Kamis, 27 Februari 2020

Hukum Vareasi Bercinta Dalam Islam

Setiap agama pastinya memiliki hukumnya sendiri-sendiri dalam hal bercinta. Beberapa agama mungkin memiliki beberapa hukum yang sama, namun ada beberapa hukum yang bisa jadi berbeda. Sebagai seseorang yang menganut agama Islam, anda harus mengetahui hukum-hukum bercinta yang ada di dalam agama anda tersebut,  Dengan begitu, anda akan dapat menjalankan hal tersebut sesuai dengan tuntunan kitab suci agama Islam, yaitu Al Qur’an dan Hadits Rosululloh SAW.
Dalam Islam, ada saat-saat di mana anda dan suami anda harus melakukan hubungan suami istri sebagai bagian dari syariat agama yang anda yakini tersebut. Ketika anda melakukan hubungan suami istri yang bersifat wajib ini, anda akan mendapatkan pahala. Jika anda meninggalkannya, anda akan mendapatkan dosa yang nantinya akan ada balasannya. Lalu, kapankah anda dan suami anda wajib melakukan hubungan suami istri tersebut.
Islam sebagai agama yang syamil (universal) merupakan rahmat yang tidak hanya buat umatnya namun juga buat seluruh mankhluk. Sebagai sebuah rahmat kehidupan yang bisa dinikmati oleh umatnya maka diutuslah Rasulullah Muhammad saw yang menjadi contoh aplikatif realistis seluruh ajaran islam.
Sebagai sebuah contoh sempurna di semua aspek kehidupan maka segala apa pun yang berasal darinya tidaklah lepas dari bimbingan wahyu Robb-nya, sebagaimana firman Allah swt,”Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm : 3 – 4)
Termasuk yang bersumber dari Rasulullah saw yang sebagian kaum muslimin masih menganggapnya taboo adalah perihal variasi dan seni bercinta. Mereka menganggap hal ini tidak perlu dibahas dan dipelajari karena hal ini sudah menjadi naluri setiap manusia. Padahal realitanya tidaklah demikian, banyak dari pasangan suami isteri yang tidak merasakan kenikmatan dalam bercinta meskipun hubungan itu sudah sering dilakukan.
Kalaulah setiap pasangan suami isteri menyadari bahwa persetubuhan diantara mereka adalah ibadah, dan pada umumnya ibadah bahwa ia memerlukan ilmu dan pengetahuan sehingga mendapatkan ridho dari Allah swt.
Islam juga tidak menginginkan umatnya mengabaikan permasalahan seksual yang dianggap hanya sebagai sebuah rutinitas tanpa memperhatikan kepuasan dalam bercinta diantara suami-isteri, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwasanya Rasulullah saw bersabda,” Apabila salah seorang diantara kalian menyetubuhi istrinya maka lakukanlah dengan penuh semangat. Jika dia sudah hendak ejakulasi sementara isterinya belum sampai pada klimaksnya maka janganlah tergesa-gesa untuk menyudahinya sehingga isterinya mencapai klimaksnya.” (HR. Abu Ya’la)
Hukum islam bagi seorang yang sudahmenikah ketika melakukan hubungan seksual dikembalikan kepada paparan hukum islam pada umumnya. Bisa Wajib, Sunnah, Mubah, Maupun Haram.
Menjadi wajib apabila seorang suami atau istri sedang mengalami kondisi ‘pengen’ berhubungan seksual yang memuncak. Di khawatirkan padanya kalau tidak melakukan hubungan seksual dengan pasangan halalnya akan jatuh pada perbuatan maksiat / zina. Maka ketika suami mengajak istrinya berhubungan seks, istri diharuskan memenuhinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

“Apabila seorang laki-laki mengajak istrinya ke ranjangnya, lalu istri tidak mendatanginya, hingga dia (suaminya –ed) bermalam dalam keadaan marah kepadanya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi tiba.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Seharusnya yang dialkukan istri adalah memenuhi ajakan suaminya ketika dirinya diajak berhubungan suami istri.
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ ، وَإِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّورِ

“Jika seorang laki-laki mengajak istrinya untuk menyalurkan hajatnya (kebutuhan biologisnya -ed), maka hendaklah ia mendatangi suaminya, meskipun dia sedang berada di tungku perapian.” (HR. Ibnu Syaibah, at-Tirmidzi, ath-Thabarani dan berkata at-Tirmidzi Hadits Hasan Gharib, dan dishahihkan Ibnu Hibban no 4165)
Berkata al-Imam Syaukani rahimahullah, tentang hadits diatas: “Kalau dalam keadaan seperti itu saja tidak boleh seorang istri menyelisihi suami, tidak boleh tidak memenuhi ajakan suami sedangkan dia dalam keadaan seperti itu, maka bagaimana dibolehkan untuk menyelisihi suami selain dari kondisi itu.” (Silahkan Lihat Nailul Authaar:269/231)
Menjadi SUNNAH secara umum ketika rutin melalukan hubungan intim diniatkan mencapai beberapa tujuan utama dari jimak (bersetubuh) antara lain:
Dipeliharanya nasab (keturunan), sehingga mencapai jumlah yang ditetapkan menurut takdir Allah
Mengeluarkan air yang dapat mengganggu kesehatan badan jika ditahan terus
Mencapai maksud dan merasakan kenikmatan, sebagaimana kelak di surga
Menundukkan pandangan,  menahan  nafsu,‎ menguatkan  jiwa dan agar tidak berbuat  serong  bagi  kedua  pasangan.
Dihukumi MAKRUH ketika melakukan hubungan seksual di dalam kamar mandi (menurut pendapat sebagian ulama). Makruh juga hukumnya menceritakan detail proses hubungan intim yang dilakukan suami istri kepada orang lain tanpa kepentingan yang besar di dalamnya.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata:”Dan dalam hadits ini  (”Sesungguhnya yang termasuk manusia paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah seorang laki-laki yang menggauli istrinya lalau dia menceritakan rahasianya (jima’ tersebut)”(HR Muslim) )ada pengharaman bagi seorang laki-laki menyebarluaskan apa yang terjadi antara dia dengan istrinya berupa jima’, dan menceritakan secara detail hal itu dan apa yang terjadi dengan perempuan pada kejadian itu (jima’) berupa ucapan (desahan) maupun perbuatan dan yang lainnya. Adapun sekedar menyebutkan kata jima’, apabila tidak ada faidah dan keperluan di dalamnya maka hal itu makruh karena bertentangan dengan muru’ah (kehormatan diri)
Menjadi HARAM / BERDOSA ketika istri sedang haid, suami memaksa melakukan hubungan seksual. Atau ketika istri sedang nifas termasuk melakukan hubungan seksual di dubur (anal seks).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Kaum muslimin sepakat akan haramnya menyetubuhi wanita haid berdasarkan ayat Al Qur’an dan hadits-hadits yang shahih” (Al Majmu’, 2: 359). Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Menyetubuhi wanita nifas adalah sebagaimana wanita haid yaitu haram berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ Al Fatawa, 21: 624)
Dalam hadits disebutkan,

مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم-

“Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid atau menyetubuhi wanita di duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. Tirmidzi no. 135, Ibnu Majah no. 639. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Al Muhamili dalam Al Majmu’ (2: 359) menyebutkan bahwa Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid, maka ia telah terjerumus dalam dosa besar.”
Hubungan suami isteri tidak lari dari hubungan seks. Mengikut pandangan pakar, sebaiknya setiap pasangan mengadakan hubungan seks 3 kali seminggu. Ini menjadikan jumlah minima hubungan seks setiap pasangan adalah 12 kali sebulan. Mengambil kira waktu isteri datang bulan selama seminggu atau lebih setiap bulan.
Menurut islam, isteri adalah ibarat ladang untuk suaminya. Si suami boleh boleh buat apa sahaja, APA SAHAJA bersama atau kepada isterinya. Selagi mana tidak melibatkan lubang dubur atau bersama ketika isteri datang haid. Islam melarang pasangan bersama ketika haid dan dubur kerana ia adalah kotor dan boleh mendatangkan mudarat.
Panduan posisi seks dalam islam amat mudah. Tidak bersama ketika haid, tidak melibatkan dubur dan jangan berbogel  ketika bersama. Anda pasti pernah melihat set katil yang mempunyai tiang tinggi di empat penjuru katil. Tujuannya ia boleh dipasang kelambu bagi memudahkan pasangan bersama dengan ruang kawasan yang lebih besar.
Islam tidak melarang pasangan menggadakan hubungan seks, diatas katil, diatas kerusi, diatas sofa, didalam kenderaan, di dapur, di tepi dinding, dilantai. Asalkan panduan diatas dipatuhi beserta dengan doa dan adab-adab ketika berjimak dan selepas berjimak.
Pasangan boleh memilih pelbagai jenis posisi ketika melakukan hubungan seks. Mempelbagai posisi dapat menghilangkan rasa bosan pasangan. Memudahkan isteri mencapai titik kepuasan atau klimax dengan mudah. Mahupun juga dipanggil senaman diatas katil untuk tujuan kesihatan. Suami boleh diatas, isteri boleh diatas, boleh melapik punggung isteri dengan bantal dan banyak lagi. Titik kepuasan setiap wanita adalah berbeza. Lelaki harus pandai dan cepat bermula dari tarikh perkahwinan. Mencari titik kepuasan pasangan agar tidak mendatangkan kemarahan jika isteri tidak mendapat kepuasan ketika melakukan hubungan seks.
Tuntunan Nabi dalam Bercinta
Maka tidak heran jika Rasulullah memberi petunjuk yang sangat sempurna terkait urusan cinta ini, sehingga tidak saja mendatangkan kenikmatan ragawi, tetapi juga menyehatkan jiwa dan menentramkan hati.  
Nah, di era modern ini, cara bercinta Nabi adalah cara paripurna untuk menjaga keharmonisan rumah tangga, sehingga tidak ada yang lebih indah bagi seorang suami melainkan istrinya sendiri. Dan, tidak ada yang sangat menawan bagi seorang istri, selain suaminya sendiri. Dalam spirit cinta mereka, tertanam harapan kuat, akan lahirnya generasi rabbani, generasi qur’ani yang hidup untuk mengabdi kepada Allah demi menjayakan Islam dan umat Islam.
Lantas, bagaimanakah cara terbaik untuk memperagakan kehidupan special itu sehari-hari bersama istri atau suami?
Pertama, ciptakanlah suasana rumah yang romantis. Suasana rumah yang membuat suami betah di dalam rumah. Dan, selalu siap bercinta dengan pasangan setiap kehendak untuk hajat terindah kehidupan dunia itu muncul dari suami (pasangan). Para pria sering lalai urusan romantisme ini. Padahal banyak wanita suka dengan suasana romantis.
Kedua, jangan suka menunda dan menolak.  Nabi yang melarang seorang istri menolak ajakan suami. Umumnya pria agresif sedang wanita pemalu.  Dalam sebuah hadits dituturkan, Rasulullah bersabda: “Jika seorang istri dipanggil oleh suaminya karena hajat biologisnya, maka hendaknya segera datang, meski dirinya sedang sibuk.” (HR Turmudzi). 
Dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Umar, Rasulullah bersabda: “Allah melaknat wanita yang menunda-nunda, yaitu seorang istri ketika diajak suaminya ke tempat tidur, tetapi ia berkata, 'nanti dulu', sehingga suaminya tidur sendirian.” (HR Khatib). 
Dalam hadis lain dituturkan: “Jika suami mengajak tidur istrinya, lalu sang istri menolak, yang menyebabkan sang suami marah kepadanya, maka malaikat akan melaknat istri tersebut sampai pagi tiba.” (HR Bukhari dan Muslim).
Bagi mereka yang terserang virus feminisme, mungkin makna hadits itu bisa diselewengkan. Tetapi, jika kita kaji lebih dalam, sebenarnya hadits itu mengajak para istri untuk mampu menciptakan suasana rumah tangga yang hangat penuh gelora cinta. 
Dengan kata lain, istri harus mempersiapkan segalanya demi kenikmatan bercinta bersama suami. Dan, istri yang cerdas, tidak akan pernah menemui suaminya dalam kondisi terpanggil, tetapi menyerahkan diri dengan sepenuh hati. Dengan cara seperti itu, Insya Allah, kehidupan rumah tangga akan bahagia selamanya.
Ketiga, mengatur waktu. Suami juga jangan sampai salah paham. Hadits di atas tidak berarti suami punya hak memaksa. Suami juga harus tahu diri, apakah para istri dalam keadaan kelelahan setelah bekerja seharian di rumah atau tidak. Maka sebaiknya masalah ini saling memahami.  Suami-istri  sebaiknya bisa mengatur waktu, sehingga aktivitas bercinta dapat terlaksana sesuai dengan yang seharusnya.
Jadi, berusahalah untuk bisa mengatur waktu, sehingga terciptalah keharmonisan rumah tangga 
Keempat, bercintalah sesuai tuntunan Nabi. Proses bercinta adalah bagian dari iman, maka pelaksanaannya pun harus sesuai tuntunan Nabi. Tidak boleh keluar dari koridor yang telah ditetapkan oleh Islam. Sebab bercinta (making love) bukan sekedar pemuasan diri, tetapi juga proses persiapan melahirkan generasi rabbani. Oleh karena itu, aktivitas bercinta harus juga karena Allah Subhanahu Wata’ala dan diniatkan karena ibadah, bukan sekedar kesenangan biologis semata.
Kelima, pada tempat yang benar secara syariat.  Mendatangi istri pada tempatnya (farji) bukan yang lain (dubur/anal). Jika sampai hal itu terjadi, maka baginya laknat Allah Subhanahu Wata’ala. 
Rasulullah bersabda, “Allah tidak akan melihat orang yang menyetubuhi seorang laki-laki atau isterinya pada bagian dubur.” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i).
Itulah mengapa Islam tidak mengenal konsep homo-seksual atau lesbianisme. Karena alat kelamin manusia diciptakan oleh-Nya bukan semata untuk memuaskan keinginan, tetapi juga melahirkan generasi. Jadi, aktivitas bercinta yang tidak sesuai syariat Islam adalah haram.
Akan tetapi Islam memberi kebebasan suami istri dalam melakukan hubungan intim terkait dengan gaya yang dipilih. Hal ini Allah tegaskan dengan sebuah ilustrasi yang sangat gamblang, terkait bagaimana gaya suami bertemu istri.

نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُواْ حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُواْ لأَنفُسِكُمْ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّكُم مُّلاَقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (QS. Al-baqarah [2]: 223).
Ibn Katsir dalam tafsir ayat tersebut juga mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Abu Dawud.
“Isteri-isteri kalian adalah (seperti) lahan tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah lahan tempat bercocok tanam itu bagaimana saja kamu kehendaki”.
Bahkan lebih tegas Rasulullah juga pernah bersabda, “Datangilah mereka dengan cara bagaimanapun selama masih pada kemaluan.” (HR. Ahmad).
Keenam, bersih dan berhias diri seindah/sewangi mungkin. Sudah fitrah manusia suka melihat yang indah dan mencium yang harum. Oleh karena itu, Islam mengajarkan agar suami istri untuk suci, bersih dan berhias diri sebelum melakukan jima’. Dengan cara seperti itu, maka hasrat cinta akan tetap terjaga, sehingga terciptalah keharmonisan rumah tangga yang luar biasa.
Rasulullah mengingatkan kepada para suami, agar tidak menyetubuhi istri mereka dalam keadaan nifas dan haid. Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda: "Barangsiapa yang bersenggama dengan wanita yang sedang haid, atau menyetubuhi wanita dari dubur (lubang anus)-nya, atau mendatangi paranormal (ahli tenung), dan mempercayai ramalannya, Maka sejatinya ia telah kufur (ingkar) dengan apa-apa yang diturunkan kepada Muhammad."  (HR Abu Daud).‎
“ WATHOYYIBAN FAKA BITHIBIN FA IHIN  A’LADDAWAMI NILTUMUL MANAIHIN “
Syaikh penadzam menjelaskan : Bahwa suami di harapkan agar berusaha mulutnya menjadi sedap dan harum , hal itu dilakukan agar menambah rasa cinta sang istri hal itu dilakukan jangan hanya waktu mau melakukan senggama saja tapi harus selamanya setiap hari .
Dan untuk sang istri di sunnahkan untuk berhias diri dan menggunakan wangi-wangian hanya untuk suaminya saja karena ada hadist : Nabi Saw , Bersabda :
“ sebaik-baiknya wanita ialah wanita yg selalu menggunakan wangi-wangian dan bersih “
Dalam riwayat lain dari Sayyidina Ali K.w , Nabi Saw , Bersabda :
“ Sebaik-baiknya wanita adalah wanita yg harum baunya dan sedap masakannya “
Disunnahkan jg bagi wanita memakai Celak pada kedua matanya ,dan memacar kedua tangan dan kakinya , karena ada hadist , Nabi Saw , Bersabda :
“ Saya paling benci , bila melihat wanita tanpa pakai celak atau pacar “
Adapun untuk laki-laki menggunakan pacar baik pada tangan atau kedua kakinya dihukumi haram.
Imam malik R.a Di Tanya tentang wanita yg memakai gengge !!! Beliau Menjawab : saya lebih senang bila hal itu di tinggalkan ( tidak dipakai ) tapi beliau tidak mengharamkannya.dan wanita jg bisa jatuh hukum haram memakai gengge apabila di pakainya untuk dipamerkan dan di perdengarkan suaranya.
Ketujuh, kemesraan dan rayuan. Bahkan, suami dan istri boleh bermesra-mesraan ketika sang istri sedang haid, selama tidak dilanjutkan dengan hubungan sanggama di antara mereka. Aktivitas bermesra-mesraan ini dalam dunia fiqh biasa disebut dengan istilah istimta’, yang berarti bersenang-senang, berlezat-lezat, atau bernikmat-nikmat. Jadi, awalilah pertemuang dengan suami atau istri dengan bercumbu rayu.
Banyak para suami melupakan masalah ini. Seolah-oleh yang terpenting hanyalah menunaikan syahwat dan hasrat sesegra mungkin.  Padahal, rayuan dan pemanasan (foreplay) sebelum jima’ memiliki pengaruh yang besar dalam membangkitkan syahwat istri dan meningkatkan keingannya untuk berhubungan. 
Seorang suami harusnya memulai seks dengan bersenda gurau, merangkul, memeluk dan mencium mata istrinya. Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa ada pahala yang besar bagi suami yang menggauli istrinya dengan baik.
Dari Ibnu Qudamah; ”Dianjurkan (disunahkan) agar seorang suami mencumbu istrinya sebelum melakukan jima’ supaya bangkit syahwat istrinya, dan dia mendapatkan kenikmatan seperti yang dirasakan suaminya. Dan telah diriwayatkan dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah bahwasanya dia berkata:”Janganlah kamu menjima’ istrimu, kecuali dia (istrimu) telah mendapatkan syahwat seperti yang engkau dapatkan, supaya engkau tidak mendahului dia menyelesaikan jima’nya (maksudnya engkau mendapatkan kenikmatan sedangkan istrimu tidak).
Dan termasuk bentuk cumbu rayu adalah berciuman, memainkan bagian tunuh dan bersentuhan kulit dengan kulit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu mencium istrinya sebelum jima’. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Jabir radhiyallahu ‘anhu ketika dia menikah dengan janda:

“فهلا بكراً تلاعبها وتلاعبك” (رواه الشيخان)، ولمسلم “تضاحكها وتضاحكك”

“Kenapa tidak gadis (yang engkau nikahi) sehingga engkau bisa mencumbunya dan dia mencumbumu?” (HR. Biukhari dan Muslim) dan dalam riwayat Muslim:”Engkau bisa mencandainya dan dia mencandaimu?”
Syaikh penadzam menjelaskan : Apabila mau melakukan senggama , hendaknya didahului dengan senda gurau bersama istri , bermesra-mesra’an dengan berbuat sesuatu yg di perbolehkan , mitsalnya : memegang-megang atau melumat puting payudara istri , merangkul ,memeluk serta menciumi pipi , kening , leher , payudara ,perut dan semua anggota tubuh istri , asalkan jangan sampai mencium KEDUA MATANYA karena mencium kedua mata istri dapat menyebabkan perpisahan , dan jangan sampai melakukan hal itu dalam keada’an lupa. Rosulalloh Saw , Bersabda :
“ Janganlah sekali-kali di antara kalian melakukan senggama dengan istrinya , sebagaimana yg dilakukan oleh hewan-hewan ternak , sebaiknya kalian menggunakan suatu perantara . “ di haturkan kepada nabi “ apa yg dimaksud dengan perantara itu ??? Nabi Saw , Menjawab : Yaitu Mencium dan berkata-kata dengan bahasa yg Indah-indah “
Sebaiknya anda melakukan dengan mengelus-ngelus pipi , payudara sambil merayu sang istri dengan kata-kata yg penuh dengan kemesraan . Sebentar-bentar mencium dan melumat puting payudara sedangkan tangan merayap sambil mengelus-ngelus daerah tubuh istri yg lainnya.begitu jg kecupan jangan sampai dilupakan .faidah hal-hal yg demikian dilakukan , bahwa sesungguhnya wanita cinta terhadap pria dan pria cinta terhadap wanita , maka jangan sampai suami melakukan senggama bersama istrinya dalam keada’an lupa dengan semua perantara itu .dengan kata lain jangan sampai suami sudah melakukan ejakulasi sebelum istrinya ejakulasi.karena dengan itu akan mengakibatkan keresahan pada diri sang istri , mitsalnya : dengan merasa tidak puas ,setelah senggama istri marah-marah sama suaminya . dan tidak jarang di jumpai hal yg tidak senonoh terhadap suami , harus ingat dalam keterangan hadist :

“ SYAHWAT PRIA DAN WANITA ADALAH SATU BANDING SEMBILAN “

Alloh Swt , meng anugrahkan kepada pria 1 nafsu dan 9 akal sedangkan untuk wanita 1akal 9 nafsu .oleh karena itu kebaikan dan kebenaran semua ada dalam hadist Nabi , dalam arti kita harus mengamalkan keterangan-keterangan dari hadist Nabi Saw .

