dan mudah dilupakan, serta ilmu itu
yang pertama-tama akan dicabut dari umatku’.” (HR. Ibnu Majah dan
Daruqutni)
Dengan demikian, ilmu ini dinamakan ilmu mawaris karena mempelajari
tentang ketentuan-ketentuan pembagian harta pusaka bagi ahli waris
menurut hukum Islam. Disebut ilmu faraidh karena membahas
ketentuan-ketentuan atau bagian-bagian yang telah ditentukan terhadap
masing-masing ahli waris. Sebagaimana definisi faraidh di bawah ini :
وَاَمَّافِى الشَّرْعِ فَالْفَرْضُ نَسِيْبٌ مُقَدَّرٌشَرْعًالِمُسْتَحِقِّهِ
“Adapun ilmu faraidh menurut syara’ adalah bagian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’ bagi yang berhak ( ahli waris ).
Hukum Mempelajari Ilmu Mawaris
Ingatlah ;
Hukumnya fardhu kifayah
Para ulama berpendapat bahwa mempelajari dan mengajarkan fiqh mawaris
adalah wajib kifayah. Artinya kewajiban yang apabila telah ada sebagian
orang yang memenuhinya, dapat menggugurkan kewajiban semua orang. Tetapi
apabila tidak ada seorang pun yang menjalani kewajiban itu, maka semua
orang menanggung dosa. Ini sejalan dengan perintah Rasulullah SAW agar
umatnya mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh sebagaimana mempelajari
dan mengajarkan Al Qur’an :
تَعَلَّمُوْا الْقُرْآنَ وَعَلِّمُوْهُ النَّاسَ وَتَعَلَّمُوْا
الْفَرَئِضَ وَعَلِّمُوْهَا النَّاسَ فَاِنِّى امْرُوءٌ مَقْبُوْضٌ
وَالْعِلْمُ مَرْفُوْعٌ وَيُوْشِكُ أَنْ يَخْتَلِفَ اثْنَانِ فِى
الْفَرِيْضَةِ فَلاَ يَجِدَانِ اَحَدًا يُخْبِرْهُمَا (اخرده احمد والنسائ
والدرقطتى)
“Pelajarilah oleh kalian al Qur’an dan ajarkanlah kepada orang lain, dan
pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada orang lain. Karena aku
adalah orang yang bakal terenggut (mati) sedang ilmu akan dihilangkan.
Hampir saja dua orang yang bertengkar tentang pembagian warisan tidak
mendapatkan seorangpun yang dapat memberikan fatwa kepada mereka”
(Riwayat Ahmad, Al Nasai, dan Al Daruqutni)”.
Oleh karena itu, dilihat dari satu sisi, mempelajari dan mengajarkan
ilmu mawaris dapat berubah statusnya menjadi wajib ‘ain, terutama bagi
orang-orang yang dipandang sebagai pimpinan, terutama pemimpin
keagamaan.
Mempelajari ilmu mawaris adalah fardhu kifayah. Kita umat Islam wajib
mengetahui ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah dalam pembagian
harta warisan.
Nabi bersabda
أَقْسَمُوا الْمَالَ بَيْنَ اَهْلِ الْفَرَائِضِ عَلَى كِتَابِ اللهِ (رواه مسلم و ابو داوود)
“Bagilah harta warisan antara ahli-ahli waris menurut kitab Allah ( Al Qur’an)”.
Karena pentingnya ilmu faraidh dalam masyarakat sehingga Nabi menyebutnya dengan separuh ilmu, sebagaimana sabda beliau :
تَعَلَّمُوا الْفَرَيِضَ وَعَلَّمُوْهَا فَاِنَّهَا نِصْفُ الْعِلْمِ
وَهُوَ يُنْسَى وَهُوَ اَوَّلُ شَيِئٍ يُرْفَعُ مِنْ اُمَّتِى (رواه ابن
ماجة والدرقطنى)
“Belajarlah ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada manusia maka
sesungguhnya (ilmu) faraidh adalah separoh ilmu agama dan ia akan
dilupakan (oleh manusia) dan merupakan ilmu yang pertama diambil dari
ummatku (HR. Ibnu Majah dan Daruqutni)
Sebelum dilaksanakan pembagian warisan, terlebih dahulu harus
dilaksanakan beberapa hak yang ada sangkut pautnya dengan harta
peninggalan itu. Hak-hak yang harus diselesaikan dan harus dibayar
adalah :
1) Zakat; apabila telah sampai saatnyauntuk mengeluarkan zakatnya, maka dikeluarkan untuk itu terlebih dahulu.
2) Belanja; yaitu biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan dan
pengurusan jenazah, seperti halnya untuk membeli kain kafan, upah
penggali kuburan dan lain sebagainya.
3) Hutang; jika mayat itu meninggalkan hutang, maka hutangnya mesti dibayar terlebih dahulu.
4) Wasiat; jika mayat meninggalkan pesan (wasiat), agar sebagaian
dari harta peninggalannya diberikan kepada seseorang, maka wasiat inipun
harus dilaksanakan.
Apabila keempat macam hak tersebut di atas ( zakat, biaya penguburan,
hutang dan wasiat ), sudah diselesaikan semua, maka harta warisan yang
selebihnya dapat dibagi-bagikan kepada ahli yang berhak menerimanya.
DEFINISI DAN PENGERTIAN WARISAN (FARAID)
Warisan berasal dari bahasa Arab al-irts (الإرث) atau al-mirats
(الميراث) secara umum bermakna peninggalan (tirkah) harta orang yang
sudah meninggal (mayit).
Secara etimologis (lughawi) waris mengandung 2 arti yaitu (a) tetap dan
(b) berpindahnya sesuatu dari suatu kaum kepada kaum yang lain baik itu
berupa materi atau non-materi.
Sedang menurut terminologi fiqih/syariah Islam adalah berpindahnya harta
seorang (yang mati) kepada orang lain (ahli waris) karena ada hubungan
kekerabatan atau perkawinan dengan tata cara dan aturan yang sudah
ditentukan oleh Islam berdasar QS An-Nisa' 4:11-12.
I. DALIL DASAR HUKUM WARIS
Hukum waris dalam Islam berdasarkan pada nash (teks) dalam Al-Quran sebagai berikut:
- QS An-Nisa' 4:11-12
"يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ
الأُنثَييْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا
مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ
لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ
فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ
الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ
وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لا
تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ
ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ ۚ مِنْ
بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۚ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ
مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ
وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ
تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ
امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ ۚ
فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ ۚ
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ ۚ
وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian
dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih
dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan;
jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta.
Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang
yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia
buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (ayat 11).
