Rabu, 26 Februari 2020

Hukum Seputar Jum'at


Shalat jum’at hukumnya wajib berdasarkan dalil dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ ulama.  Adapun dalil dari al-Qur’an adalah firman Allah Subhanahu wata’ala  surah Al Jum'ah ayat 9.‎
يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ ءٰمَنُوْآإِذَانُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُواالْبَيْعَ ۗ
 
Hai orang-orang yang beriman, apabila diserukan kepadamu shalat jum'at, maka bergegaslah untuk mengingat Allah dan tinggalkan daganganmu.
Segi pendalilan dari ayat di atas tentang wajibnya Jum’atan adalah Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan bergegas/bersegera, sedangkan yang dituntut oleh perintah adalah perkara wajib. Sebab, (tentu) tidaklah sesuatu diharuskan bergegas selain untuk hal yang wajib. Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wata’ala juga melarang berjual beli ketika azan Jum’at telah dikumandangkan agar seseorang tidak tersibukkan dari Jum’atan. Andaikata Jum’atan tidak wajib, tentu Allah Subhanahu wata’ala tidak melarang jual beli saat Jum’atan. (lihat al-Mughni 3/158, Ibnu Qudamah)
Adapun dalil dari as-Sunnah, adalah hadits yang secara tegas menunjukkan wajibnya shalat jum’at, yaitu hadits Thariq bin Syihab dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
 
 الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ الا أَرْبَعَةً: عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ، أَوِ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيْضٌ
 