“ WA’AKSU DHA YUADHI LISYIQOQY  BAINAHUMA SHOHI WALILFIROQY “

Syaikh penadzam menjelaskan : bawha senggama yg dilakukan suami dengan istrinya tanpa senda gurau , saling cium ,rangkul , peluk bersama istrinya atau mencium kedua mata istrinya , hal itu dapat mengakibatkan percekcokan dan perselisihan serta mengakibatkan anak yg terlahir berwatak bodoh dan tumpul otaknya ( keterangan dalam kitab AN NASHIHAH ) . 
Diterangkan dalam hadist , ada pahala besar bagi orang yg menggauli istrinya dengan niat baik ,setelah suami mencium-cium dan bermain-main cinta dengan istrinya.
Hadist dari sayyidah A’isyah , Rosulallloh Saw , Bersabda :
“ Barangsiapa memegang tangan istri sambil merayunya , maka Alloh Swt , akan menulis baginya 1 kebaikan dan melebur 1 kejelekan serta mengangkat 1 derajat , Apabila merangkul , maka Alloh Swt , akan menulis baginya 10 kebaikan melebur 10 kejelekan dan mengangkat 10 derajat , Apabila menciumnya , maka Alloh Swt , akan menulis baginya 20 kebaikan , melebur 20 kejelekan dan mengangkat 20 drajat , Apabila senggama dengannya , maka lebih baik daripada dunia dan isi-isinya “ HR Bukhari
Foreplay atau pemanasan sebelum melakukan penetrasi seksual bertujuan untuk menciptakan komunikasi yang positif antara suami dan istri. Dengan foreplay yang benar dan cukup maka aktifitas seks akan lebih menyenangkan dan memuaskan kedua pihak.
Delapan,  berdoa, ini aktivitas paling penting sebelum berdoa.  Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Abbas dituturkan, Rasulullah bersabda: "Jika salah seorang diantara kalian hendak mencampuri istrinya, maka hendaknya sebelum senggama membaca doa:

 بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

“Bismillah, Allahumma jannibnaa asy-syaithan, wa jannib asy-syaithana ma razaqtana” (Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah jauhkanlah kami dari Setan. Dan jauhkan setan dari apa-apa yang Engkau karuniakan kepada kami (anak keturunan). 
Dengan memanjatkan doa, diharapkan anak yang lahir dari buah percintaan bisa menjadi anak yang sholeh-sholehah dan takwa kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Dengan berdoa, kata Nabi, “Kemudian dia dikaruniai seorang anak, maka setan tidak akan memberikan madharat kepadanya selamanya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Sebagian ulama berpendapat, makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setan tidak akan memberikan madharat kepadanya selamanya.” Di antara pendapat itu mengatakan,  dengan berdoa saat jima’ setan tidak mampu menguasai anak ini, karena keberkahan bacaan basmalah. Sehingga mereka termasuk di antara hamba Allah, yang Allah sebut dalam al-Quran, di mana setan tidak memiliki kekuatan untuk mengalahkan mereka. 
Allah berfirman tentang mereka yang artinya, “Sesungguhnya, hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat.” (QS. al-Hijr: 42).
Pendapat lain mengatakan, jika kita berdoa, setan tidak bisa ikut bergabung bersama sang suami untuk menyetubuhi istrinya. Sebagaimana riwayat dari Mujahid, beliau mengatakan;
“Sesungguhnya, orang yang ber-jima’ dan dia tidak membaca basmalah (doa sebelum jima’), maka setan membelit kemaluan orang ini dan ber-jima’ bersamanya.” Ibnu Hajar mengatakan, “Barangkali, inilah pendapat yang paling mendekati.” (Fatwa al-Islam: Tanya-Jawab, no. 21734)

“ WAHDHAR MINAL JIMA’I FISH SHIYAABY  FAHUWA MINAL JAHLY BILAR TIYAABY “

Syaikh penadzam menjelaskan : Bahwa sebagian adab senggama yaitu suami hendaknya munyuruh istrinya untuk melepas semua pakaiannya ada baiknya kalau suami yg melepaskan pakaian istrinya.kemudian suami dan istrinya bersenggama dalam 1 selimut , akan tetapi , bukan berarti senggama yg di lakukan itu tanpa penutup sama sekali.
Karena ada hadist :
Rosulalloh,Saw Bersabda:
“ Apabila kalian melakukan senggama dengan istrinya , maka jangan telanjang seperti telanjangnya himar “
Nabi Saw , sendiri ketika melakukan senggama dengan istrinya , beliau menggunakan tutup kepala dan memelihara suara seraya berkata pada istrinya “ hendaklah engkau tenang “ begitu jg dilakukan oleh shohabat abu bakar yg selalu mamakai tutup kepala ketika bersenggama dengan istrinya karena malu sama Allah Swt.
Sebagian ahli ilmu berkata : Di sunnahkan melipat pakaian pada waktu malam sambil membaca BASMALLAH karena kalau tidak demikian maka setan akan memakainya pada malam hari dan pemiliknya memakai pada siang hari.Rosulalloh Saw , Bersabda :
“ Lipatlah pakaian kamu , karena sesungguhnya setan tidak mau memakai pakaian yg di lipat “
Sebelum bermalam pertama, sangat disukai untuk memperindah diri masing-masing dengan berhias, memakai wewangian, serta bersiwak.
Berdasarkan sebuah hadits dari Asma’ binti Yasid radhiyallaahu ‘anha ia menuturkan, “Aku merias Aisyah untuk Rasulullah shallallahu a’laihi wasallam. Setelah selesai, aku pun memanggil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pun duduk di sisi Aisyah. Kemudian diberikan kepada beliau segelas susu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminum susu tersebut dan menyerahkannya pada Aisyah. Aisyah menundukkan kepalanya karena malu. Maka segeralah aku menyuruhnya untuk mengambil gelas tersebut dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” [HR Ahmad, sanad hadits ini dikuatkan oleh Al-Allamah Al-Muhadits Al-Albani dalam Adabul Zifaf].
Adapun disunnahkannya bersiwak, karena adab yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau selalu bersiwak setiap setiap hendak masuk rumah sebagaimana disebutkan oleh Aisyah radhiyallaahu ‘anha dalam Shahih Muslim. Selain itu akan sangat baik pula jika disertai dengan mempercantik kamar pengantin sehingga menjadi sempurnalah sebab-sebab yang memunculkan kecintaan dan suasana romantis pada saat itu.
Hendaknya suami meletakkan tangannya pada ubun-ubun istrinya seraya mendoakan kebaikan dengan doa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan :

اللّهمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dari kebaikannya (istri) dan kebaikan tabiatnya, dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan tabiatnya.”[HR. Bukhari dari sahabat Abdullah bin Amr bin Al Ash radhiyallaahu 'anhu].
Disunnahkan bagi keduanya untuk melakukan shalat dua rakaat bersama-sama. Syaikh Al Albani dalam Adabuz Zifaf menyebutkan dua atsar yang salah satunya diriwayatkan oleh Abu Bakr Ibnu Abi Syaiban dalam Al-Mushannaf dari sahabat Abu Sa’id, bekat budak sahabat Abu Usaid, beliau mengisahkan bahwa semasa masih menjadi budak ia pernah melangsungkan pernikahan. Ia mengundang beberapa sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, diantaranya Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzarr, dan Hudzaifah.
Abu Sa’id mengatakan, “Mereka pun membimbingku, mengatakan, ‘Apabila istrimu masuk menemuimu maka shalatlah dua rakaat. Mintalah perlindungan kepada Allah dan berlindunglah kepada-Nya dari kejelekan istrimu. Setelah itu urusannya terserah engkau dan istrimu. “Dalam riwayat Atsar yang lain Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu mengatakan, perintahkan isrtimu shalat dibelakangmu.”
Ketika menjumpai istri, hendaknya seorang suami berprilaku santun kepada istrinya semisal dengan memberikan segelas minuman atau yang lainnya sebagimana dalam hadits di atas, bisa juga dengan menyerahkan maharnya. Selain itu hendaknya si suami untuk bertutur kata yang lembut yang menggambarkan kebahagiaannya atas pernikahan ini. Sehingga hilanglah perasaan cemas, takut, atau asing yang menghinggapi hati istrinya. Dengan kelembutan dalam ucapan dan perbuatan akan bersemi keakraban da keharmonisan di antara keduanya.
Apabila seorang suami ingin menggauli istrinya, janganlah ia terburu-buru sampai keadaan istrinya benar-benar siap, baik secara fisik, maupun secara psikis, yaitu istri sudah sepenuhnya menerima keberadaan suami sebagai bagian dari dirinya, bukan orang lain. Begitu pula ketika suami telah menyelesaikan hajatnya, jangan pula dirinya terburu-buru meninggalkan istrinya sampai terpenuhi hajat istrinya. Artinya, seorang suami harus memperhatikan keadaan, perasaan, dan keinginan istri. Kebahagian yang hendak ia raih, ia upayakan pula bisa dirasakan oleh istrinya.
Bagi suami yang akan menjima’i istri hanya diperbolehkan ketika istri hanya diperbolehkan ketika istri tidak dalam keadaan haid dan pada tempatnya saja, yaitu kemaluan. Adapun arah dan caranya  terserah yang dia sukai.
 Allah berfirman yang artinya, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, “Haid itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhi (tidak menjima’i) wanita diwaktu haid, dan janganlah kalian mendekati (menjima’i) mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu pada tempat yang diperintahkan Allah kepad kalian (kemaluan saja). Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang mensucikan diri. Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat itu bagaimana saja kalian kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk diri kalian, bertakwalah kepada Allah, ketahuilah bahwa kalian kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman.” [Q.S. Al Baqarah: 222-223].
Diperbolehkan bagi suami dan istri untuk saling melihat aurat satu sama lain. Diperbolehkan pula mandi bersama. Dari Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah dalam satu bejana dan kami berdua dalam keadaan junub.” [HR. Al Bukhari dan Muslim.]
Diwajibkan bagi suami istri yang telah bersenggama untuk mandi apabila hendak shalat. Waktu mandi boleh ketika sebelum tidur atau setelah tidur. Namun apabila dalam mengakhirkan mandi maka disunnahkan terlebih dahulu wudhu sebelum tidur. Berdasarkan hadits Abdullah bin Qais, ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Aisyah, ‘Apa yang dilakukan Nabi ketika junub? Apakah beliau mandi sebelum tidur ataukah tidur sebelum mandi?’ Aisyah menjawab, ‘Semua itu pernah dilakukan Rasulullah. Terkadang beliau mandi dahulu kemudian tidur dan terkadang pula beliau hanya wudhu kemudian tidur.”[HR. Ahmad dalam Al Musnad]
Tidak boleh menyebarkan rahasia ranjang.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya diantara manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah laki-laki yang mendatangi istrinya dan istrinya memberikan kepuasan kepadanya, kemudian ia menyebarkan rahasianya.” [HR. Muslim dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiyallaahu 'anhu]
.Kesempurnaan syariat Islam ini menunjukkan betapa besarnya perhatian Allah terhadap hamba-Nya melebihi perhatian hamba terhadap dirinya sendiri. Oleh karenanya, hendaklah setiap hamba tetap berada di atas fitrah tersebut di atas agama allah agar dirinya selalu berada di atas jalan yang lurus, “(Tetaplah di atas fitrah) yang Allahtelah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” [QS. Ar Rum: 30]. Allahu a’lam
Berwudhu
Jika suami selesai melakukan hubungan dan ingin mengulanginya lagi,Rasulullah menganjurkan berwudhu terlebih,  sebagaimana sabdanya:

“إذا أتى أحدكم أهله ثم أراد أن يعود فليتوضأ [بينهما وضوءا] وفي رواية: وضوءه للصلاة فإنه أنشط في العود ”

“Apabila kamu telah selesai mendatangi isterinya dan ingin mengulanginya lagi,maka hendaklah berwuduklah di antara keduanya (hubungan seks) ,dan dalam riwayat lain: Wudhuk seperti wudhuk solat kerana ianya memberi kecergasan dan mengulanginya lagi”. (HR Imam Muslim (1/171), Ibnu Abi Syaibah).
Dengan demikian, maka akan terciptalah keharmonisan suami istri, keluarga sakinah mawaddah wa rahmah. Jadi, jangan salah, Islam juga punya aturan tentang cinta. Menariknya apa yang Islam syariatkan dalam hubungan suami istri adalah suatu aturan yang sesuai dengan nurani manusia. Selamat hidup hidup sehat dan bahagia, tentusaja, dengan cara Rasulullah agar mendapat berkah, terutama anak-anak yang sholeh dan sholihah.
Berbagai teknik dalam persetubuhan
Selagi yang namanya  alam termasuk juga manusia, apa sahaja yang ada padanya berubah. Tambahan pula, manusia itu sendiri sukakan perubahan. Jika tidak ada perubahan sesuatu itu akan membosankan. Begitu juga dengan melakukan persetubuhan, jika hanya menggunakan teknik yang sama kemungkinan besar perasaan bosan akan timbul. Oleh kerana itu, bagi pasangan suami isteri yang mengimpikan kenikmatan persetubuhan itu tetap selalu dirasakan, keduanya akan sentiasa mencari teknik atau cara-cara baru dalam melakukan persetubuhan. Agar keduanya akan mendapat kehangatan dalam hubungan.
Kelebihan hubungan seks pelbagai posisi:
DAPAT menghilangkan perasaan bosan akibat teknik yang sama.
DAPAT menaikkan keinginan untuk bersetubuh.
DAPAT meningkatkan kenikmatan berkelamin.
DAPAT menjarangkan kehamilan.
DAPAT menperolehi kehamilan.

نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُواْ حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُواْ لأَنفُسِكُمْ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّكُم مُّلاَقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

“Isteri-isteri adalah seperti kebun tempat kamu bercucuk tanam, maka datangilah kebun tempat kamu bercucuk tanam itu dari mana sahaja yang kamu kehendaki” (Al-Baqarah:223)
Tujuh posisi seks sebagai panduan. 
1- Teknik berhadap-hadapan.
2- Teknik lelaki diatas.
3- Teknik isteri diatas.
4- Teknik duduk berhadap-hadap.
5- Teknik berjimak di belakang.
6- Posisi duduk di ats kerusi.
7- Posisi berlutut.
1. Teknik berhadap-hadapan
Cara ini dikerjakan oleh kedua belah pihak saling berhadap-hadapan,suami memasukkan zakarnya ke dalam faraj isteri.Setelah itu suami isteri dapat melakukan aktiviti secara seimbang.Dalam cara ini gerakan lambat dan terbatas,sehingga kadangkala agak kurang disenangi oleh kedua pasangan suami-isteri.
 2- . Teknik lelaki diatas.
Dengan teknik ini isteri telentang dengan kaki terbuka,di bawah pingulnya dapat diletakkan bantal untuk memudahkan zakar suami dimasukkan lebih dalam.Apabila zakar suami telah masuk,maka isteri dapatlah dirapatkan supaya gesekan zakar dapat dirasakan.
 3- Teknik isteri diatas.
Dalam teknik ini suami bersikap tenang,sedangkan isteri memainkan peranannya.Teknik ini sesuai untuk suami yang uzur atau kurang sihat. Dengan posisi ini tangan suami dapat aktif meraba tubuh isterinya supaya cepat terangsang,sedangkan bagi suami sendiri akan dapat melambatkan keluarnya air mani. Dalam cara ini,peluang memproleh kehamilan adalah kurang sebab air mani yang di pancutkan akan keluar dari farajnya.
  4. Teknik duduk berhadap-hadap.
Teknik ini dapat dilakukan dengan duduk berhadap-hadapan.Isteri duduk pada peha suaminya sambil membukakan pehanya. Dengan posisi ini keduanya akan dapat saling berciuman atau bercumbu rayu untuk menambah kenikmatan.
Posisi ini dapat memuaskan nafsu kepuasan kepada kedua suami isteri.Keuntungan cara ini ialah bagi suami yang mempunyai kemaluan yang agakpendek.maka zakarnya akan dapat masuk sampai ke dalam.Sedangkan bagi suami yang mempunyai kemaluan yang agak panjang,ia akan dapat mengendalikan menurut kemahuannya.Dankemungkinan untuk hamil dengan cara ini agak sukar.
5. Teknik berjimak di belakang.
Cara ini dapat dilakukan apabila keduanya miring atau isteri menunggang sambil menundukkan kepala sedangkan suami duduk dari belakang. Keadaan demikian suami dapat lebih nikmat dan biarpun jika isteri dalam keadaan hamil.
6. Posisi duduk di atas kerusi.
Cara ini merupakan salah satu cara yang sangat berguna,dimana suami duduk diatas kerusi sedangkan isteri duduk berhadapan di atas peha suaminya. Keuntungan cara ini dapat memberikan kepuasan kepada kedua belah pihak.
7. Posisi berlutut.
Dalam posisi ini pihak isteri mengambil sikap berlutut serta menahan badannya dengan sikunya beralaskan bantal atau lantai. Suami kemudian berlutut pula di belakang dengan memasukkan zakarnya sambil memeluk pinggang isterinya. Cara ini sesuai sekali dilakukan pada saat isteri dalam keadaan hamil,sehingga perut isteri tidak bertindih.
Variasi bercinta diperlukan bagi pasangan suami-isteri untuk terus menjaga gairah bercinta dan sikap saling menyayangi diantara keduanya. Dan diantara variasi yang mungkin bisa dilakukan adalah bagaimana bercinta di kamar mandi.
Meskipun bercinta dilakukan kamar mandi, namun suasana keindahan, kenyamanan dan kebersihan tetaplah harus diperhatikan. Untuk menambah gairah diantara keduanya bisa terlebih dahulu memberikan pengharum kamar mandi dan saling memberikan wangi-wangian ke tubuh pasangannya terlebih dahulu. Ingat, tujuan utamanya kan bukan untuk mandi seperti biasanya tetapi untuk bercinta.
Aisyah ra berkata,”Aku memberikan wewangian ke tubuh Rasulullah saw kemudian dia menggilir para isterinya, kemudian pada pagi harinya dia mengenakan pakaian ihram.” (HR. Bukhori)
Ibnu Hajar mengatakan,”Perkataan menggilir isterinya adalah istilah untuk bersenggama yang mewajibkannya mandi. Dan disebutkan di dalam hadits itu bahwa Aisyah memberikan wewangian ke tubuh Rasulullah saw sebelumnya dan pada pagi harinya beliau sudah mengenakan ihram.” Ia menambahkan ,”Ibnu Bathol mengatakan, ’Disunnahkan bagi laki-laki dan wanita untuk memakai parfum / wewangian saat bersetubuh.” (Fathul Bari juz I hal 458)
Pada saat mandi, suami isteri bisa saling menciduk air secara bergantian dan menyirami tubuh pasangannya dan membersihkannya. Atau suami isteri juga bisa berada didalam satu wadah yang bisa menampung keduanya, seperti bak mandi atau bathup, tidak mengapa kalaupun saling melihat aurat diantara mereka berdua. Dan hendaklah menghindari kemubadziran didalam penggunaan air.
Diriwayatkan dari Aisyah ra, ia berkata,”Aku pernah mandi bersama Nabi saw dalam satu bejana yang disebut al Farq.” (HR. Bukhori). 1 farq = 16 kati = ±18 liter.
Ad Dawudi menggunakan hadits ini sebagai dalil diperbolehkannya seorang laki-laki melihat aurat isterinya atau sebaliknya. Hal ini dikuatkan dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari jalan Sulaiman bin Musa bahwasanya dia ditanya tentang seorang laki-laki yang melihat kemaluan isterinya maka dia menjawab,”Saya bertanya (tentang hal yang sama) kepada Atho’. Maka dia menjawab,’Aisyah pernah bertanya (tentang hal ini) maka beliau menyebutkan hadits ini.” Artinya hadits ini menjadi dalil dalam permasalahan ini. (Fathul Bari juz I hal 438)
Diriwayatkan dari Abi Salamah bin Abdurrahman mengatakan,”Telah berkata Aisyah,’Aku mandi bersama Rasulullah saw dalam satu bejana dan kami sama-sama dalam keadaan junub.” (HR. Muslim)
Dari Aisyah ra berkata,”Aku pernah mandi bersama Nabi saw dari satu bejana, tangan kami saling bergantian menciduknya.” (HR. Muslim)
Jadi meskipun bercinta dilakukan di kamar mandi hendaklah suami isteri tetap memperhatikan kepuasan masing-masing pasangannya, tidak tergesa-gesa untuk menyelesaikannya. Orang-orang barat menyebut seks dengan istilah bercinta dan jika kita lihat dari kaca mata islam sepertinya pengistilahan tersebut sah-sah saja selama tidak bertentangan dengan rambu-rambu syariat. Seks umumnya  cenderung dilakukan terburu-buru dan ingin cepat selesai tanpa memperhatikan pemanasan (mula’abah) dan kepuasan pasangannya, sebaliknya dengan bercinta.
Disamping cara-cara yang telah dikemukakan di atas,sebenarnya masih banyak lagi cara yang lain.Biasanya dapat di kembangkan oleh pihak suami dan isteri yang telah berpengalaman dalam melakukan persetubuhan.