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu
itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sdsudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai
anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,
tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,
sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (ayat 12)
- QS An-Nisa' 4:176
يَسْتَفْتُونَكَ قُلْ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ إِنْ امْرُؤٌ
هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ
يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ
فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ
Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu(tentang kalalah). Katakanlah:
"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah(yaitu): jika seorang
meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta
yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh
harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika
saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal.
KEWAJIBAN AHLI WARIS KEPADA PEWARIS
Sebelum harta dibagi, ahli waris punya kewajiban terdadap pewaris yang wafat sbb:
a. mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;
b. menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun penagih piutang;"
c. menyelesaikan wasiat pewaris;
d. membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.
*Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.
SYARAT WARISAN ISLAM
Syarat waris Islam ada 3 (tiga) yaitu:
1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hukum (misalnya dianggap telah meninggal).
2. Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing.
RUKUN WARIS ISLAM
Rukun waris ada 3 (tiga) yaitu:
1. Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia.
2. Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris.
3. Harta warisan.
NAMA AHLI WARIS DAN BAGIANNYA
Dari seluruh ahli waris yang tersebut di bawah ini, yang paling penting
dan selalu mendapat bagian warisan ada 5 yaitu anak kandung (laki-laki
dan perempuan), ayah, ibu, istri, suami.
Artinya apabila semua ahli waris di bawah berkumpul, maka yang mendapat warisan hanya kelima ahli waris di atas.
Sedangkan ahli waris yang lain dapat terhalang haknya (hijab/mahjub)
karena bertemu dengan ahli waris yang lebih tinggi seperti cucu bertemu
dengan anak.
Daftar nama ahli waris dan rincian bagian harta warisan yang diperoleh dalam berbagai kondisi yang berbeda.
BAGIAN WARIS ANAK LAKI-LAKI
Anak laki-laki selalu mendapat asabah atau sisa harta setelah dibagikan
pada ahli waris yang lain. Walaupun demikian, anak laki-laki selalu
mendapat bagian terbanyak karena keberadaannya dapat mengurangi bagian
atau menghilangkan sama sekali (mahjub/hirman) hak dari ahli waris yang
lain.
Dalam ilmu faraidh, anak laki-laki disebut ahli waris ashabah binafsih (asabah dengan diri sendiri)
BAGIAN WARIS ANAK PEREMPUAN
- Anak perempuan mendapat 1/2 (setengah) harta warisan apabila (a) sendirian (anak tunggal) dan (b) tidak ada anak laki-laki.
- Anak perempuan Mendapat 2/3 (dua pertiga) apabila (a) lebih dari satu dan (b) tidak ada anak laki-laki.
- Anak perempuan mendapat bagian asabah (sisa) apabila ada anak
laki-laki. Dalam keadaan ini maka anak perempuan mendapat setengah atau
separuh dari bagian anak laki-laki. (QS An-Nisa' 4:11)
BAGIAN WARIS AYAH
- Ayah mendapat 1/3 (sepertiga) bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak.
- Ayah Mendapat bagian 1/6 (seperenam) apabila ada keturunan pewaris
yang laki-laki seperti anak atau cucu laki-laki dan kebawah.
- Ayah mendapat bagian asabah dan bagian pasti sekaligus apabila ada
keturunan pewaris yang perempuan saja yaitu anak perempuan atau cucu
perempuan dan kebawah. Maka, ayah mendapat 1/6 (seperenam) dan asabah.
- Ayah mendapat bagian waris asobah atau siswa apabila pewaris tidak memiliki keturunan baik anak atau cucu ke bawah.
*Yang terhalang (mahjub) karena ayah adalah saudara laki-laki kandung,
saudara laki-laki sebapak, saudara laki-laki seibu. Semua tidak mendapat
warisan karena adanya Ayah atau Kakek.
BAGIAN WARIS IBU
- Ibu mendapat 1/3 (sepertiga) warisan dengan syarat (a) tidak ada
keturunan pewaris yaitu anak, cucu, dst; (b) tidak berkumpulnya beberapa
saudara laki-laki dan saudara perempuan; (c) tidak adanya salah satu
dari dua masalah umroh.
- Ibu mendapat 1/6 (seperenam) apabila (a) pewaris punya keturunan yaitu
anak, cucu, kebawah; (b) atau adanya dua saudara laki-laki dan
perempaun atau lebih.
- Ibu mendapat 1/3 (seperti) sisanya dalammasalah umaritain (umar dua) yaitu:
-- Istri, Ibu, Bapak. Masalah dari empat: suami 1/4 (satu), ibu 1/3 sisa (satu), yang lain untuk bapak (dua).
-- Suami, Ibu, Bapak. Masalah dari enam: suami 1/2 (tiga), ibu sisa 1/3 (satu), sisanya untuk bapak (dua).
*Ibu mendapat 1/3 dari sisa agar supaya tidak melebihi bagian bapak
karena keduanya sederajat dari awal dan supaya laki-laki mendapat bagian
dua kali lipat dari perempuan. (QS An-Nisa' 4:11)
BAGIAN WARIS SUAMI (DUDA)
- Suami atau duda yang ditinggal mati istri mendapat 1/2 (setengah)
apabila istri tidak punya keturunan yang mewarisi yaitu anak laki-laki
dan perempuan, cucu lak-laki dan kebawah, sedang cucu perempuan tidak
menerima warisan.
- Suami mendapat 1/4 apabila ada keturunan yang mewarisi, baik mereka
berasal dari hubungan dengan suami yang sekarang atau suami yang lain.
BAGIAN WARIS ISTRI (JANDA)
- Istri atau janda yang ditinggal mati suami mendapat 1/4 (seperempat)
bagian apabila tidak ada keturunan yang mewarisi yaitu anak laki dan
perempuan, cucu laki-laki dan kebawah.
- Istri mendapat 1/8 (seperdelapan) bagian apabila suami punya keturunan
yang mewarisi baik dari istri sekarang atau istri yang lain.
- Istri yang lebih dari satu harus berbagi dari bagian 1/4 atau 1/8 tersebut. (QS An-Nisa' 4:12)
BAGIAN WARIS KAKEK
- Kakek mendapat bagian 1/6 (seperenam) dengan syarat (a) adanya keturunan yang mewarisi; (b) tidak ada bapak.
- Kakek mendapat bagian asabah (siswa) apabila (a) mayit atau pewaris
tidak punya keturunan yang mewarisi (anak kandung laki perempuan; cucu
laki dan kebawah); (b) tidak ada bapak.
- Kakek mendapat bagian pasti dan asabah sekaligus apabila (a) ada
keturunan yang mewarisi yang perempuan yaitu anak perempuan dan cucu
perempuan anak laki (bintul ibni).