Shalat jum’at adalah hak yang wajib atas setiap muslim dengan berjamaah, kecuali atas empat (golongan) yaitu budak sahaya, wanita, anak kecil, atau orang yang sakit.‎
Hukum shalat jum'at bagi laki-laki
Maka berdasarkan hadits di atas jelas bahwa hukum shalat jumat bagi laki-laki adalah wajib dengan dilakukan secara berjamaah.
Hukum shalat jum'at bagi wanita‎
Dari hadits di atas pula, disimpulkan bahwa shalat jum'at tidak diwajibkan bagi kaum wanita, akan tetapi jika seorang wanita melaksanakan shalat jum'at bersama imam shalat jum'at maka shalatnya sah sah saja.‎
Keutamaan Sholat Jum'at‎
Sholat Jum’at mempunyai banyak keutamaan, diantaranya adalah sebagai berikut :
1- Yang menghadiri sholat jum’at dengan memperhatikan adab-adabnya, maka akan dicatat setiap langkahnya sebagai amalan satu tahun yang mencakup pahala puasa dan bangun malam. Hal ini berdasarkan hadist Aus bin Aus ats Tsaqafi bahwasanya dia pernah mendengar Rosulullah saw bersabda :
من اغتسل يوم الجمعة وغسل وبكر وابتكر ودنا واستمع وأنصت كان له بكل خطوة يخطوها أجر سنة صيامها وقيامها
“ Barang siapa yang mandi hari jum’at dan menyuci ( kepalanya ), lalu bersegera dan bergegas, dan mendekati imam, dan mendengarkan khutbah serta diam, maka dia akan mendapatkan pada setiap langkahnya bagaikan pahala amalan satu tahun, termasuk pahala puasa dan pahala sholat malam. “ ( Hadist Shohih Riwayat Tirmidzi, Abu Dau, Ibnu Majah, Nasai )
2- Barang siapa yang bersegara datang ke masjid untuk melaksanakan sholat Jum’at seakan-akan dia telah bersedekah dan berkurban dengan kurban yang besar. Hal ini sesuai dengan hadist Abu Hurairah r.a bahwasanya Rosulullah saw bersabda :
من اغتسل يوم الجمعة غسل الجنابة ثم راح فكأنما قرب بدنة و من راح في الساعة الثانية فكأنما قرب بقرة ومن راح في الساعة الثالثة فكأنما قرب كبشا أقرن ومن راح في الساعة الرابعة فكأنما قرب دجاجة ومن راح في الساعة الخامسة فكأنما قرب بيضة فإذا خرج الإمام حضرت الملائكة يستمعون الذكر
“ Barang siapa mandi pada hari Jum’at seperti mandi junub, kemudian pergi ( ke masjid ) pada waktu yang pertama, maka seakan-akan dia berkurban dengan seekor unta. Dan barang siapa yang datang pada waktu kedua, maka seakan-akan dia berkurban dengan seekor sapi. Dan barang siapa yang datang pada waktu yang ketiga, maka seakan-akan dia berkurban dengan seekor domba yang bertanduk. Dan barang siapa yang datang pada waktu yang keempat, maka seakan-akan dia berkurban dengan seekor ayam. Dan barang siapa yang datang pada waktu yang kelima, maka seakan-akan dia berkurban dengan sebutir telur. Maka, jika imam telah keluar, malaikatpun bergegas untuk mendengarkan khutbah.” ( HR Bukhari dan Muslim )‎
3- Orang yang melakukan sholat Jum’at sesuai dengan adab-adabnya, maka Allah akan mengampuninya selama sepuluh hari. Dalilnya adalah hadist Abu Hurairah r.a, bahwasanya nabi Muhammad saw :
من توضأ فأحسن الوضوء ثم أتى الجمعة فاستمع وأنصت غفر له ما بينه وبين الجمعة وزيادة ثلاثة أيام ومن مس الحصى فقد لغا
“ Barang siapa yang berwudhu, lalu melakukannya dengan sebaik-baiknya, lalu datang untuk melakukan sholat jum’at, kemudian dia mendengar dan memperhatikan khutbah, niscaya akan diampuni dosa-dosa ( kecil ) yang dilakukannya antara jum’at itu dan jum’at berikutnya ditambah dengan tiga hari. Dan barang siapa yang bermain-main dengan kerikil, maka sia-sialah jum’atnya. “ ( HR Muslim )
Hal ini dikuatkan dengan hadist Abu Hurairah r.a lainnya, bahwasanya Rosulullah saw bersabda :
الصلوات الخمس ، و الجمعة إلى الجمعة ورمضان إلى رمضان مكفرات ما بينهن إذا اجتنب الكبائر
“ Sholat lima waktu, dan Jum’at yang satu ke Jum’at yang berikutnya serta satu Romadhan ke Romadhan yang berikutnya dapat menghapus dosa-dosa kecil, selama dosa-dosa besar dijauhi. “ ( HR Muslim )‎