Hukum Memakai Emas


Diriwayatkan dari ibnu Laila, ia berkata, "Hudzaifah pernah ditugaskan di al-Mada'in. Pada suatu ketika ia meminta minum Dihqaan datang dengan membawa air dalam gelas yang terbuat dari perak. Hudzaifah melempar Dihqaan dengan gelas perak tersebut lalu berkata, "Sesungguhnya aku melemparnya karena ia sudah pernah aku larang namun masih saja ia lakukan. Sesungguhnya Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam bersabda, 'Emas, perak, sutra, dan sutra dibaaj untuk mereka orang kafir di dunia dan untuk kalian nanti di akhirat'," (HR Bukhari [5632] dan Muslim [2067]).
Diriwayatkan dari al-Barra' bin Azib radhiyallohu'anhu ia berkata, "Nabi sholallohu 'alaihi wasallam memerintahkan kami dengan tujuh perkara dan melarang kami dengan tujuh perkara. Beliau menyuruh kami untuk mengiringi jenazah, menjenguk orang sakit, memenuhi undangan, menolong orang yang teraniaya, membenarkan sumpah, menjawab salam dan mengucapkan tasymit atas orang-orang bersin. Beliau melarang kami memakai bejana perak, cincin emas, kain sutra, sutra dibaaj, kain qasy dan kain istibraq," (HR Bukhari [1239] dan Muslim [2066]).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallohu'anhu dari Nabi sholallohu 'alaihi wasallam, "Bahwasanya beliau melarang memakai cincin dari emas," (HR BUkhari [5864] dan Muslim [2089]).
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallohu'anhu bahwasanya Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam pernah melihat seorang laki-laki memakai cincin emas, lalu beliau menanggalkannya dan membuangnya seraya bersabda, "Apakah salah seorang dari kalian ada yang berani dengan sengaja mengambil bara neraka lalu ia letakkan di tangannya?"
Setelah Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam pergi, kemudian dikatakan kepada laki-laki itu, "Ambil kembali dan manfaatkan cincinmu itu." Laki-laki itu berkata, "Demi Allah, selamanya aku tidak akan mengambil kembali apa yang tleah dibuang Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam," (HR Muslim [2090]).
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallohu'anhubahwasanya Nabi sholallohu 'alaihi wasallam melarang memakai pakaian yang bergaris sutra dan yang dicelup dengan warna kuning, memakai cincing emas dan membaca al-Qur'an ketika ruku'," (HR Muslim [2078]).
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallohu'anhu bahwasanya Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam pernah membuat cincin dari emas dan ketika memakainya beliau meletakkan bagian mata cincinnya di bagian telapak tangan. Maka orang-orang pun ikut membuat cincin seperti itu. Kemudian di saat duduk di atas mimbar, beliau menanggalkan dan bersabda, "Sesungguhnya aku dulu memakai cincin ini dan aku letakkan mata cincinnya di bagian telapak tangan." Lalu beliau membuang cincin itu dan kembai bersabda, "Demi Allah aku tidak akan memakai cincin ini selamanya." Maka orang-orangpun ikut membuang cincin mereka, (HR Bukhari [5868] dan Muslim [2091]).
Diriwayatkan dari Abu Tsa'labah al-Khusyani radhiyallohu'anhubahwasanya Nabi sholallohu 'alaihi wasallam melihat di tangan Abu Tsa'labah ada sebentuk cincin. Lalu beliau memukul-memukul cincin itu dengan sebatang tongkat yang ada di tangannya. Tatkala Nabi sholallohu 'alaihi wasallam lengah ia segera membuang cincin itu. Kemudian Nabi sholallohu 'alaihi wasallam kemblai melihat ke tangan Tsa'labah dan ternyata cincin itu sudah tidak ada lagi. Lantas Nabi sholallohu 'alaihi wasallam bersabda, "Ternyata kami telah menyakitimu dan membuatmu rugi," (Shahih, HR Ahmad [IV/195]).
Diriwayatkan dari Salim bin Abi al-Ja'd dari seorang laki-laki kalangan kami dari suku asyja', ia berkata, "Rasululah sholallohu 'alaihi wasallam melihatku memakai cincin dari emas. Lalu beliau menyuruhku untuk membuangnya. Maka akupun membuangnya sampai sekarang ini," (Shahih, HR Ahmad [IV/260]).
Ada beberapa hadits lain dalam bab ini dari Umar, Imran, Abdullah bin Amr, Buraidah dan Jabir bin Abdillah radhiyallohu'anhu.
Kandungan Bab:
Hadits-hadits yang tercantum di bawah bab ini merupakan nash yang mengharamkan emas, khususnya cincin emas bagi kaum laki-laki.
Adapun hadits yang mencantumkan bahwa Nabi sholallohu 'alaihi wasallam memakai cincin emas adalah hadits yang mansukh.
Al-Baghawi berkata dalam kitabnya Syarhus Sunnah (57-58) sebagai komentar terhadap hadits Ibnu Umar radhiyallohu'anhu "Hadits mencakup dua perkara yang kemudian hukumnya berubah.
Memakai cincin emas, kemudian hukumnya berubah menjadi haram untuk kaum laki-laki.
Memakai cincin di sebalah kanan, kemudian pada akhirnya Nabi sholallohu 'alaihi wasallam memakainya di sebelah kiri.
Al-Hafid Ibnu Hajar berakta dalam kitabnya Fathul Baari (X/318), "Hadits Ibnu Umar merupakan bukti dimansukhkannya pembolehan memakai cincin apabila cincin tersebu terbuat dari emas."
3. Dibolehkan menjual cincin emas dan memanfaatkan hasis penjualannya. Oleh karena itu para sahabat berkata kepada laki-laki tersebut, "Ambil kembali cincinmu dan manfaatkanlah."
Apa Hikmah Pengharaman Memakai Emas bagi Laki-Laki?
Ketahuilah illat (sifat (alasan) yang tampak dan tetap yang dibangun diatasnya sebuah hukum) dalam hukum syariat bagi setiap orang mukmin adalah firman Allah dan sabda Rasul-Nya, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata".(Al-Ahzab:36).
Maka siapapun yang bertanya kepada kami (Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali) tentang kewajiban sesuatu atau pengharamannya, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan Al-Kitab dan Sunnah. Kami katakan, "Alasan, illat, dalam hal ini adalah firman Allah atau sabda Rasul-Nya Shallallhu Alaihi wa Sallam, dan illat itu cukup bagi setiap mukmin. Maka dari itu ketika Aisyah radhiyallahu anha ditanya mengapa orang haidh itu harus mengqadha puasa dan tidak mengqadha sholat? Aisyah menjawab, "Itulah yang diperintahkan kepada kita, kita diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha sholat." Karena nash dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, menjadi illat yang wajib bagi setiap mukmin. Tetapi tidak apa-apa jika manusia mencari illat lain dan mencari hikmah dari hukum-hukum Allah, karena hal itu akan menambah ketenangan dan akan menampakkan ketinggian syariat Islam, yang mana setiap hukum selalu disertai dengan illat-illat-nya. Di samping itu juga memungkinkan terjadinya kiyas jika illat hukum yang dinashkan itu bisa diterapkan pada masalah lain yang tidak dinashkan. Maka mengetahui hikmah syar'iyyah memiliki tiga faedah.
Alasan logisnya karena emas adalah perhiasan yang paling mahal bagi manusia dan tujuan pemakaiannya adalah untuk berhias dan berdandan, sedangkan laki-laki tidak diciptakan untuk kepentingan itu. Atau laki-laki bukanlah makhluk yang menjadi sempurna karena sesuatu yang lain, tetapi laki-laki sempurna dengan dirinya sendiri karena dia punya kejantanan dan karena laki-laki tidak perlu berhias untuk menarik orang lain.
Berbeda dengan wanita, karena wanita memiliki sifat kurang maka dia perlu sesuatu yang lain untuk menyempurnakan keindahannya dan karena wanita perlu berhias dengan berbagai macam perhiasan yang mahal, sehingga hal itu mendorong mereka mau bergaul dengan sesama wanita dan istri-istri yang lain. Maka dari itu diperbolehkan bagi wanita untuk berhias dengan emas dan tidak diperbolehkan bagi laki-laki. Mengenai wanita ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Dan Apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran."(Az-Zukhruf:18).
Dengan demikian jelaslah hukum syariat tentang haramnya memakai emas bagi laki-laki.
Larangan Mengukir Cincin dengan Ukiran Cincin Rasulullah Sholallohu 'alaihi wasallam
Dari 'Abdullah bin 'Umar radhiyallohu'anhuia berkata, "Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam menempa cincin dari emas kemudian beliau membuangnya. Setelah itu beliau menempa cincin dari perak dan mengukirnya dengan tulisan 'Muhammad Rasulullah', beliau bersabda, 'Jangan ada seorang pun mengukir cincinnya seperti ukiran cincinku ini'," (HR Muslim [2091]).
Dari Anas bin Malik r.a. bahwasanya Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam menempa cicin dari perak dan mengukirnya dengan tulisan, 'Muhammad Rasulullah' kemudian beliau berkata, "Sesungguhnya aku telah menempa cincin dari perak dan aku mengukirnya dengan tulisan Muhammad Rasulullah. Maka janganlah seorang pun mengukir cincinnya dengan tulisan tersebut," (HR Bukhari [5977] dan Muslim [2092]).
Kandungan Bab:
Haram hukumnya mengukir cincin dengan ukiran atau tulisan yang terdapat pada cincin Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam
Sebagian ahli ilmu membolehkannya bagi para khalifah, sultan dan para qadhi untuk mengukir cincin mereka dengan tulisan nama mereka.
Sebagian ahli ilmu memakruhkan ukiran cincin yang bertuliskan Asma' Allah karena khawatirkan akan dibawa ke tempat-tempat yang najis, seperti saat beristinja' dan lainnya. Hanya saja mereka mengatakan, "Jika tidak ada kekhawatiran demikian, maka tidaklah makruh, wallaahu a'lam."
Apa hukumnya seorang laki-laki memakai gelang dan kalung ? Mengingat aturan syar’i tidak diperbolehkan bagi laki-laki menyerupai perempuan.
Dengan demikian, sesuatu dikatakan tasyabbuh bin-nisa` atau bir-rijal (menyerupai laki-laki) apabila memang sesuatu dikhususkan untuk perempuan atau laki-laki. Sehingga jika laki-laki memakai sesuatu yang memang dikhususkan untuk perempuan maka termasuk tasyabbuh bin-nisa`, begitu juga sebaliknya apabila perempuan memakai sesuatu yang dikhusukan untuk laki-laki maka termasuk tasyabbuh bir-rijal. Kedua ‎tasyabbuh ini jelas dilarang dalam ajaran Islam.  
وَقَدْ ضَبَطَ ابْنُ دَقِيقِ الْعِيدِ مَا يَحْرُمُ التَّشَبُّهُ بِهِنَّ فِيهِ بِأَنَّهُ مَا كَانَ مَخْصُوصًا بِهِنَّ فِي جِنْسِهِ وَهَيْئَتِهِ أَوْ غَالِبًا فِي زِيِّهِنَّ وَكَذَا يُقَالُ فِي عَكْسِهِ
“Ibnu Daqiq al-Id telah memberikan batasan tentang hal yang haram menyerupai wanita, yaitu sesuatu yang dikhususkan untuk wanita baik jenis maupun potongannya, atau umumnya merupakan perhiasaan mereka. begitu juga sebaliknya” (Syamsuddin ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Bairut-Dar al-Fikr, 1404 H/1984 M, juz, 2, h. 374)
Dalam kitab al-Majmu` Syarh al-Muhadzdzab. dikatakan, mayoritas ulama dari kalangan madzhab syafii mengatakan bahwa laki-laki boleh memakai cincin yang terbuat dari perak sesuai dengan ijma`. Adapun selain cincin perak yaitu perhiasan yang terbuat dari perak seperti gelang tangan, gelang yang dipakai di antara siku dan bahu, dan kalung maka hukumnya adalah haram dipakai oleh laki-laki sebagaimana ditetapkan oleh mayoritas ulama.
قَالَ أَصْحَابُنَا يَجُوزُ لِلرَّجُلِ خَاتَمُ الْفِضَّةِ بِالْاِجْمَاعِ وَأَمَّا مَا سِوَاهُ مِنْ حُلِيِّ الْفِضَّةِ كَالسِّوَارِ وَالْمُدَمْلَجِ وَالطَّوْقِ وَنَحْوِهَا فَقَطَعَ الْجُمْهُورُ بِتَحْرِيمِهَا
“Para ulama dari kalangan madzhab kami (madzhab syafii) berkata, boleh bagi laki-laki memakai cincin yang terbuat  dari perak sesuai dengan ijma` para ulama. Adapun selainnya yaitu perhiasan yang dibuat dari perak seperti gelang tangan, gelang yang dipakai di antara siku dan bahu, kalung, dan sejenisnya maka mayoritas ulama menentapkan keharamannya”. (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, tahqiq: Muhammad Bakhith Muthi’i, Jeddah-Maktabah al-Irsyad, juz, 4, h. 331)    
Namun menurut al-Mutawalli dan al-Ghazali boleh bagi laki memakai perhiasaan yang terbuat dari perak. Sebab, yang dilarang adalah menggunakan perkakas dari perak dan tasyabbuh dengan perempuan.
Sedang menurut pandangan kedua perhiasan seperti gelang tangan, gelang yang dipakai di antara siku dan bahu, dan kalung yang terbuat dari perak tidak dipandangan tasyabbuh dengan perempuan. Disamping itu juga bukan termasuk perkakas (al-awani). Artinya, perhiasan tersebut bukan monopoli kaum hawa. Sebab, yang diharamkan adalah memakai perkakas yang terbuat dari perak dan adanya unsur tasyabbuh dengan perempuan.  
وَقَالَ الْمُتَوَلِيُّ وَالْغَزَالِيُّ فِي الْفَتَاوِى يَجُوزُ لِاَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ فِي الْفِضَّةِ اِلَّا تَحْرِيمُ الْاَوَانِي وَتَحْرِيمُ التَّشَبُّهِ بِالنِّسَاءِ
“Al-Mutawalli dan al-Ghazali berkata dalam al-Fatawi-nya, boleh (bagi laki-laki memakai gelang tangan, gelang yang dipakai di antara siku dan bahu, dan kalung yang terbuat dari perak) sebab keharaman yang terdapat dalam benda-benda yang terbuat dari perak itu sebatas perkakas dan adanya unsur penyerupaan dengan perempuan” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, tahqiq: Muhammad Bakhith Muthi’i, Jeddah-Maktabah al-Irsyad, juz, 4, h. 331)    
Kedua pandangan ini kemudian diteliti lebih lanjut oleh Imam Muhyiddin Syaraf an-Nawawi. Dan hasil kesimpulannya, beliau lebih cenderung menganggap bahwa pendapat pertama yang dipegangi mayoritas ulama adalah pendapat yang sahih. Alasannya yang dikemukakan oleh beliau adalah adanya tasyabbuh dengan perempuan yang jelas diharamkan.
وَالصَّحِيحُ الْاَوَّلُ لِاَنَّ فِي هَذَا تَشَبُّهًا بِالنِّسَاءِ وَهُوَ حَرَامٌ
“Pendapat yang sahih adalah pendapat yang pertama karena dalam hal ini terdapat tasyabbuh dengan perempuan dan itu adalah haram”. (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, tahqiq: Muhammad Bakhith Muthi’i, Jeddah-Maktabah al-Irsyad, juz, 4, h. 331)   
Dengan kata lain alasan yang digunakan pendapat pertama untuk mengharamkanya lebih menekankan adanya unsur tasyabbuh dengan perempuan. Artinya, dalam pandangan mereka perhiasan-perhiasan tersebut (gelang tangan, gelang yang dipakai di antara siku dan bahu, dan kalung) dikhususkan untuk kalangan perempuan sehingga laki-laki tidak diperkenankan memakainya.
Imam Asy Syafi’i Rahimahullah mengatakan :
ولا اكره للرجل لبس اللؤلؤ إلا للادب وأنه من زى النساء لا للتحريم ولا أكره لبس ياقوت ولا زبرجد إلا من جهة السرف أو الخيلاء
“Saya tidak memakruhkan bagi laki-laki yang memakai mutiara, kecuali karena adab saja sebab itu merupakan hiasan wanita, tidak menunjukkan haram. Dan saya tidak memakruhkan memakai yaqut (ruby) dan permata, kecuali jika berlebihan dan sombong.” (Al Umm, 1/254. Darul Fikr).
Imam Asy Syaukani juga menyatakan kebolehannya, menurutnya tidak ada satu pun hadits shahih tentang pengharaman cincin perak, dan beliau (saw) juga menyebutkan “Tetapi hendaknya kalian memakai perak maka bermainlah dengannya sesuai selera,” sebagai penguat kebolehannya. (Nailul Authar, 1/67. 
قال أصحابنا يجوز للرجل خاتم الفضة بالاجماع وأما ما سواه من حلي الفضة كالسوار والمدملج والطوق ونحوها فقطع الجمهور بتحريمها وقال المتولي والغزالي في الفتاوى يجوز لانه لم يثبت في الفضة الا تحريم الاواني وتحريم التشبه بالنساء والصحيح الاول لان في هذا تشبها بالنساء وهو حرام
Berkata Para Pengikut Madzhab Syafi’i “Boleh bagi laki-laki memakai cincin perak dengan kesepakatan ulama sedang untuk perhiasan lainnya semacam gelang tangan, gelang lengan, kalung dsb menurut mayoritas ulama mengharamkannya.
Berkata al-Mutawally dan al-Ghozali “Boleh memakai perhiasan-perhiasan diatas yang terbuat dari perak karena yang diharamkan dalam barang yang terbuat dari perak sebatas barang-barang perkakas dan adanya unsure penyerupaan dengan wanita”
Namun yang shahih adalah pendapat pertama karena dalam masalah ini terjadi penyerupaan dengan wanita yang diharamkan.
Al-Majmu’ alaa Syarh al-Muhadzdzab IV/444
يجوز للرجل التختم بالفضة لما روى أنه (اتخذ خاتما من فضة) وهل له لبس ما سوى الخاتم من حلي الفضة كالسوار والدملج والطوق لفظ الكتاب يقتضي المنع حيث قال ولا يحل للرجال إلا التختم به وبه قال الجمهور وقال ابو سعيد المتولي إذا جاز التختم بالفضة فلا فرق بين الاصابع وسائر الاعضاء كحلي الذهب في حق النساء فيجوز له لبس الدملج في العضد والطوق في العنق والسوار في اليد وغيرها وبهذا أجاب المصنف في الفتاوى وقال لم يثبت في الفضة إلا تحريم الاواني وتحريم التحلي علي وجه يتضمن التشبه بالنساء –إلى أن قال- ويحرم علي النساء تحلية آلات الحرب بالذهب والفضة جميعا لان في استعمالهن لها تشبها بالرجال وليس لهن التشبه بالرجال هكذا ذكره الجمهور واعترض عليه صاحب المعتمد بأن آلات الحرب من غير ان تكون محلاة إما ان يجوز للنساء لبسها واستعمالها أو لا يجوز (والثانى) باطل لان كونه من ملابس الرجال لا يقتضى التحريم إنما يقتضي الكراهة ألا ترى انه قال في الام ولا اكره للرجل لبس اللؤلؤ إلا للادب وانه من زى النساء لا للتحريم فلم يحرم زى النساء علي الرجال وإنما كرهه فكذلك حكم العكس
Boleh bagi laki-laki memakai cincin perak karena diriwayatkan bahwa baginda nabi memakai cincin dari perak, bolehkah baginya memakai perhiasan selain cincin semacam gelang tangan, gelang lengan, kalung dsb yang terbuat dari perak ? Redaksi Kitab mengarah pada tidak bolehnya seperti ungkapan Pengarang “Dan tidak boleh bagi laki-laki kecuali perhiasan cincin dari perak” Dan yang demikian juga pendapat mayoritas Ulama namun Abu Sa’id al-Mutawally menyatakan “Bila memakai cincin perak dihalalkan maka tidak dibedakan kehalalan memakainya baik terpakai dijemari atau anggauta tubuh lainnya sebagaimana kelegalan perhiasan emas bagi wanita, maka boleh bagi laki-laki memakai gelang lengan, kalung dileher, gelang ditangan dsb” dst……..
Syarh al-Wajiiz VI/28
(مسألة: ي): ضابط التشبه المحرم من تشبه الرجال بالنساء وعكسه ما ذكروه في الفتح والتحفة والإمداد وشن الغارة، وتبعه الرملي في النهاية هو أن يتزيا أحدهما بما يختص بالآخر، أو يغلب اختصاصه به في ذلك المحل الذي هما فيه.
Batasan penyerupaan yang di haramkan pada kasus penyerupaan orang laki-laki pada perempuan dan sebaliknya adalah apa yang diterangkan oleh Ulama Fiqh dalam kitab Fath aljawaad, Tuhfah, Imdaad dan kitab syun alghooroh. Imam Romli juga mengikutinya dalam kitab Annihaayah, Batasannya adalah
"Bila salah satu dari lelaki atau wanita tersebut berhias memakai barang yang dikhususkan untuk lainnya atau pakaian yang jamak di gunakan pada tempat tinggal lelaki dan wanita tersebut".
Bughyah Almustarsyidiin 604‎

Hukum Isbal (Memanjangkan Sarung Atau Celana)