- Apabila ada bapak, maka kakek tidak mendapat apa-apa.
* Kakek yang mendapat warisan adalah yang tidak ada hubungan perempuan
antara dia dan mayit seperti bapaknya bapak. Bagiannya seperti bagian
warisnya bapak kecuali dalam masalah umariyataindalam kasus terakhir
maka ibu bersama kakek mendapat bagian 1/3 dari seluruh harta sedangkan
apabila bersama ayah mendapat 1/3 dari sisa setelah diberikannya bagian
suami/istri.
BAGIAN WARIS NENEK
- Nenek satu atau lebih mendapat 1/6 (seperenam) dengan syarat tidak ada ibu.
* Nenek terhalang (mahjub) alias tidak mendapat apa-apa apabila ada ibu.
* Nenek yang mendapat warisan adalah ibunya ibu, ibunya ayah, ibunya
kakek dan keatas dari perempuan, dua dari arah ayah dan satu dari arah
ibu.
BAGIAN WARIS CUCU LAKI-LAKI
Cucu laki-laki dari anak laki-laki mendapat bagian warisan dengan syarat dan ketentuan berikut:
- Bagian yang didapat adalah sisa tirkah (peninggalan) setelah dibagi
dengan ahli waris lain yang mendapat bagian pasti (ashabul furudh)
- Tidak ada anak dari mayit yang masih hidup. Kalau ada anak pewaris
yang masih hidup, maka cucu tidak mendapat hak waris karena terhalang
(mahjub) oleh anak.
BAGIAN WARIS CUCU PEREMPUAN ANAK LAKI (BANATUL IBNI)
- Cucu perempuan dari anak laki (bintul ibni) satu atau lebih mendapat
bagian asabah apabila berkumpul bersama saudaranya yang sederajat yaitu
cucu laki-laki dari anak laki (ibnul ibni)
- Bintul ibni mendapat 1/2 (setengah) apabila (a) tidak ada saudara
laki-laki sederajat; (b) sendirian atau tidak ada bintul ibni yang lain;
(c) tidak ada keturunan yang mewarisi yaitu anak laki dan anak
perempuan.
- Cucu perempuan dua atau lebih mendapat 2/3 (dua pertiga) dengan syarat
(a) ada dua cucu perempuan dari anak laki atau lebih; (b) tidak ada
ahli waris asabah (ibnul ibni - cucu laki dari anak laki) yaitu saudara
laki-lakinya; (c) tidak ada keturunan yang mewarisi yang lebih tinggi
yaitu anak laki dan anak perempuan.
- Cucu perempuan dari anak laki satu atau lebih mendapat bagian 1/6
(seperenam) apabila (a) tidak ada ahli waris asabah atau cucu laki-laki;
(b) tidak ada keturunan yang mewarisi yang lebih tinggi yaitu anak
kecuali anak perempuan (binti) yang mendapat 1/2.
* Cucu perempuan dari anak laki (bintul ibni) mendapat 1/6 apabila
bersama anak perempuan yang mendapat 1/2 (separuh). Begitu juga,
hukumnya cicit perempuan (bintu ibni ibni) bersama cucu perempuan
(bintul ibni), dan seterusnya ke bawah.
BAGIAN WARIS SAUDARA LAKI-LAKI KANDUNG
- Saudara laki-laki kandung mendapat warisan sisa (asabah) dengan syarat
apabila (a) tidak ada anak laki-laki; (b) tidak ada cucu laki-laki dari
anak laki-laki; (c) tidak ada bapak; (d) tidak ada kakek (menurut
beberapa pendapat). Apabila ada para ahli waris ini, maka ia tidak
mendapat warisan sama sekali karena terhalang (mahjub).
BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG
- Saudara perempuan kandung mendapat 1/2 (setengah) dengan syarat (a)
sendirian alias tidak ada saudara perempuan kandung yang lain; (b) tidak
ada saudara kandung laki-laki; (c) tidak ada bapak atau kakek; (d)
tidak ada anak, atau cucu.
- Mendapat 2/3 (dua pertiga) apabila (a) lebih dari satu; (b) tidak ada
anak / cucu; (b) tidak ada bapak atau kakek; (c) tidak ada saudara
kandung.
- Mendapat bagian asabah (sisa) apabila (a) bersamaan dengan saudara
kandung laki-laki; (b) bersamaan dengan anak perempuan. Lihat, QS
An-Nisa' 4:176
- Tidak mendapat bagian (mahjub) apabila ada anak laki-laki; cucu laki-laki dari anak laki-laki; bapak; kakek.
BAGIAN WARIS SAUDARA LAKI-LAKI SEBAPAK
- Saudara laki-laki sebapak mendapat warisan sisa (asabah) dengan syarat
apabila (a) tidak ada saudara laki-laki kandung; (b) tidak ada anak
laki-laki; (c) tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki; (d) tidak
ada bapak; (e) tidak ada kakek (menurut beberapa pendapat).
BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN SE-BAPAK (SE-AYAH) - UKHTI LI ABI
- Saudara perempuan se-bapak/se-ayah atau ukhti li abi mendapat bagian
1/2 (setengah) dengan syarat (a) sendirian alias tidak bersamaan dengan
ukhti li abi yang lain; (b) tidak ada ahli waris asabah atau saudara
laki-nya; (c) tidak ada orang tua laki ke atas (ayah, kakek) yang
mewarisi; (d) tidak ada keturunan ke bawah (anak, cucu); (e) tidak ada
saudara kandung laki atau perempuan.
- Saudara perempuan sebapak (ukhti li abi) mendapat bagian 2/3 (dua
pertiga) dengan syarat (a) bersamaan dengan ukhti li abi yang lain; (b)
tidak ada ahli waris asabah atau saudara laki-nya; (c) tidak ada orang
tua laki ke atas (ayah, kakek) yang mewarisi; (d) tidak ada keturunan ke
bawah (anak, cucu); (e) tidak ada saudara kandung laki atau perempuan.
- Saudara perempuan sebapak (ukhti li abi) satu atau lebih mendapat
bagian 1/6 (seperenam) dengan syarat (a) bersamaan dengan saudara
perempuan kandung (ukhti syaqiqah) satu yang mendapat bagian pasti; (b)
tidak ada ahli waris asabah atau saudara lakinya; (c) tidak ada
keturunan yang mewarisi (anak, cucu); (d) tidak ada orang tua (aslul
waris) yang mewarisi dari pihak laki seperti ayah, kakek, dst; (e) tidak
ada saudara kandung satu atau lebih.