Kepada siapa saja sholat Jum’at diwajibkan ?
Jawaban :
Sholat Jum’at wajib bagi setiap muslim, baligh, berakal, laki-laki dan merdeka. Dalilnya adalah hadist Thariq bin Syihab r.a bahwasanya Rosulullah saw bersabda :
الجمعة حق واجب على كل مسلم في جماعة إلا أربعة : عبد مملوك أو امرأة أو صبي أو مريض
“ Sholat Jum’at itu sesuatu yang wajib bagi setiap muslim secara berjama’ah kecuali empat golongan : hamba sahaya, wanita, anak kecil dan orang sakit. “ ( Hadist Shohih Riwayat Abu Daud )‎
Hukuman apa yang akan diterima bagi orang yang meninggalkan kewajiban sholat Jum’at ?
Jawaban :
Orang yang meninggalkan kewajiban sholat Jum’at dengan sengaja tanpa udzur syar’I, maka akan ditutup hatinya, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah r.a bahwasanya Rosulullah saw bersabda :
لينتهين أقوام عن ودعهم الجمعات أو ليختمن الله على قلوبهم ثم ليكونن من الغافلين
“ Hendaklah orang-orang yang sering meninggalkan sholat Jum’at segera menghentikan kebiasaan mereka itu, atau Allah akan mengunci mati hati mereka sehingga mereka termasuk golongan orang-orang yang lemah “ ( HR Muslim )
Hal ini dikuatkan dengan hadits Abu Ja’ad ad-Damuri bahwasanya Rosulullah saw bersabda :
من ترك الجمعة ثلاث مرات تهاونا بها طبع الله على قلبه
“ Barang siapa meninggalkan Jum’at tiga kali karena meremehkannya, maka Allah akan mengunci mati hatinya . “ ( Hadist Shohih Riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Nasai,‎
Jumlah Jama'ah dalam Sholat Jum'at
Shalat  Jum’at wajib dilaksanakan secara berjama’ah. Dalilnya adalah Hadis Nabi;
عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ [سنن أبى داود 3/ 265]
Dari Thariq bin Syihab dari Nabi saw beliau bersabda;  (Shalat ) Jum’at adalah haq yang wajib bagi setiap muslim secara berjama’ah  . (H.R.Abu Dawud)
Lafadz فِي جَمَاعَةٍ (secara berjama’ah  ) Cukup lugas menunjukkan bahwa diantara syarat sah Shalat  Jum’at adalah harus dilaksanakan secara berjama’ah. Jika Shalat  Jum’at dilakukan secara individu, maka Shalat  Jum’at tersebut tidak sah.
Namun, ketika dikatakan berjama’ah , maka hal ini tidak berarti harus terealisasi jumlah tertentu. Hal itu dikarenakan tidak ada Nash yang memerintahkan jumlah tertentu baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ Shahabat maupun Qiyas. Karena itu jumlah berapapun asalkan terealisasi sifat Jama’ah  secara bahasa sudah cukup untuk membuat Shalat  Jum’at dipandang sah. Dengan demikian, peserta Shalat  Jum’at berjumlah 100 orang sah, 50 orang sah, 10 orang sah, 5 orang sah dst. Hanya saja disyaratkan jumlah minimalnya 3 orang, karena hanya dengan jumlah 3 orang saja sebuah kumpulan bisa disebut Jama’ah secara bahasa. Jumlah 2 orang tidak cukup, karena jumlah 2 bukanlah Jama’ah  secara bahasa.
Keabsahan Shalat  Jama’ah dengan makmum satu orang tidak bisa dijadikan dalil bahwa Jama’ah  itu minimal 2 orang, karena penyebutan  Jama’ah   dua orang pada Shalat  lima waktu, atau dua orang pada Shalat  sunnah didasarkan pada Nash Hadis, bukan pengertian secara bahasa. Jadi penyebutan Jama’ah   pada kasus Shalat  Jama’ah dengan makmum satu orang pada Shalat  5 waktu atau Shalat  sunnah adalah bentuk Takhsish (pengkhususan) pengertian  Jama’ah  secara bahasa.
Lafadz Jama’ah  dalam Hadis dimaknai secara bahasa, karena tidak ada makna Syara’  terhadap lafadz Jama’ah yang tepat dipakai dalam konteks ini , dan tidak ada pula makna istilah (urf). Berdasarkan kaidah Ushul Fikih, lafadz dalam Nash, jk tidak bisa dimaknai dengan makna Syar’i, dan tidak bisa dimaknai pula dengan makna Urfi/Isthilahi, maka lafadz Nash tersebut wajib dimaknai secara bahasa. Oleh karena lafadz Jama’ah   dalam Hadis  tersebut tidak bisa dimaknai dengan makna Syar’i atau Urfi, maka Hadis  tersebut harus  dimaknai dengan makna Jama’ah  secara bahasa. Makna Jama’ah  secara bahasa adalah jumlah 3 ke atas. Dengan demikian, Shalat  Jum’at wajib ditunaikan secara Jama’ah   dengan jumlah minimal peserta 3 ke atas.