Pembahasan tentang Isbal dalam berbagai tulisan dan ceramah kadang disampaikan dengan cara yang membuat tercetaknya kesan yang kurang tepat dibenak kaum muslimin.  Banyak yang menyangka bahwa semua ulama  dalam berbagai zaman telah bersepakat satu hukum dalam topik ini. Bagi kalangan awam, hal ini bisa menimbulkan fitnah, paling tidak dalam cara penyikapan terhadap saudara sesama muslim yang cenderung “semena-mena” ketika melihat mereka berbeda dengan apa yang difahami. Oleh karena itu menjadi hal yang bermanfaat-Insya Allah- memaparkan seputar topik ini dengan pembahasan yang diusahakan sedekat mungkin dengan obyektifitas dan cara pembahasan yang ilmiah. Mudah-mudahan kaum Muslimin terinspirasi untuk lebih bersemangat dalam Tafaqquh Fiddin dan mengamalkan Islam dengan cara yang paling prima.‎
Pembahasan
Melakukan Isbal bagi lelaki Muslim, yakni mengulurkan pakaian melebihi mata kaki hukumnya Mubah selama tidak disertai kesombongan tanpa membedakan apakah pakaian itu berupa gamis, sarung, celana, Jarit, Izar (seperti yang dipakai saat Ihram) dan sebagainya. Adapun jika Isbal itu disertai ‎sombong, maka hukumnya Haram yang keharamannya berlaku bukan hanya pada Isbal pakaian tetapi pada semua penggunaan asesoris tubuh yang memicu kesombongan.
Argumentasi  yang menunjukkan bahwa Isbal yang tanpa disertai kesombongan hukumnya Mubah adalah hal-hal berikut;
Pertama; Nash-Nash yang melarang Isbal disertai keterangan  yang menjadi penyebab dilarangnyaIsbal yaitu kesombongan. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (18/ 91)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pada hari kiamat kelak, Allah tidak akan melihat orang yang menyeret  kain sarungnya karena sombong.” (H.R.Bukhari)
dalam riwayat lain lafadznya berbunyi;
صحيح البخاري (11/ 304)
عَنْ الزُّهْرِيِّ أَخْبَرَنِي سَالِمٌ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ حَدَّثَهُ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَيْنَمَا رَجُلٌ يَجُرُّ إِزَارَهُ مِنْ الْخُيَلَاءِ خُسِفَ بِهِ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِي الْأَرْضِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Dari Az Zuhriy ,telah mengabarkan kepadaku Salim bahwa Ibnu ‘Umar radliallahu ‘anhuma bercerita bahwa Nabi Shallallu ‘alaihi wa salam besabda: “Ada seorang laki-laki yang ketika dia menyeret  pakaiannya karena kesombongan, ia dibenamkan ke dasar bumi, dan orang itu terus meronta-ronta hingga hari qiyamat”.(H.R.Bukhari)
dalam riwayat Ahmad lafadznya berbunyi;
مسند أحمد (31/ 202)
عَنْ هُبَيْبِ بْنِ مُغْفِلٍ الْغِفَارِيِّ
أَنَّهُ رَأَى مُحَمَّدًا الْقُرَشِيَّ قَامَ يَجُرُّ إِزَارَهُ فَنَظَرَ إِلَيْهِ هُبَيْبٌ فَقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ وَطِئَهُ خُيَلَاءَ وَطِئَهُ فِي النَّارِ
Dari Hubaib bin Mughfil salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam, dia melihat seorang laki-laki yang menyeret  kainnya sampai kebelakangnya dan menginjaknya. Dia berkata; Maha Suci Allah, Saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang menginjak kainnya karena sombong, dia akan menginjaknya di Neraka”. (H.R.Ahmad)‎
Riwayat-riwayat ini dan yang semakna dengannya menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang Isbal karena ada sebabnya yaitu kebiasaan sebagian  orang yang  mengulurkan dan menyeret pakaiannya karena angkuh nan sombong. Mafhumnya (makna implisitnya), jika Isbal tersebut dilakukan tidak karena sombong berarti tidak terkena celaan dan tidak termasuk ke dalam ancaman. Dengan kata lain Lafadz بَطَرًا (keangkuhan) dan خُيَلَاءَ  (kesombongan) dalam riwayat-riwayat di atas menjadi Qoid (pengikat) dari syariat larangan Isbal. Selama Qoid tersebut ada, maka hukum berlaku, dan jika Qoid tersebut tidak ada, maka hukum larangan ‎Isbal tidak bisa diterapkan. Lafadz بَطَرًا dan خُيَلَاءَ  sama dengan lafadz خَطَأً  dalam firman Allah berikut ini ;
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ } [النساء: 92]‎
Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tidak sengaja (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (An-Nisa; 92)
Artinya, pada kasus pembunuhan,  hukum kewajiban membebaskan budak mukmin dan membayar diyat  hanya berlaku jika pembunuhan tersebut terealisasi sifat  خَطَأً  (yakni dilakukan secara tidak sengaja). Jika pembunuhan tersebut disengaja, maka hukuman membebaskan budak dan membayar diyat tidak dapat diterapkan. Dalam masalah Isbal juga demikian. Jika terealisasi sifat sombong maka hukum larangan Isbal berlaku, namun jika tidak terealisasi sifat sombong maka hukum larangan Isbal tidak dapat diterapkan.
Contoh lain adalah lafadz ظُلْمًا  dalam ayat berikut;
{إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا} [النساء: 10]
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (Neraka). (An-Nisa; 10)
Maknanya, orang yang terancam memakan api di Neraka dalam perut-perut mereka adalah orang-orang yang memakan harta anak yatim secara ظُلْمًا  (zalim). Mafhumnya, jika harta anak yatim itu dimakan dengan cara yang tidak zalim, misalnya karena pemberian sukarela dari anak yatim tersebut, maka orang tersebut tidak terkena ancaman. Hal yang sama berlaku pada Isbal. Jika Isbalnya dilakukan dengan cara sombong, maka pelakunya terkena ancaman, namun jika dilakukan bukan karena sombong misalnya yang Isbal para petani yang pergi ke sawah, maka orang tersebut tidak terkena ancaman.
Demikianlah. Ringkasnya; Nash-Nash yang menunjukkan larangan Isbal adalah Nash-Nash yang disertai Qoid (pengikat) hukum. Dengan kata lain , Nash-Nashnya termasuk Nash Muqoyyad (Nash terikat). Semua Nash Muqoyyad diterapkan sesuai dengan Qoidnya dan dibatasi pelaksanaan hukumnya pada Qoid yang disebutkan.
Yang menguatkan kesimpulan  ini adalah adanya Nash yang melarang  makan, minum, berpakaian, dan bersedekah disertai kesombongan. Nash yang seperti ini menunjukkan bahwa perhatian, celaan, larangan, dan ancaman  Syara semuanya itu diarahkan pada aspek kesombongannya bukan semata-mata masalah mengulurkan pakaiannya. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (18/ 81)
وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُوا وَاشْرَبُوا وَالْبَسُوا وَتَصَدَّقُوا فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا مَخِيلَةٍ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُلْ مَا شِئْتَ وَالْبَسْ مَا شِئْتَ مَا أَخْطَأَتْكَ اثْنَتَانِ سَرَفٌ أَوْ مَخِيلَةٌ
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Makan dan minumlah kalian, dan kenakanlah (pakaian) serta bersedekahlah tanpa berlebih-lebihan dan kesombongan.” Ibnu Abbas berkata, “Makanlah apa yang engkau mau, kenakanlah apa yang engkau mau, (H.R.Bukhari)
Ibnu Umar juga pernah menolak memakai pakaian yang terbuat dari kapas karena khawatir diselinapi kesombongan.
روى الإمام الذهبي بإسناده إلى هلال بن خباب عن قزعة قال : رأيت على ابن عمر ثيابا خشِنة أو جَشبة ، فقلت له : إني قد أتيتك بثوب لَـيِّن مما يُصْنَع بخراسان وتَقَرّ عيناي أن أراه عليك . قال : أرنيه ، فلمسه ، وقال : أحرير هذا ؟ قلت : لا ، إنه من قطن . قال : إني أخاف أن ألبسه ، أخاف أكون مختالا فخورا ، ( وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ ) .
Imam adz-Dzahabi meriwayatkan dengan sanadnya hingga Hilal bin Khabab dari Qoza’ah yang berkata, “Aku melihat ibnu Umar mengenakan pakaian-pakaian yang kasar. Lalu aku berkata kepadanya, ‘Aku datang kepadamu dengan membawa pakaian yang halus, yang diproduksi di Khurasan. Dan kurasa aku akan merasa senang jika melihatmu mengenakannya.’ Ia berkata, ‘Perlihatkan kepadaku.’ Lalu ia menyentuhnya dan bertanya, ‘Suterakah ini?’ Kujawab, ‘Bukan, ini dari kapas.’ Ibnu Umar berkata, ‘Sungguh aku takut untuk memakainya, aku takut menjadi orang yang angkuh dan menyombongkan diri.’” (Siyar A’lam Nubala’)
Riwayat ini juga menunjukkan bahwa perhatian shahabat dalam masalah berpakaian diantaranya yang terpenting adalah penggunaannya yang membuat hati terselipi rasa sombong.
Kedua; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri melakukan Isbal
Sejumlah riwayat menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri pernah berisbaldan menyeret pakaiannya. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (18/ 85)
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
خَسَفَتْ الشَّمْسُ وَنَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ يَجُرُّ ثَوْبَهُ مُسْتَعْجِلًا حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ وَثَابَ النَّاسُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ فَجُلِّيَ عَنْهَا ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا وَقَالَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ حَتَّى يَكْشِفَهَا
Dari Abu Bakrah radliallahu ‘anhu dia berkata; “Ketika kami berada di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba terjadi gerhana Matahari, maka beliau segera berdiri menuju masjid, dan menyeret pakaiannya karena tergesa-gesa hingga tiba di masjid. Lalu orang-orang pun segera berdiri di sisinya dan beliau mengerjakan shalat dua rakaat. Setelah matahari terang, beliau berkhutbah di hadapan kami seraya bersabda: “Matahari dan bulan tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang, tetapi keduanya merupakan tanda diantara tanda-tanda kebesaran Allah. Jika kalian melihat kedua gerhana tersebut, maka shalatlah dan berdoalah hingga gerhana tersingkap dari kalian (nampak kembali).” (H.R.Bukhari)
Dalam riwayat Ibnu majah juga terdapat kisahIsbalnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ibnu Majah meriwayatkan;
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْنِ قَالَ
سَلَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ثَلَاثِ رَكَعَاتٍ مِنْ الْعَصْرِ ثُمَّ قَامَ فَدَخَلَ الْحُجْرَةَ فَقَامَ الْخِرْبَاقُ رَجُلٌ بَسِيطُ الْيَدَيْنِ فَنَادَى يَا رَسُولَ اللَّهِ أَقَصُرَتْ الصَّلَاةُ فَخَرَجَ مُغْضَبًا يَجُرُّ إِزَارَهُ فَسَأَلَ فَأُخْبِرَ فَصَلَّى تِلْكَ الرَّكْعَةَ الَّتِي كَانَ تَرَكَ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ
 
Dari Imran Ibnul Hushain ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah salam pada raka’at ketiga dalam shalat ashar, lalu beliau berdiri dan masuk kamar. Maka berdirilah Al Khirbaq, seorang laki-laki yang tangannya lebar, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah shalatnya diringkas?” beliau pun keluar dan marah sambil menyeret kain sarungnya, beliau bertanya tentang hal itu hingga beliau diberitahu tentang hal itu. Kemudian beliau melaksanakan raka’at yang tertinggal lalu salam, kemudian beliau sujud dua kali dan salam kembali. “(H.R.Ibnu Majah)
Mustahil Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melakukan Isbal -meski hanya sekali- jika Isbalhukumnya haram secara mutlak. Seandainya Isbalmemang haram secara mutlak sebagaimana haramnya berzina atau mencuri, maka satu kalipun  Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak akan pernah melakukannya karena seluruh Nabi Ma’shum (terjaga dari dosa). Isbal yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menunjukkan bahwa larangan Isbal itu tidak mutlak, tetapi Muqoyyad (diikat kondisi tertentu) yaitu kesombongan. ArtinyaIsbal hukumnya haram jika dilakukan karena sombong, tetapi tidak haram jika dilakukan tidak karena sombong sebagaimana Isbal yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Seandainyapun ada yang memahami bahwa IsbalRasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah dalam kondisi khusus yaitu dalam kondisi Faza’ (takut) seperti Isbal beliau saat terjadi gerhana matahari, atau dalam kondisi Ghodhob (marah) seperti Isbalbeliau saat peristiwa shalat kurang rakaatnya, maka kesimpulan itu justru semakin menguatkan bahwaIsbal tanpa sombong tidak haram. Karena takut dan marah bermakna selain kesombongan. Ketika Nabi melakukan Isbal bukan karena sombong misalnya saat takut dan saat marah, maka Isbal demikian hukumnya Mubah dan tidak tercakup dalam laranganIsbal karena sombong.
Ketiga; Taqrir (sikap diam) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terhadap Isbal Abubakar.
Terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendiamkan Abubakar melakukan Isbal. Bukhari meriwayatakan;
صحيح البخاري (11/ 500)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ
 
Dari Abdullah bin ‘Umar radliallahu ‘anhu berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang menyeret pakaiannya karena kesombongan maka Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari qiyamat”. Kemudian Abu Bakr berkata; “Sesungguhnya sebelah dari pakaianku terjulur kecuali bila aku memeganginya (mengangkatnya) “. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Sesungguhnya kamu melakukan itu bukan bermaksud sombong”.(H.R.Bukhari)
Riwayat lain berbunyi;
صحيح البخاري (18/ 84)
 عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ أَبُو بَكْرٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ إِزَارِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ
Dari Salim bin Abdullah dari Ayahnya radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Siapa yang menyeret pakaiannya (hingga ke bawah mata kaki) dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari Kiamat kelak.” Lalu Abu Bakar berkata; “Wahai Rasulullah, sesungguhnya salah satu dari sarungku terkadang turun sendiri, kecuali jika aku selalu menjaganya?” lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Engkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.” (H.R.Bukhari)
Dalam riwayat di atas, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mencela dan mengancam orang yang menyeret pakaiannya karena sombong. Ancamannya adalah tidak dilihat Allah pada hari kiamat, artinya tidak dikasihi dan dirahmati tetapi dibenci dengan kebencian yang amat sangat. Ancaman yang menakutkan ini membuat Abubakar menjadi khawatir jika larangan Isbal tersebut adalah larangan yang mutlak. Maka beliau menanyakan kondisi pakaiannya yag selalu terjulur/Isbal kecuali Abubakar benar-benar menjaganya. Kekhawatiran ini tentu beralasan, karena jika memang benar Isbal itu haram secara mutlak tentu kondisi apapun tidak akan ditoleransi.  Jika memang Isbal memang haram secara mutlak, maka sengaja maupun tidak sengaja tetap haram sehingga harus dijauhi dan tidak boleh didekati. Namun ternyata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengatakan bahwa Abubakar melakukanIsbal itu tidak karena sombong. Dan dalam riwayat yang lain dikatakan bahwa Abubakar itu ketika melakukan Isbal, beliau tidak termasuk golongan yang melakukannya kerena sombong. Oleh karena itu hadis ini menunjukkan dua hal; pertama; Taqrir Nabi terhadap Isbal Abubakar, kedua; Isbal itu hanya dilarang karena sombong.
Riwayat yang kedua malah menunjukkan bahwa yang melakukan Isbal Mubah itu bukan hanya Abubakar tetapi juga kaum Muslimin yang lain. Lafadz yang berbunyi;
لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ
“Engkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.”
Menunjukkan bahwa di zaman Nabi pelaku Isbal itu ada dua golongan yaitu; golongan yang melakukannya karena sombong dan golongan yang tidak melakukannya karena sombong. Hal itu dikarenakan Harf  “Min” pada lafadz مِمَّنْ adalah Min Lit Tab’idh (Harf Min  yang bermakna sebagian). Ketika Abubakar dikatakan bahwa beliau tidak termasuk diantara yang melakukannya karena sombong, berarti yang melakukannya tidak karena sombong bukan hanya Abubakar. Jika yang melakukannya hanya Abubakar maka tidak ada maknanya menyebut Harf Min tersebut. Penyebutan Harf Min Lit -Tab’idh menunjukkan bahwa pelakuIsbal yang tidak karena sombong bukan hanya Abubakar saja tetapi juga kaum Muslimin yang lain. Abubakar didiamkan melakukan Isbal karena tidak termasuk golongan yang melakukannya karena sombong. Karena itu riwayat ini memberi penguatan lebih dalam tentang kebolehan Isbal yang tidak dilakukan karena sombong.
Tidak bisa mengatakan bahwa Isbal Abubakar itu dilakukan secara tidak sengaja sehingga Isbal tetap haram secara mutlak. Argumentasi ini tidak bisa diterima berdasarkan empat alasan;
Satu; Seandainya larangan Isbal bersifat mutlak seharusnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersikukuh melarang secara mutlak sebagaimana bersikukuhnya beliau melarang jual beli lemak bangkai dalam riwayat berikut ini;
سنن أبى داود (9/ 357)
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ
أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ عَامَ الْفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةَ وَالْخِنْزِيرَ وَالْأَصْنَامَ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهُ يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ فَقَالَ لَا هُوَ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ عَلَيْهِمْ شُحُومَهَا أَجْمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ
 