- Saudara perempuan sebapak (ukhti li abi) satu atau lebih mendapat
bagian asabah dengan syarat (a) apabila bersama dengan ahli waris asabah
yaitu saudara lakinya, maka yang laki mendapat dua kali lipat; (b)
bersamaan dengan keturunan yang mewarisi dari pihak perempuan seperti
anak perempuan.
*Apabila tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, yakni apabila ada anak
laki-laki; cucu laki-laki dari anak laki-laki; bapak; kakek, saudara
kandung, maka Saudara perempuan sebapak (ukhti li abi) tidak mendapat
bagian waris apapun.
BAGIAN WARIS SAUDARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN SE-IBU - AKHI/UKHTI LI UMMI
- Saudara seibu (akh li ummi) baik laki atau perempuan mendapat bagian
1/6 (seperenam) dengan syarat (a) tidak ada keturunan yang mewarisi
yaitu anak, cucu, dst; (b) tidak ada orang tua laki-laki yaitu bapak,
kakek, dst; (c) sendirian.
- Saudara seibu (akh li ummi) baik laki atau perempuan mendapat bagian
1/3 dengan syarat (a) dua atau lebih; (b) tidak ada keturunan yang
mewarisi yaitu anak, cucu, dst; (c) tidak ada orang tua yang mewarisi
dari pihak laki yaitu bapak, kakek, dst. (QS An-Nisa' 4:12).
AHLI WARIS DAN BAGIAN WARISAN
Dalam ilmu faraidh (faroidh) ada 2 istilah yang paling dikenal yaitu
al-furudh al-muqaddarah (bagian yang ditentukan) dan asabah atau bagian
yang tidak ditentukan.
A. Al-Fardhu al-Muqaddarah (Bagian yang ditentukan).
Yaitu jumlah atau porsi bagian warisan yang ditentukan oleh syariah
yaitu 1/2 (setengah), 1/4 (seperempat), 1/8 (seperdelapan), 2/3 (dua
pertiga), 1/3 (sepertiga), 1/6 (seperenam).
B. Ashabah (At-Tanshib)
Yaitu orang yang mendapatkan harta warisan yang belum ditetapkan atau ahli waris yang tidak memiliki bagian tertentu.
AHLI WARIS ADA 3 (TIGA) MACAM
Ahli waris ada 3 macam yaitu ashabul furudh yang memiliki bagian yang
sudah ditentukan seperti 1/2, 1/3, 2/3, dst, ahli waris ashabh yang
tidak memiliki bagian yang ditentukan dan ahli waris gabungan keduanya
sesuai dengan kondisi dan situasi ada atau tidak adanya ahli waris yang
lain.
AHLI WARIS ASHABUL FURUDH
(i) Ashabul Furudh/Dzawil Furudh saja yaitu Ahli waris dengan bagian
tertentu yaitu ibu, saudara laki seibu, saudara perempuan seibu, nenek
dari ibu atau bapak, suami, istri.
AHLI WARIS ASHABAH
(ii) Ahli waris asabah saja artinya ahli waris yang menerima bagian sisa
yaitu anak laki, cucu ke bawah, saudara laki kandung, saudara sebapak,
anak saudara laki kandung, anak saudara laki sebapak ke bawah, paman
kandung dari ayah (العم الشقيق), paman kandung dari ayah sebapak ( العم
لأب) dan ke atas, anak laki paman kandung dari ayah (إبن العم الشقيق),
anak laki paman dari ayah sebapak ( إبن العم لأب) dan ke bawah.
AHLI WARIS GABUNGAN FURUDH DAN ASHABAH
(iii) Ahli waris dengan bagian tertentu dan ashabah sekaligus atau
salahsatunya yaitu bapak, kakek, (b) ahli waris ashabul furudh atau
ashabah yaitu anak perepuan satu atau lebih, cucu perempuan dari anak
laki (بنت الإبن) satu atau lebih, saudara perempuan satu atau lebih,
saudara perempuan sebapak satu atau lebih.
AHLI WARIS ASHABUL/DZAWIL FURUDH DAN BAGIANNYA
Ahli waris dzawil furudh/ashabul furudh dan bagian-bagian yang telah ditentukan untuk mereka adalah sbb:
A. Bagian 1/2 (setengah)
Ahli waris yang mendapat bagian 1/2 dengan syarat tertentu adalah sbb:
(i) Suami apabila istri tidak punya anak.
(ii) Anak perempuan apabila sendirian (anak tunggal) dan tidak ada anak laki-laki (alias saudara kandung).
(iii) Cucu perempuan dari anak laki ( بنت إبن) apabila sendirian serta
tidak adanya anak perempuan atau ahli waris anak laki-laki.
(iv) Saudara perempuan kandung dalam situasi kalalah[1] dan sendirian
serta tidak ada anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki (بنت
الإبن).
(v) Saudara perempaun sebapak dalam situasi kalalah dan sendirian serta
tidak adanya anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki (بنت الإبن),
dan saudara perempuan kandung.
B. Bagian 1/4 (seperempat)
Ahli waris yang mendapat bagian 1/4 dengan syarat tertentu adalah sbb:
(i) Suami apabila ada ahli waris anak laki-laki dari istri.
(ii) Istri apabila tidak ada anak laki-laki.
C. Bagian 1/8 (Seperdelapan)
Yaitu istri apabila ada ahli waris anak laki-laki.
D. Bagian 2/3 (Dua Pertiga)
Yang mendapat bagian 2/3 adalah ahli waris yang mendapat bagian 1/2 (setengah) apabila berkumpul lebih dari satu yaitu
(i) Dua anak perempuan atau lebih.
(ii) Dua cucu perempuan dari anak laki-laki atau lebih.
(iii) Dua saudara perempuan kandung atau lebih
(iv) Dua saudara perempaun sebapak atau lebih.
E. Bagian 1/3 (Sepertiga)
Ahli waris yang mendapat bagian 1/3 dengan syarat tertentu adalah sbb:
(i) Ibu apabila tidak ada anak laki-laki dan saudara laki tidak lebih dari satu.
(ii) Dua atau lebih dari saudara laki-laki atau saudara perempuan yang seibu
apabla tidak ada anak laki dan tidak ada bapak/kakek dari pihak laki-laki.
F. Bagian 1/6 (Seperenam)
Ahli waris yang mendapat bagian 1/6 dengan syarat tertentu adalah sbb:
(i) Bapak apabila ada anak laki-laki.
(ii) Kakek apabila ada anak laki-laki dan tidak ada ayah.
(iii) Ibu apabila ada anak laki-laki atau saudara laki yang lebih dari satu.
(iv) Nenek sebapak atau seibu apabila tidak ada ibu.
(v) Saudara laki atau saudara perempuan seibu apabila tidak ada salah
satunya serta tidak adanya anak atau bapak/kakek dari pihak laki-laki.