Adapun riwayat yang menyatakan jumlah tertentu, yaitu 40 orang agar Shalat  Jum’at dipandang sah, misalnya riwayat yang berbunyi;
عن عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : كُنْتُ قَائِدَ أَبِى حِينَ كُفَّ بَصَرُهُ فَإِذَا خَرَجْتُ بِهِ إِلَى الْجُمُعَةِ فَسَمِعَ الأَذَانَ بِهَا اسْتَغْفَرَ لأَبِى أُمَامَةَ أَسْعَدَ بْنِ زُرَارَةَ. فَمَكَثْتُ حِينًا أَسْمَعُ ذَلِكَ مِنْهُ فَقُلْتُ : إِنَّ عَجْزًا أَنْ لاَ أَسْأَلَهُ عَنْ هَذَا فَخَرَجْتُ بِهِ كَمَا كُنْتُ أَخْرُجُ فَلَمَّا سَمِعَ الأَذَانَ بِالْجُمُعَةِ اسْتَغْفَرَ لَهُ فَقُلْتُ : يَا أَبَتَاهُ أَرَأَيْتَ اسْتِغْفَارَكَ لأَسَعْدَ بْنِ زُرَارَةَ كُلَّمَا سَمِعْتَ الأَذَانَ بِالْجُمُعَةِ قَالَ : أَىْ بُنَىَّ كَانَ أَسْعَدُ أَوَّلَ مَنْ جَمَّعَ بِنَا بِالْمَدِينَةِ قَبْلَ مَقْدَمِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى هَزْمٍ مِنْ حَرَّةِ بَنِى بَيَاضَةَ فِى نَقِيعٍ يُقَالُ لَهُ الْخَضَمَاتُ قُلْتُ : وَكَمْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ : أَرْبَعُونَ رَجُلاً . [السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي 3/ 176]
Dari Abdurrahman Bin Ka’b Bin Malik beliau berkata; aku adalah penuntun jalan ayahku pada saat beliau menjadi buta. Jika aku membawa beliau untuk Shalat  Jum’at lalu beliau mendengar Adzan maka beliau memintakan ampun untuk Abu Umamah As’ad bin Zurarah. Maka selama beberapa saat aku mendengar hal itu dari beliau, kemudian aku bergumam; sesungguhnya sebuah kelemahan jika  aku tidak menanyakan hal ini kepada beliau. Maka aku keluar membawa beliau sebagaimana biasanya. Tatkala beliau mendengar Adzan Jum’at beliau memintakan ampun untuknya. Maka aku bertanya; Wahai ayah, kenapa engkau beristighfar untuk As’ad  bin Zurarah setiap kali engkau mendengar Adzan Jum’at? Beliau menjawab; wahai putraku, As’ad adalah orang yang pertama kali menyelenggarakan Shalat  Jum’at bersama kami sebelum kedatangn Rasulullah SAW  pada sebuah tanah rendah dari tanah tak berpasir milik Bani Bayadhoh di kawasan tempat berair yang bernama  Al- Khodhomat. Aku bertanya; berapa jumlah kalian waktu itu? Beliau menjawab; empat puluh lelaki.‎
Maka jumlah 40 yang disebutkan dalah riwayat di atas tidak lebih merupakan;
وَاقِعَةُ عَيْنٍ (peristiwa tertentu yg bersifat kebetulan)
Jumlah 40 orang itu tidak bisa dijadikan syarat untuk menentukan keabsahan Shalat  Jum’at, karena sama sekali tidak ada lafadz yang menunjukkan bahwa jumlah 40 itu adalah syarat keabsahan dan menjadi  syarat jumlah minimal. Hal ini sama saja dengan misalnya riwayat Rasulullah SAW  Shalat  Dhuhur secara berjamaah dengan Makmum sebanyak 30, lalu shalat  Ashar  dengan makmum 20, lalu Shalat  Maghrib dengan Makmum 50. Kita tidak bisa mengatakan bahwa syarat sah Jama’ah   Dhuhur jumlah minimal makmumnya 30, Ashar 20, dan Maghrib, 50 orang. Semua itu adalah peristiwa tertentu yang bersifat kebetulan yang tidak dimaksudkan sebagai syarat pengikat keabsahan sebuah ibadah. Jika jumlah orang dijadikan  syarat keabsahan sebuah hukum syara, maka hal itu harus dinyatakan dalil dalam bentuk syarat, bukan kejadian yag bersifat kebetulan. Misalnya syarat saksi zina minimal 4 orang, syarat saksi melihat hilal minimal 1 orang, syarat saksi nikah minimal 2 orang dst…semua jumlah dalam saksi ini dinyatakan dengan jelas dalam Nash dalam bentuk syarat yang mengikat, bukan kejadian yang diriwayatkan secara kebetulan.
Adapun hadis Jabir yang berbunyi
السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي (3/ 177)