Dari Jabir bin Abdullah bahwa saat ia sedang berada di Makkah ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada saat penaklukan Makkah: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan penjualan arak, bangkai, babi, serta berhala.” Kemudian beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda tentang lemak bangkai, sesungguhnya lemak biasa digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit dan menyalakan lampu?” Beliau bersabda: “Tidak boleh, karena ia adalah haram.” Beliau menambahkan: “Semoga Allah memerangi orang-orang Yahudi, ketika Allah mengharamkan lemak, mereka mencairkannya kemudian menjualnya dan memakan hasil penjualannya.” (H.R.Abu Dawud)
Maknanya, jika memang sesuatu itu haram secara mutlak maka tidak ada alasan apapun untuk yang memberikan toleransi untuk dilanggar. Hal ini berbeda jika sesuatu itu dilarang tidak secara mutlak, tetapi dikecualikan hal/kondisi tertentu sebagaimana toleransi memotong “Idzkhir” pada hadis berikut ini;
صحيح البخاري (6/ 367)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ افْتَتَحَ مَكَّةَ لَا هِجْرَةَ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا فَإِنَّ هَذَا بَلَدٌ حَرَّمَ اللَّهُ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَإِنَّهُ لَمْ يَحِلَّ الْقِتَالُ فِيهِ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَلَمْ يَحِلَّ لِي إِلَّا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا يُعْضَدُ شَوْكُهُ وَلَا يُنَفَّرُ صَيْدُهُ وَلَا يَلْتَقِطُ لُقَطَتَهُ إِلَّا مَنْ عَرَّفَهَا وَلَا يُخْتَلَى خَلَاهَا قَالَ الْعَبَّاسُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِلَّا الْإِذْخِرَ فَإِنَّهُ لِقَيْنِهِمْ وَلِبُيُوتِهِمْ قَالَ قَالَ إِلَّا الْإِذْخِرَ
Dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada hari pebebasan kota Makkah: “Tidak ada lagi hijrah tetapi yang ada adalah jihad dan niat dan jika kalian diperintahkan berangkat perang maka berangkatlah. Sesungguhnya negeri ini telah Allah Ikrarkan kesucikannya sejak hari penciptaan langit dan bumi. Maka dia akan terus suci dengan pensucian dari Allah itu hingga hari qiyamat sehingga tidak dibolehkan perang didalamnya buat seorangpun sebelum aku dan tidak dihalalkan pula buatku kecuali sesaat dalam suatu hari. Maka dia suci dengan pensucian dari Allah itu hingga hari qiyamat, dan tidak boleh ditebang pepohonannya dan tidak boleh diburu hewan buruannya dan tidak ditemukan satupun barang temuan kecuali harus dikembalikan kepada yang mengenalnya (pemiliknya) dan tidak boleh dipotong rumputnya”. Berkata, Al ‘Abbas radliallahu ‘anhu: “Wahai Rasulullah, kecuali pohon idzkhir yang berguna untuk wewangian tukang besi mereka dan rumah-rumah mereka”. Dia berkata,, maka Beliau bersabda: “Ya, kecuali pohon idzkhir”. (H.R.Bukhari)
Maknanya, persetujuan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terhadap Abubakar yang berisbal semakna dengan persetujuan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepad Al-‘Abbas bahwa Idzkhir boleh dipotong, yang menunjukkan larangan Isbal bukan larangan mutlak sebagaimana larangan memotong tumbuhan Mekah bukan larangan mutlak.
Dua; Tidak bisa dibuktikan bahwa Abubakar tidak berisbal sepanjang hidupnya. Seandainya IsbalAbubakar adalah sebuah ketidaksengajaan maka seharusnya itu hanya terjadi sekali atau dua kali dalam hidupnya. Sesudah itu seharusnya ada riwayat yang jelas bahwa beliau tidak berisbal dan selalu menaikkan pakaiannya setinggi tengah betis
Tiga: Pembiaran Nabi atas Isbalnya Abubakar bukan disebabkan karena masalah sengaja atau tidak sengaja, tetapi sebabnya diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri dengan terang –seterang sinar matahari–  bahwa sebabnya adalah karena Abubakar tidak melakukannya karena sombong. Seandainya kebolehan Isbal adalah karena masalah tidak sengaja seharusnya Nabi mengatakan; “Engkau melakukannya tanpa sengaja“.  Namun bukan alasan itu yang diucapkan Nabi. Nabi malah menegaskan kebolehan Isbal terhadap Abubakar adalah karena ketiadaan sombong.
Empat; Dalam Thobaqot Ibnu sa’ad dinyatakan bahwa Isbal Abubakar adalah ciri pakaian beliau. Ibnu Sa’d menyatakan;
الطبقات الكبرى (3/ 188)
أجنأ لا يستمسك إزاره يسترخي عن حقوته
“Beliau berdahi menonjol (nonong), Izarnya (kain bawahannya) tidak terikat, terjuntai dari pinggangnya (At-Thobaqot-Al-Kubro, vol.3, hlm 1288)
Riwayat ini menunjukkan bahwa Isbal Abubakar adalah sesatu yang menonjol dan menjadi ciri berpakaian beliau yang berkesan dalam memori  orang yang melihatnya. Jika memang Isbal itu haram mutlak, mustahil Abubakar bermain-main dengan area yang dekat dengan kaharaman. Bukankah bukan suatu hal yang sulit jika Abubakar menaikkan ujung pakaiannya hingga tengah betis sehingga tidak perlu lagi berpayah-payah menjaga agar pakaiannya tidak Isbal?bukankah suatu hal yang tidak sulit memutuskan agar pakaian tdk terjulur dan tidak perlu selalu diawasi dengan cara memotongnya hingga tengah betis?
Tidak bisa pula Isbal Abubakar ini difahami Tazkiyah (penyucian) khusus dari Nabi kepada Abubakar. Klaim ini terbantahkan dengan riwayat yang berbunyi
لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ
“Engkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.”
yang mana riwayat ini menunjukkan bahwa pelakuIsbal bukan hanya Abubakar tetapi juga sebagian kaum Muslimin yang lain. Hal iu dikarenakan Nabi menyebut Abubakar bukan satu-satunya yang berisbal tidak karena sombong, tetapi disebut Nabi tidak termasuk yang melakukannya karena sombong sehingga bermakna bahwa pelaku Isbal di zaman itu ada dua kelompok, pelaku yang melakukannya karena sombong dan pelaku yang melakukannya tidak karena sombong dan Abubakar termasuk golongan yang terakhir. Lagipula, syariat itu berlaku umum bagi seluruh umat, tidak bisa dikhususkan pada individu tertentu. Tidak bisa dikhususkan hanya kepada Abubakar dan tidak bisa pula dikhususkan kepada selainnya. Tambahan lagi, klaim bahwa hal itu Tazkiyah khusus terhadap Abubakar akan membuat Nash-Nash Muqoyyad terkait Isbal ini menjadi sia-sia.
Tidak bisa pula menuduh orang yang mengulurkan pakaian tidak karena sombong bahwa dia mensucikn dirinya sendiri. Tidak bisa dikatakan demikian, karena mensifati keadaan diri adalah sesuatu yang wajar sebagaimana orang yang mensifati dirinya “saya melompat-lompat karena gembira” atau “saya memukul kaca karena sedih” dan semisalnya. Orang yang sakit diabetes dan memiliki borok pada kakinya, kemudian berisbal untuk menutupi luka boroknya dari gangguan lalat tidak boleh dituduh secara semena-mena bahwa dia berisbal karena sombong dan mensucikan dirinya.
Aturan yang mengharuskan orang yang ingin berisbalmaka harus ada yang mentazkiyah sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mentazkiyah Abubakar, maka aturan ini tidak bisa dipakai karena tidak diperintahkan Allah dan RasulNya, tidak terkandung dalam riwayat Isbal Abubakar baik secara implisit maupun eksplisit, dan bertentangan dengan mafhum riwayat Isbal Abubakr yang menunjukkan izin Isbal dar Nabi secara mutlak jika tidak dikarenkan karena sombong.
Alasan bahwa Abubakar diizinkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berisbal karena imannya tinggi juga tidak dapat diterima, karena jika sesuatu memang haram secara mutlak maka iman yang tinggi tidaklah mengubah status keharaman sesuatu tersebut. Zina yang hukumnya haram secara mutlak, keharamannya berlaku baik bagi orang yang imannya tinggi maupun rendah. Lagipula, izin Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada Abubakar untuk berisbal bukan karena imannya yang tinggi karena tidak ada satu lafadzpun yang menunjukkan hal itu. Izin Isbal Abubakar adalah karena Isbal beliau dilakukan tidak karena sombong. Itulah yang dinyatakan dengan jelas oleh Nash.
Alasan bahwa izin Isbal yang diberikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepda Abubakar adalah termasuk Fadhoil (keutamaan) Abubakar juga tidak dapat diterima, karena ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada beliau dalam riwayat adalah dalam konteks menjelaskan hukum, bukan sedang memuji atau memberi kabar gembira kepada individu tertentu.
keempat (yakni argumentasi keempat yang menunjukkan Mubahnya Isbal tanpa sombong): Praktek sejumlah shahabat yang dikuatkan sejumlah Tabi’in besar.
Terdapat sejumlah riwayat yang menunjukkan bahwaIsbal dilakukan sejumlah shahabat dan Tabiin. Diantaranya isbal Ibnu Mas’ud. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;
مصنف ابن أبي شيبة (8/ 202)
عَنْ أَبِي وَائِلٍ ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ ؛ أَنَّهُ كَانَ يُسْبِلُ إِزَارَهُ ، فَقِيلَ لَهُ ، فَقَالَ : إِنِّي رَجُلٌ حَمِشُ السَّاقَيْنِ.
Dari Abu Wail, dari Ibnu Mas’ud bahwasanya ia menjulurkan sarungnya. Lalu ditanyakan kepadanya perihal Isbalnya, ia pun menjawab, “Aku adalah seorang yang kecil kedua betisnya.” (H.R.Ibnu Abi Syaibah)
Cukup jelas dalam riwayat diatas bahwa Ibnu Mas’ud melakukan Isbal. Seandainya Isbal memang haram secara mutlak, maka tidak mungkin Ibnu Mas’ud melakukannya meski dengan alasan menutupi betisnya yang kecil.
Tidak bisa menafsirkan bahwa Isbalnya ibnu Mas’ud bermakna Isbalnya tidak melewati matakaki. Karena jika pakaian tidak melewati mata kaki, maka menurut yang mengharamkan secara mutlak hal itu bukan tercela, bukan barang yang aneh sehingga tidak perlu ditanyakan. Ketika Isbal ibnu Mas’ud ditanyakan dan dipandang aneh karena bertentangan dengan sejumlah Nash yang melarang dan mungkin juga dengan fatwa beliau, maka hal ini menunjukkan bahwa Isbal beliau adalah melewati mata kaki. Lagipula, penyebutan Isbal hukum asalnya harus difahami yang melewati matakaki, karena kondisi itulah yang dicela dalm sejumlah Nash. MenafsirkanIsbal Ibnu Mas’ud hanya dalam kondisi darurat juga tidak bisa diterima, karena kaki kecil bukan kondisi darurat. Apalagi ada riwayat yang menunjukkan Nabi tetap melarang Isbal pada orang yang berkaki bengkok ketika ditemukan kondisi sombong padanya. Riwayat ini mnunjukkan bahwa kaki bengkok apalagi sekedar betis kecil bukanlah kondisi darurat.‎
Shahabat lain yang diriwayatkan melakukan Isbaladalah Ibnu Abbas. At-Thobaroni meriwayatkan;
المعجم الكبير للطبراني (9/ 89، بترقيم الشاملة آليا)
عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، قَالَ:رَأَيْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ أَيَّامَ مِنًى طَوِيلَ الشَّعْرِ، عَلَيْهِ إِزَارٌ فِيهِ بَعْضُ الإِسْبَالِ، وَعَلَيْهِ رِدَاءٌ أَصْفَرُ.
Dari Abu Ishaq, ia berkata, “Aku melihat Ibnu Abbas pada hari Mina beliau berambut panjang, mengenakan sarung yang mencapai sebagian Isbal, dan mengenakan mantel berwarna kuning.” (H.R.At-Thobaroni)
Riwayat yang lain berbunyi;
سنن النسائي الكبرى (5/ 484)
 عن مولى بن عباس : أن بن عباس كان إذا اتزر أرخى مقدم إزاره حتى تقع حاشيته على ظهر قدمه
Dari budak ibnu Abbas, bahwasanya ibnu Abbas jika mengenakan sarung beliau menjulurkan bagian depan sarungnya hingga ujung sarungnya menyentuh punggung kakinya. (H.R.An-Nasai)
Lafadz yang berbunyi
حتى تقع حاشيته على ظهر قدمه
“hingga ujung sarungnya menyentuh punggung kakinya”
Menunjukkan bahwa pakaian Ibnu Abbas melebihi mata kaki. Tidak perlu terlalu memaksa diri dengan menafsirkan bahwa Hasyiyah adalah Ahdab (rumbai-rumbai), bukan ujung pakaian. Betapapun ditafsirkan rumbai-rumbai, maka hal itu tetap bermakna Isbalyang melebihi mata kaki. Apalagi secara bahasa Hasyiyah dengan rumbai-rumbai (Ahdab) itu berbeda. Ahdab adalah ujung Hasyiyah, bukan Hasyiyah itu sendiri. Menurut Ibnu Sidah dalam Al-Muhkam Hasyiyah malah dijelaskan tidak ada rumbai-rumbainya.
Di kalangan Tabi’in, yang diriwayatkan melakukanIsbal adalah Umar bin Abdul Aziz. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;
مصنف ابن أبي شيبة (8/ 208)
عَنْ عَمْرِو بْنِ مُهَاجِرٍ ، قَالَ : كَانَتْ قُمُصُ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَثِيَابُهُ مَا بَيْنَ الْكَعْبِ وَالشِّرَاكِ.
Dari Amr bin Muhajir, ia berkata, “Jubah-jubah Umar bin Abdul Aziz, serta pakaian-pakaiannya menjulur hingga antara mata kaki dan tali sandalnya.” (H.R.Ibnu Abi Syaibah)
Pakaian yang ujungnya berada di antara mata kaki dengan tali sandal menunjukkan dengan jelas bahwa pakaian Umar bin Abdul Aziz melewati mata kaki.
Tabi’in yang lain adalah Ibrohim An-Nakho’i. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;
مصنف ابن أبي شيبة (8/ 209)
حَدَّثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ ، عَنْ أَبِي عَوَانَةَ ، عَنْ مُغِيرَةَ ، قَالَ : كَانَ إِبْرَاهِيمُ قَمِيصُهُ عَلَى ظَهْرِ الْقَدَمِ.
Dari Mughiroh, ia berkata, “Ibrohim An-Nakho’I, jubahnya menjulur hingga punggung telapak kakinya.” (H.R.Ibnu Abi Syaibah)
Tabi’in yang lain adalah Ayyub bin Abi Tamimah As-Sikhtiyani.
أخرج الإمام أحمد في (( العلل )) – رواية ابنه عبد الله – ( رقم : 841 ) قال :حدثنا سليمان بن حرب ، قال : حدَّثنا حماد بن زيد ، قال :”أمرَنِي أيّوب أن أقطعَ له قميصاً قال : اجعلْه يضرِبُ ظَهْرَ القدم ، و اجعَلْ فَمَ كُمِّهِ شبراً “.
إسنادهٌ صحيحٌ .
Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab al-‘Ilal – riwayat putranya, Abdullah – nomor 841Suliman bin Harb memberitahu aku,  Hammad bin Zaid berkata, “Ayub memerintahkanku untuk memotong sebuah jubah untuknya. Ia berkata, ‘Jadikan jubahku (sepanjang) hingga menyentuh punggung kakiku. Dan jadikan lebar lengannya sejengkal.” (H.R.Ahmad dalam Al-‘Ilal)
Semua riwayat di atas semakin menguatkan bahwaIsbal yang dilakukan tidak karena sombong adalah Mubah dan dipraktekkan shahabat besar termasuk Tabi’in-Tabi’in yang keshalihannya tidak diragukan lagi.‎
Catatan Kritis Terhadap Dalil-Dalil Pendapat Yang Mengharamkan Isbal Secara Mutlak
Terdapat sejumlah dalil yang dipakai pendapat yang mengharomkan Isbal secara mutlak baik dilakukan kerena sombong maupun tidak karena sombong. Berikut ini akan dipaparkan dalil-dalil yang menjadi dasar pendapat yang mengharomkan Isbal secara mutlak tersebut. Masing-masing dalil yang dipakai akan disajikan  dan diulas secukupnya.
Pertama; Adanya Nash-Nash yang melarang Isbal secara mutlak.
Diantara Nash yang menunjukkan larangan Isbalsecara mutlak adalah hadis riwayat Bukhari berikut;
صحيح البخاري (18/ 89)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ
 
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Barangsiapa menjulurkan kain sarungnya hingga dibawah mata kaki, maka tempatnya adalah Neraka.”(H.R.Bukhari)
juga hadis riwayat Muslim;
صحيح مسلم (1/ 277)
عَنْ أَبِي ذَرٍّ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ قَالَ فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَ مِرَارًا قَالَ أَبُو ذَرٍّ خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ‎
Dari Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tiga golongan manusia yang Allah tidak akan mengajak mereka bicara pada hari kiamat, tidak melihat mereka, tidak mensucikan dosanya dan mereka akan mendapatkan siksa yang pedih.” Abu Dzar berkata lagi, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membacanya tiga kali. Abu Dzar berkata, “Mereka gagal dan rugi, siapakah mereka wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang melakukan Isbal (memanjangkan pakaian), orang yang suka memberi dengan menyebut-nyebutkannya (karena riya’), dan orang yang membuat laku barang dagangan dengan sumpah palsu.” (H.R.Muslim)
juga riwayat Ibnu Majah;
سنن ابن ماجه – مكنز (11/ 68، بترقيم الشاملة آليا)
 عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَا سُفْيَانَ بْنَ سَهْلٍ لاَ تُسْبِلْ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ الْمُسْبِلِينَ ».
 
Dari Al Mughirah bin Syu’bah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai Sufyan bin Sahl, janganlah kamu memanjangkan kain sarung atau celana melebihi mata kaki, karena Allah membenci orang-orang yang memanjangkan kain sarung atau celananya melebihi mata kaki.” (H.R.Ibnu Majah)
juga riwayat At-Tirmidzi;
سنن الترمذى (6/ 427)
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ
أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَضَلَةِ سَاقِي أَوْ سَاقِهِ فَقَالَ هَذَا مَوْضِعُ الْإِزَارِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَأَسْفَلَ فَإِنْ أَبَيْتَ فَلَا حَقَّ لِلْإِزَارِ فِي الْكَعْبَيْنِ
 