(vi) Cucu perempuan dari anak laki (بنت الإبن) apabila bersamaan dengan
anak perempuan yang mendapatkan bagian 1/2 serta tidak adanya cucu
laki-laki dari anak laki (ابن الإبن).
(vii) Saudara perempuan sebapak apabila bersamaan dengan saudara
perempuan kandung yang mendapat bagian 1/2 serta tidak adanya saudara
laki sebapak.
AL-MAHJUB PENGHALANG AHLI WARIS MENDAPAT WARISAN
Sebagian ahli waris terhalang haknya untuk mendapat warisan karena
keberadaan ahli waris yang lain yang lebih tinggi kedudukannya. Mereka
adalah sbb:
AHLI WARIS LAKI-LAKI
1. Cucu dari anak laki tidak mendapat warisan apabila ada anak laki-laki.
2. Kakek tidak mendapat warisan apabila ada Bapak; kakek yang lebih dekat.
3. Saudara sekandung tidak mendapat warisan apabila ada Anak laki-laki;
cucu laki-laki dari anak laki-laki; bapak; kakek (menurut beberapa
pendapat).
4. Saudara laki-laki seayah tidak mendapat warisan apabila ada Anak
laki-laki; cucu laki-laki dari anak laki-laki; bapak; kakek (menurut
beberapa pendapat); saudara laki-laki kandung; saudara perempuan kandung
jika menjadi ashabah dengan anak perempuan.
5. Saudara laki-laki seibu tidak mendapat warisan apabila ada Anak laki
atau perempuan; cucu laki atau perempuan dari anak laki-laki; bapak;
kakek.
6. Anak saudara laki-laki kandung tidak mendapat warisan apabila ada
Anak laki-laki; cucu laki-laki dari anak laki-laki; bapak; kakek;
saudara laki kandung; saudara laki seayah, dan saudara perempuan kandung
atau seayah jika menjadi ashabah.
7. Anak saudara laki seayah tidak mendapat warisan apabila ada penghalang dalam poin 6, ditambah anak saudara sekandung.
8. Paman kandung tidak mendapat warisan apabila ada penghalang dalam poin 7, ditambah anak saudara seayah.
9. Paman seayah tidak mendapat warisan apabila ada penghalang dalam poin 8, ditambah paman kandung.
10. Anak paman kandung tidak mendapat warisan apabila ada penghalang dalam poin 9, ditambah paman seayah.
11. Anak paman seayah tidak mendapat warisan apabila ada penghalang dalam poin 9, ditambah anak paman kandung.
12. Pemilik yang membebaskan budak tidak mendapat warisan apabila ada Semua ashabah nasabiyah.
AHLI WARIS PEREMPUAN
1. Cucu perempuan dari anak laki-laki tidak mendapat warisan apabila ada Anak laki-laki; dua anak perempuan.
2. Nenek tidak mendapat warisan apabila ada ibu.
3. Saudara perempuan kandung tidak mendapat warisan apabila ada Anak
laki-laki; cucu laki-laki dari anak laki-laki; bapak; kakek.
4. Saudara perempuan seayah tidak mendapat warisan apabila ada Anak
laki-laki; cucu laki-laki dan anak laki-laki; bapak; kakek; saudara laki
kandung; saudara perempuan kandung jika menjadi ashabah dengan anak
perempuan; dua saudara perempuan kandung, apabila saudara perempuan
seayah tidak memiliki saudara laki.
5. Saudara perempuan seibu tidak mendapat warisan apabila ada Anak
laki-laki atau perempuan; cucu laki-laki atau perempuan dari anak
laki-laki; bapak; kakek.
6. Mu’tiqah (perempuan pembebas budak) tidak mendapat warisan apabila ada semua ashabah nasabiyah.
PENGGUGUR HAK WARIS
Ada 5 (lima) faktor yang menyebabkan ahli waris tidak dapat mendapatkan warisan yaitu
1. Pembunuhan. Ahli waris membunuh yang mewarisi.
2. Beda agama.
3. Budak.
4. Ahli waris meninggal terlebih dahulu dari pewaris.
5. Mah}jub, yaitu hilangnya (terhijabnya) hak waris seseorang karena
adanya ahli waris yang lebih kuat kedudukannya. Misal, cucu laki-laki
tidak mendapat warisan karena adanya anak laki-laki.
PERBEDAAN MAHJUB DAN MAHRUM
Persamaan kedua istilah tersebut adalah keduanya sama-sama bermakna terhalangnya ahli waris untuk mendapatkan warisan.
Perbedaaannya adalah kalau mahjub ahli waris tidak mendapat warisan
karena adanya ahli waris yang lebih tinggi posisinya. Seperti cucu tidak
mendapat warisan karena adanya anak laki-laki.
Sedangkan mahrum ahli waris tidak jadi mendapat warisan karena ahli
waris memiliki kecacatan hukum yang menyebabkan hilangnya haknya untuk
mendapat warisan. Seperti membunuh pewaris, beda agama, dll.
DZAWIL ARHAM (KERABAT NON AHLI WARIS)
Dawil Arham (ذوو الأرحام) dalam istilah ahli fiqih adalah kalangan
kerabat yang bukanAhli Waris Ashabul Furudh atau Ahli Waris Asabah ;
baik laki-laki atau perempuan. Seperti, cucu laki-laki dari anak
perempuan (waladul binti); cicit laki-laki dari anak perempuannya anak
laki-laki (waladu bintil ibni), kakek dari ibu, anak saudara lelaki
seibu (waladul akhi lil-ummi) dan anak saudara perempuan secara mutlak
(waladul akhawat), anak perempuannya saudara lelaki (bintul akhi), paman
seibu (al-amm li umm).
Detailnya ada 11 golongan Dzawil Arham yaitu:
1. Cucu dari anak perempuan (waladul banat) dan cicit dari anak perempuan (walad banat al-ibni) dan ke bawah.
2. Anak saudara perempuan (walad al-akhowat) baik kandung atau seibu.
3. Anak perempuan saudara laki-laki (banatul ikhwah) baik kandung atau sebapak.
4. Anak perempuan dari paman (banatul a'mam) kandung atau sebapak.
5. Anak saudara lelaki seibu (awlad al-ikhwah min al-umm) baik laki-laki atau perempuan.
6. Paman saudara ayah dari ibu (al-amm min al-umm) baik pamannya mayit atau paman bapaknya mayit atau paman kakeknya mayit.
7. Bibi saudara ayah (al-ammat) baik kandung atau sebapak atau seibu.
Sama saja bibinya mayit, bibi bapaknya mayit, bibi kakek mayit ke atas.