عَنْ جَابِرٍ قَالَ : مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ فِى كُلِّ ثَلاَثَةٍ إِمَامًا ، وَفِى كُلِّ أَرْبَعِينَ فَمَا فَوْقَ ذَلِكَ جُمُعَةٌ وَفِطْرٌ وَأَضْحًى
“Dari Jabir beliau berkata; Telah berlaku Sunnah bahwa setiap tiga (orang diangkat) seorang Imam, dan setiap empat puluh (orang) ke atas (dilaksanakan) shalat Jum’at, Idul Fithri, dan Idul Adha”
Maka hadis ini Dhoif (lemah) karena ada seorang perawi yang bernama Abdul ‘Aziz bin Abdurrahman Al-Qurosyi. Al-Baihaqy mengatakan bahwa hadis seperti itu tidak bisa dijadikan sebagai Hujjah.
Lagipula, riwayat yang menyebutkan jumlah 40 itu terjadi sebelum Shalat  Juma’t diwajibkan. Karena Shalat  Jum’at baru diwajibkan setelah turunnya Surat Jumu’ah. Oleh karena riwayat yang menyebut 40 orang tersebut terjadi sebelum diwajibkannya Shalat  Jum’at, maka riwayat tersebut tidak bisa dijadikan dasar mewajibkan jumlah tertentu untuk menentukan keabsahan Shalat  Juma’t. Tidak boleh menjadikan sesuatu yang tidak wajib sebagai dasar kewajiban yang wajib, karena hukum baru selalu menasakh (menghapus) semua hukum lama.
Termasuk pula riwayat yang dijadikan dalil bahwa peserta Shalat Jum’at minimal 12 orang seperti riwayat berikut;
صحيح مسلم (4/ 352)
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
بَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِذْ قَدِمَتْ عِيرٌ إِلَى الْمَدِينَةِ فَابْتَدَرَهَا أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى لَمْ يَبْقَ مَعَهُ إِلَّا اثْنَا عَشَرَ رَجُلًا فِيهِمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ قَالَ وَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ
{ وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا }
Dari Jabir bin Abdullah ia berkata; Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri menyampaikan khutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba datanglah suatu Kafilah dagang ke Madinah, maka para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bergegas mendatanginya hingga tidak tersisa lagi orang yang bersamanya kecuali dua belas orang. Di antara mereka ada Abu Bakar dan Umar. Maka turunlah ayat ini: “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya.,.” (H.R.Muslim)
jumlah 12 yang disebutkan dalam  riwayat di atas juga tidak lebih;
وَاقِعَةُ عَيْنٍ (peristiwa tertentu yg bersifat kebetulan)
sehingga tidak bisa dijadikan syarat untuk menentukan keabsahan Shalat  Jum’at, karena sama sekali tidak ada lafadz yang menunjukkan bahwa jumlah 12 itu adalah syarat keabsahan dan menjadi  syarat jumlah minimal.
Jadi, tidak ada ketentuan jumlah tertentu yang menjadi syarat keabsahan shalat Jumat. Syarat yang jelas berdasarkan dalil terkait jumlah hanyalah syarat berjamaah, dan secara bahasa syarat tersebut terealisasi dengan jumlah minimal tiga orang. Namun pendapat jumlah minimal harus 40 orang adalah pendapat yang Islami, yang dikemukakan Mujtahid-Mujtahid berkelas seperti Assyafi’i dan ulama-ulama yang mengikutinya. Demikian pula pendapat minimal 12 orang seperti yang dianut madzhab Maliki. Karena itu sah secara Syar’i jika ada diantara kaum muslimin mengambil pendapat ini dalam kapasitasnya sebagai salah satu Ijtihad yang Syar’i. Wallohu A'lam
Bagaimana bila hari ied (Idul Fitri dan Idul Adha) jatuh atau bertepatan dengan hari Jumat? Apakah shalat jumatnya bisa gugur?
Untuk masalah ini para ulama memiliki dua pendapat.
Pendapat Pertama:‎
Orang yang melaksanakan shalat ‘ied tetap wajib melaksanakan shalat Jum’at.
Inilah pendapat kebanyakan pakar fikih. Akan tetapi ulama Syafi’iyah menggugurkan kewajiban ini bagi orang yang nomaden (al bawadiy). Dalil dari pendapat ini adalah:
Pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala,
 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
 