Dari Hudzaifah Rhadhiyallaahu ‘Anhu berkata; Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memegang betisku dan bersabda: “Ini adalah batas pakaian, jika engkau tidak mau (ingin menambah panjangnya) maka boleh dibawahnya sedikit, dan jika engkau tidak mau, maka tidak diperbolehkan pakaian melebihi mata kaki.” (H.R.At-Tirmidzi)
Dari riwayat-riwayat yang seperti ini dan yang semakna dengannya ditarik kesimpulan bahwa Isbaldilarang Nabi secara mutlak tanpa membedakan apakah dilakukan karena sombong ataukah dilakukkan tanpa disertai kesombongan. Hal itu dikarenakan lafadz yang menunjukkan larangan semuanya dinyatakan dalam bentuk mutlak tanpa disertai penjelasan sebabnya. Oleh karena lafadz larangan Isbal bersifat mutlak, hal itu bermakna keharaman Isbal tidak diikat kondisi tertentu, tetapi berlaku secara mutlak yang mencakup kondisi sombong maupun tidak sombong.
Jawaban terhadap argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Memang benar ada lafadz-lafadz Muthlaq terkait larangan Isbal, namun juga tidak dapat diingkari adalnya lafadz-lafadz Muqoyyad (terikat) yang mengikat larangan Isbal dengan kondisi tertentu yaitu kesombongan. Dari sini berlaku kaidah ushul Fikih; Jika ada lafadz Muthlaq yang berhadapan dengan lafadz Muqoyyad sementara dua macam lafadz tersebut memiliki Hukum (الحُكْمُ) dan Sabab (السَّبَبُ) yang sama, maka diterapkanlah kaidah;
حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلى الْمُقَيَّدِ
“Membawa (lafadz) yang Muthlaq pada (lafadz) yang Muqoyyad”
Artinya, lafadz yang Muthlaq difahami, bahwa hukum yang dimaksud pembuat Syariat adalah adalah kondisi yang dijelaskan dalam lafadz Muqoyyad. Kaidah ini dipakai untuk mengakomodasi penerapan kedua macam Nash tersebut. Hal itu dikarenakan jika hanya lafadz Muthlaq saja yang diterapkan maka hal itu bermakna diabaikannya lafadz Muqoyyad, namun jika lafadz Muqoyyad yang diterapkan, maka lafadz Muthlaq tetap terterapkan.
Contoh penerapannya adalah pada hadis kokokan ayam jantan berikut ini;
صحيح البخاري (11/ 82)
 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ صِيَاحَ الدِّيَكَةِ فَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ فَإِنَّهَا رَأَتْ مَلَكًا وَإِذَا سَمِعْتُمْ نَهِيقَ الْحِمَارِ فَتَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ رَأَى شَيْطَانًا                                                                           
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika kalian mendengar suara kokok ayam mohonlah kepada Allah karunia-Nya karena saat itu ayam itu sedang melihat malaikat dan bila kalian mendengar ringkik suara keledai mohonlah perlindungan kepada Allah karena saat itu keledai itu sedang melihat setan”. (H.R.Bukhari)
مسند أحمد (14/ 370)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَمِعْتُمْ نُهَاقَ الْحَمِيرِ بِاللَّيْلِ فَتَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنْ شَرِّهَا فَإِنَّهَا رَأَتْ شَيْطَانًا وَإِذَا سَمِعْتُمْ صُرَاخَ الدِّيَكَةِ بِاللَّيْلِ فَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ فَإِنَّهَا رَأَتْ مَلَكًا
Dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika kalian mendengar ringkih keledai di malam hari maka berlindunglah kepada Allah dari kejelekannya karena sesungguhnya ia melihat setan, dan jika kalian mendengar ayam berkokok di malam hari maka mintalah kepada Allah akan karuinia-Nya karena sesungguhnya dia melihat malaikat.”.” (H.R.Ahmad)
Dalam riwayat Bukhari di atas tidak ada keterangan waktu berkokoknya ayam jantan dan ringkikan keledai. Namun pada riwayat Ahmad terdapat keterangan waktu penjelasan hukum, yaitu di malam hari. Jadi, riwayat Bukhari termasuk lafadz Muthlaq, sementara riwayat  Ahmad lafadz Muqoyyad. Oleh karena hukum pada dua riwayat ini sama, yaitu sunnahnya berdoa saat mendengar kokokan ayam jantan dan berta’awwudz saat mendengar ringkikan keledai, sementara Sabab hukumnya juga sama yaitu mendengar kokokan ayam atau keledai, maka berlakulah kaidah;
حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلى الْمُقَيَّدِ
“Membawa (lafadz) yang Muthlaq pada (lafadz) yang Muqoyyad”
Yakni , lafadz yang Muthlaq difahami, bahwa hukum yang dimaksud pembuat Syariat adalah kondisi yang dijelaskan dalam lafadz Muqoyyad. Hal ini bermakna, hukum sunnahnya berdoa dan berta’awwudz saat mendengar kokokan ayam jantan dan ringkikan keledai adalah dalam kondisi kokokan dan ringkikan itu di dengar di malam hari. Jika kokokan dan ringkikan itu didengar di siang hari, maka hukum sunnah itu tidak berlaku.
Hal yang sama berlaku dalam maslah Isbal. Memang benar ada Nash-Nash Muthlaq, namun juga tidak dapat dibantah adanya Nash-Nash Muqoyyad. Oleh karena itu berlakulah kaidah;
حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلى الْمُقَيَّدِ
“Membawa (lafadz) yang Muthlaq pada (lafadz) yang Muqoyyad”
maknanya , lafadz yang Muthlaq difahami, bahwa hukum yang dimaksud pembuat Syariat adalah adalah kondisi yang dijelaskan dalam lafadz Muqoyyad. Hal ini bermakna,haromnya Isbal adalah dalam kondisi dilakukan karena sombong. Jika dilakukan tidak karena sombong maka hukum haramnya Isbal tidak berlaku.
Adapun gugatan terhadap penggunaan kaidah ini, yakni klaim bahwa dalam kasus Isbal, hukum dan Sababnya berbeda dengan mengatakan; untuk Isbalhukumannya adalah Neraka  sementara meyeret pakaian hukumannya adalah tidak dilihat Allah. Oleh karena Sabab dan Hukumnya berbeda maka kaidah maka;
حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلى الْمُقَيَّدِ
“Membawa (lafadz) yang Muthlaq pada (lafadz) yang Muqoyyad”
tidak dapat diterapkan.
Kami katakan; gugatan ini tidak dapat diterima karena menunjukkan kekurangcermatan dalam mengidentifikasi hukum dan Sabab dalam kasus Isbal.
Yang dimaksud hukum, dalam pembahasan Muthlaq-Muqoyyad adalah hukum syara’ yang lima yaitu; Wajib, Sunnah, Makruh, Haram, dan Mubah. Adapun yang dimaksud Sabab adalah sesuatu/perbuatan mukallaf  yang membuat hukum syara ditetapkan oleh pembuat syariat. Dalam kasus Isbal, hukum antara lafadz yang Muthlaq dengan Muqoyyad sama, yaitu haramnya Isbal. Sababnya juga sama yaitu perbuatan Isbal. Perbedaannya, lafadz yang satu diikat kondisi yaitu kesombongan sementara lafadz yang lain dinyatakan secara mutlak. Ancaman Neraka dan tidak dilihat Allah pada hari kiamat bukan hukum (الحُكْمُ) dalam pembahasan Muthlaq-Muqoyyad tetapi hukuman (العقوبات). Tentu saja ada perbedaan yang jauh antara hukum dengan hukuman. Ancaman siksa atau murka termasuk janji surga atau ridha adalah Qorinah untuk memahami status hukum, bukan hukum itu sendiri. Jadi hukum pada kasus Isbal adalah haromnya Isbal, dengan qorinah ancaman Neraka dan tidak dilihat Allah pada hari kiamat. Isbal dengan menyeret pakaian juga tidak perlu dibedakan kerena keduanya semakna, karena Nabi ketika mencela Isbal itu maksudnya adalah mencela orang yang mengulurkan pakaiannya sehingga sampai menyeretnya ketika berjalan dengan disertai kesombongan.
Penerapan yang benar atas perbedaan Sabab yang membuat  tidak bisa diterapkan kaidah
حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلى الْمُقَيَّدِ
Adalah seperti dalam ayat berikut;
{وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ} [المجادلة: 3]
orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak  (Al-Mujadilah; 3)
{وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ} [النساء: 92]
dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman (An-Nisa; 92)
Hukum wajibnya membebaskan budak dalam surat Al-Mujadilah di atas bersifat Muthlaq karena hanya diungkapkan dengan lafadz “Roqobah” (seorag budak)  sementara hukum wajibnya membebaskan budak dalam surat An-Nisa bersifat Muqoyyad karena diungkapkan dengan lafadz “Roqobah Mukminah” (seorang budak mukmin). Namun pada dua yat ini tidak bisa diterapkan kaidah
حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلى الْمُقَيَّدِ
Karena Sabab hukumnya yang berbeda. Pada surat Al-Mujadilah Sabab hukumnya adalah perbuatan Dhihar, sementara pada suarat An-Nisa’ Sabab hukumnya adalah pembunuhan tidak sengaja. Oleh karena sabab hukumnya pada dua Nash ini berbeda, maka hukum Syara masing-masing diterapkan pada wilayahnya. Artinya, Nash Muthlaq dibiarkan dalam kemuthlaqannya dalam wilayah topik hukumnya sementara Nash Muqoyyad juga dibiarkan dalam kemuqoyyadannya dalam wilayah topik hukumnya. Kesimpulannya, Kaffarot untuk perbuatan Dhihar adalah membebaskan budak secara Muthlaq baik budak mukmin maupun budak kafir, sementara Kaffarot pembunuhan tidak sengaja adalah membebaskan budak mukmin saja dan tidak sah jika yang dibebaskan budak kafir.
Terdapat  banyak ulama yang meyetujui bahwa kaidah
حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلى الْمُقَيَّدِ‎
Dalam kasus  Isbal ini bisa diterapkan.   Mereka bukanlah ulama-ulama sembarangan, tetapi ulama-ulama yang memiliki reputasi tinggi dalam bahasa Arab dan ushul Fiqih. Justru menjadi sesuatu yang mengherankan jika ada ulama kontemporer yang  menolak penerapan kaidah ini pada kasus Isbaldengan alasan beda Hukum dan beda Sabab. Berikut kami daftarkan sejumlah statemen ulama salaf yang kredibel  yang menunjukkan kaidah ini bisa diterima dalam Isbal.
Diantara mereka adalah imam As-Syafi’i. As-Syaukani berkata dalam Nail Al-Author;
نيل الأوطار (2/ 112)
قال البويطي في مختصره عن الشافعي : لا يجوز السدل في الصلاة ولا في غيرها للخيلاء ولغيرها خفيف لقول النبي صلى الله عليه وآله وسلم لأبي بكر انتهى
Al-Buwaithi berkata dalam kitabnya Almukhtashor, dari as-Syafi’I, “Tidak boleh Isbal di dalam sholat dan di luar sholat dalam rangka sombong. Sementara untuk yang tidak sombong hal itu adalah sesuatu yang ringan (diperbolehkan) dengan dasar perkataan Nabi kepada Abu Bakr. (Nail Al-Author, vol 2, hlm 112)‎
Termasuk juga Ibnu Taimiyyah dalam Syarhu Al-‘Umdah;
شرح العمدة (ص: 364)
وهذه منصوص صريحة في تحريم الإسبال على وجه المخيلة والمطلق منها محمول على المقيد وإنما أطلق ذلك لأن الغالب أن ذلك إنما يكون مخيلة
Ini adalah nash-Nash yang lugas  tentang pengharaman Isbal terkait dengan kesombongan. Nash yang mutlak dibawa pada  yang muqoyyad. Disebutkan demikian karena umumnya, Isbal itu adalah karena kesombongan. (Syarhu Al-‘Umdah, hlm; 364)
Termasuk juga Ibnu Hajar dalam Fathu Al-Bari;
فتح الباري – ابن حجر (10/ 263)
وأما الإسبال لغير الخيلاء فظاهر الأحاديث تحريمه أيضا لكن استدل بالتقييد في هذه الأحاديث بالخيلاء على أن الإطلاق في الزجر الوارد في ذم الإسبال محمول على المقيد هنا فلا يحرم الجر والاسبال إذا سلم من الخيلاء
Adapun Isbal tanpa kesombongan, maka Dhohirhadits-hadits bermakna ia juga diharamkan. Akan tetapi bisa juga berdalil dengan adanya Taqyid pada hadis-hadis dengan kondisi sombong untuk disimpulkan bahwa larangan isbal yang ada saat mencela isbal dibawa apada nash yang Muqoyyad, sehingga tidaklah haram menyeret pakaian dan Isbaljika aman dari kesombongan. (Fathu Al-Bari, vol.10, hlm 264)
Termasuk juga An-Nawawi dalam Syarah Shaih Muslim;
شرح النووي على مسلم (14/ 63)
وأما الأحاديث المطلقة بأن ما تحت الكعبين فى النار فالمراد بها ما كان للخيلاء لانه مطلق فوجب حمله على المقيد والله أعلم
Adapun hadits-hadits yang bersifat mutlak terkait bahwa apa yang dibawah mata kaki adalah Neraka, maksudnya adalah selama itu untuk kesombongan. Oleh karena sifat hadits itu adalah mutlak, maka wajib untuk dibawa kepada yang muqoyyad. (Syarah An-Nawawi ‘Ala Muslim, vol.14 hlm 63)
Termasuk juga As-Syaukani dalam Nail Al-Author;
نيل الأوطار (2/ 112)
وأما حديث أبي أمامة فغاية ما فيه التصريح بأن الله لا يحب المسبل وحديث الباب مقيد بالخيلاء وحمل المطلق على المقيد واجب
Adapun hadits Abu Umamah, maksimal maksudnya adalah penjelasan bahwasanya Allah tidak suka orang yang Isbal. Dan hadits dalam bab tersebut dibatasi dengan kesombongan. Sementara membawa yang mutlak kepada yang muqoyyad adalah wajib. (Nail Al-Author, vol.2 hlm 112)
Termasuk juga Al-‘Iroqi dalam Thorhu At-Tatsrib;
طرح التثريب (9/ 34)
وَأَمَّا الْأَحَادِيثُ الْمُطْلَقَةُ بِأَنَّ مَا تَحْتَ الْكَعْبَيْنِ فِي النَّارِ فَالْمُرَادُ بِهِ مَا كَانَ لِلْخُيَلَاءِ ؛ لِأَنَّهُ مُطْلَقٌ فَوَجَبَ حَمْلُهُ عَلَى الْمُقَيَّدِ
Adapun hadits-hadits yang bersifat mutlak terkait bahwa apa yang dibawah mata kaki adalah Neraka, maksudnya adalah selama itu untuk kesombongan. Oleh karena sifat hadits itu adalah mutlak, maka wajib untuk dibawa kepada yang muqoyyad. (Thorhu At-Tatsrib, vol.9 hlm 34)
Termasuk juga Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid;
التمهيد لما في الموطأ من المعاني والأسانيد (3/ 244)
وهذا الحديث يدل على أن من جر إزاره من غير خيلاء ولا بطر أنه لا يلحقه الوعيد المذكور
Ibnu Abdil Barr berkata, “Pemahamannya adalah bahwa orang yang menyeret pakaian tanpa kesombongan tidak terkena  oleh ancaman adzab.” (At-Tamhid, vol.3 hlm 244)‎
Ini adalah catatan kritis terhadap argumentasi pertama pendapat yang mengatakan Isbal haram secara mutlak yaitu; Adanya Nash-Nash yang melarang Isbal secara mutlak. Pembahasan dilanjutkan dengan catatan kritis atas argumentasi yang lain.
Kedua; Washf yang “Khoroja Makhroja Al-Gholib” tidak bisa menjadi Qoid
Diantara argumen pendapat yang mengharamkan secara Muthlaq adalah memandang bahwa Nash-Nash Muqoyyad tentang larangan Isbal, semua Taqyidnya (pengikatnya) seperti lafadz “Khuyala” (kesombongan) atau “Bathor” (keangkuhan) adalah bentuk “Washf” (deskripsi) yang “Khoroja Makhroja Al-Gholib” (diungkapkan untuk menunjukkan kebiasaan pada umumnya). Washf yang “Khoroja Makhroja Al-Gholib” dipandang tidak bisa menjadi Qoid (pengikat) yang membatasi kondisi keharamanIsbal sebagaimana lafadz ” Fii Hujurikum” dalam ayat berikut;
{وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ} [النساء: 23]
Dan  anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu -haram kau nikahi- (An-Nisa; 23)
tidak bisa menjadi Qoid keharaman anak tiri karana termasuk Washf yang “Khoroja Makhroja Al-Gholib”
Jawaban terhadap argumentasi ini adalah; Qoid sombong terhadap larangan Isbal bukan termasuk Washf yang “Khoroja Makhroja Al-Gholib”, tetapi Ta’lil (penjelasan alasan) yang dinyatakan lugas dalam riwayat Isbal Abubakar. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyatakan alasan kebolehan IsbalAbubakar dengan lafadz;
لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ
“Engkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.”
Maka ini menjadi  dalil yang jelas, bahwa larangan tersebut disebabkan karena sebab tertentu, yaitu kesombongan. Hal ini berbeda dengan ayat dalam surat An-Nisa diatas, karena pengasuhan bukanlah Ta’lil dari keharoman menikahi anak tiri.
Lagipula, kesombongan yang menjadi Qoid dalam larangan Isbal didapatkan dari Manthuq Nash, yakni ucapan Nabi yang berbunyi;
لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ
“Engkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.”
Bukan dari mafhumnya. Oleh karena itu argumen Washf yang “Khoroja Makhroja Al-Gholib” tidak bisa menjadi Qoid tidak bisa diterima.
Tambahan lagi, memahami Washf yang “Khoroja Makhroja Al-Gholib” tidak bisa menjadi Qoid sehinggaIsbal haram secara mutlak bertentangan dengan praktek Isbal yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Abubakar, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Umar bin Abdul Aziz, Ibrahim An-Nakho’I, Ayyub Assikhtiyani, dll.‎
Ketiga; mengompromikan Nash yang Muthlaq dengan Nash Muqoyyad dalam larangan Isbal adalah dengan memahami; Isbal tanpa sombong haram, jika dengan sombong maka lebih haram lagi.‎
Catatan terhadap argumen ini adalah; cara kompromi dengan teknik pembedaan seperti diatas tersebut tidak memiliki landasan Nash yang kokoh, karena larangan Isbal dalam Nash Muthlaq maupun Muqoyyad tidak dinyatakan dalam gradasi ancaman. Malah Nash-Nash yang ada menunjukkan adanya penyamaan. Ancaman dalam Nash Muthlaq adalah di Neraka dan tidak dilihat Allah pada hari kiamat, sementara ancaman dalam Muqoyyad juga Neraka dan tidak dilihat Allah. Jadi pembedaan tersebut tidak bisa dipegang, kompromi yang tidak memuaskan, dan tidak mendapatkan dalil pengukuh untuk membuktikan kebenarannya. Lagipula, jika Isbal tanpa sombong memang harom maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Abubakar, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Umar bin Abdul Aziz, Ibrahim An-Nakho’I, Ayyub Assikhtiyani, dll tidak akan berani melakukannya.
Kompromi yang lebih tepat terhadap Nash-Nash Muthlaq dan Muqoyyad dalam kasus larangan Isbal yang sesuai dengan Nash-Nash yang lain  adalah menerapkan kaidah;
حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلى الْمُقَيَّدِ
“Membawa (lafadz) yang Muthlaq pada (lafadz) yang Muqoyyad”
Keempat; Adanya Nash-Nash yang melarang individu tertentu melakukan Isbal yang menunjukkan larangan mutlak.
Terdapat sejumlah Nash yang mengesankan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang individu-individu tertentu melakukan Isbal secara mutlak tanpa membedakan apakah dlakukan dengan sombong ataukah tidak. Diantara riwayat jenis ini misalnya kisah lelaki Ahnaf (berkaki bengkok) berikut;
مسند أحمد (32/ 223)
عَنْ يَعْقُوبَ بْنِ عَاصِمٍ أَنَّهُ سَمِعَ الشَّرِيدَ يَقُولُ أَبْصَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا يَجُرُّ إِزَارَهُ فَأَسْرَعَ إِلَيْهِ أَوْ هَرْوَلَ فَقَالَ ارْفَعْ إِزَارَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ قَالَ إِنِّي أَحْنَفُ تَصْطَكُّ رُكْبَتَايَ فَقَالَ ارْفَعْ إِزَارَكَ فَإِنَّ كُلَّ خَلْقِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَسَنٌ فَمَا رُئِيَ ذَلِكَ الرَّجُلُ بَعْدُ إِلَّا إِزَارُهُ يُصِيبُ أَنْصَافَ سَاقَيْهِ أَوْ إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ‎
Dari Ya’qub bin Ashim, bahwa ia mendengar Asy Syarid berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat seorang laki-laki yang ,menyeret  kainnya, maka beliau pun segera menyusulnya dan bersabda: “Angkatlah kainmu dan takutlah kepada Allah.” Laki-laki itu berkata, “Saya adalah seorang yang kaki dan kedua lututnya bengkok.” Beliau bersabda: “Angkatlah kainmu, karena setiap ciptaan Allah ‘azza wajalla adalah baik.” Maka laki-laki itu tidak pernah lagi dilihat, kecuali panjang kainnya hanya sebatas setengah betisnya hingga mati. (H.R.Ahmad)
Demikian pula kisah Isbal ibnu Umar berikut;
صحيح مسلم (10/ 455)
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ
مَرَرْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي إِزَارِي اسْتِرْخَاءٌ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ ارْفَعْ إِزَارَكَ فَرَفَعْتُهُ ثُمَّ قَالَ زِدْ فَزِدْتُ فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا بَعْدُ فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ إِلَى أَيْنَ فَقَالَ أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ
Dari Ibnu ‘Umar ia berkata; “Aku pernah melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara kain (pakaian) saya terjurai sampai ke tanah.” Maka beliau berkata; ‘Hai Abdullah, naikkan kainmu! ‘ lalu akupun langsung menaikkan kainku. Setelah itu Rasulullah berkata; ‘Naikkan lagi.’ Maka akupun menaikan lagi. Dan setelah itu aku selalu memperhatikan kainku. Sementara itu ada beberapa orang yang bertanya; ‘Sampai di mana batasnya? ‘ Ibnu Umar menjawab; ‘Sampai pertengahan kedua betis.’ (H.R.Muslim)‎
Lafadz lain dalam Musnad Ahmad berbunyi;
مسند أحمد (13/ 93)
عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يَقُولُ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ مِنْ الْخُيَلَاءِ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ زَيْدٌ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُحَدِّثُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَآهُ وَعَلَيْهِ إِزَارٌ يَتَقَعْقَعُ يَعْنِي جَدِيدًا فَقَالَ مَنْ هَذَا فَقُلْتُ أَنَا عَبْدُ اللَّهِ فَقَالَ إِنْ كُنْتَ عَبْدَ اللَّهِ فَارْفَعْ إِزَارَكَ قَالَ فَرَفَعْتُهُ قَالَ زِدْ قَالَ فَرَفَعْتُهُ حَتَّى بَلَغَ نِصْفَ السَّاقِ قَالَ ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ فَقَالَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مِنْ الْخُيَلَاءِ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّهُ يَسْتَرْخِي إِزَارِي أَحْيَانًا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَسْتَ مِنْهُمْ‎
dari Zaid bin Aslam saya mendengar Ibnu Umar berkata, “Siapa yang menjulurkan kainnya melebihi mata kaki karena sombong, Allah tidak melihatnya pada hari kiamat.” Telah berkata Zaid, Ibnu Umar menceritakan kisah, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam pernah melihatnya memakai kain baru dan terdengar suara gemerisik kainnya. Kontan beliau berkata, “Siapakah ini?” Ibnu Umar menjawab, “Saya Abdullah bin Umar.” Beliau berkata, “Jika kamu benar-benar Abdullah bin Umar, angkatlah kainmu.” Ibnu Umar berkata, “Saya pun mengangkatnya.” Beliau berkata, “Tambah (angkat lagi).” Ibnu Umar berkata, “Saya pun mengangkatnya lagi hingga pertengahan betis.” Kemudian dia menoleh kepada Abu Bakar dan berkata, “Barangsiapa yang menjulurkan kainnya karena sombong, Allah tidak melihatnya kelak pada hari kiamat.” Lalu Abu Bakar berkata, “, kainku terkadang merosot.” Maka Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Kamu tidaklah termasuk dari mereka.” (H.R.Ahmad)
Demikian pula kisah Khuroim Al-Asadi berikut;
مسند أحمد (36/ 15)
 قَالَ
ثُمَّ مَرَّ بِنَا يَوْمًا آخَرَ فَقَالَ لَهُ أَبُو الدَّرْدَاءِ كَلِمَةً تَنْفَعُنَا وَلَا تَضُرُّكَ فَقَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَ الرَّجُلُ خُرَيْمٌ الْأَسَدِيُّ لَوْلَا طُولُ جُمَّتِهِ وَإِسْبَالُ إِزَارِهِ فَبَلَغَ ذَلِكَ خُرَيْمًا فَجَعَلَ يَأْخُذُ شَفْرَةً يَقْطَعُ بِهَا شَعَرَهُ إِلَى أَنْصَافِ أُذُنَيْهِ وَرَفَعَ إِزَارَهُ إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ
قَالَ فَأَخْبَرَنِي أَبِي قَالَ دَخَلْتُ بَعْدَ ذَلِكَ عَلَى مُعَاوِيَةَ فَإِذَا عِنْدَهُ شَيْخٌ جُمَّتُهُ فَوْقَ أُذُنَيْهِ وَرِدَاؤُهُ إِلَى سَاقَيْهِ فَسَأَلْتُ عَنْهُ فَقَالُوا هَذَا خُرَيْمٌ الْأَسَدِيُّ
Masih melalui jalur periwayatan yang sama seperti hadits sebelumnya, dari Sahal bin Amru; berkata, “Kemudian pada hari yang lain, (Ibnu Hanzhaliyah) melewati kami, maka Abu Darda berkata kepadanya, “(Berbicalah) satu kata yang bermanfaat bagi kami dan tidak memberikan mudlarat kepadamu.” Ibnu Hanzhaliyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sekiranya bukan karena rambutnya yang panjang hingga bahu dan kain sarungnya yang Isbal, maka sebaik-baik lelaki adalah Khuraim Al Asadi.” Maka hal itu pun sampai kepada Khuraim, sehingga ia pun mengambil gunting dan memangkas rambutnya hingga pertengahan kedua telinganya dan memotong kainnya hingga setengah betisnya. Ia berkata, “Bapakku mengabarkan kepadaku, ia mengatakan, “Setelah itu aku menemui Mu’awiyah, ternyata di sisinya ada seorang syaikh yang panjang rambutnya di atas kedua telinganya, sedangkan kainnya terangkat hingga pertengahan kedua betisnya. Maka aku pun bertanya siapakah ia, orang-orang menjawab, “Ini adalah Khuraim Al Asadi.” (H.R.Ahmad)
Demikian pula kisah ‘Amr bin Zuroroh berikut;
المعجم الكبير (8/ 232)
عن أبي أمامة قال : بينما نحن رسول الله صلى الله عليه و سلم إذ لحقنا عمرو بن زرارة الأنصاري في حلة إزار ورداء قد أسبل فجعل النبي صلى الله عليه و سلم يأخذ بناحية ثوبه ويتواضع لله ويقول : اللهم عبدك وابن عبدك وابن أمتك حتى سمعها عمرو بن زرارة فالتفت إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقال : يا رسول الله إني أحمس الساقين فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : يا عمرو بن زرارة إن الله عز و جل قد أحسن كل خلقه يا عمرو بن زرارة إن الله لا يحب المسبلين ثم قال رسول الله صلى الله عليه و سلم بكفه تحت ركبة نفسه فقال : يا عمرو بن زرارة هذا موضع الإزار ثم رفعها ثم وضعها تحت ذلك فقال : يا عمرو بن زرارة هذا موضع الإزار ثم رفعها ثم وضعها تحت ذلك فقال : يا عمرو بن زرارة هذا موضع الإزار