8. Paman (akhwal) dan bibi (kholat) yakni saudara lelaki dan saudara
perempuan ibu baik kandung atau sebapak atau seibu. Begitu juga paman
dan bibi bapaknya mayit, paman dan bibi ibunya mayit, bibi kakeknya
mayit ke atas sebelum bapak dan ibu.
9. Bapaknya ibu (abul umm) dan bapaknya abul umm, dan kakeknya abul umm ke atas.
10. Setiap nenek yang berkaitan dengan bapak di antara dua ibu seperti
ibunya bapaknya ibu (umm abil umm), atau berkaitan dengan bapak yang
lebih tinggi dari kakek seperti ibunya bapak bapak bapak mayit
11. Orang yang berkaitan dengan mereka di atas seperti bibinya bibi
(ammatul ammah, kholatul kholah), bibi seibu (ammatul amm li umm) dan
saudaranya dan pamannya seayah (ammuhu li abihi), bapak bapaknya ibu
(abu abil umm) dan pamannya (ammuhu, kholuhu).
MASALAH WARIS
Ada sejumlah permasalahan dalam hukum waris yang terjadi dalam sejumlah kasus yang diperinci dalam uraian di bawah.
MASALAH UMARIYATAIN (UMAR DUA - العمريتين)
Ada dua kasus yang disebut dengan umaroyatain atau gharawain di mana ibu
mendapat 1/3 dari sisa jadi bukan 1/3 dari keseluruhan harta. Contoh
kasus adalah sbb:
KASUS PERTAMA:
Seorang perempuan wafat dan ahli warisnya hanya ada 3 (tiga) orang yaitu suami, ibu dan bapak.
Dalam kasus ini, maka suami mendapat 1/2 (setengah harta), ibu mendapat
1/3 (sepertiga) dari sisa yakni 1/3 dari sisa yang setengah setelah
diambil suami. Sedang bapak mendapat asabah (sisa).
KASUS KEDUA:
Seorang laki-laki wafat sedang ahli warisnya hanya ada 3 (tiga) orang yaitu istri, ibu dan bapak.
Maka dalam kasus ini istri mendapat bagian 1/4 (seperempat), ibu
mendapat 1/3 (sepertiga) dari sisa setelah diambil istri. Sedang bapak
mendapat bagian seluruh sisanya (asabah).
PERBEDAAN ULAMA DALAM MASALAH UMARIYATAIN
Ada dua perbedaan besar tentang berapa bagian ibu dalam masalah Umariyatain ini sbb:
- Pendapat Zaid bin Tsabit dan Umar bin Khattab bahwa ibu mendapat
bagian 1/3 (sepertiga) dari sisa. Pendapat ini didukung oleh jumhur
(mayoritas) ulama.
- Pendapat Abdullah bin Abbas atau Ibnu Abbas bahwa ibu mendapat bagian 1/3 dari seluruh harta warisan.
ASAL ISTILAH:
Asal dari istilah umariyatain atau gharawain. Disebut umariyatain karena
yang memutuskan perkara ini pertama kali adalah Umar bin Khatab saat
menjadi Khalifah Kedua. Disebut gharawain dari bentuk tunggal gharra'
karena sangat populer seperti bintang (al-kawkab al-aghar' - الكوكب
الأغر).
MASALAH KALALAH
Kalalah adalah jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak
dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan
itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya (QS An-Nisa' 4:176)
MASALAH AUL DAN RAD
Dalam masalah waris adalah masalah yang disebut dengan aul dan radd. Uraiannya lihat rincian di bawah:
MASALAH AUL
Aul artinya bertambah, maksudnya bertambahnya asal masalah (kpk)
dikarenakan jumlah bagian Ahlul furudhmelebihi jumlah asal masalah.
Pokok masalah yang ada di dalam ilmu faraid ada tujuh. Tiga di antaranya dapat di-aul-kan, sedangkan yang empat tidak dapat.
Ketiga pokok masalah yang dapat di-aul-kan adalah enam (6), dua belas
(12), dan dua puluh empat (24). Sedangkan pokok masalah yang tidak dapat
di-'aul-kan ada empat, yaitu dua (2), tiga (3), empat (4), dan delapan
(8).
Contoh Aul: [1]
a.Asal masalah (kpk): 12
- suami -> 1/4 x 12 = 3/12
- 2 anak pr -> 2/3 x 12 = 8/12
- ibu -> 1/6 x 12 = 2/12
Jumlah 3+8+2 = 13/12
Disebabkan jumlah bagian melebihi kpk, maka kpk dijadikan 13.
- Suami 3/12 dirubah menjadi 3/13 x 52.000=6000;-
- Dua anak pr 8/12 dirubah menjadi 8/13x52.000=6000;-
- Ibu 2/12 dirubah menjadi 2/13x52.000=4000;-
b. Asal masalah (kpk): 6
- suami -> 1/2x6=3
- ibu -> 1/6x6=1
- 2 sdr pr sekandung -> 2/3x6=4
Jumlah (3+1+4=8)8.
kpk 6 dijadikan 8
-Suami 3/6 dirubah menjadi 3/8x240.000=90.000;-
-Ibu 1/6 dirubah menjadi 1/8x240.000=30.000;-
-dua sdr pr sekandung 4/6 dirubah menjadi 4/8x240.000=120.000;-
MASALAH RADD
Rad adalah berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya/lebihnya jumlah
bagian ashhabul furudh. Ar-radd merupakan kebalikan dari al-'aul.
Dengan kata lain, Apabila ada kelebihan harta warisan padahal semua ahli
waris sudah mendapat bagian, maka kelebihan itu dikembalikan (radd)
pada ahli waris yang ada; masing-masing menurut kadar bagiannya kecuali
suami atau istri yang tidak mendapatkan bagian dari radd ini. Kelebihan
harta hanya dikembalikan pada ahli waris lain selain suami atau istri.
Sebagai misal, dalam suatu keadaan (dalam pembagian hak waris) para
ashhabul furudh telah menerima haknya masing-masing, tetapi ternyata
harta warisan itu masih tersisa --sementara itu tidak ada sosok kerabat
lain sebagai 'ashabah-- maka sisa harta waris itu diberikan atau
dikembalikan lagi kepada para ashhabul furudh sesuai dengan bagian
mereka masing-masing.
Syarat Terjadinya Radd
Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud
tiga syarat yaitu (a) adanya ashhabul furudh; (b) tidak adanya 'ashabah;
(c) ada sisa harta waris.