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumu’ah: 9)
Kedua: Dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Jum’at. Di antara sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam,
 
مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
 
“Barangsiapa meninggalkan tiga shalat Jum’at, maka Allah akan mengunci pintu hatinya.” (HR. Abu Daud no. 1052, dari Abul Ja’di Adh Dhomri. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan). Ancaman keras seperti ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu wajib.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
 
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ
 
“Shalat Jum’at merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat golongan: (1) budak, (2) wanita, (3) anak kecil, dan (4) orang yang sakit.” (HR. Abu Daud no. 1067, dari Thariq bin Syihab. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Ketiga: Karena shalat Jum’at dan shalat ‘ied adalah dua shalat yang sama-sama wajib (sebagian ulama berpendapat bahwa shalat ‘ied itu wajib), maka shalat Jum’at dan shalat ‘ied tidak bisa menggugurkan satu dan lainnya sebagaimana shalat Zhuhur dan shalat ‘Ied.
Keempat: Keringanan meninggalkan shalat Jum’at bagi yang telah melaksanakan shalat ‘ied adalah khusus untuk ahlul bawadiy (orang yang nomaden seperti suku Badui). Dalilnya adalah,
 
قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ ثُمَّ شَهِدْتُ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِى فَلْيَنْتَظِرْ ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ
 
“Abu ‘Ubaid berkata bahwa beliau pernah bersama ‘Utsman bin ‘Affan dan hari tersebut adalah hari Jum’at. Kemudian beliau shalat ‘ied sebelum khutbah. Lalu beliau berkhutbah dan berkata, “Wahai sekalian manusia. Sesungguhnya ini adalah hari di mana terkumpul dua hari raya (dua hari ‘ied). Siapa saja dari yang nomaden (tidak menetap) ingin menunggu shalat Jum’at, maka silakan. Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan.” (HR. Bukhari no. 5572)‎
Pendapat Kedua:
Bagi orang yang telah menghadiri shalat ‘ied boleh tidak menghadiri shalat Jum’at. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jum’at agar orang-orang yang punya keinginan menunaikan shalat Jum’at bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat ‘ied bisa turut hadir.
Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Az Zubair. Dalil dari pendapat ini adalah:
Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,
 
أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».
 
“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fitri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan.” (HR. Abu Daud no. 1070, An-Nasai no. 1592, dan Ibnu Majah no. 1310. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Asy Syaukani dalam As-Sailul Jaror (1: 304) mengatakan bahwa hadits ini memiliki syahid (riwayat penguat). Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ (4: 492) mengatakan bahwa sanad hadits inijayyid (antara shahih dan hasan, pen.). ‘Abdul Haq Asy Syubaili dalam Al Ahkam Ash Shugro (321) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. ‘Ali Al Madini dalam Al Istidzkar (2/373) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). Syaikh Al Albani dalam Al Ajwibah An Nafi’ah (49) mengatakan bahwa hadits ini shahih. 
Intinya, hadits di atas bisa digunakan sebagai hujjah atau dalil.
Kedua: Dari seorang tabi’in bernama ‘Atha’ bin Abi Rabbah, ia berkata,
 
صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِى يَوْمِ عِيدٍ فِى يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمُعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالطَّائِفِ فَلَمَّا قَدِمَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ أَصَابَ السُّنَّةَ.
 