Dari Abu Umamah, ia berkata “ketika kami bersama Rasulullah, tiba-tiba Amr bin Zuroroh al-Anshori menyusul kami dengan menggunakan sarung dan mantel yang Isbal. Lalu Nabi menggamit ujung pakaiannya dan merendahkan diri kepada Allah seraya berdoa’ Hingga Amr bin Zuroroh mendengarnya dan menoleh kepada Nabi lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, sungguh aku ini kecil betisnya.’ Rasulullah berkata, ‘Wahai Amr bin Zuroroh. Sesungguhnya Allah telah membaguskan setiap ciptaanNya. Wahai Amr bin Zuroroh, sungguh Allah tidak suka orang-orang yang Isbal. Kemudianmeletakkan telapak tangannya dibawah lututnya  Dan berkata ‘Wahai Amr bin Zuroroh. Inilah posisi sarung.’ Lalu mengangkatnya, dan meletakkannya di bawahnya. (H.R.At-Thobaroni)
Jawaban terhadap argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Nash-Nash larangan Isbal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terhadap individu-individu tertentu yang mengesankan larangan Isbal secara mutlak harus difahami bahwa larangan Nabi terhadap mereka untuk melakukan Isbal adalah dikarenakan Nabi tahu berdasrkan Qorinah bahwa mereka melakukannya karena sombong.
Kesombongan seseorang dalam gerak-geriknya memang bisa dibaca dari Qorinah yang tampak, misalnya tahunya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam atas kesombongan seorang lelaki yang makan dengan tangan kiri dalam hadis berikut;
صحيح مسلم (10/ 297)
 إِيَاسُ بْنُ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ
أَنَّ رَجُلًا أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشِمَالِهِ فَقَالَ كُلْ بِيَمِينِكَ قَالَ لَا أَسْتَطِيعُ قَالَ لَا اسْتَطَعْتَ مَا مَنَعَهُ إِلَّا الْكِبْرُ قَالَ فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ
Dari Iyas bin Salamah bin Al Akwa’; Bapaknya telah menceritakan kepadanya, bahwa seorang laki-laki makan di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tangan kirinya, Lalu Rasulullah bersabda: “Makanlah dengan tangan kananmu! Dia menjawab; ‘Aku tidak bisa.’ Beliau bersabda: “kalau begitu kamu benr-benar tidak akan bisa” dia menolaknya karena sombong. Setelah itu tangannya tidak bisa sampai ke mulutnya. (H.R.Muslim)
Jadi larangan Isbal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada lelaki yang berkaki bengkok, ibnu Umar, Khuroim al-Asadi, ‘Amr bin Zuroroh dan yang semisal dengan mereka adalah dikarenakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengetahui selinapan rasa Khuyala  yang ada pada mereka sebagimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tahu kesombongan seorang lelaki yang makan dengan tangan kiri. Rasulullah melarang Isbalkepada orang-orang yang beliau ketahui sombong, tetapi membolehkan Isbal kepada orang yang beliau ketahui tidak melakukannya karena sombong. Pembedaan perlakuan ini sama seperti pembedaan beliau terhadap seorang pemuda dan orangtua dalam kisah yang disebutkan dalam hadis berikut;
سنن أبى داود – م (2/ 285)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ لِلصَّائِمِ لِلصَّائِمِ فَرَخَّصَ لَهُ وَأَتَاهُ آخَرُ فَسَأَلَهُ فَنَهَاهُ. فَإِذَا الَّذِى رَخَّصَ لَهُ شَيْخٌ وَالَّذِى نَهَاهُ شَابٌّ.
dari Abu Hurairah bahwa seoerang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai cumbuan orang yang berpuasa, lalu beliau memberikan keringanan kepadanya. Dan orang yang lain datang kepada beliau dan bertanya mengenainya, lalu beliau melarangnya. Ternyata orang yang beliau beri keringanan adalah orang yang sudah tua, sedangkan orang yang beliau larang adalah orang yang masih muda. (H.R.Abu Dawud)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengizinkan lalaki tua mencumbu istrinya dalam keadaan berpuasa karena beliau tahu lelaki tua tersebut sanggup menahan syahwatnya sehingga tidak sampai jimak yang membatalkan puasa, namun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang seorang pemuda untuk mencumbu istrinya dalam keadaan berpuasa karena beliau tahu sang pemuda  tersebut tidak akan  sanggup menahan syahwatnya sehingga tidak sampai jimak yang membatalkan puasa. Pembedaan perlakuan ini menunjukkan bahwa rekomendasi Nabi itu disebabkan karena pengetahuan terhadap kondisi mukallaf yang berbeda.‎
Dalam kasus  Isbal ini juga bisa difahami demikian. Oleh karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tahu individu-individu tertentu melakukan Isbalkarena sombong maka beliau melarangnya, semntara individu yang beliau tahu dia melakukannya tidak karena sombong, beliau membolehkannya.
Yang menguatkan  hal ini adalah adanya Qorinah hal dalam sebagian riwayat tersebut yang menunjukkan pengetahuan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa shahabat yang dilarang Isbal itu mereka melakukannya karena disisipi perasaan yang tidak benar. Misalnya ibnu umar yang masih remaja  dan sedang memakai pakaian baru, atau Amr bin Zuroroh yang Nabi memagang sebagian pakaiannya sambil merendahkan diri.
Kelima; hadis Jabir bin Sulaim menunjukkan bahwaIsbal itu termasuk kesombongan.
Ada sebuah hadis yang diriwayatakan Abu Dawud dari Jabir bin Sulaim yang memiliki redaksi sebagai berikut;
سنن أبى داود (11/ 121)
عَنْ أَبِي جُرَيٍّ جَابِرِ بْنِ سُلَيْمٍ قَالَ
رَأَيْتُ رَجُلًا يَصْدُرُ النَّاسُ عَنْ رَأْيِهِ لَا يَقُولُ شَيْئًا إِلَّا صَدَرُوا عَنْهُ قُلْتُ مَنْ هَذَا قَالُوا هَذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ عَلَيْكَ السَّلَامُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَرَّتَيْنِ قَالَ لَا تَقُلْ عَلَيْكَ السَّلَامُ فَإِنَّ عَلَيْكَ السَّلَامُ تَحِيَّةُ الْمَيِّتِ قُلْ السَّلَامُ عَلَيْكَ قَالَ قُلْتُ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَنَا رَسُولُ اللَّهِ الَّذِي إِذَا أَصَابَكَ ضُرٌّ فَدَعَوْتَهُ كَشَفَهُ عَنْكَ وَإِنْ أَصَابَكَ عَامُ سَنَةٍ فَدَعَوْتَهُ أَنْبَتَهَا لَكَ وَإِذَا كُنْتَ بِأَرْضٍ قَفْرَاءَ أَوْ فَلَاةٍ فَضَلَّتْ رَاحِلَتُكَ فَدَعَوْتَهُ رَدَّهَا عَلَيْكَ قَالَ قُلْتُ اعْهَدْ إِلَيَّ قَالَ لَا تَسُبَّنَّ أَحَدًا قَالَ فَمَا سَبَبْتُ بَعْدَهُ حُرًّا وَلَا عَبْدًا وَلَا بَعِيرًا وَلَا شَاةً قَالَ وَلَا تَحْقِرَنَّ شَيْئًا مِنْ الْمَعْرُوفِ وَأَنْ تُكَلِّمَ أَخَاكَ وَأَنْتَ مُنْبَسِطٌ إِلَيْهِ وَجْهُكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ الْمَعْرُوفِ وَارْفَعْ إِزَارَكَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَإِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنْ الْمَخِيلَةِ وَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ وَإِنْ امْرُؤٌ شَتَمَكَ وَعَيَّرَكَ بِمَا يَعْلَمُ فِيكَ فَلَا تُعَيِّرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فِيهِ فَإِنَّمَا وَبَالُ ذَلِكَ عَلَيْهِ
Dari Abu Jurai Jabir bin Sulaim ia berkata, “Aku melihat seorang laki-laki yang fikirannya dijadikan sandaran oleh orang banyak, dan ia tidak mengatakan sesuatu kecuali orang-orang akan mengikutinya. Aku lalu bertanya, “Siapakah dia?” orang-orang menjawab, “Ini adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” maka aku pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, ‘Alaika As Salam (semoga keselamatan bersamamu) ‘ wahai Rasulullah, sebanyak dua kali. Beliau bersabda: “Jangan engkau ucapkan ‘Alaika As Salam’, karena ‘Alaika As Salam adalah penghormatan dan salam untuk mayit. Tetapi ucapkanlah ‘As Salamu ‘Alaika’.” Jabir bin Sulaim berkata, “Aku lalu bertanya, “Apakah engkau utusan Allah?” beliau menjawab: “Ya, aku adalah utusan Allah, Dzat yang jika engkau tertimpa musibah, lalu engkau berdoa kepada-Nya, maka Dia akan menghilangkannya darimu. Jika kamu tertimpa paceklik, lalu engkau berdoa maka Dia akan menumbuhkan (tanaman) bagi kamu. Jika engkau berada di suatu tempat yang luas hingga kendaraanmu hilang, lalu engkau berdoa kepada-Nya, maka Dia akan mengembalikannya kepadamu.” Jabir bin Sulaim berkata, “Lalu aku berkata, “Berilah kami perjanjian.” Beliau bersabda: “Jangan sekali-kali engaku cela orang lain.” Jabir bin Sulaim berkata, “Setelah itu aku tidak pernah mencela seorang pun; orang merdeka atau budak, unta atau kambing.” Beliau bersabda lagi: “Janganlah engkau remehkan perkara ma’ruf, berbicaralah kepada saudaramu dengan wajah yang penuh senyum dan berseri, sebab itu bagian dari perkara yang ma’ruf. Angkatlah sarungmu hingga setengah betis, jika tidak maka hingga kedua mata kaki. Dan janganlah engkau julurkan sarungmu karena itu bagian dari sifat sombong, sesungguhnya Allah tidak menyukai sifat sombong. Jika ada seseorang yang mencela dan memakimu karena cela yang ia ketahui darimu, maka janganlah engkau balas memaki karena cela yang engkau ketahui padanya, karena hal itu akan memberatkannya (pada hari kiamat).”  (H.R.Abu Dawud)
lafadz yang berbunyi;
وَارْفَعْ إِزَارَكَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَإِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنْ الْمَخِيلَةِ وَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ‎
Angkatlah sarungmu hingga setengah betis, jika tidak maka hingga kedua mata kaki. Dan janganlah engkau julurkan sarungmu karena itu bagian dari sifat sombong, sesungguhnya Allah tidak menyukai sifat sombong
Difahami bahwa Isbal termasuk kesombongan, dengan makna; orang yang berisbal pasti sombong. Oleh karena itu Isbal berdasarkan hadis Jabir bin Sulaim ini difahami haram secara mutlak, karena meskipun dilakukan karena sombong Nabi sendiri menyebut Isbal sudah merupakan kesombongan.
Jawaban terhadap argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Mengatakan bahwa orang melakukan Isbal pasti sombong bertentangan dengan pemahaman yang sehat sebagaimana tidak bisa diterima oleh realitas. Hal ini mirip seperti ungkapan; orang yang menangis pasti bersedih padahal realitasnya tidak selalu demikian. Secara realita, ada sebagian orang yang melakukan Isbal tidak karena sombong misalnya orang yang kakinya luka kemudian ditutupi dengan kain panjang, atau memakai kaki palsu, atau kaki cacat dan semisalnya. Secara Nash, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri dan Abubakar juga melakukan Isbal. Seandainya Isbal pasti menimbulkan kesombongan, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Abubakar termasuk shahabat-shahabat yang lain dan Tabi’in yang shalih adalah orang-orang yang jauh dari hal tersebut.
Statemen Nabi yang berbunyi;
وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنْ الْمَخِيلَةِ وَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ
Dan janganlah engkau julurkan sarungmu karena itu bagian dari sifat sombong, sesungguhnya Allah tidak menyukai sifat sombong
Maknanya adalah; Umumnya Isbal itu didorong perasaan sombong. Sesuatu yang berlaku secara umum memang secara bahasa boleh diungkapkan secara mutlak untuk menunjukkan keberlakuannya yang terjadi secara merata dan umum. Sebagaimana Alah melaknat dan mencela orang Yahudi yang disebutkan secara umum, hal ini tidak bermakna seluruh keturunan Yahudi dilaknat Alah, karena ada orang-orang tertentu yang dikecualikan dari kondisi umum itu karena mereka berbeda dengan kondisi umum, yakni memilih beriman kepada Allah dan RasulNya seperti sejumlah Shahahabat yang berasal dari Yahudi: Abdullah bin Salam, Ubay bin Ka’ab, dll. Allah berfirman;
{وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا بِمَا قَالُوا} [المائدة: 64]
orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dila’nat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu.  (Al-Maidah; 64)
maknanya bukan semua Yahudi pasti mengucapkan perkataan keji tersebut, tetapi sebagian dari mereka.
Hal yang sama ketika Nabi mengatakan bahwa Isbaltermasuk kesombongan. Maknanya; umumnya Isbaldi zaman beliau adalah dilakukan karena sombong, jadi jangan mengikuti mereka.
Keenam; Hadis ‘Alal Khobir Saqoth-ta menunjukkan bahwa larangan Isbal tidak memebedakan antara yang Muthlaq dengan Muqoyyad.
Abu Dawud meriwayatakan Hadis yang mengandung lafadz ‘Alal Khobir Saqoth-ta sebagai berikut;
سنن أبى داود (11/ 131)
عَنْ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
سَأَلْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ عَنْ الْإِزَارِ فَقَال عَلَى الْخَبِيرِ سَقَطْتَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِزْرَةُ الْمُسْلِمِ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ وَلَا حَرَجَ أَوْ لَا جُنَاحَ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ
Dari Al ‘Ala bin ‘Abdurrahman dari Bapaknya ia berkata, “Aku bertanya kepada Abu Sa’id Al Khudri tentang kain sarung, lalu ia berkata, “Engkau bertanya kepada orang yang tepat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kain sarung seorang Muslim sebatas setengah betis, dan tidak berdosa antara batas setengah betis hingga dua mata kaki. Adapun apa yang ada di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka. Barangsiapa menjulurkan kain sarungnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” (H.R.Abu Dawud)
Riwayat Imam Malik berbunyi;
موطأ مالك (5/ 416)
عَنْ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ
عَنْ الْإِزَارِ فَقَالَ أَنَا أُخْبِرُكَ بِعِلْمٍ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِزْرَةُ الْمُؤْمِنِ إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ لَا جُنَاحَ عَلَيْهِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ مَا أَسْفَلَ مِنْ ذَلِكَ فَفِي النَّارِ مَا أَسْفَلَ مِنْ ذَلِكَ فَفِي النَّارِ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
Dari Al ‘Ala bin Abdurrahman dari Bapaknya berkata; Aku bertanya kepada Abu Sa’id Al Khudri tentang pakaian. Dia menjawab; “Aku akan mengabarkan kepadamu dengan berdasarkan ilmu. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: ‘Panjang sarung seorang mukmin adalah setengah betisnya, dan tidak mengapa jika panjangnya antara betis hingga kedua mata kaki. Jika di bawah itu maka tempatnya adalah Neraka, jika di bawah itu maka tempatnya adalah Neraka. Pada hari kiamat Allah tidak akan melihat orang yang menjulurkan sarungnya karena  sombong.” (H..Malik)
lafadz yang berbunyi;
مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ
apa yang ada di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka. Barangsiapa menjulurkan kain sarungnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat
Difahami bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak membedakan keharaman Isbal baik karena sombong maupun tidak, kerena lafadz;
مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ
apa yang ada di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka
Lafadz ini menunjukkan ancaman Isbal secara mutlak termasuk Isbal tanpa sombong, sementara lafadz;
مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ
Barangsiapa menjulurkan kain sarungnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat
Menunjukkan ancaman Isbal karena sombong.
Disatukannya dua ancaman tersebut dalam satu lafadz difahami berarti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak membedakan celaan terhadap Isbalbaik dilakukan karena sombong maupun tidak.
Jawaban atas argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Disatukannya lafadz;
مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ
Dengan lafadz;
مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ
Tidak menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang Isbal secara mulak. Hal itu dikarenakan antara dua lafadz tersebut tidak disambung oleh Harf ‘Athof, sehingga tidak bisa difahami dua hal. Lafadz kedua sejatinya adalah penjelas dari lafadz pertama, artinya, lafadz;
مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ
Barangsiapa menjulurkan kain sarungnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat
Menjelaskan lafadz;
مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ
apa yang ada di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka
Jadi yang dicela Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terkait dengan pakaian di bawah matakaki adalah mereka yang melakukannya kerana sombong. Redaksi semacam ini semakna dengan ayat dalam surat Al-Luqman berikut;
{وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ } [لقمان: 19]
dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (Luqman;19)
artnya; lafadz;
إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai Menjelaskan lafadz;
وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ
lunakkanlah suaramu
Yang melarang bersuara keras. Dua hal tersebut tidak bisa difahami dua hal karena lafadz kedua menerangkan dan membuat lebih jalas lafadz sebelumnya.
Ketujuh; hadis Ummu Salamah menunjukkan Ummu Salamah memahami larang Isbal itu mutlak.
At-Tirmidzi meriwayatkan;
سنن الترمذى (6/ 343)
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ قَالَ يُرْخِينَ شِبْرًا فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ قَالَ فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لَا يَزِدْنَ عَلَيْهِ
قَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Dari Ibnu Umar ia berkata, “Rasulullah bersabda: “Barangsiapa menjulurkan kainnya dengan rasa sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” Ummu Salamah bertanya, “Lalu apa yang harus dilakukan kaum wanita dengan dzail (lebihan kain bagian bawah) mereka?” beliau menjawab: “Mereka boleh memanjangkannya satu jengkal.” Ummu Salamah kembali menyelah, “Kalau begitu kaki mereka akan terlihat!” beliau bersabda: “Mereka boleh memanjangkannya sehasta, dan jangan lebih.” Abu Isa berkata, “Hadits ini derajatnya hasan shahih.” (H.R.At-Tirmidzi)
Argumen yang dipakai dengan memahami hadis di atas; Sendainya larangan Isbal tidak secara mutlak, tidak ada maknanya Ummu Salamah meminta penjelasan panjang pakaian wanita. Pertanyaan Ummu Salamah menunjukkan bahwa beliau memahami larangan Isbal itu mutlak yang berlaku bagi lelaki maupun wanita.
Jawaban terhadap argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Hadis Ummu Salamah tidak menunjukkan bahwa Nabi melarang Isbal secara mutlak,karena maksud pertanyaan Ummu Salamah adalah permintaan solusi terkait wanita yang berisbal karena sombong dikaitkan dengan perintah Syara untuk menjaga kehormatan wanita. Jadi ada dua problem yang ingin dipecahkan; menghilangkan kesombongan karenaIsbal dan menjaga aurot. Solusi dari Nabi adalah memberi izin Isbal sejengkal dari tengah betis dan maksimal sedepa dari tengah betis. Yang menguatkan pemahaman ini adalah adanya lafadz “Khuyala” pada hadis tersebut. Oleh karena itu pertanyaan Ummu Salamah bermakna permintaan solusi terhadap wanita yang berisbal yang disisipi sombong sementara pada sisi yang lain dia juga harus menjaga kehormatannya sebagai wanita, dengan semaksimal mungkin berusaha menutupi tubuh.
Adapun alasan bahwa Isbal itu haram secara mutlak karena termasuk Madhinah Khuyala’ (area yang menjadi tempat dugaan adanya  kesombongan), Isrof(melampaui batas) Madhinnah Najasat (area yang menjadi tempat dugaan adanya  najis), danTasyabbuh terhadap wanita, maka alasan-alasan ini tidak bisa diterima karena bukan alasan yang dinyatakan oleh Nash terkait dengan topik Isbal, bukan yang dimaksud Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Ta’lil yang tidak ditopang dalil, dan tidak sesuai  dengan maksud Nash yang dijadikan dasar. Semua alasan ini  terbantahkan dengan izin Isbal terhadap Abubakar dan Isbal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri, termasuk shahabat-shahabat dan Tabi’in besar yang lain.
Sampai disini, kembali pada kesimpulan awal, yakni;Isbal yang dilakukan tanpa sombong hukumnya Mubah berdasarkan sejumlah argumentasi yang telah dipaparkan di atas. Pendapat yang mengatakan Isbal haram secara mutlak meski tanpa sombong telah ditunjukkan sisi-sisi kelamahannya.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa Isbaltanpa sombong hukumnya Makruh dengan mendasarkan hadis Abubakar, maka penjelasan ini sulit diterima, karena jika memang Isbal tanpa sombong hukumnya Makruh, tentu Nabi tidak akan merekomendasikan Makruh kepada Abubakar. Izin Nabi kepada Abubakar untuk berisbal tanpa sombong menunjukkan hukum Mubah bukan Makruh.
Demikian pula jika dalil yang dipakai adalah Hadis Jabir bin Sulaim untuk menunjukkan makruhnya Isbaltanpa sombong. Penjelasan ini juga sulit diterima, karena jika kita penerimaan kandungan hadis Jabir bin Sulaim jika difahami larangan  Muthlaq, maka penerimaan tersebut mengharuskan penerimaan bahwa Isbal haram secara Muthlaq. Sementara jika memahami hadis tersebut adalah Nash Muthlaq yang ditaqyid kesombongan, maka hal ini mengharuskan penerimaan bahwa Isbal tanpa sombong dihukumi Mubah bukan Makruh. Lagipula, memahami Makruh bertentangan dengan praktek yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Abubakar, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Umar bin Abdul Aziz, Ibrahim An-Nakho’I, Ayyub Assikhtiyani, dll
Jika Isbal dilakukan karena sombong maka jelas tanpa ada perselisihan berdasarkan Nash-Nash sebelumnya hukumnya haram. Sebagian ulama seperti Ad-Dzahabi dalam Al-Kaba-ir, Ibnu Hajar Al-‘Asqolani dalam Fathul Bari, dan Ibu Hajar Al-Haitami dalam Azzawajir ‘An Iqtirof Al-Kabair malah menggolongkannya dalam dosa besar (Al-Kaba-ir). Adapun yang berpendapat bahwa Isbal dengan sombong hanya Makruh saja, maka pendapat ini terbantahkan dengan ancaman Neraka yang begitu jelas dalam Nash yang tidak bermakna lain selain haram.
Isbal yang disertai kesombongan haram bukan hanya pada Izar (sarung/kain bawahan), tetapi berlaku juga pada gamis, sorban dan semua asesoris tubuh yan memicu munculnya perasaan sombong. Ibnu Majah meriwayatkan;
سنن ابن ماجه (10/ 427)
عَنْ ابْنِ أَبِي رَوَّادٍ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْإِسْبَالُ فِي الْإِزَارِ وَالْقَمِيصِ وَالْعِمَامَةِ مَنْ جَرَّ شَيْئًا خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
قَالَ أَبُو بَكْرٍ مَا أَغْرَبَهُ
Dari Ibnu Abu Rawwad dari Salim dari Ayahnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Isbal itu terdapat juga pada kain sarung (celana), pakaian (gamis) dan surban. Barangsiapa memanjangkan sesuatu (seperti tadi) dengan sombong, niscaya Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari Kiamat kelak.” Abu Bakar berkata; “Husain bin Ali tidak menganggap asing hadits di atas.” (H.R.Ibnu Majah)
Bukhari juga meriwayatkan;
صحيح البخاري (18/ 94)
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ لَقِيتُ مُحَارِبَ بْنَ دِثَارٍ عَلَى فَرَسٍ وَهُوَ يَأْتِي مَكَانَهُ الَّذِي يَقْضِي فِيهِ فَسَأَلْتُهُ عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ فَحَدَّثَنِي فَقَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مَخِيلَةً لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقُلْتُ لِمُحَارِبٍ أَذَكَرَ إِزَارَهُ قَالَ مَا خَصَّ إِزَارًا وَلَا قَمِيصًا
Telah menceritakan kepada kami Syu’bah dia berkata; saya berjumpa Muharib bin Ditsar di atas kudanya, ketika ia datang di tempat untuk memutuskan suatu perkara, lalu aku bertanya tentang suatu hadits, maka dia menceritakan kepadaku, katanya; saya mendengar Abdullah bin Umar radliallahu ‘anhuma berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa menjulurkan kainnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari Kiamat kelak.” Lalu tanyaku kepada Muharib; “Apakah beliau menyebutkan kain sarung?” dia menjawab; “Beliau tidak mengkhususkan kain sarung ataukah jubah.”(H.R.Bukhari)
Pengecualian kebolehan  bersikap sombong hanya dalam satu kondisi yaitu saat perang berdasarkan hadis berikut;
مسند أحمد (48/ 261)
عَنِ ابْنِ جَابِرِ بْنِ عَتِيكٍ عَنْ أَبِيهِ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ الْغَيْرَةِ مَا يُحِبُّ اللَّهُ وَمِنْهَا مَا يُبْغِضُ اللَّهُ وَإِنَّ مِنْ الْخُيَلَاءِ مَا يُحِبُّ اللَّهُ وَمِنْهَا مَا يُبْغِضُ اللَّهُ وَأَمَّا الْغَيْرَةُ الَّتِي يُحِبُّ اللَّهُ فَالْغَيْرَةُ الَّتِي فِي الرِّيبَةِ وَأَمَّا الْغَيْرَةُ الَّتِي يُبْغِضُ اللَّهُ فَالْغَيْرَةُ فِي غَيْرِ الرِّيبَةِ وَأَمَّا الْخُيَلَاءُ الَّتِي يُحِبُّ اللَّهُ فَاخْتِيَالُ الرَّجُلِ بِنَفْسِهِ عِنْدَ الْقِتَالِ وَاخْتِيَالُهُ عِنْدَ الصَّدَقَةِ وَالْخُيَلَاءُ الَّتِي يُبْغِضُ اللَّهُ فَاخْتِيَالُ الرَّجُلِ فِي الْفَخْرِ وَالْبَغْيِ
 