Penerima Bagian Pasti yang Bisa Mendapatkan Radd
Penerima bagian pasti yang dapat menerima Radd ada 8 yaitu: anak
perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung
perempuan, saudara perempuan seayah, bu kandung, nenek sahih (ibu dari
bapak), saudara perempuan seibu, saudara laki-laki seibu
Keadaan Terjadinya Masalah Radd ada 4 (Empat)
a. adanya ahli waris pemilik bagian yang sama, dan tanpa adanya suami atau istri
Cra pembagiannya dihitung berdasarkan jumlah ahli waris. Contoh, (i)
seseorang wafat dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan. (ii)
seseorang wafat dan hanya meninggalkan sepuluh saudara kandung perempuan
b. adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan tanpa suami atau istri
Cara pembagiannya dihitung dan nilai bagiannya bukan dari jumlah ahli
waris (per kepala). Contoh, seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu
dan dua orang saudara laki-laki seibu.
c. adanya pemilik bagian yang sama, dan dengan adanya suami atau istri
Menjadikan pokok masalahnya dari penerima bagian pasti yang tidak dapat
ditambah (di-radd-kan) dan barulah sisanya dibagikan kepada yang lain
sesuai dengan jumlah per kepala. Contoh, seseorang wafat dan
meninggalkan suami dan dua anak perempuan.
d. adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan dengan adanya suami atau istri
Menjadikannya dalam dua masalah. Pada persoalan pertama kita tidak
menyertakan suami atau istri, dan pada persoalan kedua kita menyertakan
suami atau istri. Contoh, Seseorang wafat dan meninggalkan istri, nenek,
dan dua orang saudara perempuan seibu.
Contoh riil masalah Radd dan Solusinya
(a) Seseorang meninggal, ahli warisnya adalah anak perempuan dan ibu. Harta warisan senilai Rp. 40 juta.
Cara Penyelesaian:
Bagian anak perempuan 1/2 (setengah) sedangkan ibu 1/6 (seperenam). Asal masalah adalah 6 (enam).
Anak Perempuan = 1/2 x 6 = 3
Ibu = 1/6 x 6 = 1
Jumlah = 4
Asal masalah adalah 6, sedangkan jumlah bagian 4. Maka solusi dengan
radd, asal masalahnya dikembalikan kepada 4. Caranya sebagai berikut:
Anak perempuan = 3/4 x 40 Juta = Rp. 30.000 (tigapuluh juta)
Ibu = 1/4 x 40 Juta = Rp. 10.000 (sepuluh juta)
(b) Seseorang meninggal, ahli warisnya adalah istri, 2 orang saudara seibu dan ibu. Harta warisan senilai Rp. 40 juta.
Bagian istri 1/4, 2 orang saudara seibu 1/3 dan ibu 1/6. Asal masalahnya adalah 12.
Istri = 1/4 x 12 = 3
2 saudara = 1/3 x 12 = 4
Ibu = 1/6 x 12 = 2
Jumlah = 9
Karena ada istri sedangkan istri tidak mendapakatkan bagian radd, maka
sebelum sisa warisan dibagikan, hak untuk istri diberikan lebih dahulu
dengan menggunakan asal masalah sebagai pembagi. Caranya sebagai
berikut:
Bagian untuk istri = 3/12 x Rp. 40 Juta = Rp. 10.000.000 (sepuluh juta).
Sisa warisan setelah diberikan pada istri adalah Rp. 30.000.000 (tiga
puluh juta) dibagi untuk 2 orang saudara laki-laki seibu dan ibu. Cara
membaginya adalah jumlah perbandingan kedua pihak ahli waris yaitu
4+2=6. Maka bagian masing-masing adalah :
2 Saudara = 4/6 x Rp. 30.000.000 = Rp. 20.000.000 (dua puluh juta)
Ibu = 2/6 x Rp. 30.000.000 = Rp. 10.000.000 (sepuluh juta)
Jumlah = Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta)
Maka perolehan masing-masing ahli waris adalah :
Istri = Rp. 10.000.000
2 sdr = Rp. 20.000.000
Ibu = Rp. 10.000.000
Jumlah = Rp. 40.000.000 (empat puluh juta)
Semua ashabul furudh dapat memperoleh bagian radd kecuali suami/istri.
APABILA TIDAK ADA AHLI WARIS
Apabila ahli waris yang tersebut di atas tidak ada, kepada siapa harta
itu diberikan? Ada dua pendapat. Pendapat pertama, diberikan kepada
Dzawil Arham atau kerabat nonahli waris , ini adalah pendapat jumhur
atau mayoritas ulama termasuk Sahabat dan Tabi'in, madzhab Hanafi,
Hanbali dan Syafi'i.[3] Namun, madzhab Syafi'i memberi syarat apabila
tidak ada Baitul Mal (Kementerian Keuangan) yang mengatur soal ini.
Apabila ada maka harus diberikan ke Baitul Mal. Pendapat kedua,Dzawil
Arham tidak dapat warisan sama sekali walaupun ahli waris lain
yakniAshabul Furud dan Ashabul Asabah tidak ada. Ini pendapat sebagian
Sahabat seperti Zaid bin Tsabit dan Said bin Jubair serta madzhab Maliki
dan Syafi'i apabila ada Baitul Mal yang mengatur.[4]
ASAL MASALAH DALAM HITUNGAN HARTA WARISAN
Dalam membagi warisan, maka diperlukan mencari asal masalah penyebutnya
untuk memudahkan proses pembagian harta waris. Berikut istilah, dan
rumus yang dipakai dalam mencari asal masalah.
ISTILAH RUMUS DALAM ASAL MASALAH
Berikut beberapa istilah tipe asal masalah yang dipakai oleh ulama faraidh:
A. TABAYUN
Tabayun adalah terjadinya dua angka yang dapat dikalikan secara langsung
sehingga tidak terjadi pecahan, seperti antara 1/3 dengan 1/2 maka 3 x 2
= 6. Jadi, asal masalahnya adalah 6. Demikian juga antara 1/3 dengan
1/4, maka 3 x 4 = 12. Jadi, asal masalahnya adalah 12. Karena itu,
antara 3 dengan 2 dan 3 dengan 4 disebut “ Tabayun” .
B. TADAKHUL
Tadakhul adalah mengambil angka yang terbesar dari salah satu bentuk
ke-1 atau ke- 2, seperti 1/2 dengan 1/8 asal masalah adalah 8, karena
kedua angka itu berada pada bentuk ke- 2. Hal sama terjadi antara 1/3
dengan 1/6 = 6, karena kedua angka tersebut berada pada bentuk ke-1.
Demikian juga antara 1/2 dengan 1/4 yang menjadi asal masalah adalah
angka penyebut terbesar yaitu 4, karena kedua angka itu berada pada
bentuk ke-1.