“Ibnu Az-Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh pada hari Jum’at pernah shalat ‘ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu shalat Jum’at Ibnu Az-Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thaif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan ajaran Nabi (ashobas sunnah).” (HR. Abu Daud no. 1071. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih). Jika sahabat mengatakan ashobas sunnah(menjalankan sunnah), itu berarti statusnya marfu’ yaitu menjadi perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Diceritakan pula bahwa ‘Umar bin Al-Khattab melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Az-Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az-Zubair. Begitu pula ‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat ‘ied maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jum’at. Dan tidak diketahui ada pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka ini. (Lihat Shahih Fiqh As-Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1: 596, Al-Maktabah At-Taufiqiyah)
Kesimpulan Jika Ied Jatuh Pada Hari Jum'at
– Boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat ‘ied untuk tidak menghadiri shalat Jum’at sebagaimana berbagai riwayat pendukung dari para sahabat dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat ini.
– Pendapat kedua yang menyatakan boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat ‘ied tidak menghadiri shalat Jum’at, ini bisa dihukumi marfu’ (perkataan Nabi) karena dikatakan “ashobas sunnah (ia telah mengikuti ajaran Nabi)”. Perkataan semacam ini dihukumi marfu’ (sama dengan perkataan Nabi), sehingga pendapat kedua dinilai lebih tepat.
– Mengatakan bahwa riwayat yang menjelaskan pemberian keringanan tidak shalat jum’at adalah khusus untuk orang yang nomaden seperti orang badui (yang tidak dihukumi wajib shalat Jum’at), maka ini adalah terlalu memaksa-maksakan dalil. Lantas apa faedahnya ‘Utsman mengatakan, “Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan”? Begitu pula Ibnu Az Zubair bukanlah orang yang nomaden, namun ia mengambil keringanan tidak shalat Jum’at, termasuk pula ‘Umar bin Khottob yang melakukan hal yang sama.
– Dianjurkan bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat Jum’at supaya orang yang ingin menghadiri shalat Jum’at atau yang tidak shalat ‘ied bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini adalah anjuran untuk membaca surat Al A’laa dan Al Ghosiyah jika hari ‘ied bertemu dengan hari Jum’at pada shalat ‘ied dan shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.
 
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambiasa membaca dalam dua ‘ied dan dalam shalat Jum’at “sabbihisma robbikal a’la” dan “hal ataka haditsul ghosiyah”.” An-Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat. (HR. Muslim no. 878)
Hadits ini juga menunjukkan dianjurkannya membaca surat Al-A’laa dan Al-Ghasiyah ketika hari ‘ied bertetapan dengan hari Jum’at dan dibaca di masing-masing shalat (shalat ‘ied dan shalat Jum’at).
– Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jum’at dan telah menghadiri shalat ‘ied, maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur sebagaimana dijelaskan pada hadits yang sifatnya umum. Hadits tersebut menjelaskan bahwa bagi yang tidak menghadiri shalat Jum’at, maka sebagai gantinya, ia menunaikan shalat Zhuhur (4 raka’at).
- Azan hendaklah dikumandangan di masjid-masjid yang diadakan shalat Jumat saja, tidak disyariatkan bagi yang melaksanakan shalat Zhuhur.
- Pendapat yang menyatakan bahwa shalat Jumat dan shalat Zhuhur gugur bagi yang telah menghadiri shalat ied adalah pendapat yang tidak benar. Pendapat ini adalah pendapat yang nyleneh atau aneh (gharib) karena menyelisihi tuntunan, juga menggugurkan kewajiban tanpa dalil. Masa jadinya, shalat dalam sehari jadi empat waktu? Intinya, shalat Zhuhur tetap ada bagi yang tidak menghadiri shalat Jumat ketika paginya telah menghadiri shalat ied‎.
Wallohu A'lam‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hukum Vareasi Bercinta Dalam Islam

Setiap agama pastinya memiliki hukumnya sendiri-sendiri dalam hal bercinta. Beberapa agama mungkin memiliki beberapa hukum yang sama,...