Dari Ibnu Jabir bin ‘Atik dari ayahnya bahwa Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya diantara cemburu itu ada yang disukai Allah dan ada yang dibenci Allah dan diantara sikap sombong itu ada yang disukai Allah dan ada yang dibenci Allah, cemburu yang disukai Allah adalah cemburu dalam keraguan dan yang dibenci Allah adalah cemburu diluar keraguan, sedangkan sikap sombong yang disukai Allah sombongnya seorang hamba untuk Allah saat perang dan sombong dengan sedekah, sedangkan sombong yang dibenci Allah adalah sombongnya seseorang dalam kebanggaan dan kekejian.” (H.R.Ahmad)‎
Ulama-Ulama Yang Berpendapat Isbal Tanpa Sombong Hukumnya Mubah
Berikut ini didaftarkan nama-nama ulama yang berpendapat bahwa Isbal tanpa sombong hukumnya Mubah. Diantara mereka adaah Abu Hanifah. Ibnu Muflih berkata dalam Al-Adab As-Syar’iyyah;
الآداب الشرعية (4/ 226)
قَالَ صَاحِبُ الْمُحِيطِ مِنْ الْحَنَفِيَّةِ وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ ارْتَدَى بِرِدَاءٍ ثَمِينٍ قِيمَتُهُ أَرْبَعُمِائَةِ دِينَارٍ وَكَانَ يَجُرُّهُ عَلَى الْأَرْضِ فَقِيلَ لَهُ أَوَلَسْنَا نُهِينَا عَنْ هَذَا ؟ فَقَالَ إنَّمَا ذَلِكَ لِذَوِي الْخُيَلَاءِ وَلَسْنَا مِنْهُمْ ، وَاخْتَارَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ رَحِمَهُ اللَّهُ عَدَمَ تَحْرِيمِهِ وَلَمْ يَتَعَرَّضْ لِكَرَاهَةٍ وَلَا عَدَمِهَا‎
Penulis kitab al Muhith dari ulama Hanafiyah menyatakan; telah diriwayatkan bahwasanya Abu Hanifah mengenakan mantel yang mahal seharga 400 dinar. Dan beliau memanjangkannya hingga terseret di atas tanah. Lalu ditanyakan kepadanya, “Bukankah kita dilarang untuk itu?” Ia berkata, “Larangan itu hanyalah untuk yang memiliki kesombongan. Dan kami bukan termasuk dari mereka.” Dan syaikh Taqiyuddin memilih ketiadaan pengharamannya. Beliau tidak berani untuk memakruhkannya maupun tidak memakruhkannya. (Al-Adab As-Syar’iyyah vol.4 hlm 226)
Termasuk juga (konon) Imam Ahmad dalam satu riwayat;
الآداب الشرعية (4/ 226)
وَقَالَ-يقصد أحمد بن حنبل- فِي رِوَايَةِ حَنْبَلٍ : جَرُّ الْإِزَارِ إذَا لَمْ يُرِدْ الْخُيَلَاءَ فَلَا بَأْسَ بِهِ وَهَذَا ظَاهِرُ كَلَامِ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ الْأَصْحَابِ رَحِمَهُمُ اللَّهُ وَقَالَ أَحْمَدُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَيْضًا { مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فِي النَّارِ } لَا يَجُرُّ شَيْئًا مِنْ ثِيَابِهِ وَظَاهِرُ هَذَا التَّحْرِيمُ ، فَهَذِهِ ثَلَاثُ رِوَايَاتٍ
Ahmad bin Hanbal berkata dalam suatu riwayatHanbal, “Menyeret sarung, jika tidak karena sombong, maka tidak mengapa.” Dan ini adalah perkataan yang jelas dari banyak dari para Ulama semadzhab. Ahmad berkata, “[Apa yang berada di bawah mata kaki,  adalah di Neraka.] Maksudnya adalah tidak menyeret suatu apapun dari pakaiannya. Ini jelas pengharaman. Inilah tiga riwayat. (Al-Adab As-Syar’iyyah vol.4 hlm 226)
Termasuk pula Al-Baji, ulama bermadzhab maliki;
المنتقى – شرح الموطأ (4/ 310)
وَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم الَّذِي يَجُرُّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ يَقْتَضِي تَعَلُّقَ هَذَا الْحُكْمِ بِمَنْ جَرَّهُ خُيَلَاءَ أَمَّا مَنْ جَرَّهُ لِطُولِ ثَوْبٍ لَا يَجِدُ غَيْرَهُ أَوْ عُذْرٍ مِنْ الْأَعْذَارِ فَإِنَّهُ لَا يَتَنَاوَلُهُ الْوَعِيدُ
Perkataan Nabi “Orang yang menyeret pakaiannya karena sombong” meniscayakan kaitan antara hukum ini dengan orang yang melakukannya karena sombong. Adapun orang yang menyeretnya karena panjangnya pakaian karena tak punya pakaian selain itu, atau karena suatu udzur, maka ia tidak akan mendapat adzab. (Al-Muntaqo, Syarah Al-Muwattho, vol.4 hlm.310)
Termasuk pula Ar-Ruhaibani;
مطالب أولي النهى (2/ 363)
( فَإِنْ أَسْبَلَ ) ثَوْبَهُ ( لِحَاجَةٍ : كَسِتْرِ ) سَاقٍ ( قَبِيحٍ ، وَلَا خُيَلَاءَ وَلَا تَدْلِيسَ ) عَلَى النِّسَاءِ : ( أُبِيحَ )
(dan jika ia menjulurkan) pakaiannya (untuk kebutuhan tertentu: seperti menutupi) betis (yang buruk, tidak dalam rangka sombong atau menyembunyikan sesuatu) dari wanita: maka boleh (Matholib Uli An-Nuha, vol.2 hlm 363)
Termasuk pula Al-Hakim At-Tirmidzi;
المنهيات (ص: 7، بترقيم الشاملة آليا)
وعامة الأحاديث التى جاءت عن جر الإزار، إنما تدل على أن النهى مع الشرط، قال:)من جر الإزار خيلاء(؛ فدل هذا على أن النهى عن جر الإزار إذا كان خيلاء.
Umumnya hadits yang ada terkait dengan menyeret sarung, hanyalah menunjukkan atas larangan dengan syarat [Barang siapa yang menyeret sarung karena sombong]. Dan ini menunjukkan bahwa larangan tersebut adalah larang untuk menyeret sarung jika dalam rangka kesombongan. (Al-Manhiyyat, hlm 7)
Termasuk pula Abu ‘Awanah;
مسند أبي عوانة (5/ 244)
بيان الأخبار الناهية عن جر الرجل إزاره بطرا وخيلاء والتشديد فيه والدليل على أن من لم يرد به خيلاء لم تكن عليه تلك الشدة
Penjelasan hadits-hadits yang melarang para lelaki untuk menyeret sarungnya dalam rangka sombong dan angkuh serta penyangatan di dalam pelarangannya, menunjukkan bahwa orang yang melakukannya tidak dalam rangka sombong, tidak termasuk dalam pelarangan yang sangat tersebut (Musnad Abu ‘Awanah, vol.5 hlm 244)
Termasuk Abu Hatim sang kritikus hadis;
صحيح ابن حبان (2/ 282)
قال أبو حاتم الأمر بترك استحقار المعروف أمر قصد به الإرشاد والزجر عن إسبال الإزار زجر حتم لعلة معلومة وهي الخيلاء فمتى عدمت الخيلاء لم يكن بإسبال الإزار بأس
Abu Hatim berkata, “Perintah untuk meninggalkan menganggap remeh hal yang ma’ruf adalah perintah yang bermaksud untuk mendidik. Dan larangan untuk tidak mengIsbalkan sarung adalah larangan yang pasti karena sebab yang telah diketahui, yakni kesombongan. Oleh karena itu, jika kesombongan itu tidak ada, maka tidaklah mengapa Isbal sarung.” (Shahih Ibnu Hibban)
Termasuk pula As-Syaukani;
نيل الأوطار (2/ 112)
وظاهر التقييد بقوله ( خيلاء ) يدل بمفهومه أن جر الثوب لغير الخيلاء لا يكون داخلا في هذا الوعيد
Pembatasan yang jelas dengan perkataan “kesombongan” menunjukkan bahwa pemahamannya adalah menyeret pakaian tanpa disertai kesombongan tidak termasuk dalam ancaman ini. (Nail Al-Author, vol.2 hlm 112)
نيل الأوطار (2/ 112)
وبهذا يحصل الجمع بين الأحاديث وعدم إهدار قيد الخيلاء المصرح به في الصحيحين
Dan dengan inilah telah terjadi pengkompromian antara hadits-hadits tanpa perlu menyia-nyiakan Qoid sombong yang dinyatakan dengan jelas dalam Shahih Bukhari dan Muslim (Nail Al-Author, vol.2 hlm 112)
Termasuk pula Al-Munawi;
فيض القدير (3/ 436)
(والمسبل إزاره) الذي يطول ثوبه ويرسله إذا مشى تيها وفخرا (خيلاء) أي يقصد الخيلاء بخلافه لا بقصدها ولذلك رخص المصطفى صلى الله عليه وسلم في ذلك لأبي بكر حيث كان جره لغير الخيلاء
(والمسبل إزاره) adalah orang yang memanjangkan pakaiannya dan menjulurkannya ketika ia berjalan dengan kesombongan dan kebanggaan.
(خيلاء) maksudnya adalah melakukannya dengan sombong yang berbeda dengan tidak dalam rangka sombong, oleh karena itu Nabi telah memberikan keringanan kepada Abu Bakr ketika menyeretnya bukan karena kesombongan. (Faidh Al-Qodir, vol.3 hlm 436)
Termasuk pula Al-Iroqi;
طرح التثريب (9/ 34)
وَأَمَّا الْأَحَادِيثُ الْمُطْلَقَةُ بِأَنَّ مَا تَحْتَ الْكَعْبَيْنِ فِي النَّارِ فَالْمُرَادُ بِهِ مَا كَانَ لِلْخُيَلَاءِ ؛ لِأَنَّهُ مُطْلَقٌ فَوَجَبَ حَمْلُهُ عَلَى الْمُقَيَّدِ
Adapun hadits-hadits yang mutlak bahwasanya apa yang di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka, maksudnya adalah selama itu dalam rangka kesombongan; Karena mutlak, maka harus dibawa kepada yang muqoyyad (Thorhu At-Tatsrib, vol.9, hlm 34)
Termasuk pula Assindy;
حاشية السندي على النسائي (5/ 81)
لا يكلمهم الله الخ كناية عن عدم الالتفات إليهم بالرحمة والمغفرة المسبل من الإسبال بمعنى الارخاء عن الحد الذي ينبغي الوقوف عنده والمراد إذا كان عن مخيلة والله تعالى أعلم
Allah tidak mengajak bicara (hingga akhir hadits) merupakan kinayah tentang ketiadaan pandangan terhadap mereka dengan pandangan kasih sayang dan ampunan. Musbil adalah dari kata Isbal yang artinya penjuluran yang melebihi batas yang seharusnya.  Maksudnya adalah jika hal itu karena kesombongan. Allahu a’lam. (Hasyiyah As-Sindy, vol.5 hlm, 51)
Termasuk pula As-Suyuthi;
الديباج على مسلم (1/ 120)
المسبل إزاره المرخي له الجار طرفيه خيلاء فهو مخصص بالحديث الآخر لا ينظر الله إلى من جر ثوبه خيلاء وقد رخص صلى الله عليه وسلم في ذلك لابي بكر حيث كان جره لغير الخيلاء
المسبل إزاره  adalah yang menjulurkannya dan menyeret kedua ujungnya dalam rangka kesombongan. Dan ini dikhususkan oleh hadits yang lain “Allah tidak akan melihat kepada orang yang menyeret pakaiannya karena sombong” dan Rasulullah memberikan keringanan dalam hal itu untuk Abu Bakr karena ia menyeretnya bukan karena kesombongan. (Ad-Dibaj ‘Ala Muslim, vol.1 hlm 120)
Termasuk pula Abdurrahman Al-Bassam;
قال الشيخ عبد الرحمن بن عبد الله البسام رحمه الله : ” ( إن القاعدة الأصولية هي حمل المطلق على المقيد وهي قاعدة مطردة في عموم نصوص الشريعة. والشارع الحكيم لم يقيد تحريم الإسبال – بالخيلاء – إلا لحكمة أرادها ولولا هذا لم يقيده. والأصل في اللباس الإباحة ، فلا يحرم منها إلا ما حرمه الله ورسوله صلى الله عليه وسلم . والشارع قصد من تحريم هذه اللبسة الخاصة قصد الخيلاء من الإسبال وإلا لبقيت اللبسة المذكورة على أصل الإباحة. وإذا نظرنا إلى عموم اللباس وهيئاته وأشكاله لم نجد منه شيئاً محرماً إلا وتحريمه له سبب وإلا فما معنى التحريم وما الغرض منه ، لذا فإن مفهوم الأحاديث أن من أسبل ولم يقصد بذلك الكبر والخيلاء ، فإنه غير داخل في الوعيد “.اهـ من ( توضيح الأحكام من بلوغ المرام 6/246 )
Syaikh ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah al bassam berkata, “Sesungguhnya Kaidah Ushul Hamlul Muthlaq ‘alal Muqoyyad adalah kaidah umum yang terdapat pada Nash-Nash syara’. Asy-syari’ (Allah) yang Mahabijak tidak membatasi pengharaman Isbal dengan kesombongan kecuali karena hikmah yang dikehendaki. Andaikan tidak ada hikmah yang dikehendaki, tentu Dia tidak akan membatasinya. Hukum asal pakaian adalah Mubah. Tidak ada yang haram darinya kecuali bila Allah dan RasulNya mengharamkannya. As–Syari’ memaksudkan pengharaman cara berpakaian khusus ini adalah pada kesombongan pada Isbal. Jika tidak, maka cara berpakaian yang disebutkan seharusnya tetap dalam kemubahannya. Dan jika kita melihat pada umumnya pakaian serta model dan bentuknya, kita tidak menemukan adanya sesuatu yang diharamkan kecuali pengharamannya karena sebab tertentu. Jika tidak, maka apalah artinya pengharamannya dan apa tujuan pengharamannya. Oleh sebab itu, maka pemahaman terhadap hadits ini adalah barangsiapa yang Isbal dan tidak dalam rangka sombong dan angkuh, maka ia tidak masuk dalam ancaman.”(Taudhih Al-Ahkam min Bulughi Al-marom)
Demikian pula Bukhari sebagaimana tercermin dari penempatan judul khusus tentang Isbal tanpa sombong, Yusuf Al-Qordhowi, dll. Imam As-Syafi’I dan Ibnu Hajar memungkinkan pula ditafsiri condong dengan pendapat ini dilihat dari statemen beliau berdua.‎
Penutup
Dari sini jelaslah bahwa Isbal tanpa sombong hukumnya Mubah, dan jika disertai kesombongan maka termasuk haram bahkan dosa besar. Pendapat bahwa Isbal tanpa sombong dihukumi Mubah dianut oleh sejumlah ulama besar yang termasuk bukan ulama sembarangan dan menjadi rujukan umat sepanjang masa.
Namun hal ini tidak berarti bolehnya mengejek pendapat yang mengatakan bahwa Isbal haram secara mutlak,karena pendapat ini juga dinyatakan oleh ulama-ulama berilmu juga seperti Ad-Dhohiry, Qodhi ‘Iyadh, Ibnu Al-‘Aroby, Ad-Dzahaby,As-Shon’ani yang diikuti oleh sejumlah ulama kontemporer bin Baz, Al-Albani, dan Ibnu ‘Utsaimin. Pendapat yang mengharamkan Isbal secara mutlak harus dihormati sebagai salah satu ijtihad dalam ijtihad Fikih.
Penghormatan yang sama juga diberikan kepada yang berpendapat bahwa Isbal tanpa sombong dihukumi makruh. Pendapat ini juga dinyatakan ulama-ulama besar seperti Ibnu Abdil Barr, An-Nawawi, Ibnu Qudamah dll.
Pendeknya, tidak ada celaan dalam ijtihad selama ijtihad itu dilakukan dengan kaidah-kaidah Istinbath (penggalian hukum) yang Shahih. Semua ijtihad terpuji meskipun salah. Namun ijtihad yang benar tetap lebih utama daripada ijtihad yang salah. Manapun dari penjelasn hukum tentang Isbal tanpa sombong yang benar di sisi Allah, baik yang berpendapat haram mutlak, makruh maupun Mubah semuanya terpuji dan setiap mukallaf hendaknya memilih pendapat yang dipandangnya paling kuat dan paling dekat dengan kebenaran. Serta berpakaian sesuai kebiasaan, yang perlu diperhatikan adalah kelayakan dan pantas dalam pergaulan. ‎Wallahua’lam.

Hukum Vareasi Bercinta Dalam Islam

Setiap agama pastinya memiliki hukumnya sendiri-sendiri dalam hal bercinta. Beberapa agama mungkin memiliki beberapa hukum yang sama,...