C. TAMASUL
Tamasul adalah dua angka atau penyebutnya sama, karenanya cukup
mengambil salah satu dari penyebutnya. Misal antara 1/3 dengan 2/3, maka
untuk asal masalahnya 3, karena penyebut sama. Demikian juga antara ½
dengan ½, asal masalahnya ada 2.
D. TAWAFUQ
Tawafuq adalah dua penyebut sama hasil perkaliannya setelah dibagi dua
dan dikalikan dengan penyebut satu sama lainnya. Misalnya bilangan 1/6
dengan 1/8. 6: 2 = 3 x 8 = 24 begitu juga 8 : 2 = 4 x 6 = 24 sehingga
sama-sama menghasilkan 24. Demikian juga dengan 1/2 dengan 1/6. 2 : 2 = 1
x 6 = 6. 6 : 2 = 3 x 2 = 6. Cara ini disebut Tawafuq. Hasil perkalian
itulah yang digunakan sebagai asal masalah untuk membagi harta.
CARA MEMBAGI HARTA WARIS DENGAN CARA ASAL MASALAH
1. Bila bilangan itu datang dari bentuk ke-1, maka asal masalahnya adalah bagian yang terkecil. Misalnya:
1/3 dengan 1/6 = 6
2/3 dengan 1/6 = 6
2. Bila ada angka ½ bergabung dengan bentuk ke- 1 maka asal masalahnya adalah 6. Misalnya
½ dengan 1/3 = 6
½ dengan 2/3 = 6
½ dengan 1/6 = 6
3. Bila ada angka ¼ bergabung dengan bentuk ke- 1 maka asal masalahnya adalah 12. Misalnya:
¼ dengan 1/3 = 12
¼ dengan 2/3 = 12
¼ dengan 1/6 = 12
4. Bila ada angka 1/8 bergabung dengan bentuk ke- 1 maka asal masalahnya adalah 24. Misalnya:
1/8 dengan 1/3 = 24
1/8 dengan 2/3 = 24
1/8 dengan 1/6 = 28
MASALAH MUNASAKHAH
DEFINISI MUNASAKHO
Munasakhah dalam istilah waris Islam adalah أَنْ يَنْتَقِلَ نَصِيْبُ
بَعْضِ الْوَرَثَةِ قَبْلَ قِسْمَةِ التِّرْكَةِإِلَى مَنْ يَرِثُ مِنْهُ
Artinya: Berpindahnya bagian penerimaan ahli waris karena kematiannya
sebelum pelaksanaan pembagian tirkah (yang seharusnya ia terima) kepada
para ahli warisnya. (Yusuf Musa dalam Al-Tirkah wa al-Miras fi al-Islam,
hlm. 371)
Atau, Berpindahnya bagian salah seorang ahli waris kepada ahli waris
lain,karena mati sebelm pelaksanaan pembagian warisan. (Wahab Afifi
dalam 103)
MUNASAKHAH ADA 2 MACAM
Munaasakhah itu mempunyai dua bentuk yaitu:
Munasakhoh tipe Pertama:
Ahli waris yang bakal menerima pemindahan bagian pusaka dari orang yang
meninggal belakangan (kedua) adalah juga termasuk ahli waris yang
meninggal dunia terdahulu (pertama).
Contoh kasus:
Pewaris meninggalkan harta warisan Rp900.000,00 (Sembilan ratus ribu
rupiah). Ahli warisnya 4 anak kandung 2 anak laki-laki yaitu Hasan dan
Husein, dan 2 anak perempuan, yaitu Alia dan Talia. Sebelum harta
warisan dibagi kepada empat anak tersebut, Hasan wafat, sehingga ahli
waris tinggal tiga yaitu Husein, Alia, dan Talia. Dalam kasus seperti
ini pembagian cukup sekali saja. Uang tersebut dibagikan kepada ketiga
orang tersebut dengan perbandingan 2:1:1 (ashabah bil ghair).
Dengan demikian,penerimaan masing-masing adalah:
1) Husein mendapat 2/4 x Rp900.000,00 = Rp450.000,00
2) Alia mendapat ¼ x Rp900.000,00 = Rp225.000,00
3) Talia mendapat ¼ x Rp900.000,00 = Rp225.000,00
Jumlah= Rp900.000,00
Seandainya si Hasan juga meninggalkan harta warisan sebesar Rp100.000,00
dan tidak mempunyai ahli waris selain ketiga saudara itu, maka harta
pusaka peninggalan si Hasan di satukan dengan harta pusaka si mayit
pertama hingga menjadi Rp 900.000,00 + Rp100.000,00 = Rp 1.000.000,00.
Apabila demikian, perolehan masing-masing ahli waris adalah:
1) Husein mendapat 2/4xRp1.000.000,00 = Rp500.000,00
2) Alia mendapat 1/4xRp1.000.000,00 =Rp250.000,00
3) Talia mendapat 1/4xRp1.000.000,00 =Rp250.000,00
Munasakhah tipe Kedua:
Ahli waris yang bakal menerima pemindahan bagian warisan dari orang yang
meninggal belakangan (kedua) adalah bukan ahli waris dari orang yang
meninggal terdahulu (pertama). Dalam hal ini, maka dilakukan pembagian
warisan dua kali. Pertama pembagian warisan pewaris pertama, lalu
dilakukan pembagian warisan pewaris kedua.
Contoh kasus:
Seorang lelaki bernama Jalal wafat. Ahli warisnya adalah dua anak
kandung laki-laki dan perempuan bernama Riza dan Lina. Harta waris yang
ditinggalkan sebesar Rp300.000,00.
Sebelum dilakukan pembagian harta warisan kepada kedua anaknya Riza
meninggal dunia dengan meninggalkan seorang anak perempuan (Mira), yakni
cucu dari Jalal. Maka dalam hal ini, dilakukan dua kali tahap pembagian
warisan.
Penyelesaian tahap pertama:
1. Anak laki-laki (Riza) = 2:2/3xRp300.000 = Rp 200.000
2. Anak perempuan (Lina) = 1 :1/3xRp300.000,00 = Rp 100.000
Jumlah =Rp300.000.
Penyelesaian tahap kedua:
Bagian Riza sebesar Rp200.000 dibagikan kepada ahli warisnya yaitu Mira
(anak perempuan) dan Lina (saudara kandung perempuan), perolehan
masing-masing ahli waris adalah:
1. Anak perempuan (Mira) anak dari (riza) 1/2x2= 1
2. Saudari kandung (Lina) 2-1 = 1
Jumlah: = 2
Jadi bagian mereka masing-masing:
1. Anak perempuan (Mira) 1/2 x Rp. 200.000 = Rp. 100.000
2. Saudari (Line) 1/2 x Rp. 200.000 = Rp. 100.000
Wallohu A'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar